Beranda / Romansa / Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap) / Part 45 | Our Precious Dating

Share

Part 45 | Our Precious Dating

Penulis: Hee Yuzuki
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Alle tau Earl selalu berusaha untuk menghindarinya sejak hari itu. Hubungan keduanya terasa dingin, Earl akan berangkat sangat pagi dan pulang sangat larut. Setelah ucapan menyakitkannya pagi itu, rasanya dirinya dan Earl tidak lagi pernah memiliki hubungan.

Nanti malam seharusnya adalah kencan ke empat mereka, sesuai kesepakatan jika Earl yang akan mengaturnya malam ini.

Pagi ini Alle akan mengakhiri keadaan ini, dia sengaja bangun sangat tadi, sudah menyiapkan coffee dan waffle untuk mereka sarapan, tepat pukul enam pagi.

Benar saja, Earl turun tidak lama kemudian, Alle bisa melihat bagaimana wajah terkejut pria itu sekilas, namun secepat itu pula berubah, dan tersenyum kaku menuju ruang makan.

Alle menatapnya dalam, tidak ada senyuman, ekspresinya membuat perasaan Earl campur aduk. Alle mendekat dan berdiri sangat dekat dengan Earl, mendongak untuk berbicara serius pada Earl. Earl yang merasakan jaraknya dan Alle begitu dekat langsung menghindar, namun Alle dengan cepat menggenggam
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 46 | The Cold Night

    Dalam perjalanan pulang keduanya lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Alle tau malam ini Vale dan Jeremy akan tiba di Jerman, ada ketakutan dan perasaan sesak yang ia dapatkan. Bagaimana jika Earl akan mengingkari semua janjinya demi Vale. Bagaimana jika waktu sebulan yang masih dia miliki harus hancur karena wanita itu.Sedangkan Earl juga terdiam dengan terus melirik arloji di tangan kirinya, Vale akan tiba dua jam lagi, perasaannya sangat bahagia, jantungnya berdetak keras dengan perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan, dia sangat merindukan wanita itu, satu bulan yang menyiksa karena harus terpisah jarak ribuan mil membuatnya akhirnya bisa bernapas lega, dia bisa menemui Vale dalam hitungan mundur tidak lama lagi.Tidak ada percakapan bahkan saat keduanya tiba di kamar, hanya genggaman tangan Earl yang begitu hangat menuntun Alle menuju kamar mereka, membuat Alle kembali merasakan nyaman dan gamang dalam waktu bersamaan.“Kau mau mandi dulu? Atau aku?” Tanya Ear

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 47 | She is Back

    Keduanya tiba di coffee shop dua puluh empat jam, Jeremy memesan espresso sedangkan Alle americano. Keduanya saling bertatapan namun tidak ada kata yang terungkapkan. Seolah ingin menyusul dari mana mereka akan memulai. Jeremy menatap Alle dengan sejuta makna, tatapanya sendu dan penuh tanya. “Bagaimana kabarmu?” Tanya Alle membuat Jeremy tertawa lalu mendengus setelahnya. “Tak akan pernah kulupakan.” Ungkapan itu membuat Alle mengangguk dengan senyum tipis. “Benar. Semua hal yang terjadi di sana, seolah menjadi titik balik hidupku. Membuatku yakin akan keputusan yang aku ambil. Melepaskan Valeria dari hidupku dan memulai hidupku yang baru, tentu dengan harapan-harapan yang lebih indah. Kuharap aku juga mendengar hal yang sama darimu, Allexa.” Jeremy menatapnya lekat, membuat Alle tersenyum getir dengan anggukan samar. “Aku juga berharap begitu, tapi aku masih memiliki sesuatu yang ingin kulakukan dalam satu bulan ke depan. Setelahnya tergantung pada keadaan.” Alle lalu menyesap

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 48 | You Let Me Down, Again

    Alle masih terjaga hingga pukul tiga pagi, setelah Jeremy mengantarnya yang dia lakukan hanya duduk di tengah ranjang dengan memeluk lututnya, mendengarkan dentang jarum jam yang berbunyi sangat nyaring di malam yang pekat dan dingin itu. Dalam hati terus mengharapkan akan kedatangan Earl, terus berharap jika Earl hanya menjemput dan mengantar Valeria ke apartemen lalu pria itu akan kembali dan tidur di sampingnya, mendekapnya dalam pelukan hangat hingga pagi menjelang sesuai permintaannya. Namun nyatanya harapan hanya tinggal harapan, hingga jam empat pagi Alle akhirnya menyerah, meringkuk di tengah ranjang dengan memeluk dirinya sendiri, dengan air mata yang kembali membasahi wajahnya. Nyatanya perasaan pria itu untuk Valeria tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Wanita itu lalu terlelap dalam tangisnya, tidak untuk waktu yang lama, karena Alle akhirnya bangun dua jam kemudian, tepat pukul enam pagi. Terlalu banyak menangis dan terjaga hingga pagi membuatnya langsung merasakan pening

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 49 | The Battle

    “Hallo, Dr. Nic.” “Ya, bisa kau memeriksa istriku? Dia memiliki headache karena begadang tadi malam.” “ Ya. Aku akan mengirim alamatnya padaku, bukan… bukan di rumah.” “Earl!” Alle mendecak kesal begitu Earl mematikan sambungan teleponnya, memutar bola matanya malas dan membuang muka. Membuat Earl tersenyum tipis dan menggenggam tangan wanita itu. “Aku harus memastikan keadaanmu, Xa. Aku takut, sangat takut. Tolong mengerti, Allexa.” Earl menatapnya putus asa, membuat Alle hanya menghela napas dan mengalihkan tatapannya dari Earl. Begitu keduanya tiba di boutique seorang pria sudah berdiri di sana seolah menunggu kedatangannya. Earl langsung menggenggam tangan Alle dan tersenyum pada Nic, dokter pribadinya. Lalu pria itu meminta Nic untuk mengikutinya ke ruang kerja Alle. Alle terus memberikan tatapan kesalnya pada Earl, namun pria itu seolah acuh. Earl sedikit memaksa Alle untuk membaringkan dirinya di sofa bed ruang kerjanya. Pria itu lalu menggeser tubuhnya dan mempersilahk

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 50 | Failed Date

    Pria itu terlihat tengah sibuk bersiap-siap untuk pulang, mengambil tuxedonya juga kunci mobilnya. Senyumnya mengembang sempurna saat melirik arloji di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia memiliki hari yang special hari ini. Jadwal dating dengan sang istri malam ini. Pria itu –Earl- sudah akan mendial nomor Alle dan mengatakan jika dia akan menjemputnya di bouetique. Namun sebuah panggilan masuk dari Vale terlebih dahulu menghentikannya. Membuatnya mengernyit bingung lalu menjawab panggilan itu. “Vale? Ada apa, sayang?” Tanya Earl yang berubah khawatir saat mendengar Vale yang merintih juga terisak di telepon. “Earl … Aku …. Aku sakit. Bisakah … bisakah kau datang?” Sebuah suara lirih Vale yang tak berdaya membuat pikiran Earl langsung buyar. “Apa yang terjadi, Vale? Kenapa tiba-tiba sakit?” Tanya Earl yang kini sudah berjalan meninggalkan ruangannya dengan langkah tergesa. “Aku … aku sakit perut dan terjatuh di kamar mandi. Argh ….. Earl …. Aku tidak tahan. P

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 51 | A Night With Jeremy

    Bukan tanpa alasan Jeremy tiba-tiba datang. Dia tau dengan pasti dan yakin jika Alle dan Earl memang memiliki kencan seperti yang wanita itu ceritakan sebelumnya. Sejak jam lima tadi Jeremy menunggu wanita itu dari boutique-nya. Mengikuti ke mana Alle pergi dan melihat bagaimana tatapan sedih juga kecewa wanita itu saat di kafe setelah menunggu berjam-jam. Dalam hati benar-benar mengutuk Earl dan Vale. Lalu saat melihat Alle justru pergi ke sini, tidak ada alasan baginya untuk tidak menemani wanita itu menghapus sedihnya. “Ini punyamu.” Alle tiba-tiba saja sudah di depannya. Menyodorkan Currywurst-nya yang aromanya benar-benar membuat perut Jeremy semakin keroncongan. Pria itu tertawa dan langsung menerimanya dengan senang hati. Ternyata Alle juga memesan satu, pria itu lalu kembali merangkul Alle untuk menuju salah satu kursi panjang yang kosong selagi mereka menikmati Currywurst mereka. Keduanya benar-benar menikmati waktu mereka, menikmati semua wahana dan mencoba beberapa makan

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 52 | Should I Give Up?

    Jeremy menghela napasnya sekali lagi, menunggu kedatangan Edward di kediaman Addison. Jantungnya berdegup cepat, ingin mengatakan keputusannya, mungkin dia akan mengecewakan Edward, namun dia tau ini yang terbaik. “Jeremy, nice to see you here. It’s been two weeks? Or more? After you went back to Hamburg.” Sapaan Edward dengan senyum sumringah membuat Jeremy membalasnya singkat. “Ayo ke ruanganku saja, agar kita bisa lebih leluasa untuk bicara.” Edward memimpin dan Jeremy mengikutinya. “Jadi bagaimana Afrika, Jeremy? Aku harap mendengar kabar baik darimu.” Tanya Edward masih dengan senyumannya. “Yeah, pekerjaan sangat baik, semua berjalan sebagaimana mestinya, mungkin dalam tiga sampai enam bulan ke depan aku harus melakukan peninjauan kembali.” “Bagus, kau tidak pernah mengecewakan.” “Your secret mission?” Tanya Edward dengan tatapan lebih mendetail, tidak ada lagi senyum di wajahnya. “That’s the point why I am here.” Ungkap Jeremy menghela napas panjang. “Aku menyayangin

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 53 | Here the Same Shit Again

    Alle tiba di kediaman Addison dengan jantung yang berdegup kencang, juga rasa sesak yang terus menemani dalam setiap langkahnya. “Allexa, Ya Tuhan sayang.” Jennie yang melihat kedatangan Allexa saat memasuki ruang tamu langsung menyambutnya dengan sumringah dan memeluk Alle. “Mommy, apa Daddy ada?” Tanya Alle dengan senyum tipisnya, wajahnya menyiratkan sesuatu dan Jennie bisa melihatnya, membuatnya mengernyit bingung. “Allexa, kau datang? Sendirian?” Suara itu membuat Alle membalikkan badannya dan tersenyum melihat Edward yang terlihat baru pulang dari kantor. “Ya, Dad. Kebetulan sekali, aku ingin bertemu denganmu dan Mommy.” Ujar Alle lirih, membuat Edward dan Jennie saling bertatapan. “Apa Vale di rumah?” Lanjut Alle. “Tidak, dia bilang akan menginap di apartement malam ini, temannya mengadakan party katanya.” Jawab Jennie membuat Alle mengangguk. “Bolehkah kita berbicara di ruang kerja Daddy, ada hal yang ingin aku tanyakan.” “Tentu, tentu sayang. Ayo kita ke sana.” Edward

Bab terbaru

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 82 | Her Last Wish [END]

    Langit terlihat begitu mendung, seolah memahami perasaan seorang pria yang hatinya masih diselimuti duka sejak tiga bulan yang lalu. Rasanya semua masih terasa seperti mimpi, rasanya semua terlalu cepat dan tiba-tiba namun terasa begitu menyakitkan hingga ke tulang.Kehilangan Alle meninggalkan luka mendalam yang tidak akan pernah sembuh untuk pria itu, air matanya selalu jatuh setiap memikirkan wanita yang telah meninggalkan dunia ini dan mengakhiri rasa sakit dalam hidupnya.Hatinya masih terasa begitu sakit seperti diremas dengan begitu kuat setiap teringat ekspresi kesakitan Alle di hari terakhir mereka bertemu, hari terakhir mereka berbicara, sebelum Alle dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya pergi melepaskan semua sakit yang dia rasakan.Earl menyentuh dadanya yang terasa begitu menyesakkan dan membuatnya kesulitan bernapas. Dia tidak pernah membayangkan ini terjadi dalam hidupnya, kehilangan Alle untuk selama-lamanya tidak pernah ada dalam pikirannya, namun Tuhan seolah menampar

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 81 | Death Bell

    Pukulan demi pukulan Earl dapatkan dari Axel yang begitu membabi buta dengan emosinya. Mereka semua sudah berkumpul di depan ICU, menunggu dokter yang masih menangani Alle.“Berani-beraninya kau menunjukkan wajahmu di sini! Bajingan! Kau manusia paling biadab!” Axel kembali memberikan pukulannya, wajah Earl sudah babak belur, bibirnya berdarah, lebam di beberapa bagian, namun pria itu tidak melawan, tubuhnya memang di sana, namun pikirannya kacau mengingat bagaimana Alle yang sekarat di depannya dengan bibir dan hidung yang berlumur darah, persis seperti yang ada di mimpinya, hal itu membuat tubuhnya menggigil dengan ketakutan yang semakin menggelayutinya.“Axel! Berhenti! Kau membuat keributan! Kau pikir Alle akan senang melihatnya?! Adikmu sedang berjuang antara hidup dan mati! Apa yang kau lakukan?!” Kern mengambil tindakan, menarik Axel untuk mundur dan memberikan tatapan nyalangnya.“Tahan emosimu, tidak ada yang lebih penting dari pada Alle sekarang.” Ucap Kern lagi membuat napa

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 80 | Eloise Abigail Adisson

    Kern membuka pintu itu dengan raut tenang, bahkan setelah melihat siapa tamu tak diundang yang datang ke rumah putrinya.Melihat bagaimana berantakannya penampilan Earl, kacaunya wajah pria itu dan tatapannya yang menunjukkan penuh sesal dan juga terluka seolah menyeret Kern pada masa lalu di mana dia juga pernah merasakan semua itu.Tau-tau Earl langsung berlutut di depannya. Menatapnya dengan sorot mata nanar dan air mata.“Aku tau aku begitu hina untuk datang ke sini. Tapi kumohon … Ijinkan aku bertemu dengan Allexa… Tolong … Kau boleh menghajarku setelah ini. Tapi tolong biarkan aku bertemu Allexa, ada … ada hal sangat penting yang ingin aku sampaikan. Kumohon.” Earl bukan lagi hanya berlutut namun kini sudah bersujud di kaki Kern.Kern masih bergeming, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Melihat betapa putus asanya Earl yang terlihat hampir gila, dia yakin pria itu telah mengetahui semua yang terjadi pada Alle termasuk keadaannya. Sekali lagi kelebatan masa lalu bagaimana diriny

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 79 | Daddy's Daughter

    Langkah pria paruh baya itu begitu berat memasuki kamarnya, membawakan sarapan juga susu ibu hamil untuk putri tercintanya yang begitu malang.Mengingat-ngingat kembali bagaimana dia yang dulu begitu kejam menyakiti fisik dan batin istrinya, mungkin ini karma untuknya, melihat putrinya disakiti oleh pria yang dicintainya, ternyata menikamnya begitu dalam.Kern mengusap air mata yang membasahi wajahnya sesaat sebelum memasuki kamar Alle. Dia menatap dalam pintu di depannya dan menekan dadanya yang begitu sesak, mencoba menarik kedua sudut bibirnya untuk memberikan senyum terbaiknya.Jeslyn dilarikan ke rumah sakit dua hari yang lalu, terlalu stress dan kelelahan, wanita itu tidak sanggup menanggung beban luka melihat penderitaan Alle, dia selalu menangis setiap malam hingga membuatnya jatuh sakit.Dia dan Axel bergantian untuk menjaga Jeslyn dan Alle, pagi ini Axel yang menemani Jeslyn di rumah sakit, sedang dia menemani Alle.Kern menekan handle pintu kamar Alle dan melihat Alle yang

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 78 | Painful Truth

    Hari-harinya semakin kacau untuk pria itu dan dia masih berusaha untuk mengendalikan perasaannya yang semakin tak terkontrol di mana hatinya terus berteriak memanggil nama Alle dan tiada hari tanpa kegelisahan yang melingkupinya.Padahal pernikahannya semakin dekat, namun kini dia bahkan tidak peduli lagi dengan itu, menyerahkan semuanya pada Valeria dan justru sibuk untuk menangani masalah hatinya. Dia tau sesuatu yang salah telah terjadi.Di saat dia telah yakin dengan pilihannya dan terus mengabaikan perasaannya tentang Alle dengan pikiran jika semua yang dia rasakan pada Alle hanya rasa bersalah, namun yang terjadi justru sebaliknya.Dia merasa hampir gila tidak bersama wanita itu, hidupnya terasa begitu sengsara dan penuh kegundahan, dia terus memimpikan Alle seperti alam bawah sadarnya ingin menyadarkan betapa dia merindukan Alle.Bahkan pikirannya tanpa terkendali terus mengingat memori-memori saat mereka bersama. Semua itu semakin membuat Earl kacau dan dalam rentang waktu itu

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 77 | Is That A Sign?

    Di tengah malam yang begitu sunyi, langkahnya terdengar gusar dan tergesa-gesa, membuat bunyinya menggema di lorong rumah sakit yang begitu sepi.Pikirannya penuh dengan pertanyaan, Mommy-nya bukan orang yang bisa sakit dengan mudah, apalagi sampai masuk rumah sakit.“Daddy … Bagaimana keadaan Mommy?” Tanya Earl begitu memasuki ruang rawat Jennie dan melihat Edward begitu kacau, menggenggam tangan Jennie yang masih memejamkan matanya.Edward menatapnya kecewa dan penuh luka, membuat Earl terpaku beberapa saat dan mencoba memahami keadaan.“Stress, tekanan darahnya tinggi dan membuatnya collapse, jika tekanannya terus tinggi dia bisa terkena stroke ringan.” Ucap Edward dengan nada dinginnya dan membuat Earl terkejut bukan main.“Apa …? Bagaimana bisa, Dad? Apa yang membuat Mommy stress?” Tanya Earl benar-benar tidak mengerti dan itu berhasil memancing emosi Edward.Pria tua itu langsung menarik kerah baju Earl dan membawanya keluar dari ruang rawat Jennie, lalu tanpa aba-aba lagi dia la

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 76 | A Painful Decision

    Kern menarik napasnya panjang sebelum memasuki kamar Alle. Dia telah membawakan sandwich juga susu ibu hamil untuk putrinya itu. Dia lalu membuka pelan pintunya dan mendapati Jeslyn yang sudah terjaga dan menatap Alle dengan tatapan sedih juga air mata yang membasahi wajah Jeslyn.“Sayang ….” Bisik Kern membuat Jeslyn tersenyum pedih. Kern meletakkan nampan berisi sarapan Alle itu di nakas samping ranjang. Lalu langkahnya beranjak menuju sisi ranjang yang lain untuk mendekat ke arah Jeslyn.“Putri kita … Putri kita ….” Jeslyn tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena suaranya kalah dengan isakannya, Kern lalu mendekap Jeslyn erat dan diam-diam menangis di balik punggung istrinya itu.“Aku tau … Kita akan menghadapi ini bersama, sayang. Alle akan sembuh dan melahirkan cucu kita dengan sehat. Dia putri kita yang kuat. Dia akan melewati ini semua bersama kita. Kita harus kuat untuknya.” Bisik Kern lalu mengurai pelukannya dan menangkup wajah Jeslyn untuk menghapus air matanya, memberika

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Bab 75 | Tough Days Will Begin

    “Allexa ….” Jantung Axel rasanya direnggut paksa entah untuk yang ke berapa sejak menginjakkan kakinya di Swiss, dia langsung beranjak dan bersimpuh di bawah Alle dan mengusap darah yang keluar dari hidung wanita itu.“Sayang … Apa yang terjadi?” Kern langsung membawa Alle dalam dekapannya dan memeriksa keadaan putrinya itu.“Kita ke rumah sakit sekarang.” Ucap Kern dengan tegasnya. Namun Alle langsung menahannya dan memberikan senyumnya di tengah sakit kepala yang mendera dan semakin terasa menyakitkan.“Daddy, aku baru saja pulang dari rumah sakit. Akan konyol jika aku kembali ke rumah sakit lagi.” Ucap Alle sedikit terkekeh, namun tidak dengan semua orang yang ada di sana terkecuali Jeremy yang diam-diam hatinya merepih pilu.“A…Apa …?” Jeslyn membekap mulutnya dan menggelengkan kepalanya tidak mengerti dengan tubuh yang panas dingin. Apa yang terjadi pada putrinya?“Apa … Apa maksudmu, sayang?” Kini Jennie yang bersuara dengan air mata yang berlinang di wajahnya. Rahasia apa lagi

  • Unspoken Pain (Luka yang Tak Terucap)   Part 74 | Will Not Hide it Anymore

    Alle akhirnya diperbolehkan pulang, Jeremy dengan begitu perhatian membopong Alle untuk masuk ke mobilnya, memasangkan sabuk pengaman untuk Alle lalu berlari ke sisi kemudi dan melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit.“Jeremy, aku meminta Mommy dan Daddy datang, termasuk Axel, juga Mommy dan Daddy Earl. Kupikir … aku tidak ingin mengkhianati mereka dengan menyembunyikan ini lebih lama lagi. Aku juga ingin menceritakan tentang pernikahanku dari mulutku sendiri, bukan karena mereka yang mencari tau. Bagaimana pun, aku tidak ingin Mommy dan Daddy menyalahkan Earl sepenuhnya, padahal di sini aku juga menjadi antagonis yang memberi makan egoku karena rasa cintaku pada Earl.” Ucap Alle dengan air mata yang kembali menetes, mendengar itu membuat Jeremy langsung menggenggam tangan Alle.“Kapan mereka akan datang, Xa?” Tanya Jeremy membuat Alle tersenyum tipis, mungkin malam ini atau besok.Mereka tiba di rumah dan tepat sekali, Jeslyn, Kern, Axel, Jennie juga Edward sudah ada di depan rum

DMCA.com Protection Status