"seriusan kamu Lus?" Tanya Mas Bowo dengan mata berbinar.Aku pun langsung mengangguk kan kepala dengan mantap. Karena memang kenyataan nya seperti itu. mas Dendi sendiri yang bilang padaku jika dia mau memberikan apapun yang ku mau, asal kami tidak bercerai."Tapi kalau kamu menderita, mending gak usah Lus!" Ucap Mas Bowo lagi.Kini mimik wajahnya berubah menjadi khawatir. Meskipun ku tau Mas ku ini salah satu lelaki berengs*k, tapi dia tak pernah membiarkan aku terluka. Mas Bowo benar-benar begitu menjaga ku."Tenang Mas, aku gak papa kok." Jawab ku sambil mengulas senyumWalaupun bibirku berkata tak papa, tetap saja hatiku sebagai wanita terluka. Tapi aku berusaha untuk menguburnya dalam-dalam."Jadi gimana ini Lus?" Tanya Ibu setelah beberapa saat kita terdiam"Ya itu tadi Bu...""Itu tadi gimana sih? Ibu sudah tua. Gak paham sama kode-kodean gitu." Terangnya.Sedangkan aku hanya mendengkus."Ya aku akan memafkan Mas Dendi, dengan meminta dibelikan mobil.""Mobil yang bagus sekali
"Nih Mas bukti transfer uangnya!" Ucap Lusi mendatangi ku saat dia sudah pulang dari keluar rumah sambil memberikan sebuah kertas kecil.Aku yang mendengar ucapan nya langsung tersenyum sumringah dan melihat bukti tfansferan itu.Ceklek!!!"Lus!!" Aku membuka pintu kamar Lusi saat dia akan mengganti pakaian."Astaga Mas, ketok pintu dulu dong. Untung aja aku belum ganti baju." Semprot Lusi yang langsung menutup kembali bajunya.Aku pun hanya bisa menyunggingkan senyum. Karena memang ku akui aku yang salah."Iya iya maaf Lus, Mas tadi terlalu bahagia. Jadinya Mas gak kepikiran buat ngetuk pintu." Jawabku "Hmmm, yaudah ada apa Mas?"Lusi pun duduk diatas ranjangnya, dan aku ikut duduk disebelahnya."Lus, kamu beri pinjaman Mas tanpa bunga kan?" Tanya mengharap"Menurut Mas?" Jawabnya sambil menyipitkan mata."Ya enggak dong, kan sama kakak sendiri.""Enak saja, gak ada yang gratis dong Mas!" Ucapnya membuat ku sedikit terkejut.Aaah ternyata Lusi juga terlalu, masa' sama saudara sendi
Sejak pagi, aku sudah bersiap untuk pergi kerumah mantan mertua ku itu. Sejujurnya, aku merasa mereka tak ada bedanya juga dengan Denisa.Tapi mau bagaimana lagi, rasa terpaksa inilah yang membuat ku akhirnya membuat ku nekat untuk menemui mereka.Pukul enam pagi, aku mulai memacu sepeda motorku menuju rumah orang tua Denisa. Aku memang sengaja tak membawa uang, karena uang itu juga nasih tersimpan rapi direkeningku yang nanti bisa ku transfer saat aku berada disana.Karena tak mungkin juga aku membawa uang sebanyak itu saat perjalanan jauh.Triiing!!!Sebuah notifikasi pesan, masuk kedalam hp ku. Dan tertera dilayar jika Denisa lah yang mengirimkan pesan itu.Buru-buru aku membuka pesan darinya, karena takut ada hal penting yang dia sampaikan.[Sudah berangkat kah Mas!][Ini mau berangkat.] Jawab ku singkat[Oke, hati-hati dijalan nya ya Mas.] BalasnyaAku mendecih saat membaca pesan balasan dari Denisa yang nampak begitu peduli. Mungkin dia takut jika aku tak sampai disana, dan suda
Sebelum kembali pulang, aku sengaja berniat untuk berkunjung kesalah satu wisata yang ada diderah sini.Anggap saja sebagai penyegar diri setelah lelah dengan semua kejadian yang menimpa diriku.Akhirnya aku pun sampai juga disebuah waduk yang terkenal didaerah sini. Ku tepikan sepeda ku disalah satu warung yang ada dipinggiran waduk.Kembali ku pesan sebuah kopi sachet pada pemilik warung, sembari mengepulkan asap rokok tinggi-tinggi. Tak lupa ku comot gorengan yang masih hangat untuk mengisi perut yang memang kembali lapar."Ini kopinya Mas!" Ucap Abang penjual kopi"Iya makasih." Jawab ku sambil kembali menikmati gorengan dan melahapnya dengan cabaiKu tatap lurus kearah waduk, disana banyak sekali keluarga yang sedang bersantai menikmati liburan sebelum esok kembali bekerja."Aaah andai saja aku bisa menjadi lelaki setia, mungkin aku masih bisa sebahagia mereka." Gumam ku dalam hati saat diam-diam diri ini memperhatikan sebuah keluarga lecil yang sedang tertawa bahagia diseberang
"Ayah berangkat kerja dulu ya Nak. Jangan nakal nanti kalau ditungguin sama Uti sama Tante Lusi, ya?" Pamit ku pada Narendra sebelum berangkat kerja."Iya Ayah..." Jawab nya polos.Ku kecup kening dan kedua pipi gembil anak ku. Tak lupa, aku memberikan uang saku padanya. Karena Narendra juga sudah besar, dan mengerti jajan."Ini nanti uang nya berikan sama Uti ya Le. Ayah berangkat dulu. Assalamualaikum..." Aku pun akhirnya berangkat kerja, tak lupa ku salami tangan Ibu, dan Narendra juga menyalami tangan ku."Waalaikumsalam... Hati-hati Wo!" Balas Ibu"Iya Bu...!"Sepeda motor pun sudah siap didepan rumah, dan sudah sejak tadi pagi ku panasi. Kini ku nyalakan kembali mesin sepeda dan menjalankan nya menuju tempat ku bekerja.Hari ini adalah hari pertama kerja, jadi maklum lah jika rasanya masih enggan untuk berkutat kembali dengan rutinitas yang begitu-begitu saja tiap harinya."Kusut amat tuh muka, Bro!" Sapa Bram yang kini duduk disebelahku"Eh iya ding, kamu kan uda jadi Duda lag
Dengan senang hati, Ibu pun membuka bungkus yang menutupi benda didalam nya. Aku yang penasaran, ikut menyaksikan juga. Duduk santai disebelah Ibu dan LusiKrak...krak.. krak...Bungkus pun terbuka, dan memperlihatkan isi yang ternyata hanya kompor. Dan itu membuat ku ternganga. Ku kira isinya sesuatu yang berarti. Ternyata, hanya sebuah kompor yang kebetulan Ibu beli dari pasar.Melihat ekspresiku, Ibu dan Lusi pun terbahak sangat kencang."Sialan aku dikerjain." Batinku."Kamu pikir ini apa Wo? Hahahah" tanya Ibu sambil memegangi perut nya yang mungkin kram."Hmm, kirain tadi makanan atau barang berharga. Eeh ternyata cuman ginian doang." Cebik ku sebal."Hee, jangan salah Wo. Gini-gini juga berharga tau gak. Kalau gak ada kompor, Ibu mana bisa masak. Terus kamu mau makan apa juga? Dasar...." Cebik Ibu ganti."Hmm, iya iya, terserah Ibu dah..." Jawab ku malas sambil terus berjalan keruang tengah. Kembali menemui Narendra dan Anita yang masih bersantai disana."Kenapa Yah, wajah ya k
Sudah hampir sebulan ini, mobil yang dijanjikan Mas Dendi belum juga datang. Padahal aku yang menunggunya sudah harap-harap cemas.Apalagi semenjak Mas Dendi memilikiwanita itu, dia jarang sekali menghubungi ku. Apa mungkin Mas Dendi berbohong?Tapi kalau dia berbohong, kenapa uang bulanan yang dia janjikan dulu tetap dia transfer ke rekening ku?Aah, dari pada pusing sendiri, akhirnya akupun berniat menanyakan langsung pada Mas Dendi. Ku cari nomer hp nya dikontak, dan mencoba menghubunginya.Drrrt... Drrrt... Drrrt...Ternyata panggilan ku tersambung. Ini artinya Mas Dendi mendapatkan sinyal. Tapi hingga tiga kali aku mecoba menghubunginya, tetap saja tak diangkat."Napa Lus?" Tanya Ibu yang kini duudk disamping ku."Ini nih Mas Dendi, katanya mau belikan mobil baru. Tapi sampek sekarang gak dikirim-kirim." Ucapku emosi"Halah Lus, Lus. Palingan juga si Dendi itu omdo. Kayak gak tau lakik aja kalau uda punya bini baru, pasti bini lama dianggurin." Cebik Ibu"Tapi uang bulanan ku uda
Hari ini pekerjaan kantor benar-benar lumayan banyak. Apalagi banyak barang masuk, yang otomatis banyak data pula yang harus ku input.Untung nya laporan ini gak harus selesai hari ini juga. Jadi aku masih bisa sedikit bersantai tentunya.Kulihat Bram dan teman-teman juga pada sibuk dengan pekerjaan mereka. Hingga waktu istirahat, seperti biasa aku dan Bram makan siang di kantin sambil ngobrol. "Bro, gak minat cari istri baru nih?" Tanya nya "Gak kepikiran Bram. Masih trauma!" Jawab ku sambil menggelengkan kepala."Hahaha Anjriit, lemah amat lu Bro!"Sialan, dia bilang aku lemah? Dia gak tau aja sih sakitnya diselingkuhi, apalagi selingkuhnya sampek bikin bunting. Sakit tau gak, sakiiit...."Kamu bisa ngomong gitu mah soalnya belum ngerasain aja. Coba deh, nanti kalau uda ngerasain, nyaho deh...!" Cebik ku ganti membuat raut muka Bram berubah."Yaelah, gitu amat doain temen yang jelek-jelek." Ucap Bram yang sama sekali tak ku gubris.Waktu istirahat yang hanya sejam pun habis, aku k
Setelah semua kejadian yang menimpa Lusi, awalnya dia begitu terpukul dan hampir depresi. Karena dia memang bakal tak bisa mempunyai anak untuk selamanya.Berkat kesabaran Ibunya, dan juga Bowo yang selalu memberi dukungan, perlahan Lusi mampu menerima takdirnya.Begitupula Dendi yang juga perhatian pada nya pasca kehilangan buah hati mereka. Tapi semenjak kehadiran Romi, mantan pacar Lusi dulu, hidupnya berubah. Terutama hubungan nya dengan Dendi.Rama, lelaki yang dulu mencintai Lusi sepenuh hati. Tapi karena dulu dia belum memiliki pekerjaan yang mapan, dia pun memilih untuk mundur. Apalagi waktu itu dia melihat Lusi yang juga sudah dekat dengan Dendi yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan besar.Hingga akhirnya, dia pun memilih untuk merantau. Bekerja jadi kontraktor disebuah tambang."Lus...!" Sapa Rama saat mereka bertemu membeli martabak disebuah sentra PKL bersama Narendra."Rama....!" Balas Lusi yang juga tak kalah bahagia dan mereka pun bersalaman."Anak kam
Hallo Mas!" Sapanya begitu lembut saat mengangkat telepon ku."Lagi apa Ras?""Nih, lagi santai sama calon anak kamu. Oh iya, uda makan belum?" Tanya nya.Aaah, Laras benar-benar perhatian sekali. Bahkan Lusi pun jarang menanyakan hal sekecil ini tapi mampu membuat ku merasa dipedulikan. Tak seperti Lusi yang hanya lebih sering menanyakan uang dan uang.Untung saja aku cinta. Kalau tidak, mungkin aku sduah meninggalkan nya."Sudah kok. Kamu juga sudah makan apa belum? Jangan sampai telat makan ya?" "Iya Enggak Mas." Jawab nya seraya tersenyum."Oh iya Ras, mobil yang kujanjikan pada Lusi sudah datang hari ini. Ku rasa dia begitu bahagia!" Ucapku.Tapi Laras tak menanggapi ucapan ku."Halo Ras kamu masih disana?" Tanya ku.Karena memang seketika suasana jadi hening. Hanya terdengar suara helaan napas yang berat keluar dari mulutnya."Iya masih Mas. Tapi aku ngantuk mau tidur dulu. Capek!" Jawab nya seketika cuek."Oh yasudah kalau gitu, kamu istirahat dulu gih. Met tidur ya sayang dan
Aku dulu memang sangat mencintai Lusi. Apapun yang dia inginkan, sebisa mungkin bakal aku turutin.Tak ada kata penolakan yang bakal keluar dari mulutku ini, semua ucapannya pasti ku iyakan. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku. Aku ingin keturunan. Sudah hampir lima tahunan aku dan Lusi menjalin rumah tangga, tapi kami belum juga dikarunia i seorang anak.Lantas aku harus bagaimana? Apakah aku harus menunggu terus dengan sabar? Tapi sampai kapan? Aku juga tak tau kapan umurku akan berakhir. Tapi setidaknya sebelum umur ku usai, aku sudah memiliki seorang penerus.Semakin hari aku semakin bimbang. Ingin rasanya menyudahi hubungan ku dengan nya, tapi aku masih terlalu cinta."Ini pesanan nya ya Pak!" Ucap seorang pelayan restoran saat kapalku sedang bersandar dan kami makan malam disuatu kota.Aku melihat gadis ini begitu manis, dengan postur tubuh yang aduhai menggoda iman. Ku lirik name tag nya, dan kulihat nama yang tertera disana "Laras".Aku pun tersenyum manis padanya, dan di
Drrrt... Drrrt... Drrrt...Aku jadi terbangun kala hp ku berdering karena sebuah panggilan masuk. Setelah ketahuan hamil, Ibu menyuruhku untuk lebih banyak istirahat. Karena kata Ibu, kehamilan ku ini sedikit rewel. Apalagi ini masih trimester pertama yang pastinya masih teler-telernya. Kuraih hp yang tergeletak tak jauh dari tempat ku berbaring, kemudian melihatnya. Ternyata Mas Dendi lah yang sedang menelponku.Dengan semangat 45, aku pun langsung mengangkat panggilan darinya. Dan sudah pasti, senyum ku pun memgembang."Hallo, iya Mas!" Ucapku "Lus, kamu beneran kan? Kamu gak bohong kan?" Pertanyaa Mas Dendi langsung memberondong ku."Iya Mas, masa' iya aku bohong sih sama kamu Mas?" "Alhamdulillah... Ya Allah Lus, kamu tau aku begitu bahagia. Hiks!" Dari nada suaranya, Mas Dendi begitu terharu."Mas nangis?" "Mas cuman bahagia Lus, Mas gak nyangka akhirnya kamu hamil juga. Tapi....!" Ucapanya terhenti.Tapi aku paham maksut dari ucapan Mas Dendi ini. Tapi dia juga sudah mengham
Karena perjanjian ku dengan Mas Dendi inilah, sekarang aku bisa hidup lebih bahagia. Apalagi dengan harta yang lebih bergemilang. Walau aku harus berbagi suami dengan wanita sialan itu.Tiga hari lagi Mas Dendi juga akan pulang. Dan dia berniat ingin bersama ku nantinya. Jujur saja, aku sudah kehilangan hasrat bersama Mas Dendi. Tapi, mau tak mau aku harus tetap melayani nya.Toh aku juga dapat imbalan yang setimpal. Apapun yang aku ingin kan, Mas Dendi selalu menuruti apapin yang aku ingin kan.Yang terpenting saat ini, aku harus bersiap dan merias diri secantik mungkin. Agar nanti saat Mas Dendi datang, dia terkesima dengan penampilan ku.Tok tok tok!!!"Lus...?" Sapa Mas Bowo didepan kamar ku"Hmm, ada apa Mas? Masuk aja, gak ku kunci kok." UcapkuMas Bowo pun masuk, dan mengeluarkan uamg lembaran merah sebanyak lima biji."Nih...!" Ucapnya sambil meneyerah kan pada ku."Ooh, uda gajian toh. Oke, aku terima." Ku ambil uang ity dari tangan Mas Bowo. Dan memasukkanya kedalam kantong
Menempuh waktu hampir dua jam lebih, bagiku terasa sangat begitu lama. Tapi aku bersikap biasa saja dihadapan Mas Fero. Aku takut, jika dia melihat ku khawatir, dia bakal ngebut, dan justru malah membahayakan kita sendiri.Padahal dalam hati ini, sudah tak karuan lagi. Campur aduk rasanya, apalagi memang kondisi Bapak yang sudah terlalu lemah beberapa hari ini.Tapi memang saat ini Mas Fero berkendara lebih cepat dari pada saat kami berangkat ke kosan Anita. Untung nya juga, jalanan tak seberapa padat, mungkin karena masih siang juga, dan tak bertepatan dengan jam pulang kerja.Tujuan kita saat ini pun langsung ke rumah sakit Medika. Aku melirik Anita dari kaca spion dalam mobil, terlihat tak tenang juga. Terlihat juga Anita tak lepas dari doa, sama seperti ku saat ini.Sesampainya dirumah sakit, Mas Fero langsung memarkirikan mobilnya, setelah itu, kami langsung berjalan. Menuju ruang ICU, dimana Emak sudah menunggu disana."Mak...!" Sapa ku saat melihat wanita paruh baya itu duduk s
Sudah dua hari ini, aku dan Mas Fero tinggal dirumah ku. Karena memang beberapa hari ini aku sibuk mengolah semua usaha ku. Maklum, biasanya Emak yang membantuku ditoko, kini lebih banyak dirumah.Sebab, akhir-akhir ini kesehatan Bapak juga sedang terganggu. Dan sudah tiga hari ini pula beliau terlihat lemas. Jadi dari pada aku harus bolak balik toko kerumah Mas Fero yang jaraknya lumayan jauh, aku pun memutuskan untuk memgajak Mas Fero gantian tinggal disini beberapa hari. Apalagi hari ini kita juga ada agenda mengantarkan Anita ke kosan nya.Dan juga, aku sibuk membantu putriku yang akan segera pindahan, karena sebenyar lagi dia akan masuk kuliah. Ternyata waktu berputar begitu cepat, hingga tanpa terasa kini Anita sudah akan menjadi seorang mahasiswi."Nduk, sarapan dulu!" Ajak Emak saat aku menuju dapur."Enggeh Mak! Oh iya, nanti Emak ke toko lagi kah?" "Kayaknya sih enggak, lah Bapak mu kondisinya juga kayak gitu. Emak kok jadi takut ya Nduk!" Ucap Emak sedikit tertahan"Takut
"Sudah hampir sebulan ini aku menjadi istri Mas Fero, kalau ditanya bagaimana rasanya? Sudah tentu aku bakal berkata begitu bahagia.Bukan tanpa sebab, karena memang sifat Mas Fero yang begitu perhatian dan peduli padaku, membuat ku menjadi begitu nyaman.Apalagi Mama juga begitu baik terhadapku. Karena memang setelah menikah, aku diboyong oleh Mas Fero ke kediamanya. Ya, walaupun tak jarang juga aku masih sering pulang kerumah untuk menengok Emak dan Bapak.Karena memang Anita juga kadang ikut tinggal dirumah Papa barunya ini. Mas Fero mengajak ku tinggal dirumah nya juga bukan tanpa alasan, sebab anak-anak kandung Mas Fero yang kini juga sudah menjadi anak ku masih kecil-kecil, sedangkan Anita sudah besar.Dan sebentar lagi dia akan masuk kuliah, bahkan akan tinggal jauh dari kami. Karena dia kuliah diluar kota, terpaksa dia harus ngekos disana. Itu pula lah yang membuat ku mau untuk tinggal disini, karena anak-anak Mas Fero lebih membutuhkan sosok Ibu."Sayang, nanti nge mall yuk..
Hari ini pekerjaan kantor benar-benar lumayan banyak. Apalagi banyak barang masuk, yang otomatis banyak data pula yang harus ku input.Untung nya laporan ini gak harus selesai hari ini juga. Jadi aku masih bisa sedikit bersantai tentunya.Kulihat Bram dan teman-teman juga pada sibuk dengan pekerjaan mereka. Hingga waktu istirahat, seperti biasa aku dan Bram makan siang di kantin sambil ngobrol. "Bro, gak minat cari istri baru nih?" Tanya nya "Gak kepikiran Bram. Masih trauma!" Jawab ku sambil menggelengkan kepala."Hahaha Anjriit, lemah amat lu Bro!"Sialan, dia bilang aku lemah? Dia gak tau aja sih sakitnya diselingkuhi, apalagi selingkuhnya sampek bikin bunting. Sakit tau gak, sakiiit...."Kamu bisa ngomong gitu mah soalnya belum ngerasain aja. Coba deh, nanti kalau uda ngerasain, nyaho deh...!" Cebik ku ganti membuat raut muka Bram berubah."Yaelah, gitu amat doain temen yang jelek-jelek." Ucap Bram yang sama sekali tak ku gubris.Waktu istirahat yang hanya sejam pun habis, aku k