"Jahan*m! Dasar iblis bertopeng ulama! Kau penipu!"Semua orang termasuk aku terkejut mendengar teriakan murka putri Pak Agus, tatapan matanya nyalang, suaranya terdengar penuh amarah meski parau. Dia terus saja berteriak, berusaha mengatakan pada kami agar tak percaya dan pulang saja, dia terus mencaci dan mengumpat pria berserban yang baru saja mencekiknya."Bang ... bagaimana ini?" bisik Ratna lirih, aku menggeleng pelan, tak tahu juga harus berbuat apa, kita berdua orang baru yang tak tahu apa pun. Namun, dari gelagatnya, gadis itu tampak bersungguh-sungguh, binar kedua matanya memancarkan kejujuran.Ya Allah, aku harus bagaimana?"Jangan khawatir, Pak. Putri Anda akan segera sembuh, hanya saja pikiran dan hatinya kini sudah dibisiki iblis," ucap Ustaz Hafis dengan pandangan prihatin."Tidak, Ayah! Aku sungguh Lea putrimu! Dia pembohong! Mengaku saja kau, Durjana!" teriaknya lagi, Pak Agus tampak bingung harus percaya siapa."Sekarang Bapak bisa bawa putrinya pulang dulu, besok
Tok, tok, tok!Aku terkaget mendengar suara ketukan pintu, berjeda, dan diulang tiga kali, siapa yang bertamu magrib-magrib begini? Dengan langkah ragu aku berjalan pelan menuju pintu.Ketukan pintu terus terdengar, semakin dekat kian keras, ruang tengah yang kini kupijaki rasanya begitu sunyi dan mencekam, tanganku terulur hendak menyentuh hendel pintu.Namun keraguan melanda saat besi nan dingin itu menyentuh pergelangan tangan, hingga pintu pun urung aku buka."Assalaa ... mualaikum ...." Telingaku menegang dengan netra terbeliak, bulu kuduk tiba-tiba saja meremang, suhu ruangan berubah dingin seketika, suara salam. Siapa yang memberi salam serupa bisikan halus itu? Rasa penasaran siapa yang kiranya datang mendesak, kuberanikan diri mengintip dari lubang kunci, penglihatanku hanya menangkap kibaran kain hitam mengkilap diterpa desau angin senja, lalu tiba-tiba bau amis tercium begitu tajam merebak memenuhi indra penciuman.Aku bangkit lantas berbalik hendak kembali ke kamar, teta
Malam ini begitu dingin, rintik gerimis membasahi jendela kamar, sedang tiupan angin yang masuk dari ventilasi jendela menerbangkan tirai, mengirim kebekuan hingga ke tulang-tulang.Ratna beringsut memelukku begitu erat, tangan putihnya melingkar di pinggang, tiba-tiba aku merasakan gejolak gairah yang sudah lama padam membara dalam dada, sesuatu yang harusnya terkubur saat ini bangkit, mendesak ingin dilepaskan.Seiring gerimis yang tadinya mengirimkan hawa sejuk, kini tak lagi berlaku, napasku memburu, badanku memanas oleh gelora, aku lirik Ratna yang mulai setengah terpejam, dia hampir lelap.Pandanganku menatapnya penuh damba, bibir ranumnya yang setengah terbuka begitu menggoda dipandang mata. Hiper kah aku? Ini bulan kelima kami tidak saling bersentuhan dalam artian suami dan istri.Bukankah wajar jika aku menginginkannya? Apa lagi setiap malam kami tidur dalam posisi yang cukup intim, munafik jika aku tidak tergoda dengan istri sendiri. Namun, kemarin aku masih bisa mengontrol
"Bang!""Bang! Bangun!"Sayup aku mendengar suara familier menyapa rungu, perlahan aku mengerjap, pertama kali yang tampak di mataku adalah wajah cemas Ratna."Sudah sadar!" "Syukurlah, ayo bapak-bapak kita pulang!" Suara ramai nan riuh rendah menyusul setelahnya, membuatku mengedarkan pandangan, aku tau itu adalah warga desa, kenapa mereka di sini? "Terima kasih sudah menolong suami saya, Bapak-bapak sekalian," ucap Ratna, mereka mengangguk lantas beranjak keluar dari kamar kami, satu per satu punggung mereka menghilang dari pandangan.Aku beringsut bangun, duduk bersandar di kepala ranjang sembari terus mengingat-ingat, apa yang sudah terjadi sebelum ini.Blash!Bayangan ular hitam melata lewat di pelupuk mata, seketika aku meringis, tangan tergerak meraba pelipis yang berdenyut nyeri. Di sampingku, Ratna menyodorkan gelas minuman."Minum dulu, Bang!" serunya, aku mengambil gelas berisi air putih itu, menenggaknya hingga tandas separuh gelas."Terima kasih, Dek," ucapku menyeka m
Bang Angga ...." Aku menoleh ke belakang, seketika jantung berpacu dua kali lebih cepat, Ratna berdiri mematung, cangkir kopi di tangannya terlepas, lalu minuman itu tumpah seiring beradunya wadah dengan lantai keramik yang dipijaki istriku.Ya Tuhan.Dalam kegamangan yang belum pulih, Ratna memutar tubuhnya, setengah berlari dia memasuki rumah, sempat kulihat ia menyeka sudut matanya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. "Kau masih menggenggam tanganku bahkan setelah istrimu marah melihat kita," ucapnya dengan nada mengejek, aku menyentak kasar tangan perempuan licik itu, dia malah tersenyum sinis. "Awas kamu, Raya! Saya tidak akan tinggal diam atas semua yang sudah kamu sebabkan pada keluarga saya!" Hardikku seraya menudingnya penuh amarah, wanita berkelakuan bak iblis, itu tertawa penuh kemenangan. Sial! Aku berlari ke rumah, seperti kesetanan aku menerjang pintu, tujuanku adalah kamar utama, kamar kami berdua."Sayang! Ratna ... bukan pintunya!" seruku seraya mengetuk pin
Selamat membaca!*****Setelah cek-cok ringan hari itu, hubunganku dan Ratna kembali membaik, istriku itu tak segan minta maaf, pribadi yang sedari dulu aku suka darinya.Hari ini kami berencana menyambangi kediaman Ustaz Yusuf, anjuran Yanto. Namun kami harus menundanya karena salah satu warga desa sedang ditimpa musibah.Bu Siti yang tinggal di tempat paling ujung desa kami meninggal dunia subuh tadi, aku dan Ratna bersiap melayat ke rumahnya.Setiba di rumah penuh suasana duka tersebut, kami langsung masuk, Pak Ali selaku lurah dan kerabat Almarhumah menyambut kedatangan kami.Ratna berbaur bersama para ibu-ibu, ia turut mengambil Yasin dan membacanya di dekat si mayit, sedang aku dengan Pak Ali duduk lesehan di dekat pintu, wajahnya menyiratkan kesedihan, wajar, siapa pun akan merasa iba, mengingat almarhumah tinggal seorang diri tanpa sesiapa mengurusi.Bahkan, aku mendengar kabar, beliau ditemukan tak bernyawa subuh tadi, tetapi sudah tiada entah sejak kapan, kasihan sekali."As
Selamat membaca!*****Rhaam! Bulu kudukku merinding melihat Ratna. Hijab istriku sudah tertanggal, rambut panjangnya yang tergerai menyentuh pinggang, kini berantakan menutupi sebagian wajahnya. Bertambah dingin ujung-ujung jemariku saat tatapan kami bertemu, dia menatapku dengan seringai lebar, dari sela-sela rambutnya.Kakiku terpaku di tempat, Ratna melangkah santai menghampiriku, seringai itu masih tak lekang di bibirnya, "Suamiku sudah kembali rupanya?" tanya dia dengan suara berbeda."Apa yang kamu lakukan, Ratna? Pakai kembali hijabmu!" seruku penuh penekanan, di sekeliling kami para warga yang entah datang sejak kapan sudah berkerumun, menjadikan kita sebagai objek tontonan."Hahahah ... untuk apa aku menutupnya, bukankah rambut ini begitu indah, hem? Hahahaha ...." tawanya melengking dengan kedua tangan terus menyusuri rambut panjangnya."Ratna! Apa yang terjadi denganmu?" Dia terdiam, lantas melihatku dengan tatapan penuh amarah."Ratna, Ratna! Istrimu itu sudah mati! Dan
Selamat membaca!*****Dua hari berlalu, selama itu pula aku mencari tahu tentang ustaz usulan Yanto, punya koneksi dengan beberapa teman di sana, membuat urusanku lebih mudah tentunya.Menurut penuturan mereka, ustaz yang katanya bernama Yusuf itu memang kesehariannya menjalankan praktik rukiah, beliau sudah berumur lima puluh tahun, mempunyai sebuah pondok pesantren yang terbilang cukup dikenal di sana.Setelah sama-sama memantapkan hati bersama Ratna, akhirnya kita berdua memutuskan untuk menyambangi kediaman Ustaz Yusuf tersebut. Bermodalkan tekad dan nekat, hari ini kami berangkat ke sana.Dua jam menempuh perjalanan, akhirnya tiba di tempat tujuan, sebuah pondok pesantren dengan halaman yang begitu asri, seorang santriwan menyambut kedatangan kami, pemuda itu mengantar kami ke rumah yang ditinggali Ustaz Yusuf.Aku terkesima melihat rumah sederhana yang begitu teduh, tidak ada tembok, hanya dinding berbahan papan yang menjadi tabirnya, jendela dan pintunya pun terkesan kuno, tid
Selamat membaca!*****Tempat baru, suasana baru, aku dan Ratna tiba di rumah yang sudah dicarikan Yanto, kompleks perumahan kalangan menengah.Cukup mewah bagi kami, di sini juga banyak tetangga yang ramah-ramah sejak kami datang, kali ini aku yakin istriku betah.Jarak tempuh dari rumah ini ke tempat kerja hanya lima belas menit saja, aku akan berangkat kerja pakai motor. Sedangkan Ratna sudah aku belikan motor second yang masih bagus, dia bisa jalan-jalan kalau bosan, atau membeli keperluan menggunakan motor itu.Mengenai Arini, warga desa sudah mencabut tuntutan pada gadis itu, dia berterima kasih pada kami, juga meminta maaf sebesarnya. Kita berdua memaafkannya, dan ini lah hasil dari pemaafan kami, aku dan Ratna dianugerahi ketenangan luar biasa.Pengalaman pahit yang dulu akan tetap teringat, kami hanya akan menengok ke belakang sesekali, untuk mengambil pelajaran, selain itu kami akan terus membangun hidup baru di sini.Semoga Allah meridhai dan menjauhkan dari segala mara b
Selamat membaca!*****"Sekarang katakan! Ke mana kamu mengajak kami?""Sa—saya ... tolong ikut saya, menemui Raya, di—dia sekarat."Kami begitu terkejut mendengar pernyataan perempuan itu. Setelah sekian lama menghilang ... Raya? Kenapa dia tiba-tiba saja membiarkan kami mengetahui keberadaannya?Perempuan itu bangkit berdiri, menatap kami dengan cucuran air mata."Kamu siapa?" tanya Ratna yang sejak tadi diam."Saya temannya," sahut dia sembari mengusap pelan air mata."Di mana Raya sekarang?" Ratna bertanya lagi."Di rumahku.""Baiklah, kami mau ikut, tapi tak akan lama," ucapku setelah mendapat persetujuan pak lurah dan Ratna, kami menunda perjalanan, akan naik bus untuk keberangkatan selanjutnya.———Bertiga kami mengikuti mobil perempuan itu, kami dibawa ke sebuah rumah yang cukup terpencil dan jauh dari keramaian, begitu tiba kami mendapati dua orang lelaki berbadan sangar berjaga di depan.Baru hendak mengurungkan niat, perempuan itu langsung menjelaskan bahwa dua lelaki itu a
Selamat membaca!*****"Aku tidak bisa menyimpulkannya, Mbak Ratna." Arini menunduk dalam, membuatku geram setengah mati."Katakan saja yang sebenarnya!" tuntutku tak sabar, rasanya darah sudah mendidih hingga ke ubun-ubun, Ratna menyentuh tanganku, dia menatapku seakan lewat sorot matanya dia meminta aku tetap tenang.Aku menghela napas berat, bangkit memijit tengkorak yang terasa mau pecah, aku sangat dendam dengan Raya dan siapa saja yang terlibat di dalam rencananya menjahati istriku, itu bertambah parah saat dia dengan tega mengkhianati maafku dan seluruh warga desa."Bicaralah, Arini, katakan yang sanggup kau katakan, Insha Allah kami siap mendengar dan menerimanya." Aku mendengar suara Ratna, lalu berbalik kembali duduk di samping istriku itu.Kemudian, Arini mulai menceritakan semuanya."Malam itu, keluargaku dilanda musibah, ibuku adalah seorang penderita kanker stadium lanjut, operasinya membutuhkan biaya besar, aku bingung dimana akan mendapatkan uang itu karena kami tergol
Selamat membaca!*****Satu bulan kemudian ...."Bang! Perlengkapannya sudah semua 'kan?" tanya Ratna padaku, aku mengangguk mengiyakan, lusa kami berencana pindah, rumah ini akan segera menemukan pemilik baru.Kami menjualnya untuk tambahan uang membeli rumah baru, tentu yang lebih dekat dengan tempat kerjaku. Namun sebelum pergi kami akan mengunjungi pak lurah, Ustaz Amir untuk minta izin.Sebagai manusia normal, keluarga kecil kami akan terus berjalan, aku butuh pekerjaan untuk menunjang hidup, jalan satu-satunya adalah pindah, tinggal bersama di tempat baru dan bertemu orang-orang baru, aku bisa menjaga Ratna sekaligus bekerja.Dan di sinilah kami, duduk berhadapan, berbincang dengan keluarga pak lurah, beliau tampak tak rela saat aku mengutarakan tujuan kedatangan kami."Apa tidak bisa tinggal di sini saja, Nak Angga? Kami bakalan kehilangan sekali, Nak Angga adalah salah satu perangkat desa yang paling dibutuhkan, lihat desa kita sekarang berkat saran-saran baik dari Nak Angga,"
Selamat membaca!*****Dua rumah korban yang terjamah serbuk dibawa langsung ke Ustaz Amir, pria sepuh itu dengan senang hati meracik obat seperti yang diberikan pada Ratna, aku dan istriku menolong membalurkan di kaki mereka.Setelahnya para korban disuruh pulang untuk istirahat, tak lupa Ustaz Amir mengimbau agar sandal mereka dibakar saja."Semakin banyak saja kejadian buruk di desa kita, Nak Angga, seolah tak ada habisnya," ucap Ustaz Amir geleng-geleng kepala, kami sedang berjalan menuju balai desa saat ini."Benar, Ustaz. Tapi aneh sekali, semua kejadian seperti berkaitan, dan serbuk itu, bukankah dulu Raya yang menaburnya di sandal Ratna? Saya jadi mencurigainya, Ustaz." Aku menimpali ucapannya."Kamu benar, tapi bagaimana pun kita tidak boleh asal menuduh, bagaimana pun kita sudah memberi Raya hukuman diusir dari desa, semoga ini bukan perbuatannya." Aku tak lagi menjawab, hanya anggukan sekilas membenarkan ucapan beliau, meski hati ini merasa begitu yakin memang dialah pelak
Selamat membaca!*****Akhirnya semua masalah terselesaikan, semua kembali aman dengan insafnya Raya, aku sangat bersyukur akan hal itu. Bagaimana pun Raya adalah seorang manusia yang tak luput dari kesalahan dan dosa, sudah tugas kami memaafkannya.Aku bisa tidur nyenyak malam ini, merengkuh istriku dalam pelukan, mulai sekarang kami berdua akan terus bersama, jika tak ada halangan apapun aku akan kembali bekerja minggu depan, Ratna juga akan kubawa serta.Untuk saat ini aku masih trauma meninggalkannya seorang diri tanpa pengawasan, lagi pula aku sudah menghubungi Yanto, memintanya mencarikan rumah sewa untuk kami tinggali, lebih nyaman dan aman.Malam merangkak kian larut, aku mencoba memejamkan kelopak indera penglihatan yang sudah terasa berat. Namun hanya beberapa saat aku hendak dibuai mimpi, kedua mata ini seperti dibuka paksa, melotot dengan tajamnya.Aku lirik Ratna yang masih pulas, lalu beralih pada jam dinding, baru pukul dua dini hari, kuputuskan kembali berbaring, menc
Selamat membaca!*****Aku melancarkan aksiku lewat guna-guna pada makanan, semangka hijau nan ranum, aku jampi-jampi dengan mantra yang sudah kupelajari pada Gayatri, hal serupa yang kulakukan saat menyantet istri bos di kota.Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku berhasil membuat Ratna menerima bahkan memakannya hingga habis. Dasar perempuan bodoh! Tidak tahu saja dia kalau sedang melangkah ke dalam lubang besar yang akan menyedot habis tubuhnya, hahaha.Begitulah pada hari-hari berikutnya aku terus melancarkan teror menakutkan pada mereka. Aku tertawa puas saat mendapati Angga membawa istrinya berobat pada Kusno, dukun tua bangka yang tak perlu diragukan lagi akal bulusnya dalam menipu demi keuntungan sendiri.Kuakui ilmu hitamnya terhitung kuat, tapi sayangnya pasangan bebal itu tak tahu tujuan Kusno, tidak ada dukun penganut ilmu sesat dan bersekutu dengan jin yang murni ingin menolong dengan menyembuhkan orang.Tua bangka itu ingin meraup uang dari mereka, kubiarkan saja sambil mem
Selamat membaca!*****Aku bekerja di kota sudah bertahun-tahun, hidup mandiri tanpa membebani orang tua, aku ingin menunjang kehidupan ibu, memberinya banyak uang dengan pekerjaan yang halal.Namun, seiring berjalannya waktu, baru aku sadar betapa kerasnya hidup di kota besar, pekerjaanku sebagai penjaga toko roti ternyata tak cukup, alih-alih menunjang hidup ibu, untuk kebutuhanku sendiri pun kadang tak terpenuhi.Hingga suatu hari, aku ditawari pekerjaan sebagai office girl di sebuah perusahaan, walau ijazahku hanya tamatan SMA, tapi temanku yang punya posisi tinggi di kantor itu mengatakan akan mengurusnya untukku.Aku sangat senang dan langsung menerimanya, tetapi lama-lama dia mulai menawarkan uang tambahan padaku, dengan syarat aku harus menuruti permintaannya.Di sanalah hidupku yang tadinya bebas mulai dibelit belenggu, aku dikenalkan dengan seorang wanita berpenampilan aneh, betapa takutnya aku saat pertama kali dibawa ke tempat terkutuk yang hingga kini kusesali."Kau mau u
Selamat membaca!*****"Diamlah, Raya! Jika kamu tidak bisa diajak bicara, kami terpaksa melaporkanmu pada pihak berwajib." "Tidak ada yang bisa menyentuhku!""Keparat kau wanita iblis!"Plak! Plak!Aku terbelalak kaget melihat Pak Wan tanpa ragu menampar wanita itu, bukan satu kali melainkan kedua sisi pipi kanan dan rahang kirinya sekaligus."Arrgh! Bajingan! Beraninya kau menyentuhku!" teriaknya tak terima kena pukul Pak Wan. "Diam! Atau aku akan melenyapkanmu!" seru pria kepala empat itu dengan amarah menggelegar. Pak Lurah coba menenangkannya, pun para warga yang lain juga turut mengalihkan beliau dari Raya yang terus menyahut.Aku tercengang melihat wanita itu, dia semakin menggila, karena kehabisan cara, kami mengancam akan memasungnya di balai itu hingga dia mau mengaku. Sayang sekali, dia tak gentar sedikit pun, hanya senyum sinis yang senantiasa tersungging di bibirnya.Tak mau menunggu lebih lama lagi, kami benar-benar melakukannya, dua orang warga mengambil pasung, lan