Setelah kejadian mengerikan malam tadi, aku terus merenung, penawaran Pak Kusno, mimpi dan kenyataan yang saling berhubungan, bahkan nyaris sama dan sangat nyata."Makanannya kok cuman diaduk-aduk, Bang?" Aku tersentak mendengar teguran Ratna, cepat kuangkat wajah, tersenyum padanya."Nggak enak ya?" tanyanya lagi, aku menggeleng cepat."Enak kok! Siapa bilang nggak enak, nih abang makan," sahutku mulai menyuap kembali nasi dengan sayur sop yang entah kenapa terasa begitu hambar. Bukan, bukan karena masakan istriku yang tidak enak, tetapi kemelut jiwa ini yang membuatku mati rasa."Dek, abang lagi nggak nafsu makan sebenarnya," ucapku, sontak Ratna mendekat, dia meletakkan tangannya di keningku."Abang nggak sakit 'kan?" Dia terlihat cemas, aku menggeleng."Nggak kok, Sayang. Adek makan aja ya, abang ke teras dulu, ngerokok," ucapku yang akhirnya diamini Ratna, gegas aku bangkit dari kursi meja makan, melangkah keluar dengan secangkir kopi dan asbak rokok serta bungkusnya.Sebenarnya
Keesokan harinya, aku dan Ratna berangkat menyeberangi desa, tujuanku memenuhi janji bertemu Yanto, jarak kediaman kami yang tak begitu jauh cukup menggunakan motor sebagai transportasi.Satu jam dua puluh menit menempuh perjalanan, kami pun tiba di kafe yang sudah disepakati kemarin, aku dan Ratna duduk menunggu kedatangannya di salah satu meja deka sekat kaca transparan sebagai dinding pembatas tempat ini.Tak berselang lama, Yanto tampak sudah tiba bersama anak istrinya, aku melambaikan tangan begitu mereka di pintu masuk, pria seumuranku itu tersenyum lebar, kemudian menuju ke meja kami.Aku bangkit bersalaman dengan Yanto, kami berpelukan, begitu lah, kita berdua memang seakrab itu, lebih dari sekadar teman.Ratna juga terlihat akrab dengan Viona, istri Yanto yang kini sedang menggendong bayi mereka, usianya baru dua tahun, kata Yanto. Kami berlima duduk berhadapan, bercengkerama sejenak sebelum memesan makanan. Setelah beberapa saat kemudian, aku diajak Yanto duduk di meja lain
Pov Ratna.[Tunggu abang pulang ya, Sayang. Nggak lama lagi kok, paling satu bulan lagi, love you ....] Aku tak bisa menahan senyum senang membaca pesan dari Bang Angga, suamiku. Satu bulan sudah kami berpisah karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya kerja di luar kota.Tinggal jauh dari suami memang berat, apa lagi kami masih berdua, belum dikaruniai anak oleh Yang Maha Kuasa. Ingin rasanya aku ikut suami ke perantauan, tetapi rasanya tak memungkinkan.Bang Angga tinggal di rumah toke atau bos tempat dia kerja bersama teman sesama lelaki, pendapatan yang terkumpul lumayan banyak selama dia kerja, kami bahkan bisa membangun rumah di tahun ke tiga pernikahan.Tinggal di desa seorang diri, tanpa suami, sedikit membuat tak nyaman, tetapi demi perjuangan aku rela bertahan, toh ini untuk masa depan kami juga."Permisi!" Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersentak mendengar ketukan pintu, gegas aku bangkit membukakan, sesosok perempuan muda berdiri di depan pintu dengan senyum le
Setelah hari itu, aku tak lagi membawa Ratna ke rumah Pak Kusno, setelah kupikir masak-masak, tak ada perubahan signifikan selama aku membawanya ke sana, bahkan yang terkecil seperti menghilangkan gangguan iblis-iblis itu pun, tidak.Satu hari berselang, hatiku mantap membawa Ratna ke rumah Ustaz Amir, satu-satunya imam masjid yang tampak alim di desa kami. Namun, saat hendak berangkat, kehadiran Pak Kusno mengejutkan kami.Entah sejak kapan lelaki paruh baya itu datang, tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu rumahku, wajahnya tegang dengan sorot dingin yang menghujam."Mau ke mana kalian?" tanyanya, aku dan Ratna saling pandang."Ada keperluan sebentar, Pak," sahutku sopan, tetapi binar matanya tetap tersirat kemarahan."Saya tau keperluan apa yang sedang kalian bicarakan. Bagaimana dengan usulan saya? Kalian mau menyerah begitu saja?" Pak Kusno masih dengan tatapan yang sama. Aku mempersilakan pria itu duduk di kursi teras, tidak pantas rasanya bicara sambil berdiri."Jadi begini
Selamat membaca! *****Malam itu setelah dikejutkan dengan suara pekikan keras nan misterius, kami memutuskan tidur, karena besok akan menyusuri kota, mencari alamat yang diberikan oleh Ustaz Amir.Kembali berjuang untuk kesembuhan Ratna. Namun, sesuatu yang begitu mengejutkan terjadi menjelang subuh.Saat bangun Ratna mengeluh gatal pada kakinya, setelah shalat subuh pun dia tak lagi duduk di sajadah, memilih bangkit, melepas terburu mukenanya.Hingga pagi menjelang dia tidak bisa melakukan rutinitasnya, kedua tangan istriku itu sibuk menggaruk kedua kakinya."Kakimu kenapa sih, Dek?" tanyaku mendekat, Ratna tak menjawab dia malah menangis saking pegal tangannya menggaruk, tetapi rasa gatal itu sepertinya enggan hilang."Perih, Bang. Gatal sekali," keluhnya di sela tangis, aku yang dilanda khawatir langsung menghentikan aksi menggaruk dengan menahan kedua tangannya. Betapa terkejutnya saat mendapati kaki istriku dalam kondisi mengenaskan.punggung kakinya muncul bintik kemerahan, g
Pagi menjelang, matahari menyembul dari ufuk timur dengan cahaya kemerahan, menghangatkan seluruh pelosok desa. Aku dan Ratna baru saja selesai sarapan, istriku itu tengah sibuk membereskan piring di meja kami."Coba liat kakinya, Dek!" seruku, dia sedikit menyingkap gamis yang dikenakannya ke atas, netraku memindai punggung kakinya, syukurlah, sudah kembali seperti sedia kala, hanya meninggalkan sedikit bekas, dia pun tak lagi mengeluh sakit dan gatal.Setelah berberes, Ratna bersiap, pun aku. Berdua kami keluar dari rumah, tak lupa memastikan tak ada pakaian satu pun tertinggal di luar. Kami ingat betul dan tidak mau ambil risiko atas nasihat Ustaz Amir.Saat menunggu Ratna membukakan pagar, aku melihat Raya entah pulang dari mana, kedua tangannya diperban, aku sempat melihat walaupun langsung dia sembunyikan di belakang tubuhnya."Mau ke mana, Mas Angga, Mbak Ratna?" tanya dia dengan nada suara terkesan dimanis-maniskan."Mau ke kota," sahutku singkat."Loh! Ada keperluan apa ya, M
"Jahan*m! Dasar iblis bertopeng ulama! Kau penipu!"Semua orang termasuk aku terkejut mendengar teriakan murka putri Pak Agus, tatapan matanya nyalang, suaranya terdengar penuh amarah meski parau. Dia terus saja berteriak, berusaha mengatakan pada kami agar tak percaya dan pulang saja, dia terus mencaci dan mengumpat pria berserban yang baru saja mencekiknya."Bang ... bagaimana ini?" bisik Ratna lirih, aku menggeleng pelan, tak tahu juga harus berbuat apa, kita berdua orang baru yang tak tahu apa pun. Namun, dari gelagatnya, gadis itu tampak bersungguh-sungguh, binar kedua matanya memancarkan kejujuran.Ya Allah, aku harus bagaimana?"Jangan khawatir, Pak. Putri Anda akan segera sembuh, hanya saja pikiran dan hatinya kini sudah dibisiki iblis," ucap Ustaz Hafis dengan pandangan prihatin."Tidak, Ayah! Aku sungguh Lea putrimu! Dia pembohong! Mengaku saja kau, Durjana!" teriaknya lagi, Pak Agus tampak bingung harus percaya siapa."Sekarang Bapak bisa bawa putrinya pulang dulu, besok
Tok, tok, tok!Aku terkaget mendengar suara ketukan pintu, berjeda, dan diulang tiga kali, siapa yang bertamu magrib-magrib begini? Dengan langkah ragu aku berjalan pelan menuju pintu.Ketukan pintu terus terdengar, semakin dekat kian keras, ruang tengah yang kini kupijaki rasanya begitu sunyi dan mencekam, tanganku terulur hendak menyentuh hendel pintu.Namun keraguan melanda saat besi nan dingin itu menyentuh pergelangan tangan, hingga pintu pun urung aku buka."Assalaa ... mualaikum ...." Telingaku menegang dengan netra terbeliak, bulu kuduk tiba-tiba saja meremang, suhu ruangan berubah dingin seketika, suara salam. Siapa yang memberi salam serupa bisikan halus itu? Rasa penasaran siapa yang kiranya datang mendesak, kuberanikan diri mengintip dari lubang kunci, penglihatanku hanya menangkap kibaran kain hitam mengkilap diterpa desau angin senja, lalu tiba-tiba bau amis tercium begitu tajam merebak memenuhi indra penciuman.Aku bangkit lantas berbalik hendak kembali ke kamar, teta
Selamat membaca!*****Tempat baru, suasana baru, aku dan Ratna tiba di rumah yang sudah dicarikan Yanto, kompleks perumahan kalangan menengah.Cukup mewah bagi kami, di sini juga banyak tetangga yang ramah-ramah sejak kami datang, kali ini aku yakin istriku betah.Jarak tempuh dari rumah ini ke tempat kerja hanya lima belas menit saja, aku akan berangkat kerja pakai motor. Sedangkan Ratna sudah aku belikan motor second yang masih bagus, dia bisa jalan-jalan kalau bosan, atau membeli keperluan menggunakan motor itu.Mengenai Arini, warga desa sudah mencabut tuntutan pada gadis itu, dia berterima kasih pada kami, juga meminta maaf sebesarnya. Kita berdua memaafkannya, dan ini lah hasil dari pemaafan kami, aku dan Ratna dianugerahi ketenangan luar biasa.Pengalaman pahit yang dulu akan tetap teringat, kami hanya akan menengok ke belakang sesekali, untuk mengambil pelajaran, selain itu kami akan terus membangun hidup baru di sini.Semoga Allah meridhai dan menjauhkan dari segala mara b
Selamat membaca!*****"Sekarang katakan! Ke mana kamu mengajak kami?""Sa—saya ... tolong ikut saya, menemui Raya, di—dia sekarat."Kami begitu terkejut mendengar pernyataan perempuan itu. Setelah sekian lama menghilang ... Raya? Kenapa dia tiba-tiba saja membiarkan kami mengetahui keberadaannya?Perempuan itu bangkit berdiri, menatap kami dengan cucuran air mata."Kamu siapa?" tanya Ratna yang sejak tadi diam."Saya temannya," sahut dia sembari mengusap pelan air mata."Di mana Raya sekarang?" Ratna bertanya lagi."Di rumahku.""Baiklah, kami mau ikut, tapi tak akan lama," ucapku setelah mendapat persetujuan pak lurah dan Ratna, kami menunda perjalanan, akan naik bus untuk keberangkatan selanjutnya.———Bertiga kami mengikuti mobil perempuan itu, kami dibawa ke sebuah rumah yang cukup terpencil dan jauh dari keramaian, begitu tiba kami mendapati dua orang lelaki berbadan sangar berjaga di depan.Baru hendak mengurungkan niat, perempuan itu langsung menjelaskan bahwa dua lelaki itu a
Selamat membaca!*****"Aku tidak bisa menyimpulkannya, Mbak Ratna." Arini menunduk dalam, membuatku geram setengah mati."Katakan saja yang sebenarnya!" tuntutku tak sabar, rasanya darah sudah mendidih hingga ke ubun-ubun, Ratna menyentuh tanganku, dia menatapku seakan lewat sorot matanya dia meminta aku tetap tenang.Aku menghela napas berat, bangkit memijit tengkorak yang terasa mau pecah, aku sangat dendam dengan Raya dan siapa saja yang terlibat di dalam rencananya menjahati istriku, itu bertambah parah saat dia dengan tega mengkhianati maafku dan seluruh warga desa."Bicaralah, Arini, katakan yang sanggup kau katakan, Insha Allah kami siap mendengar dan menerimanya." Aku mendengar suara Ratna, lalu berbalik kembali duduk di samping istriku itu.Kemudian, Arini mulai menceritakan semuanya."Malam itu, keluargaku dilanda musibah, ibuku adalah seorang penderita kanker stadium lanjut, operasinya membutuhkan biaya besar, aku bingung dimana akan mendapatkan uang itu karena kami tergol
Selamat membaca!*****Satu bulan kemudian ...."Bang! Perlengkapannya sudah semua 'kan?" tanya Ratna padaku, aku mengangguk mengiyakan, lusa kami berencana pindah, rumah ini akan segera menemukan pemilik baru.Kami menjualnya untuk tambahan uang membeli rumah baru, tentu yang lebih dekat dengan tempat kerjaku. Namun sebelum pergi kami akan mengunjungi pak lurah, Ustaz Amir untuk minta izin.Sebagai manusia normal, keluarga kecil kami akan terus berjalan, aku butuh pekerjaan untuk menunjang hidup, jalan satu-satunya adalah pindah, tinggal bersama di tempat baru dan bertemu orang-orang baru, aku bisa menjaga Ratna sekaligus bekerja.Dan di sinilah kami, duduk berhadapan, berbincang dengan keluarga pak lurah, beliau tampak tak rela saat aku mengutarakan tujuan kedatangan kami."Apa tidak bisa tinggal di sini saja, Nak Angga? Kami bakalan kehilangan sekali, Nak Angga adalah salah satu perangkat desa yang paling dibutuhkan, lihat desa kita sekarang berkat saran-saran baik dari Nak Angga,"
Selamat membaca!*****Dua rumah korban yang terjamah serbuk dibawa langsung ke Ustaz Amir, pria sepuh itu dengan senang hati meracik obat seperti yang diberikan pada Ratna, aku dan istriku menolong membalurkan di kaki mereka.Setelahnya para korban disuruh pulang untuk istirahat, tak lupa Ustaz Amir mengimbau agar sandal mereka dibakar saja."Semakin banyak saja kejadian buruk di desa kita, Nak Angga, seolah tak ada habisnya," ucap Ustaz Amir geleng-geleng kepala, kami sedang berjalan menuju balai desa saat ini."Benar, Ustaz. Tapi aneh sekali, semua kejadian seperti berkaitan, dan serbuk itu, bukankah dulu Raya yang menaburnya di sandal Ratna? Saya jadi mencurigainya, Ustaz." Aku menimpali ucapannya."Kamu benar, tapi bagaimana pun kita tidak boleh asal menuduh, bagaimana pun kita sudah memberi Raya hukuman diusir dari desa, semoga ini bukan perbuatannya." Aku tak lagi menjawab, hanya anggukan sekilas membenarkan ucapan beliau, meski hati ini merasa begitu yakin memang dialah pelak
Selamat membaca!*****Akhirnya semua masalah terselesaikan, semua kembali aman dengan insafnya Raya, aku sangat bersyukur akan hal itu. Bagaimana pun Raya adalah seorang manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa, sudah tugas kami memaafkannya.Aku bisa tidur nyenyak malam ini, merengkuh istriku dalam pelukan, mulai sekarang kami berdua akan terus bersama, jika tak ada halangan apapun aku akan kembali bekerja minggu depan, Ratna juga akan kubawa serta.Untuk saat ini aku masih trauma meninggalkannya seorang diri tanpa pengawasan, lagi pula aku sudah menghubungi Yanto, memintanya mencarikan rumah sewa untuk kami tinggali, lebih nyaman dan aman.Malam merangkak kian larut, aku mencoba memejamkan kelopak indera penglihatan yang sudah terasa berat. Namun hanya beberapa saat aku hendak dibuai mimpi, kedua mata ini seperti dibuka paksa, melotot dengan tajamnya.Aku lirik Ratna yang masih pulas, lalu beralih pada jam dinding, baru pukul dua dini hari, kuputuskan kembali berbaring, menc
Selamat membaca!*****Aku melancarkan aksiku lewat guna-guna pada makanan, semangka hijau nan ranum, aku jampi-jampi dengan mantra yang sudah kupelajari pada Gayatri, hal serupa yang kulakukan saat menyantet istri bos di kota.Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku berhasil membuat Ratna menerima bahkan memakannya hingga habis. Dasar perempuan bodoh! Tidak tahu saja dia kalau sedang melangkah ke dalam lubang besar yang akan menyedot habis tubuhnya, hahaha.Begitulah pada hari-hari berikutnya aku terus melancarkan teror menakutkan pada mereka. Aku tertawa puas saat mendapati Angga membawa istrinya berobat pada Kusno, dukun tua bangka yang tak perlu diragukan lagi akal bulusnya dalam menipu demi keuntungan sendiri.Kuakui ilmu hitamnya terhitung kuat, tapi sayangnya pasangan bebal itu tak tahu tujuan Kusno, tidak ada dukun penganut ilmu sesat dan bersekutu dengan jin yang murni ingin menolong dengan menyembuhkan orang.Tua bangka itu ingin meraup uang dari mereka, kubiarkan saja sambil mem
Selamat membaca!*****Aku bekerja di kota sudah bertahun-tahun, hidup mandiri tanpa membebani orang tua, aku ingin menunjang kehidupan ibu, memberinya banyak uang dengan pekerjaan yang halal.Namun, seiring berjalannya waktu, baru aku sadar betapa kerasnya hidup di kota besar, pekerjaanku sebagai penjaga toko roti ternyata tak cukup, alih-alih menunjang hidup ibu, untuk kebutuhanku sendiri pun kadang tak terpenuhi.Hingga suatu hari, aku ditawari pekerjaan sebagai office girl di sebuah perusahaan, walau ijazahku hanya tamatan SMA, tapi temanku yang punya posisi tinggi di kantor itu mengatakan akan mengurusnya untukku.Aku sangat senang dan langsung menerimanya, tetapi lama-lama dia mulai menawarkan uang tambahan padaku, dengan syarat aku harus menuruti permintaannya.Di sanalah hidupku yang tadinya bebas mulai dibelit belenggu, aku dikenalkan dengan seorang wanita berpenampilan aneh, betapa takutnya aku saat pertama kali dibawa ke tempat terkutuk yang hingga kini kusesali."Kau mau u
Selamat membaca!*****"Diamlah, Raya! Jika kamu tidak bisa diajak bicara, kami terpaksa melaporkanmu pada pihak berwajib." "Tidak ada yang bisa menyentuhku!""Keparat kau wanita iblis!"Plak! Plak!Aku terbelalak kaget melihat Pak Wan tanpa ragu menampar wanita itu, bukan satu kali melainkan kedua sisi pipi kanan dan rahang kirinya sekaligus."Arrgh! Bajingan! Beraninya kau menyentuhku!" teriaknya tak terima kena pukul Pak Wan. "Diam! Atau aku akan melenyapkanmu!" seru pria kepala empat itu dengan amarah menggelegar. Pak Lurah coba menenangkannya, pun para warga yang lain juga turut mengalihkan beliau dari Raya yang terus menyahut.Aku tercengang melihat wanita itu, dia semakin menggila, karena kehabisan cara, kami mengancam akan memasungnya di balai itu hingga dia mau mengaku. Sayang sekali, dia tak gentar sedikit pun, hanya senyum sinis yang senantiasa tersungging di bibirnya.Tak mau menunggu lebih lama lagi, kami benar-benar melakukannya, dua orang warga mengambil pasung, lan