Dengan langkah kakinya yang lebar, dalam hitungan detik Abyan sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ditempati oleh Nayla dan Airin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pria yang tengah memakai kaus hitam dan celana pendek itu segera membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seketika itu juga, suara tangisan Airin pun berhenti.
“Mas Abyan!” Nayla terperanjat kaget. Saat itu ia tengah berbaring di sisi Airin sambil memberinya susu formula.
“Em ... maaf, Nay. Aku hanya ingin melihat Airin,” ucap Abyan dengan sedikit gugup. Ia merasa bersalah karena menerobos masuk begitu saja dan membuat gadis bermanik cokelat itu kaget.
Nayla pun segera mengubah posisinya menjadi duduk. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang saat berhadapan dengan Abyan. Dia jadi salah tingkah dan merasa kurang nyaman saat berada di dekat laki-laki yang masih berstatus sebagai kakak iparnya itu.
“Nay, kamu sudah salat Subuh belum?” tanya Mama Mayang yang tiba-tiba muncul dari belakang Abyan.
“Belum, Tante,” jawab Nayla jujur. Tangan kanannya masih memegangi botol susu Airin yang isinya tinggal separuh.
“Kalau begitu kamu salat saja dulu. Biar Tante yang jagain Airin.”
“Iya, Tante.” Nayla pun bangkit dari tempat tidur setelah wanita paruh baya itu menggantikan posisinya untuk memberi susu kepada Airin. Dengan menundukkan wajah, Nayla pun melenggang menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Abyan perlahan mendekati Airin dan melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Sejenak ia menatap bayinya yang sedang menghisap susu formula dengan sangat rakus. Seandainya saja Aleya masih hidup, pasti Airin akan mendapatkan ASI yang jauh lebih baik.
“Ma, boleh aku menggendong Airin?” tanya Abyan setelah Airin mengosongkan botol susunya. “Aku ingin mengajaknya ke atas.”
“Tentu saja, Abyan. Kamu ‘kan ayahnya.” Mama Mayang pun mengangkat Airin dan memberikannya kepada Abyan dengan hati-hati.
Abyan tersenyum senang saat menatap wajah bayi mungil itu. Lantas ia mendaratkan kecupan lembut di kedua pipinya yang tembam seperti kue bakpao.
“Sayang, ini Papa. Kamu cantik sekali seperti ibumu,” desis Abyan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia pun bangkit dan membawa Airin ke lantai atas. Sementara Mama Mayang beranjak ke dapur untuk membantu Mbok Sum menyiapkan sarapan.
Abyan menaiki anak tangga satu per satu sambil menggendong Airin. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya. Lantas tangan kanannya terulur untuk menekan hendel pintu dan membukanya.
Sejenak Abyan terpaku di ambang pintu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kamar bayi bernuansa merah muda itu didesain sendiri olehnya saat Aleya hamil enam bulan. Semuanya serba pink. Mulai dari cat dinding, korden, karpet, furniture, dan juga perlengkapan bayi lainnya. Banyak sekali boneka dan mainan yang menghiasi ruangan itu. Ada juga kamar mandi kecil untuk memandikan bayi.
Abyan pun melangkah masuk dan menidurkan Airin ke dalam box bayi yang dihiasi kelambu polos berwarna merah muda. Setelah itu, ia duduk di single sofa dan termenung panjang mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Aleya.
***
Abyan tersentak dari lamunan panjangnya saat seseorang memasuki kamar Airin. Sontak pria itu menoleh ke arah pintu.
“Abyan, makanan sudah siap. Ayo kita sarapan dulu! Biar Mbok Sum yang mandiin Airin.”
Ternyata Mama Mayang yang datang. Di belakangnya, muncul seorang wanita setengah baya yang tidak lain adalah asisten rumah tangga Abyan.
“Iya, Ma.” Kali ini Abyan menuruti perintah ibunya. Tiba-tiba ia merasa lapar karena hampir dua hari perutnya tidak terisi makanan.
Di ruang makan, semua orang sudah berkumpul. Berbagai macam makanan dan minuman lezat tampak memenuhi meja kayu berbentuk persegi panjang itu. Abyan dan Mama Mayang pun menarik kursi dan duduk bergabung bersama mereka.
“Nak Abyan, syukurlah kalau kamu sudah sehat. Bapak senang sekali melihatmu,” tutur Pak Hasan sambil tersenyum ke arah menantunya.
“Alhamdulillah, Pak,” sahut Abyan membalas senyuman mertuanya.
Karena semua orang sudah berkumpul, mereka pun mulai berdoa dan sarapan bersama dengan hangat. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Hanya terdengar denting sendok dan piring yang saling beradu. Sampai akhirnya Rea memecah keheningan.
“Kak Abyan, Kakak harus makan yang banyak! Ini semua Nayla loh yang masak. Masakannya enak banget, kan?” tanya Rea kepada kakaknya.
Merasa namanya disebut, Nayla sontak menjeling ke arah Rea. “Aku cuma bantuin Mbok Sum, Ibu, sama Tante Mayang aja tadi, Re,” sangkalnya.
“Jangan merendah begitu, Nay. ‘Kan memang kamu dan Bu Saida yang masak tadi,” tukas Mama Mayang. “Tante sama Mbok Sum ‘kan cuma bantuin ngupas bawang sama petik cabai.”
“Gimana Abyan, enak enggak masakan Nayla?” tanya Papa Angga saat melihat Abyan telah mengosongkan piringnya.
“Enak, Pa,” sahut Abyan setelah menenggak segelas air putih.
“Ternyata selain cantik, kamu jago masak juga ya, Nay? Kamu juga pandai merawat bayi. Buktinya, Airin nyaman banget kalau sama kamu,” imbuh Rea. Dia sengaja memuji-muji Nayla di depan kakaknya agar ia setuju untuk menikahinya.
Mendengar semua orang memujinya, Nayla kembali menundukkan kepala. Kedua pipinya sudah merah merona seperti tomat. Namun, Abyan sama sekali tidak peduli. Baginya, hanya Aleya satu-satunya wanita yang paling spesial di hatinya. Tidak ada wanita mana pun yang bisa menggantikan posisinya.
Selesai sarapan, Papa Angga mengajak semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Dia ingin membahas sesuatu yang kemarin sempat tertunda gara-gara Abyan sakit. Awalnya Abyan menolak, tetapi setelah Papa Angga mendesaknya, akhirnya ia pun menurut.
Setelah semua orang duduk berkumpul di sofa, Papa Angga pun mulai membuka suara.
“Abyan, Nayla, Papa ingin tahu apa keputusan kalian? Apa kalian mau memenuhi permintaan terakhir Aleya?” tanya pria berkacamata itu sambil menatap mereka secara bergantian.
Abyan maupun Nayla hanya diam sambil menundukkan kepala. Mereka sudah mengira kalau Papa Angga pasti akan membahas soal itu.
“Abyan!” seru Papa Angga karena keduanya masih bungkam.
“Aku enggak mau, Pa,” tolak Abyan mentah-mentah. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa ayahnya secepat itu membicarakan soal pernikahan. Padahal Aleya baru saja meninggal. Kuburannya saja masih basah.
“Kenapa, Abyan? Apa kamu tidak kasihan pada Airin? Siapa yang akan merawatnya nanti? Saat ini dia sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan menurut Papa, hanya Nayla yang pantas menjadi ibunya,” tanya Papa Angga lagi.
“Kak Abyan, Rea setuju kalau Kak Abyan nikah sama Nayla,” sela Rea.
“Mama juga setuju, Abyan,” imbuh Mama Mayang. “Tapi keputusan ada di tangan kalian. Karena kalianlah yang akan menjalaninya.”
Pak Hasan dan Bu Saida hanya bungkam. Mereka menyerahkan segala keputusan di tangan Nayla. Sedangkan Nayla sejak tadi hanya menunduk dengan bibir yang terkunci rapat. Bayangan wajah Revan dan Aleya muncul secara bergantian di kepalanya. Saat itu hatinya benar-benar dilema. Apakah ia harus mempertahankan cintanya pada Revan atau memenuhi permintaan terakhir kakaknya.
“Nayla, bagaimana denganmu? Apa kamu mau memenuhi permintaan terakhir kakakmu?”
Mendengar pertanyaan Papa Angga, Nayla sontak menegakkan kepalanya. Ia menatap wajah ayah dan ibunya silih berganti seolah-olah mencari jawaban.
Lalu tiba-tiba saja, suara tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan. Semua orang pun mendongak ke atas. Mbok Sum tampak menuruni anak tangga sambil menggendong Airin yang sedang menangis kencang.
“Airin kenapa, Mbok?” Nayla sontak berdiri dan berlari menghampiri Mbok Sum.
“Simbok enggak tahu, Non. Tiba-tiba dia nangis.”
Nayla pun segera mengambil Airin dari tangan Mbok Sum. Anehnya, tangisan Airin langsung berhenti saat kedua tangan Nayla merengkuh tubuh mungil bayi itu.
“Lihatlah Abyan, sekarang apa keputusanmu?” tanya Papa Angga kemudian.
Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya. Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya. “Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu. Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu. “Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.” “Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” te
Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan. “Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung. “Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka. “Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. “Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu. “Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda. Benar-benar ajaib! Abyan terpaku mempe
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik. Abyan menghela napas lega. Hatinya diliputi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Karena pada akhirnya, Nayla lebih memilih dirinya daripada Revan. Walaupun Nayla tidak mengatakan apa-apa, tetapi Abyan tahu kalau sebenarnya wanita itu sangat mencintainya. Setelah Revan pergi, Nayla menggendong Airin dan membawanya naik ke lantai atas untuk menidurkannya. “Mama, Om yang tadi itu siapa, Ma? Apa dia orang jahat yang udah bikin Mama nangis?” tanya Airin dengan polosnya. “Bukan, Sayang. Om tadi enggak jahat. Dia baik hati seperti malaikat,” sahut Nayla sambil berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. “Terus, kenapa Mama nangis?” “Karena Mama sayang sekali sama Airin.” Nayla pun mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan putrinya. “Airin juga sayang sama Mama.” Gadis kecil itu pun memeluk leher ibunya dengan manja. “Makasih, Sayang. Sekarang kita bobok ya. Airin mau dibacain dongeng ap
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hati Nayla semakin dirundung resah dan gelisah, karena sampai sekarang Revan tidak mau menjawab teleponnya maupun membalas pesannya. Nayla takut kalau laki-laki itu akan nekat datang ke rumah dan membongkar semuanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abyan kalau mengetahui soal hubungan mereka.Tok tok tok!Nayla tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Airin. Ia pun menoleh ke arah pintu yang kebetulan sedang terbuka lebar.“Ada apa, Mbok?” tanya Nayla saat melihat sosok Mbok Sum berdiri di ambang pintu.“Anu, Nyah. Nyonya disuruh turun sama Tuan. Katanya ada tamu.”Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Jangan-jangan tamu yang Mbok Sum maksud adalah Revan.“Siapa Mbok tamunya? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nayla ingin memastikan.“Laki-laki, Nyah. Masih muda.”Tidak salah lagi.
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund
Deg! Jantung Nayla kembali berdesir. Matanya terbelalak seketika. Ia sontak menghentikan langkahnya dan memutar badan.Dilihatnya kelopak mata Abyan masih tertutup sempurna. Dengkuran halus pun masih terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Nayla menghela napas lega. Rupanya pria itu baru saja mengigau seperti yang biasa dilakukannya.Tapi tunggu dulu! Apa dia tadi menyebut namaku? Bukan nama Mbak Aleya? Atau aku yang salah dengar?Nayla tampak berpikir. Karena penasaran, ia pun berjalan mendekati Abyan. Berharap agar pria itu mengigau sekali lagi untuk memastikan nama siapa yang disebutnya.Dari jarak yang sangat dekat, diam-diam Nayla memperhatikan wajah suaminya yang sedang terlelap. Sepasang alis hitam nan tebal bertengger rapi di atas kedua matanya yang terpejam, hidung yang super mancung bak artis India, rahang yang kuat nan tegas, serta jambang dan kumis tipis yang tumbuh di sekitar bibir, membuat pria itu terkesan macho dan berwibawa. Sungguh
“Baru saja benih-benih kebahagiaan itu tumbuh dan bersemi kembali dalam dada. Namun, begitu menapakkan kaki di rumah, kenyataan seolah menamparku dan membuatku sadar ... bahwa aku adalah seorang ibu. Bahwa aku adalah wanita yang masih terikat.”-Nayla Arinza-***Nayla bergegas menyeberangi jalan raya saat lampu lalu lintas menyala merah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah cepat menuju Resto Ayam Kampung milik kedua orang tuanya. Rasa lapar mulai menggelitik perutnya. Nasi gudeg buatan ibunya pun sudah terbayang di pelupuk mata. Betapa ia ingin segera menyantapnya.“Assalamu’alaikum,” ucap wanita itu begitu menginjakkan kaki di restoran. Senyuman indah terulas di bibirnya yang bergincu merah muda. Memancarkan aura kebahagiaan, layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta.“Wa’alaikumussalam.” Semua orang yang ada di dalam pun menjawab salamnya dan menoleh ke arah pintu masuk.
“Hadirmu laksana air hujan yang jatuh di atas tanah kering. Menghapuskan dahaga dan memberiku kesejukan ....”-Nayla Arinza-***Akhirnya setelah sekian purnama, aku bisa merasakan kembali hangatnya pelukanmu, Van. Pelukan yang nyaman dan amat menenangkan.Dengan ragu Nayla mengangkat kedua belah tangannya, lantas melingkarkannya ke pinggang Revan. Laki-laki yang hingga detik ini masih sangat ia cintai dengan segenap jiwa.Revan pun mendaratkan kecupan lembutnya di kening Nayla. Ia tidak peduli kalau wanita dalam dekapannya itu masih berstatus milik orang lain. Perasaan yang bergemuruh di dalam dada, mampu mengalahkan segalanya.Lima menit berlalu. Tangis Nayla pun mulai mereda. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Revan, lalu mendongakkan kepala. Menatap raut tampan yang terpampang di depan mata. Begitu pula dengan Revan. Manik gelapnya menyapu setiap inci wajah cantik di hadapannya.Ketika sepasang netra saling bertauta