“Indira.”
Menghentikan langkahnya saat melihat Mita berjalan kearahnya, sedikit mengerutkan keningnya melihat Mita yang tampak baik-baik saja setelah kejadian kemarin.“Kelas? Ayo bersama.” Mita menarik lengan Indira.Masuk kedalam kelas, suasana sudah mulai ramai dan menatap bingung akan duduk dimana. Suara Dio yang memanggil Indira membuat langkahnya menuju ke sumber suara, tepukan pelan pada kursi kosong sebagai tanda Indira untuk duduk disampingnya. Indira menatap sekitar dan menemukan Clara, teman yang mengambil sayuran saat makan di kantin setelah kejadian dengan Lia dan Sinta.“Mit, kamu duduk disini aja. Aku duduk sama Clara.” Mita memberikan tatapan tidak terima “Cuman disebelah ini aja.”“Ok,” ucap Mita dengan nada pasrahnya.“Kosong?” tanya Indira yang dijawab anggukan Clara.Duduk disamping Clara, tidak lama dosen masuk kedalam dan memulai kelas. Tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua, sampai kelas bMendengar pengakuan Fajar harusnya tidak membuat terkejut, tapi tidak tahu kenapa Indira malas bertemu atau membalas pesan atau menerima teleponnya. Memilih menghindar dari Fajar, berangkat sedikit lebih pagi dibanding biasanya. Empat hari sudah Indira melakukannya, beberapa kali Ryan bertanya tapi tidak dihiraukan sama sekali.“Kamu itu kenapa sih?” tanya Ryan dengan wajah kesalnya.“Nggak papa.” Indira menjawab santai.“Kamu lagi hukum Mas Fajar?” tembak Ryan langsung tapi tidak dijawab Indira “Nih...dia hubungi lagi, aku bilang apa.” “Terserah.” Indira berdiri meninggalkan Ryan yang akan mengangkat panggilan dari Fajar, tidak mau mendengar pembicaraan mereka. Tidak tahu harus kemana membuat langkah Indira menuju gazebo, langkahnya terhenti ketika ada yang menjual makanan ringan di pinggir fakultas dan baru disadari.“Kalian bukannya kita satu angkatan?” tanya Indira menatap kedua orang yang duduk bersama penjual.“Y
Satu yang hilang dari Indira dalam hidupnya, sudah beberapa hari ini Fajar membatasi diri bertemu dengan dirinya, membuat Indira bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Fajar mengikuti permintaan Indira tidak melibatkan Ryan dalam hubungan mereka, meminta Ryan menjadi mata-matanya. Setidaknya sekarang Ryan sibuk dengan teman-teman cowok, Indira sibuk dengan Dio yang akan menemani dirinya kapan saja.“In, pulang bareng?” tanya Dio yang dijawab Indira dengan menggelengkan kepalanya “Kenapa?”“Aku ada UKM di fakultas budaya sama Winda.” Indira langsung menolaknya.Melangkah kearah Winda yang berbicara dengan Dito dan Mita, melihat kedatangan Indira langsung pergi ke tempat dimana kegiatan mahasiswa dilaksanakan. Indira tidak terlalu dekat dengan Winda, tapi mereka tetap bisa berbicara tentang banyak hal. Menatap ponselnya yang tidak ada pesan atau panggilan dari Fajar, hembusan nafas panjang dengan memasukkan ponselnya didalam tas dan fokus dengan kegiatanny
Keputusan sudah bulat dan tidak bisa diganggu sama sekali sejak kejadian Seno, keputusan yang membuat Indira menatap tidak enak pada Ryan yang kembali harus menjadi mata-mata Fajar. Semua kegiatan yang dilakukannya pasti Fajar sudah tahu, mencoba untuk berbicara dengan Ryan agar tidak semuanya diberitahukan tidak bisa dilakukan sama sekali.“Yan, aku sama Dio cuman kerja kelompok.” Indira menatap malas pada Ryan “Kak Fajar kasih apa sih sama kamu ampe takut begini?”“Kamu sih kemarin pakai jalan sama Seno, kalau ini aku nggak terbuka bisa-bisa marah dia.”Indira memutar bola matanya malas mendengar kata-kata Ryan “Please jangan kasih tahu.” “Kalau marah nanti aku nggak ikutan.” Indira menganggukkan kepalanya.Dio mengajak ke cafe dekat kampus mengerjakan tugas, berdua hanya berdua tidak ada yang lainnya. Indira tahu jika Dio sangat disukai teman-teman wanitanya, termasuk Lia. Hal yang membuat Indira tidak enak, lebih tepatnya tidak mau m
Kabar Fajar mendapatkan pekerjaan baru hanya Indira dan Ryan saja yang tahu, tapi beberapa hari setelahnya senior banyak yang bertanya terutama Wahyu dan Jonathan. Indira sedikit terkejut mereka tahu tentang Fajar secara lengkap.“Bu Retno sensi mulu waktu Mas Fajar bilang keterima kerja.” Jonathan membuka pembicaraan.Indira ditarik Jonathan dan Wahyu untuk makan bersama di kantin fakultas farmasi, tidak ketinggalan Clara dan Sinta yang secara kebetulan sedang bersama dengan Indira. Bukan pertama kalinya makan di fakultas farmasi, bersama dengan Clara selalu mencari suasana makan yang lain.“Jadi benar diterima kerja?” tanya Jonathan yang diangguki Indira.“Kamu nggak takut Mas Fajar macem-macem?” tanya Wahyu.“Kalau macem-macem ya tinggal putus selesai, kenapa memang? Mas Wahyu mau menerima aku?” Indira memberikan tatapan menggoda.“Kagak, cukup sudah drama sama teman kamu itu.”“Lia?” tanya Sinta yang diangguki Wahyu
Ekspresi Fajar saat datang ke rumah membuat Indira sedikit takut, tidak pernah melihat Fajar dengan ekspresi seperti itu. Indira tahu pastinya dipanggilnya dirinya sama Retno sudah sampai di telinga Fajar, berita tentang itu sudah menyebar ke semua fakultas. Indira tidak bicara apapun bahkan ketika teman-temannya bertanya, tidak ingin membuat suasana menjadi panas.“Kakak kenapa?” tanya Indira ketiga kalinya.“Bu Retno ngapain adik?” Fajar menatap lembut pada Indira saat bertanya tentang kejadian itu.“Nggak diapa-apain.” “Jangan bohong, sayang. Aku tahu gimana Bu Retno lagian Budi cerita semuanya, suara Bu Retno terdengar sampai luar ruangannya.” “Kalau gitu sudah tahu, kan? Jadi aku nggak perlu jawab.” Indira mengatakan dengan santai “Kak, benar aku nggak diapa-apain. Wajar sih Bu Retno kecewa dengan keputusan kakak buat nggak jadi dosen padahal kakak sudah disiapkan untuk itu.”“Semua itu nggak ada hubungan dengan adik, wala
Perjalanan yang tidak tahu akan dibawa kemana, Fajar menjemput Indira setelahnya mereka menuju tempat yang dikatakan semalam. Lidahnya gatal ingin bertanya tapi tidak bisa dilakukan sama sekali, menatap Fajar yang serius mengemudi dan kembali menatap keadaan mobil yang telah rapi setelah Indira membereskan barang-barangnya menjadi satu.“Sabar ya, sayang. Kalau lapar tadi aku beli camilan, ada di kursi belakang.” Fajar membuka suaranya.Indira menggelengkan kepalanya, mengambil botol air mineral yang berada disampingnya, botol yang selalu disiapkan Indira dan akhirnya Fajar mengikutinya. Kebiasaan Indira yang senang meminum air mineral membuat Fajar menyiapkannya, terkadang Indira lupa membawa botol dari rumah.Kendaraan mereka berhenti tidak lama kemudian, Indira menatap sekitar yang membuatnya mengernyitkan dahinya. Fajar memberi kode untuk keluar dari mobil, memilih mengikutinya dengan melangkah pelan, Fajar menggenggam tangan Indira dengan membawanya m
Keinginan Fajar mengenal sahabat Indira membuatnya mengajak mereka, secara kebetulan Rani sedang libur dan tidak ada jadwal terbang. Fajar ingin mengenal seluruh sahabat Indira, termasuk Dimas yang membuatnya penasaran.“Aku nggak tahu Dimas datang atau nggak.” Indira mengatakan sambil membalas pesan “Lagian kenapa harus sama Dimas?”“Mau tahu aja.” Fajar menjawab santai membuat Indira harus menahan sabar.Fajar mengantarkan ke Indira ke tempat janjian mereka, tempat makan yang menyajikan pizza dimana menjadi makanan kesukaan mereka. Keluar dari kendaraan, mengikuti langkah Indira dari belakang sambil tersenyum kecil. Indira menatap kearahnya dengan menggenggam tangannya untuk mengikuti langkahnya, mereka berdua langsung duduk dihadapan dua gadis yang seusia dengan Indira.“Kak, kalau ini udah kenal Gina. Sebelahnya Rani.” Indira membuka suaranya memperkenalkan mereka.“Fajar.”“Mana Yuni?” tanya Indira penasaran.“Yuni
“Kamu tengkar?” tanya Ryan saat sudah duduk disamping Indira.“Kenapa? Kak Fajar cerita?” “Nggak juga.” “Lalu? Nggak usah bohong, pasti Kak Fajar cerita.”Ryan menggelengkan kepalanya “Mas Fajar nggak cerita, tapi kelihatan dari ekspresi wajah kalian berdua.”Dosen masuk membuat pembicaraan mereka terhenti, Indira sendiri malas menceritakan semuanya. Sikap Fajar yang seenaknya sendiri membuatnya kesal, tidak mau membebani orang lain walaupun itu adalah pasangan. Pikiran kemana-mana membuat Indira tidak mendengarkan penjelasan dosen sama sekali, bahkan tidak menyadari jika waktunya telah selesai.“Nggak ke kantin?” tanya Ryan yang langsung dijawab dengan gelengan kepala “Kemana?”“Lagi malas.” “Kantin gih, mau ujian juga.”“Lama-lama aku bisa mikir kamu naksir sama aku, Yan.”“Ogah. Aku lebih cinta sama cewekku daripada kamu, kalau sama kamu bisa-bisa langsung ditelan sama Mas Fajar hidup-hid
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi