"Semua baju-bajumu sudah dikemas dan diantar ke rumah keluarga Sailendra pagi ini."
Lintang mengangguk paham atas ucapan Indri, ibu tiri yang tidak pernah menyukainya sama sekali. Sebenarnya, bagi Lintang, Indri bukanlah seorang ibu yang jahat. Wanita itu juga tidak pernah menghina Lintang, maupun bersikap kasar padanya. Indri lebih memilih menjaga jarak, dan hampir-hampir tidak pernah bicara walau mereka tinggal satu atap.
"Jadi, kamu nggak perlu pulang," tambah Indri tanpa menyematkan senyum sejak mendatangi kamar pengantin Lintang bersama Anwar pagi ini. Jika bukan karena paksaan Anwar, Indri mana mau mendatangi Lintang seperti sekarang.
"Jam sembilan, sopir keluarga Sailendra akan jemput kamu di sini." Anwar menimpali. "Baik-baik di sana dan jaga nama baik keluarga. Cukup Biya yang sudah bikin kami malu karena kabur entah ke mana, jadi, kamu di sana harus jaga sikap. Paham, kamu, Lintang?"
"Paham, Pak." Sebagai seorang anak yang sudah dibesarkan sedari kecil, Lintang hanya bisa menuruti titah Anwar untuk membalas semua kebaikan keluar Dewantara selama ini. Meskipun diperlakukan berbeda dalam urusan kasih sayang, tapi Lintang selama ini tidak pernah kekurangan materi sedikit pun. Lintang mendapat pendidikan yang sama dengan Biya, dan juga bisa melanjutkan hingga ke jenjang S1.
"Sekarang, pesan makan dan sarapanlah di kamar,” titah Anwar kemudian beranjak pergi bersama Indri keluar kamar tersebut.
Napas Lintang sontak terbuang lega setelah mendengar suara pintu yang tertutup. Tidak ingin membuang waktu lagi, Lintang segera memesan sarapan sesuai titah Anwar barusan. Sebenarnya, Lintang ingin turun untuk sarapan di restoran hotel, tapi sudahlah. Anwar pasti punya pertimbangan tersendiri, hingga menyuruh Lintang sarapan di kamar saja.
Baru saja Lintang meletakkan gagang telepon setelah memesan makanan, ia mendengar suara pintu kamar yang tertutup. Sejurus kemudian, ada Raga yang kembali menemuinya setelah semalam berceramah panjang membahas pernikahan mereka ke depannya.
“Iya, Mas?” tanya Lintang berdiri kaku di samping nakas. Wajah tampan dengan garis nan tegas itu, pagi ini tampak begitu segar dan berbeda dengan wajah lelah tadi malam. Semoga saja, mood Raga pagi ini jauh lebih baik.
“Orangtuamu dari sini?” Raga mengajukan pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu lagi dijawab oleh Lintang. Dengan melihat Anwar dan Indri keluar dari kamar ini saja, membuat Raga sudah mendapatkan jawabannya.
Lintang mengangguk. “Mas Raga sudah ketemu?”
“Belum.” Raga menggeleng. “Aku lihat mereka keluar, waktu belok ke lorong kamar ini. Mereka sepertinya mau sarapan di bawah.”
Lintang kembali mengangguk. “Mungkin. Mas Raga ada perlu apa?”
“Jam sembilan, ada sopir anakku yang jemput kamu di lobi,” ujar Raga memberi tahu. “Namanya Bisma, dan pulanglah ke rumah dengan dia.”
Lagi-lagi, Linta memberi anggukan pada Raga. “Tadi, bapak juga sudah ngasih tahu.”
“Bapak?” Satu alis Raga terangkat pelan. Tanpa melepas tatapan dari Lintang, Raga berjalan pelan menuju sofa panjang dan duduk di sana.
“Bapak Anwar,” terang Lintang memutar tubuhnya ke mana Raga melangkah. Namun, ia masih saja berdiri di samping nakas dan tidak bergeser ke mana pun.
“Ah! Pak Anwar.” Wajar rasanya jika seorang anak memanggil dengan sebutan bapak pada ayahnya. Hanya saja, terasa aneh di telinga Raga, karena ia tahu pasti Biya memanggil Anwar dengan sebutan papa.
“Iya.” Lintang mengangguk. “Mas Raga ada perlu apa lagi?”
“Aku belum tahu nomor hapemu.” Raga mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung membuka layarnya.
Dengan perlahan, Lintang menyebutkan deretan angka nomor ponselnya pada Raga. “Ada lagi, Mas?” tanyanya setelah Raga telah melakukan panggilan singkat pada nomor Lintang.
“Sudah.” Raga mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana, lalu menatap Lintang yang sedari tadi hanya berdiri di tempat. Menurut Raga, Lintang hanya kurang merawat dirinya sendiri. Selain itu, penampilannya juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan Biya.
Ditatap dengan intens oleh Raga, membuat Lintang jadi salah tingkah. Apa ada sesuatu yang salah dari diri Lintang, hingga pria itu menatapnya seperti itu.
“Mas Raga, bisa keluar kalau sudah.” Jika tidak ada lagi yang dibicarakan, lebih baik Lintang meminta duda beranak satu itu keluar dari kamarnya.
“Kamu ngusir aku?” Jelas saja Raga tersinggung dengan perkataan Lintang barusan.
“Bukannya—”
“Kenapa kamu setuju menggantikan Biya tadi malam?” sela Raga bersedekap dan menegakkan tubuhnya. “Apa yang ditawarkan pak Anwar, sampai-sampai kamu setuju menikah denganku.”
“Nggak ada.” Lintang menggeleng pelan. “Bapak … nggak nawarin apa-apa ke saya.”
“Kamu terima begitu aja? Atau, kamu memang suka dengan Safir sebelumnya?” selidik Raga.
“Saya nggak pernah ketemu sama mas Safir sebelumnya,” ungkap Lintang. “Saya baru lihat dia, waktu datang ke hotel—”
“Jangan bohong,” sela Raga menyematkan senyum sinisnya. “Safir dan orangtuaku pernah makan malam di rumahmu, jadi, nggak mungkin.”
“Saya di kamar, dan nggak keluar sama sekali waktu keluarga Mas Raga—”
“Nggak mungkin!”
“Silakan tanya sendiri dengan pak Ario atau bu Retno, kalau Mas Raga nggak percaya.”
Jika sudah demikian, Raga pun yakin Lintang telah berkata yang sebenarnya.
Namun, mengapa Lintang hanya berada di kamar ketika makan malam kedua keluarga tersebut dilaksanakan? Bukankah, Lintang juga termasuk anggota keluarga Dewantara?
Sementara Raga, saat itu memang tidak ikut makan malam karena putranya sedang demam. Jadi, ia tidak bisa pergi ke mana pun, dan hanya berada di sisi Rama.
“Oke, kalau begitu.” Raga rasa cukup sekian pertanyaan yang diajukannya pada Lintang. Yang jelas, ia sudah memberi batasan pada gadis itu, dan tidak memberinya banyak harapan.
“Mas.” Tiba-tiba, Lintang memiliki beberapa hal yang hendak ditanyakannya pada Raga sebelum pria itu pergi.
“Ada apa?” Raga yang hendak berdiri, seketika mengurungkan niatnya.
“Jadi, pernikahan ini cuma di atas kertas, kan?”
“Ya,” jawab Raga begitu yakin, karena memang seperti itu kenyataannya.
“Apa ada batas waktunya?”
“Batas waktu?” Raga balik bertanya, dan hampir bisa menerka maksud ucapan Lintang.
“Ya, maksud saya … karena pernikahan ini demi kepentingan keluarga jelang pemilu tiga tahun lagi.” Lintang tahu benar koalisi seperti apa yang tengah rancang kedua keluarga demi pencitraan, dan masuk ke dalam kancah pemerintahan. “Apa setelah itu, kita bisa … pisah?”
“Kamu ingin kita pisah?” Karena mereka saling tidak memiliki rasa cinta, sepertinya pertanyaan Lintang cukup masuk akal. Ketika nantinya keinginan keluarga telah tercapai, maka tidak ada salahnya jika mereka mengambil jalan masing-masing.
“Ya,” angguk Lintang. “Saya mau kita pisah, setelah semua tujuan dua keluarga tercapai.”
“Nggak masalah,” jawab Raga dengan santai. Tentunya, hal ini akan menjadi angin segar bagi Raga karena tidak perlu menghabiskan waktu hingga seumur hidupnya dengan Lintang. “Tapi, cukup kita yang tahu dengan perjanjian ini. Rahasiakan dari orang lain. Dan, kita pisah setelah kondisi benar-benar kondusif.”
“Oke, Mas.”
“Ada lagi yang mau ditanyakan?”
“Satu lagi!”
“Silakan.”
“Kalau saya resign … itu artinya saya nganggur di rumah.” Setelah semalaman memikirkan nasibnya, Lintang akhirnya memiliki sebuah ide untuk menggantikan kegiatannya. Tidak mungkin rasanya jika Lintang hanya menengadahkan tangan pada Raga selama ia menikah.
“Kamu bisa … nanti tanyakan mama,” kata Raga segera berdiri setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kamu bisa ikuti kegiatan beliau sehari-hari.”
Lintang menggeleng tidak setuju dengan saran Raga. “Aku mau buka toko buku, karena Mas Raga nggak ngebolehin aku keliaran jadi sales. Aku ngerti, Mas Raga dan keluarga Sailendra pasti malu punya menantu yang kerjanya cuma nyales, tapi kalau aku jadi pemilik toko buku, kalian pasti nggak akan—”
“Keluargamu nggak protes kamu jadi sales buku?” Hal inilah yang mengusik pikiran Raga. “Keluarga Dewantara, pemilik media tersohor punya anak yang kerjanya nyales? Kenapa mereka nggak pekerjakan kamu di perusahaan, seperti Biya?”
Lintang tersenyum datar, tapi tidak bisa menjawab pertanyaan Raga.
“Saya punya tabungan, tapi nggak seberapa,” ujar Lintang mengabaikan pertanyaan Raga. “Apa bisa saya pinjam uang Mas Raga dulu untuk nyewa ruko? Nanti—”
“Jawab pertanyaanku Lintang.” Belum sehari mengenal Lintang, tapi gadis itu menyimpan banyak rahasia yang membuat Raga penasaran.
“Tanyakan itu dengan pak Anwar, dan bu Indri,” pinta Lintang kembali menyematkan senyum yang sama. “Karena … cuma mereka yang bisa jawab.”
Sepi. Satu kata itulah yang ada di benak Lintang ketika memasuki ruang tamu keluarga Sailendra. Tidak ada penyambutan, atau sapaan hangat dari pemilik rumah. Lintang lantas tersenyum pahit. Memangnya, siapa Lintang hingga pemilik rumah harus menyambut dirinya dengan ramah tamah. Yang mereka pikirkan, hanya nama baik keluarga dan tidak pernah mau tahu dengan perasaan Lintang saat ini. “Mbak Lintang?” tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari bagian ruang yang lebih dalam, untuk menyambut penghuni baru di kediaman keluarga Sailendra. “Kenalkan, saya Idha, asisten rumah tangga di sini. Subuh tadi, ibu sudah nelpon, kalau Mbak Lintang pagi ini langsung pulang ke rumah. Jadi, ayo ikut saya! Biar saya tunjukin kamarnya mbak Lintang.” Belum sempat Lintang menjawab, wanita yang baru saja memperkenalkan diri dengan cepat itu, langsung berbalik pergi. Memasuki bagian rumah yang lebih dalam, masih dengan langkah yang tergesa. Untuk itu, Lintang pun bergegas mengikuti Idha dan menyamak
“Pagi Bu Idha.”Meskipun tidak akan dianggap di keluarga Sailendra, tapi Lintang harus bisa bersikap baik demi menjaga nama baik keluarganya sendiri. Demi keluarga yang telah membesarkan dan memberi semua fasilitas hingga Lintang bisa seperti sekarang. “Pagi, Mbak Lintang,” balas Idha yang tengah mengangkat ayam goreng dari wajan. “Ngapain ke dapur?”“Ada yang bisa saya bantu, nggak, Bu?” tanya Lintang sudah berdiri di samping Idha dan memperhatikan apa yang wanita itu lakukan. “Saya nggak bisa masak, tapi kalau bantu-bantu nyiapin apaa, gitu, saya bisa.”“Eh! Jangan, Mbak!” tolak Idha sedikit terkejut. “Nanti saya dimarahi ibu, sama mas Raga.”“Mereka nggak bakal marah.” Sadar dirinya tidak dianggap, maka Lintang memiliki pemikiran seperti itu.“Marah, Mbak!” Idha mengulangi ucapannya dengan penuh penekanan. “Dulu, almarhumah istrinya mas Raga sempat dimarahi waktu bantu-bantu saya di dapur. Jadi, saya nggak mau dimarahin lagi sama ibu.”Lintang tercenung dan berpikir. Kira-kira, di
“Mau ke mana?” Retno baru saja membuka pintu kamarnya, ketika melihat Lintang berjalan menuju tangga. Hari masih pagi, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dengan kemeja dan celana jeans. Tidak lupa, ada sebuah tas ransel yang menggantung di balik punggung. Sungguh tidak mencerminkan keanggunan seorang wanita sama sekali. Bagaimana bisa Retno mengatakan setuju, ketika Ario mengusulkan untuk mengganti calon menantu mereka kala itu. Lintang mendesah tidak ketara. Ia segera memutar tubuh, lalu menghampiri Retno yang baru menutup pintu. “Saya izin mau pulang ke rumah dulu.” “Tapi kamu belum sarapan.” Retno menatap Safir yang juga baru keluar dari kamarnya. “Saya bisa sarapan di rumah nanti.” Lintang hanya melirik pada Safir yang terus berjalan menuju tangga, lalu kembali menatap ibu mertuanya. Retno mengangguk dan tidak mungkin juga ia melarang Lintang untuk pulang ke rumahnya sendiri. “Pamit sama Raga dulu.” “Iya, Bu.” Lintang mengangguk, lalu meraih tangan kanan Retno dengan cepat d
“Lin!”Satu sapaan hangat itu, membuat Lintang membalik tubuhnya. Melebarkan mata, begitu pula dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Lintang menghampiri pria yang saat ini juga tengah berjalan ke arahnya. “Mas Fajar! Kapan datang?”Lintang mengulurkan tangan lebih dulu, dan pria itu segera menyambutnya dengan ramah.“Sejaman yang lalu.” Fajar menatap Lintang dari ujung rambut, hingga kaki. Tidak ada yang berubah. Tetap cuek, tapi tetap rapi sesuai dengan stylenya. “Kamu resign?”Lintang tersenyum kecil, dipaksakan. “Iya.”“Kenapa?” buru Fajar. “Aku dimutasi ke sini lagi mulai minggu depan, tapi kamu malah resign.”“Capek, Mas, nyales terus.” Lintang menunduk, karena kembali berbohong untuk kesekian kalinya ketika ada yang memberi pertanyaan, kenapa. Ia menatap ujung flat shoesnya seraya menggenggam erat tali ransel yang terulur di depan pundak. “Aku mau buka usaha sendiri. Buka toko buku kecil-kecilan.” Lintang mendongak dan kembali tersenyum. “Entar bantuin, ya! Siapa tahu bisa b
Setelah pertemuan terakhirnya dengan Raga sore itu, Lintang sudah memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan suami di atas kertasnya. Yang terpenting, Lintang selalu bersikap sopan di depan Ario dan Ratna. Selebihnya, Lintang sudah tidak mau merepotkan diri dengan orang yang ada di dalam rumah. Kecuali Rama, bocah tampan ramah yang selalu saja menegur Lintang jika mereka bertemu. Lintang menduga, sifat bocah berusia lima tahun tersebut merupakan turunan dari mendiang mamanya. Tidak mungkin sifat tersebut menurun dari Raga. “Tante mau pergi?” tanya Rama yang kembali menegur Lintang ketika hendak pergi menuruni tangga. “Iya.” Lintang tersenyum seraya menghampiri Rama yang sedang bermain mobil-mobilan dengan Eni. Ia berjongkok di samping Rama kemudian berkata, “Senang tadi di sekolah?” “Aku nggak suka sekolah.” Rama menjawab tanpa melihat Lintang sama sekali. Ia sibuk bermain dengan remote controlnya dan memperhatikan ke mana mobilnya berjalan. Tatapan Lintang reflek tertuju pada Eni.
“Ke mana Lintang?”Sejak Raga memulai makan malamnya, hingga nasi yang ada di piringnya hampir tersisa separo, Lintang belum juga terlihat bergabung di meja makan.“Tante Lintang bobo!” celetuk Rama sambil terus berusaha mengumpulkan nasi serta lauk di piring, ke dalam sendok makannya.Raga menatap tanya pada Retno. Apa yang terjadi selama dirinya pergi keluar kota? Apakah Lintang jatuh sakit, sehingga tidak ikut makan malam saat ini?“Belakangan ini Lintang tidurnya memang cepat,” ujar Retno tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Dia lagi ada kerjaan sama temannya di luar.”“Kerjaan? Aku sudah suruh dia resign.” Raga meletakkan sendoknya di piring. Sudah tidak lagi berminat untuk melanjutkan makan malam, karena Lintang ternyata tidak mengikuti kemauannya. Apa jumlah uang bulanan yang diberi oleh Raga saat itu ternyata kurang?“Resign?” Rama kembali berceletuk saat mendengar satu kata yang tidak dimengertinya. “Apa itu resign, Opa?” tanyanya pada Ario yang duduk bersebelahan.
“Mau ke mana kamu?”Raga menahan napas, berikut dengan rasa kesal yang mendadak menyelinap saat melihat Lintang hendak menuruni tangga dengan sebuah ransel di punggung. Belum ada satu jam Raga menitahkan agar Lintang tidak lagi pergi bekerja, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dan hendak pergi.Lintang berhenti di ujung tangga, lalu memutar tubuh dengan helaan. Ia tertunduk, dan menatap kaki Raga yang terus berjalan ke arahnya lalu berhenti dengan jarak tidak sampai satu meter.“Aku sudah bilang—”“Saya mau nemeni Rama outing di kebun binatang,” ujar Lintang seraya mengangkat wajah merengutnya dengan perlahan untuk menatap Raga. “Kasihan, papanya sibuk sendiri sama kerjaan sampe nggak sempat ngurusin anaknya.”“Maksudmu?”Lintang mengangkat kedua bahunya untuk beberapa saat. Tanpa berminat meneruskan obrolan dengan Raga, ia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda. Menuruni tangga, untuk menghampiri Rama yang sudah siap dengan pakaian olahraga bersama Eni.“Tante, ayoo!” sapa Ra
“Bu …” Eni mencolek lengan Lintang yang tengah berdiri di sebelahnya. Selama kegiatan edukasi berlangsung, para orangtua atau pengasuh yang mendampingi para murid, bisa melakukan hal apa pun dengan bebas. Tepat ketika kegiatan selesai, barulah mereka bisa mendampingi para murid dan melakukan kegiatan bebas. “Apa saya nggak salah lihat?” Telunjuk Eni tertuju pada ujung jalan yang mengarah ke tempat mereka. Lintang menoleh. Ia pun sempat mengerjap beberapa kali ketika melihat seorang pria dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana bahan berwarna krem. Pria itu berjalan pelan, seolah tengah menelisik sesuatu di sekitarnya. “Sus!” Lintang mencengkram tangan Eni tanpa sengaja. Hal tersebut hanya pergerakan reflek, karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. “Setan bukan, sih?” “Kakinya napak, Bu,” sahut Eni sempat menelan ludah ketika melihat majikannya dari kejauhan. “Lagian, mana ada setan siang-siang begini.” “Tapi ngapain mas Raga ke sini?” Lintang memutar tubuh,
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida