Kedua netramu tertuju padanya, membuka kata seraya mengangkat secangkir kopi di atas meja, “Jika berkenan, bolehkah saya tahu siapa yang sedang Nona tunggu?”
“Aku sedang tidak menunggu siapa pun,” jawabnya lirih membuatmu tergelak karenanya, “kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu dari kata-kataku?”
“Tidak, aku hanya terkejut saja. Bagaimana mungkin wanita secantik Nona tidak memiliki pasangan.” Kata-katamu membuatnya terdiam, di saat yang bersamaan wajahnya kian memerah seraya menatapmu tajam dengan salah satu tangan terkepal. Wajahnya langsung mendekatimu, sedangkan tangan kiri langsung mencubit tanganmu.
“Au, sakit! Kenapa Nona mencubitku?” tanyamu merengek seraya mengelus-elus tangan.
“Hmm ... entah? Tanganku bergerak sendiri.” Wajah polos nan lugu membuatmu terdiam dan terpaku. Senyum lirih terukir di wajahnya, dan dengan lembutnya ia berkata, “Makanya, lain kali jangan asal bicara lagi. Sakit kan.”
Kini tiada lagi kata terucap, hanya tatapan kosong dengan alis sedikit menurun saja yang kamu perlihatkan. Suasana di antara kalian yang sebelumnya hanya dihiasi kesunyian, kini merekah menjadi lebih berwarna. Tema kehidupan lebih terasa, walau hanya sementara.
Perlahan tubuhmu mulai berdiri, ke luar dari kursi. Dia bertanya, “Mau ke mana?”
Kamu hanya tersenyum seraya berkata, “Pulang, mungkin?”
“Mungkin?” Matanya kian berpinar dengan wajah sedikit memucat, seolah enggan ditinggal olehmu. Kamu mendekatinya, dengan senyum lembut menjentik keningnya. Dia hanya menatapmu dengan heran, yang saat ini tengah menuju pintu keluar.
Kamu pun sebaliknya, tetap tersenyum hingga akhirnya mengalihkan pandangan. Baru saja melangkah ke luar dari kedai, kamu berpapasan dengan seseorang yang dikenal. Ia menyapa, sedangkan kamu hanya tertawa dan acuh tak acuh kepadanya. Lelaki itu menggenggam tanganmu, membuat langkah kaki terhenti. “Apa yang kau inginkan, Leon?” tanyamu tanpa mengalihkan pandangan.
“Oh, ayolah. Santai saja kawan, kenapa harus buru-buru begitu. Aku yang trak—“
“Tidak, terima kasih.” Kamu langsung mencoba untuk melepaskan genggaman tangannya. Namun, dia malah tersenyum dan menarikmu lebih erat untuk kembali memasuki kedai tersebut. Kamu melawan, memaksanya untuk melepas genggaman hingga berakhir memukulnya.
Bukannya berhenti dan membiarkanmu pergi, dia malah tertawa keras dan balik memukul. Tanpa sadar apa yang kalian lakukan menarik begitu banyak perhatian, hingga akhirnya mendatangkan aparat keamanan. Perkelahian kalian diakhiri dengan wajah dan tubuh penuh mewar dan air berwarna merah.
Namun, bukannya saling membenci atau memaki, kalian malah tertawa lepas dan kembali saling merangkul. Kalian tampak kebingungan dengan keramaian di sekeliling, bahkan kedua tangan tengah ter borgol. “Apa yang terjadi? Kenapa ramai sekali di sini?” tanyamu dengan wajah dipenuhi rasa penasaran.
“Jangan menatapku, aku pun bingung dengan apa yang terjadi saat ini,” lirihnya dengan kerutan di wajah.
Pertanyaan kalian akhirnya ditujukan kepada mereka yang berseragam coklat. Mereka hanya menyuruh kalian diam dan ikut dengan mereka seraya menodongkan senjata seolah kalian adalah kriminal berbahaya. Kamu enggan, bahkan melawan karena tidak ingin ikut dengan mereka.
Dia tertawa melihatmu seraya berkata, “Sudahlah, ikut saja. Mau bagaimanapun mustahil kita bisa menang melawan mereka. Nanti jelasin aja di kantor polisi. Lumayan, anggap aja sebagai hiburan atau kenangan.”
“Matamu liburan.” Bahkan ketika ditahan dan bawa ke kantor polisi, kalian masih saja meributkan hal-hal sepele dan di saat yang bersamaan tertawa. Mereka tampak bingung, bahkan salah satu dari aparat keamanan itu memberikan tanda bahwa kalian gila kepada sesama temannya.
Ketika di dalam kantor polisi, kalian diinterogasi. Namun, kalian tetap saja bersikap acuh tak acuh kepada mereka. Tanpa ragu kamu memejamkan kedua netra seolah itu hal biasa, dan sel tahanan menjadi hotel tempat berehat. “Leon, kau yang urus ya. Aku mau tidur dulu, semangat,” ujarmu dan langsung berbaring di dalam sel.
Mereka yang melihatmu langsung terdiam, menatap heran. Dia hanya bisa menghela napas dalam melihat sikap kekanak-kanakanmu, tetapi dengan lirih dia menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Setelah cukup lama, akhirnya kalian keluar dari penjara dengan beberapa syarat tentunya.
Kamu hanya menghela napas dalam, dan pergi meninggalkannya tanpa ucapan terima kasih. Berjalan di antara keramaian, membuat napasmu sedikit berat. “Haaa ... sialan, kenapa begitu ramai sih hari ini? Mengganggu saja,” gerutumu seraya menyilangkan kedua tangan di belakang kepala.
Perjalananmu terhenti sejenak ketika melihat sebuah bangunan besar bertuliskan ‘perpustakaan nasional'. Tanpa sebuah kata, kamu berjalan memasuki perpustakaan. Aroma khas dari buku tercium ketika memasuki ruangan, senyap nan sejuk membuatmu tersenyum. “Ada yang bisa dibantu?” tanya seseorang yang perlahan mendekatimu dari kejauhan.
“Tidak ada, aku hanya ingin membaca beberapa buku ringan,” jawabmu.
“Buku ringan? Maksudnya bacaan ringan buat anak muda?” tanyanya dengan raut wajah bingung.
“Hmm ....” Kamu acuh tak acuh padanya, dan langsung mencari beberapa buku yang menurutmu menarik untuk dibaca. Sedikit pun tidak ada kesan bahwa kamu memikirkan perasaan orang lain ketika berkata, hanya saja mata itu terlihat sangat gelap dan sayu. Sebuah buku berwarna coklat kehitaman, sedikit menarik perhatianmu.
Lembar demi lembar terus kamu buka, membaca dengan penuh ketenangan dan penghayatan. “Apakah ceritanya menarik?” tanya seorang pria berkacamata dengan kemeja hitam dan jubah putih.
Sekali lagi hanya sikap acuh tak acuh yang kamu perlihatkan. Netra hanya terfokus pada setiap kata dari halaman yang kamu baca. “Perkanalkan, namaku Ahiko Febrian. Jika berkenan, bolehkah saya tahu nama Tian?” tanyanya seraya mencoba berjabat tangan.
Entah karena kesal atau mungkin enggan, kamu pergi menjauh darinya. Duduk seorang diri di tempat yang sangat sepi, membaca dengan santai dan nikmat. “Haaa ... sayang gak ada kopi, kalau ada pasti lebih seru,” ujarmu menghela napas dalam.
Tidak lama kemudian, secangkir kopi tersuguh di hadapanmu. Kamu bingung dan lekas menatap dia yang memberi kopi. “Silakan dinikmati kopinya. Kuharap Anda suka,” lirihnya seraya tersenyum.
“Terima kasih.” Hanya kata itu yang terucap, setelahnya kamu hanya fokus membaca dan sesekali menghirup kopi panas. Dia duduk di bangku kosong, dan tersenyum menatapmu. Cukup kamu memerhatikan sikapnya, dan selama itu juga dia tak henti-henti memandang. “Apa yang kau inginkan? Jangan menggangguku, dan berhentilah menatapku dengan cara seperti itu. Anda membuatku jijik,” jelasmu lirih.
Dia berdalih, “Namaku Ahiko Febrian, aku penjaga perpustakaan ini.” Kali ini, tangannya kamu jabat seraya memperkenalkan diri. Kharisma seorang pustakawan, membuatmu sedikit kagum. Namun, percayakan kalian kembali terhenti begitu saja dikarenakan sikap acuh tak acuh dan terlalu fokus membaca buku.
Dia berbicara, bercerita tentang banyak hal. Namun, kamu hanya terkekeh dan terfokus pada buku itu saja. Dia bertanya, tetapi tetap saja kamu diam tanpa kata. “Dah lah.” Dia pergi begitu saja dengan wajah kusam dan helaan napas berat.
“Kemana?” tanyamu lirih.
“Kembali ke posko untuk berjaga dan mendaftarkan nama pengunjung,” jawabnya sayu dan lemas.
“Ooo ... ok, semangat.”
“Aku akan mencatat namamu juga, karena itu tidak perlu ke tempatku,” ujarnya.
“Terima kasih.” Wajah datar itu seolah tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Bukan hanya kepadanya saja, setiap kali ada orang yang menyapa kamu hanya membisu atau sekadar senyum sejenak.
Waktu berjalan dengan cepat, tanpa terasa mentari telah pergi untuk beristirahat. “Sudah larut, sebentar lagi perpustakaan akan ditutup. Sebaiknya kamu bersiap untuk pulang. Jika ceritanya belum selesai, kamu boleh meminjamnya selama dikembalikan dan menandatangani be—“
“Tidak perlu, aku sudah selesai dari tadi,” selamu dengan senyum dan pergi meninggalkannya begitu saja.
Pertemuan yang sangat tidak menyenangkan, akan tetapi biasanya berakhir dengan penuh warna. Sebuah pertemuan awal yang memiliki kesan beragam. Di tengah terangnya jalanan berhias gemerlap bintang dan rembulan, kamu berjalan seorang diri dengan wajah sayu.Sesekali kamu tertawa, berlari bahkan sempoyongan seperti orang mabuk. Entah ketika dikeramaian ataupun kesepian, kamu tetap bertingkah demikian seolah tidak memiliki kepribadian. Sesekali terdengar suara senandung yang diakhiri tawa.Berhenti sejenak, membeli beberapa minuman keras. Duduk seorang diri di tengah taman berteman lampu jalanan seraya meneguk sebotol minuman keras dengan penuh kenikmatan. Kursi panjang menjadi sandaran untukmu berbaring. Tangan kanan memegang sebotol minuman, sedangkan kiri memegang sebatang rokok untuk dihisap. Matamu perlahan kian layu, menutup dengan rapat hingga akhirnya tertidur dengan lelapnya.Ayam kembali berkokok, rembulan kian mer
Sebuah pelukan hangat, seolah membalut luka dan hati yang tengah tersiksa. Menenangkan jiwa yang tengah menderita, membuatmu terdiam dengan netra berkaca dan sedikit membesar. Pandanganmu sedikit memudar, tanpa sadar air mata jatuh membasahi ufuk pipi. Kamu usap air mata dalam dekapannya, menatap sekitar dengan penuh tanda tanya.“Kumohon ... kumohon jangan pernah melakukan hal itu lagi.”“Apa yang kau ka—““Berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi, kumohon. Berhentilah berpikir bahwa kamu selalu seorang diri, ada begitu banyak orang di sisimu. Karena itu ... hentikanlah tindakan bodohmu itu. Jika kamu tidak memiliki tujuan hidup, tidak apa. Jadilah orang baik dan jalani hidup sesukamu, lakukan apa pun yang kau suka selama tidak membahayakanmu,” selanya seraya terisak dan memelukmu erat.Hening menjadi jawaban, senyum lir
Dipeluk erat seorang wanita, mendengar sebuah kata ungkapan cinta membuatmu tersenyum tanpa bicara. Kamu lepaskan pelukannya, pergi menjauh tanpa suara. “Terima kasih.” Lirih suaramu tidak dapat didengar siapa pun, memberikan kesan kebencian terhadap semua orang.Sikap dingin tanpa pandang bulu dan kearoganan yang membuatmu dibenci banyak orang, walau demikian sama sekali tidak kamu pedulikan. Kamu tersenyum sejenak, menoleh ke belakang dan menatapnya yang tengah termenung seraya mengusap air mata. “Haa ... merepotkan. Sampai kapan aku harus terus berpura-pura? Sialan! Sampai kapan aku harus memainkan peran ini? Haa ... ternyata benar kematian adalah hadiah terindah bagi mereka yang berputus asa,” ujarmu lirih di bawah sinar mentari.Setelah cukup lama berada di rumah sakit, hal pertama yang kamu lakukan adalah membaca. Mungkin semua orang akan sangat sayang dan rindu dengan rumah, tetapi bagimu semua itu hannyalah ba
Tatapan mata setajam pisau, terdiam menatapmu dalam diam dan tangan terkepal. “Berisik!” Tendangan kembali terlayangkan, sebuah pukulan kembali di daratkan walaupun jelas sudah wajahnya berlumuran darah segar. Kamu terus saja tertawa padahal sudah hampir sekarat dibuatnya seraya berkata, “Kenapa berhenti? Teruskan, buat aku lebih bahagia dan kemudian bunuhlah aku selayaknya kamu membunuh seekor nyamuk. Pada laci di kamar nomer dua terdapat sebuah pistol. Kau bisa menggunakannya untuk mengirimku ke neraka.”Dia kembali menendangmu, membuat tubuh menghantam dinding. “Berisik! Diam kau, bajingan!” Suaranya menggema ke seluruh ruangan, amarah mencuat membuatnya kembali menghajarmu dalam waktu yang lama. Ketika melihatmu terbaring lemah tidak berdaya, dia mendekat perlahan seraya mengulurkan tangan.Netra tajam yang dipenuhi kesedihan, menatapmu dengan penuh belas kasihan. “Bagaimana? Jika kamu memang ben
“Terima kasih, berkatmu semua terasa lebih indah, dan bersamamu Lucy merasa sangat bahagia.” Di bawah langit hitam dipenuhi gemerlap bintang, sebuah kecupan hangat mendarat tepat di keningmu. Di depan rumah yang terlihat begitu megah, dia meninggalkanmu seorang diri dengan wajah tersipu. Kamu terdiam, kemudian tersenyum menatapnya berlari kecil memasuki rumah itu.Perlahan kamu mulai menjauh, berbalik arah ketika melihatnya memasuki rumah bertingkat nan indah itu. “Haa ... sialan, ternyata dia orang kaya? Menyerah sajalah, toh dia juga pasti sudah memiliki pasangan. Mungkin kami hanya ditakdirkan bertemu, bukan bersatu. Ingat, semakin tinggi kau berharap, semakin besar pula luka yang kau terima.” Entah mengingatkan diri sendiri atau hanya sekadar bergumam tanpa arti, kata-katamu begitu menyiksa dan sekaligus bermakna untuk dipahami. Jarak semakin menjauh, sebuah suara memekakkan telinga membuatmu menoleh ke sumber suara. Dia melambaikan t
“Hei, apa kau tahu jika pukulanmu itu terasa sangat menyakitkan?” Seraya tersenyum dan menahan rasa sakit, kamu membalas pukulan pria itu. Tidak tanggung-tanggung, kaki dan tangan dengan lincahnya menghantam tubuhnya, membuat pria itu terjatuh dan tidak berkutik di hadapanmu. Suara mereka seolah tidak sampai di telinga—sebagian hanya bisa berteriak, dan sebagian lagi mencoba untuk menghentikanmu walaupun semua sia-sia.Kedua tangan bahkan wajah kian bersimbah darah. Hidung dan mulut pria itu mengeluarkan darah—membuatmu semakin bersemangat dan tertawa dengan lantang—menduduki tubuhnya seraya melayangkan pukulan bertubi-tubi di wajah. Kengerian itu terhenti ketika lebih dari 5 orang menahan tubuhmu. Namun, tetap saja kamu terus meronta dan menatapnya dengan hasrat membunuh yang kuat. Bahkan dengan 5 orang sekalipun, masih sulit bagi mereka untuk menahan pergerakanmu.Tubuh kecil dan kurus itu, ternyata memiliki begitu banyak kekuatan yang tersimpan d
Cahaya mentari kini berada di puncak tertinggi, memberikan kehangatan bagi mereka yang tengah kedinginan, memberikan kenyamanan bagi mereka yang takut akan kegelapan. Kalian tengah duduk di ruang tamu dan kedua netra saling menatap. Hening dan sunyi, seolah menjadi pertanda akan hadirnya sebuah badai dalam pertengkaran kecil sebuah hubungan bernama pertemanan.“Ke mana saja kamu selama sebulan ini?” Kedua telapak tangan saling bersilang menjadi penyangga bagi dagu yang rapuh. Manik hitam pekat menatapmu tanpa sedikit jeda untuk berpaling. Kamu mencoba menciptakan tawa, tetapi seketika terhenti ketika mendengar sebuah kata bernada tinggi darinya. “Jangan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan,” ujarnya lirih.“Hmm ... hanya berkeliling mencari udara segar,” jawabmu lirih seraya tersenyum, “menarik, ‘kan?”“Kenapa tidak jujur saja kalau selama 1 bulan ini kamu mend
Di hari pertama bekerja, kamu mendapatkan sebuah pengalam yang terbilang cukup unik dan merepotkan bahkan sampai tersirat karsa untuk berhenti menjadi seorang barista di hari pertama. Dia yang mendengar hal itu menjadi sangat terkejut bahkan melarangmu untuk berhenti. “Hmm ... kenapa? Aku tidak tahu sampai kapan akan kuat menghadapi para pelanggan yang sangat berisik. Terlebih lagi jika ada pelanggan seperti wanita itu, sangat menjijikkan. Kiranya harta bisa membuatnya mendapatkan segala yang ia inginkan,” ujarmu lirih seraya menghirup secangkir kopi.“Pokonya tidak boleh. Kamu tidak kuizinkan untuk ke luar dari sini. Bahkan di hari pertama kamu bekerja, aku sudah meraup banyak keuntungan jadi tidak kuizinkan kamu meninggalkan kafetaria ini.” Tanpa rasa malu dan netra berkaca, dia terus saja memaksa agar tatap bekerja di sana tanpa dibayar.“Dasar gila! Bekerja tanpa dibayar pun sudah membuatku kesal, dan kini k
Manik hitam dipenuhi kebencian kembali merekah, membuatmu terlihat semakin penuh akan gairah untuk meminum darah. Mata semerah darah, menatap mereka dengan tajam. Tubuhnya gemetar seolah tengah melihat setan, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi tubuh. “A-apa yang kamu lihat?” tanyanya ketakutan.Mulut yang masih terpasang alat bantu bernapas, membuatmu tidak bisa berkata apa-apa. Namun, tatapan itu sudah menjelaskan segalanya. Manik hitam mencoba untuk memberikan isyarat agar melepaskan ikatannya dan melepaskan alat bantu yang ada di tubuhmu.Sayang, mereka tampak sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Waktu berlalu dengan begitu lama, dan ketika tubuhmu sudah pulih sepenuhnya, ikatan itu dilepaskan. Tujuan mereka bagus, tapi caranya membuatmu tersiksa hingga setiap malam mengutuk mereka.Baru saja terlepas dari ikatan, kamu langsung melompat dan mengambil vas bunga di atas
Noda merah kembali mewarnai tubuh yang terbalut perban putih, membuat langkah semakin berat dan pandangan perlahan buram. Rasa sakit perlahan menyebar ke sekujur tubuh, membuat napasmu terdengar lebih berat. “Haa ... sialan,” lirihmu sebelum akhirnya jatuh kembali.**“Haa ... sialan! Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa aku bis–dia?” Awalnya terlihat kesal dan ingin menggerutu, tetapi berubah menjadi terkejut ketika melihat wanita sebelumnya tengah tertidur dengan pulas di lantai hanya beralaskan tikar tanpa bantal dan selimut. “Apa yang wanita ini lakukan?” gumammu dipenuhi tanda tanya.Kamu juga semakin terkejut ketika melihat diri sendiri yang kini tengah bertelanjang dada dengan perban yang tampak baru. Hal itu terlihat jelas, karena sebelumnya ada sebuah noda darah di sana yang kini telah menghilang. Melihatnya, hatimu terasa sedikit sesak mengingat apa yang terjadi sebelumnya.Selain itu, kenyamanan yang mer
Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. “Haaa ... merepotkan! Berapa banyak orang yang sebenarnya bisa di tampung oleh rumah tua itu, sialan!” hardikmu dengan kedua tangan terkepal.Hanya bisa menahan amarah seraya menatap dengan penuh kebencian, membuatmu harus kembali ke tempat semula untuk kembali menyusun rencana. Belum lagi uang yang hanya tersisa beberapa dolar dan Kurangnya senjata yang memadai, membuatmu merasa sangat kesal dan jengkel. Namun, kamu lupa bahwa tidak ada tempat tinggal di sana dan terpaksa harus tidur di jalanan.Udara dingin menusuk menembus tulang, membuatmu menggigil dengan hebat. Rasa hati ingin segera mati, tetapi semua hanya sebatas hasrat purba yang tidak akan pernah menjadi nyata. Di tengah malam, seorang pria datang menghampiri.
Tubuhmu langsung terpental ketika menerima bogem keras darinya, membuat netra menjadi gelap gulita untuk sejenak. Aneh tapi nyata, sedikit pun tidak terasa sakit bahkan setelah darah mengalir dari hidung. “Apa yang sebenarnya ada di kepalamu itu, Kakak! Kenapa kau selalu saja membuat masalah, membuat orang yang peduli dan sayang kepadamu menderita. Apa sebagai menyenangkannya melihat keluargamu menderita?” tanya Leon seraya terus menghajarmu.Ada orang lain yang melihat, tetapi hanya diam dan tersenyum seolah menikmati hal itu. Darah mengalir dari hidung, mulut bahkan kepala yang terluka karena terus-terusan menghantam lantai. Kamu hanya terdiam seraya menatapnya tajam, tetapi tersirat sebuah kesedihan sekaligus kebencian di sana.Hanya bisa pasrah dan membiarkannya memukulimu hingga puas, hingga akhirnya air mata menetes. Melihat hal itu, kamu tersenyum seraya memintanya agar tidak menangis lagi. Bahkan tanpa sadar kedua tangan
14 Juli 2022Ruangan itu masih sama, dipenuhi perlatan medis. Seorang wanita terkapar tidak berdaya dengan kondisi yang semakin memburuk setiap harinya. Terlihat jelas wajah itu menjadi sangat murka ketika mengetahui ada yang mencoba untuk mencelakinya.Tanpa pikir panjang, langsung kamu hubungi seorang kenalan dari dunia bawah untuk menyeret seorang pria ke hadapanmu dengan segera. “Jika kalian bisa membawanya ke hadapanku, akan kuberi semua yang kumiliki, termasuk alat itu!” Entah apa yang sebenarnya tengah kalian bicarakan, tetapi semua itu tertuju pada sesuatu yang sangat berbahaya.Kamu duduk di sebelah wanita itu, menggenggam erat tangannya dengan air mata mengaliri pipi. Ibu dan Ayah terlihat sangat menderita terlebih lagi saat tahu jika ada seseorang yang berniat untuk mencelaki putra dan putrinya. Hal itu tergambar jelas di wajah tua mereka, membuatmu semakin ‘tak kuasa menahan amarah.H
12 Juli 2022Beberapa hari di kota yang berbeda, membuat pikiran tidak tenang dan karuan. Sebuah nama selalu saja terkenang di kepala, membuat mata tidak bisa terpejam dengan lelap. Serasa sangat sesak dada setiap kali menatap rembulan di tengah malam.Ingatan dan kenangan mengalir bak air di sungai, menciptakan halusinasi dipenuhi gambaran riang membuat air mata terjatuh di bawah gemintang. Sebelum sempat mengusap, air mata mengering secara tiba-tiba seolah tidak pernah terjadi sebelumnya. Aksara seolah melesap dalam ingatan dan tinta yang menghiasi selembar kertas di atas meja.‘Tak jarang darah mengalir menghiasi meja dan segala hal yang ada, membasahi lantai hingga menjadi aroma khas dalam ruangan gelap nan sepi. Begitu banyak pisau dan obat-obatan tergelak di setiap sudut ruangan. Obat penenang dan obat tidur adalah salah satu yang paling banyak terlihat di sana.Kamu mengambil sebotol wadah kecil obat
sebuah jalanan gelap nan sunyi, tanpa seorang pun yang berani berjalan di sana. Sedikit terasa nuansa mencekam ketika menatap rumah tua di pinggir jalan dengan rumput ilalang dan beragam pohon menghiasi tamannya. “Haa ....” Seorang pria duduk di atas tubuh orang lain, dan begitu banyak tubuh yang terkapar di jalanan.Sebuah asap kelabu terkepul di udara, dan seorang pria tertawa terbahak-bahak di bawah langit hitam di bawah rembulan. Tubuh bersimbah darah dan beberapa luka, membuatmu terlihat selayaknya iblis yang turun ke dunia. Darah di tepi bibir, dijilat perlahan untuk merasakan sensasi yang berbeda.“Haa ... rasa yang memuakkan!” Selain darah di tepian bibir, darah di ujung belati dan tangan dijilati perlahan. Kedua manik hitam menatap rembulan sejenak, hingga terpejam dan hilang kesadaran untuk sesaat. Setelah terbangun, sifat dan warna matamu berubah menjadi sebiru lautan—lazuardi.
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da