"KKN kenapa cuman disini aja?" Fajar menatap tidak percaya dengan kertas yang tertempel di mading.
Indira memilih tidak komentar atas apa yang dikatakan Fajar, pria yang sudah menyandang status sebagai suaminya secara tiba-tiba menjemput dirinya yang masih ada tugas kelompok sampai malam. Indira memang ada tugas kelompok bersama dengan Dio salah satunya, Dio sendiri sudah berencana mengantarkan pulang karena cukup malam, tapi Fajar tanpa pemberitahuan setelah pulang kerja langsung datang ke kampus."Kapan mulai ini KKNnya?" Fajar mengalihkan pandangan kearah Indira."Besok ketemuan di masjid depannya ekonomi." Fajar menganggukkan kepalanya "Mau pulang sekarang atau nanti?"Fajar menggenggam tangan Indira melangkah keluar dari fakultas menuju tempat parkir mobilnya, pulang dari liburan terdapat perubahan pada diri mereka berdua. Mengenal satu sama lain dibandingkan sebelumnya, tidak hanya itu Fajar menjadi lebih perhatian dan suka memberi kejutan"Mereka berdua kenapa?" bisik Rahma yang membuat Indira mengernyitkan dahinya "Faisal sama Nanta." Indira mengangkat bahunya seakan tidak tahu apa-apa.Pernyataan tiba-tiba Faisal pada saat itu, jawaban yang diberikan Ryan pada saat itu membuat Faisal menatap dalam yang hanya dijawab dengan anggukan pelan. Indira tidak tahu bagaimana Ryan bisa menemukan dirinya, tapi kebiasaannya memang sangat mudah dipahami."Hubunganmu sama Mas Fajar gimana? Awet sampai sekarang, kalian nggak pernah tengkar?" Rahma memberikan tatapan selidik."Pasti pernah, tapi masa mau tengkar dihadapan kalian semua." Indira hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya "Kamu udah dapat judul skripsi?"Rahma menggelengkan kepalanya "Belum kepikiran sama sekali, kamu sudah? Pastinya sudah secara kamu kekasihnya Mas Fajar."Indira hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata Rahma, bukan pertama kalinya mendengar kalimat tersebut sejak hubungannya dengan Fajar terbuka, dekat
"KKN sudah sekarang tinggal skripsi, sudah dapat judul?" tanya Nathali yang dijawab Indira dengan gelengan kepalanya "Kamu nggak bantuin Indira?" Nathali memberikan tatapan tajam pada Fajar yang tampak santai."Aku yang nggak mau dibantu," ucap Indira yang membela Fajar "Aku nggak mau kelihatan bodoh depan Kak Fajar.""ASTAGA! Kenapa kamu mikir begitu." Nathali menggelengkan kepalanya "Fajar justru senang kalau kamu merepotkan dia, memang kamu keberatan?" "Aku sama sekali nggak keberatan, tapi beginilah Indira yang nggak mau merepotkan aku padahal sudah dibilang buat apa punya suami pintar kalau nggak dimanfaatkan." Fajar mengatakan dengan penuh rasa percaya diri yang seketika mendapatkan cubitan ringan di lengannya "Sakit, sayang.""Aku malu kasih lihat Kak Fajar," sambung Indira yang mengusap lengan Fajar lembut bekas cubitannya "Judulku nggak banget."Fajar menarik tangan Indira, memeluk pinggangnya agar merapat pada dirinya sambil me
"Kamu diapain sama mereka?" Indira mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Yanto, dosen pembimbing skripsinya."Bapak dengar berita apa?" tanya Indira penasaran."Inget kamu sudah ada Fajar! Jangan tergoda sama Andri, pemain sepakbola itu masa depannya belum atau nggak jelas." Yanto menyarankan sesuatu yang Indira tidak pahami "Eri menikah minggu kemarin, kan? Kamu datang? Fajar yang nemanin?""Datang tapi nggak sama Kak Fajar, memang kenapa?" Yanto mengusap wajahnya kasar "Hadi pasti habis ini marahin aku.""Memang kenapa sih, Pak?" Indira mengeluarkan nada penasaran dengan menyembunyikan kekesalannya."Pelatih mereka bilang kalau Andri suka sama kamu, dia mau ngajak kamu jalan-jalan. Aku yakin kamu menolak, tapi keyakinan itu hilang karena kamu butuh sumber jadi pastinya setuju. Aku nggak mau hubungan kalian hancur karena orang lain." Yanto memberikan nasehat di tengah ketakutannya "Hubungan kalian baik-baik saja?" Indira m
Membaca pesan yang didapatnya semalam dengan tidak percaya, beberapa kali sudah membacanya untuk memastikan apa yang dibacanya tidak salah dan beberapa kali pula Indira sudah memastikan jika dirinya tidak salah membaca."Kenapa, sayang?" Indira terkejut mendengar suara Fajar "Kok pucat? Sakit?" Fajar memegang kening Indira dan hanya menggelengkan kepalanya "Nggak panas, ada masalah? Memang habis baca apa di HP?""Kak..." Indira menatap ragu Fajar yang duduk disampingnya "Ehmm...""Apa?" Fajar merapikan rambut Indira yang berantakan."Bekal kakak udah siap, kita sarapan dulu aja." Indira memilih mengalihkan perhatian dan belum ingin membahasnya dengan Fajar yang saat ini diam-diam menghembuskan napas panjang.Beberapa kali Fajar memastikan Indira baik-baik saja, tampaknya hal tersebut disadari Indira yang makan dengan tenang seperti biasanya seakan tidak terjadi apa-apa. Sedikit harapan Fajar tidak mengambil ponselnya dan membuka pesan yan
"Kakak jangan aneh-aneh nanti," ucap Indira yang sudah ke berapa kali."Udah deh, In! Mas Fajar nggak akan aneh-aneh." Ryan menghentikan kata-kata rayuan Indira yang membuatnya geli "Mas Fajar nggak setega itu hancurin skripsimu."Indira menyandarkan badannya di kursi penumpang, menutup matanya tidak ingin memikirkan apa yang terjadi nanti, lebih tepatnya membiarkan sikap Fajar dan Ryan nantinya. Kecurigaan mereka pada Rahma sejauh ini tidak terbukti, Indira sendiri tidak bisa membayangkan kalau benar adanya, cukup Lia yang sudah membuatnya pusing."Sayang," panggilan dan usapan lembut membangunkan Indira yang langsung menatap sekitar "Kita sudah sampai, Ryan keluar kalau adik mau merapikan penampilan." Fajar merapikan rambut Indira yang berantakan."Kak, nggak bakal aneh-aneh kan? Aku juga nggak balas pesan dia." Indira memberikan tatapan memohon.Fajar menganggukkan kepalanya, senyum keluar dari bibir Indira yang seketika mencium bibir
"Kak," panggil Indira yang melihat Fajar masih terdiam "Maaf."Menarik Indira kedalam pelukan dan memeluknya sangat erat, mencium puncak kepala tanpa melepaskan pelukannya seakan takut Indira pergi. Merasakan detak jantung Fajar yang berdetak sangat kencang, tangan Indira yang melingkar hanya bisa menepuk punggungnya pelan."Aku nggak akan kemana-mana, maaf sudah buat kakak begini." Indira mengatakan dalam pelukan Fajar."Aku cuman takut kehilangan adik aja, walaupun aku tahu itu nggak mungkin. Aku percaya sama adik, tapi tidak dengan pria-pria itu." Fajar melepaskan pelukan dengan memegang kedua pipi Indira membuat mereka saling menatap satu sama lain."Lagian aku juga nggak kemana-mana, kakak harus melepaskan trauma itu dan percaya sama aku." Indira menepuk punggung tangan Fajar "Jangan samakan aku dengan Melda, kami berbeda. Lagian mau sampai kapan kakak begini? Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri tanpa bantuan kakak, aku juga terbuka sama
"Kapan kamu akan mengubah diri?" Nathali menggelengkan kepalanya "Aku sudah pernah bilang sebelum kamu memutuskan menikah sama Indira, ketakutan yang berlebihan dan siap dengan semua hal buruk yang akan kamu hadapi saat menikah nanti. Aku tahu kamu cinta sama Indira, berbeda dengan perasaanmu sama Melda. Sayangnya kamu memperlakukan Indira terlalu, padahal Indira nggak melakukan apa-apa dan bisa jaga diri..""Aku percaya sama Indira tapi tidak dengan pria-pria itu," potong Fajar yang memberikan alasannya.Nathali berdecih mendengar alasan yang dikatakan Fajar "Kata-katamu nggak salah, tapi secara nggak langsung kamu itu mengatakan nggak percaya sama Indira. Alasan yang sangat nggak masuk akal, cemburu yang berlebih dan banyak lagi. Kamu bersyukur Indira menerima keadaanmu tanpa protes, mengikuti keinginanmu dan menerima kamu yang masih dihantui masa lalu padahal kita sama Indira bedanya hampir lima tahun. Kamu kalah dewasa dengan Indira yang bisa mengendalikan emos
"Kakak kenapa? Aneh begini." Indira bergidik sambil menatap dalam pada Fajar yang hanya diam.Tatapan yang tidak lepas diberikan Indira setelah merasakan perubahan pada diri Fajar, pria yang berstatus sebagai suaminya secara tiba-tiba berubah sikap dan ingin rasanya bertanya tapi tidak tahu mulai darimana dan disamping itu mereka sama-sama sibuk. Sekarang adalah waktu yang tepat mereka berbicara, menghabiskan waktu di rumah pada hari libur dan tidak ada gangguan dari siapapun. "Kak, ada yang salah sama aku?" Fajar menatap sekilas lalu menggelengkan kepalanya "Terus? Tahu nggak kakak itu aneh deh beberapa hari ini, memang kenapa? Nggak mau bicara?""Hanya ingin berubah saja," jawab Fajar santai dengan tangannya membelai kepala Indira pelan "Aku memang harus mengubah sikap biar adik merasa nyaman, menyelesaikan diri memang harus aku lakukan sebagai kepala keluarga. Aku nggak ada masalah jika memang tidak memiliki anak, tapi akan menjadi masalah kalau diting
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi