Setelah menutup telepon, ibuku membuka pintu kamarku."Kalung safir yang ayahmu tinggalkan sebelum meninggal, di mana sekarang?"Aku diam saja, tidak menjawab.Ibu langsung mengernyit, tampak tak senang, "Sikap seperti apa ini? Adikmu hanya merasa kalung itu cantik, dia hanya memakainya sebentar. Cepatkan serahkan, jangan pelit begitu!"Adik angkatku, Ratna merangkul lengan ibu dengan ekspresi kecewa, dia berkata, "Nggak apa-apa kalau kakak nggak mau, aku nggak akan memaksa.""Dia berani nggak menganggapmu adik? Kalung itu milik suamiku yang juga ayahmu. Hari ini kalung itu akan menjadi milikmu."Ibu merangkul Ratna sambil menatapku dengan tatapan tajam, "Kalau kamu nggak menyerahkannya, jangan salahkan aku kalau menyuruh orang menggeledah kamarmu!"Aku memandangnya dengan tatapan kosong, mencona tersenyum, tapi rasanya lebih menyakitkan daripada menangis.Ibu yang dulu lembut dan penuh kasih sayang,kini berubah menjadi orang yang asing bagiku, dengan sikap keras seperti ini.Namun ak
Setelah menenangkan Ratna, Junanto menatapku dengan dingin. "Aku tahu kamu selalu nggak suka karena aku diam-diam menikahinya dan melahirkan anak dengannya. Kamu bisa melampiaskan amarahmu padaku, karena aku memang salah nggak memberitahumu sebelumnya.""Tapi kamu nggak boleh menyakiti Ratna. Dia sudah cukup kasihan dengan kondisi kesehatannya yang buruk.""Dia hanya meminta satu kesempatan untuk menjadi seorang ibu, apa itu salah? Kenapa dia harus menanggung lampiasan amarah darimu?"Junanto menunjukku dengan mawah dan melanjutkan, "Kamu harus minta maaf pada Ratna hari ini!"Aku berusaha menahan tubuhku yang gemetar.Dan berkata dengan suara serak, "Kalau begitu, apa salahku?""Apa yang kulakukan padanya?"Junanto terdiam sejenak, memandang mataku yang memerah karena menahan tangis."Sudahlah, Kak Jun. Meski hampir mati jatuh dari tangga tadi ... ""Aku nggak menyalahkan kakak, aku juga nggak perlu dia meminta maaf padaku.""Kalian akan menikah ke depannya, aku nggak mau jadi alasan
Aku memutuskan teleponnya.Mungkin kata-kata barang bekas telah melukai Junanto, dia meneleponku berkali-kali.Aku tidak mengangkatnya, dia mulai mengirim pesan-pesan panjang.Namun, aku tetap tidak menggubrisnya.Sepuluh hari lagi, aku akan menikah dengan Richie.Pada akhirnya, semua orang ini hanyalah bagian dari masa laluku.Di sisa waktu ini, aku hanya ingin menjalani hari-hari dengan tenang tanpa drama apapun. Namun, siapa sangka Ratna melakukan sesuatu yang menghancurkan batas kesabaranku. Dia menjatuhkan kotak abu jenazah ayahku ke lantai.Abu itu berserakan.Alih-alih merasa bersalah, dia membiarkan kucing peliharaannya kencing di atas abu itu.Kemudian, dia menatapku dengan wajah penuh kepuasan."Kak, lihat, abu ini bisa jadi pasir untuk kuncingku!"Seketika, kesedihan dan kemarahanku yang selama ini kupendam meledak.Aku langsung mengambil tongkat baseball yang ada di belakang pintu dan mengayunkannya ke arah Ratna.Aku memukulnya sekali, wajahnya pucat dan dia berteriak keta
Ratna buru-buru berlutut dan meminta maaf. "Ibu, maafkan aku. Aku nggak sengaja, huhuhu ... maaf ibu. Kalau kakak nggak mau memaafkan aku, lebih baik aku mati saja!"Dia menangis penuh kesedihan."Ratna, jangan berakting la ... ""Plak!"Belum selesai aku bicara, sebuah tamparan keras sudah mendarat di pipiku."Cukup!""Bukankah hanya abu saja? Orangnya bahkan sudah meninggal, apa abu lebih penting daripada orang yang masih hidup?""Kalau kamu masih berani menyakiti Ratna, keluar saja dari rumah ini!"Tamparan itu menghapus sisa rasa kasihku pada ibu, sekaligus memutuskan ikatan terakhirku dengannya.Mungkin ini memang yang terbaik.Aku bisa pergi yanpa membawa beban apa pun.Tanpa memandang ibuku yang masih terpaku, aku menghapus jejak darah di sudut bibirku dan berjalan ke atas untuk berkemas.Jika ibu merasa keberadaanku hanya mengganggu,lagipua Ratna juga sudah merebut kamarku,lebih baik aku pergi saja daripada tinggal di rumah yang tidak lagi menjadi rumahku.Aku hanya membawa
Aku tertawa dingin melihat tingkat dua orang tidak tahu malu ini."Minta maaf? Mimpi!"Tepat saat itu, mobil taksi yang kupesan tiba.Usai bicara, aku masuk ke mobil, menutup pintu dan pergi tanpa menoleh lagi.Beberapa hari tinggal di hotel tanpa gangguan dari orang-orang menyebalkan membuat hidupku terasa begitu tenang dan nyaman.Namun, ibuku mengirimkan pesan padaku."Yenny, hari ini ulang tahunku. Pulanglah sebentar, sebenarnya aku nggak berniat memanggilmu pulang, tapi Ratna memohon untukmu. Kalau bertemu dengannya nanti, jangan lupa berterima kasih padanya."Tentu aku tidak lupa dengan ulang tahunnya.Namun, aku tidak lagi seperti dulu yang mulai mempersiapkan tempat dan hadiah seminggu sebelumnya, demi memastikan ibuku mendapatkan pesta ulang tahun yang sempurna.Dan aku juga tidak akan pulang.Rumah itu bukan lagi rumahku dan dia bukan lagi ibuku.Menjelang siang, aku sedang menikmati makanan.Mungkin karena tidak melihat kehadiranku, ibu kembali mengirim pesan, seolah tidak s
Tiba-tiba, seseorang dari belakang menarikku ke dalam pelukannya dan dengan mudah menendang pria mabuk yang menggangguku.Aku reflek menoleh ke belakang.Yang kulihat benar-benar di luar dugaanku, itu Richie."Kamu pakai tangan yang mana menyentuh dia? Atau dua tangan sekaligus?"Mata Richie menyipit.Tatapannya pada pria mabuk itu seperti sedang menatap seseorang yang sudah mati.Dengan dingin, dia meninjak punggung tangan pria itu menggunakan sepatunya, diiringi jeritan kesakitan.Dalam suara merengek dan permohonan maaf di pria mabuk,hanya terdengar suara Richie yang dingin, "Masih nggak mau pergi?"Dalam ingatanku, Richie selalu terlihat lembut seperti pria yang santun. Aku belum pernah melihat dia marah seperti ini.Ini pertama kalinya aku melihat sisi gelapnya.Setelah pria mabuk itu pergi, Richieemencubit lembut pipiku, "Untung aku datang tepat waktu, kalau nggak, bagaimana jadinya kalau tunanganku sampai diganggu?"Kata-kata tunangan yang keluar dari mulutnya membuat jantungku
Aku, Richie dan Suzana mengobrol sebentar di depan bar.Suzana bilang ingin pulang sendiri naik taksi.Alasannya, dia tidak ingin mengganggu dunia berdua antara aku dan Richie.Namun, dia sudah minum alkohol dan sudah larut malam. Mana mungkin aku tenang membiarkannya pulang sendirian?Akhirnya, kamu memutuskan mengantar Suzana pulang lebih dulu.Setelah Suzana turun, kini hanya tersisa aku dan Richie di dalam mobil.Ruang sempit mobil, suasana hangat penuh keintiman.Udara di dalam terasa semakin panas.Ditambah kepalaku yang sedikit pusing akibat alkohol, semuanya jadi terasa membingungkan.Richie perlahan mendekat ke arahku.Aku menggigit bibir, merasa malu dan tidak tahu harus berbuat apa."Yenny, Yennyku sayang ... "Napasnya terasa di sekelilingku. Bibirnya yang hangat perlahan menyentuh sudut bibirku.Sentuhannya lembut dan penuh kasih.Aku begitu gugup hingga telapak tanganku mulai keringatan.Jantungku berdegup kencang, seperti seekor kelinci yang melompat-lompat tak terkendal
Wajahnya seketika menjadi pucat, seperti orang yang baru saja mengalami pukulan berat, bahkan punggungnya sampai terlihat membungkuk."Kok bisa? Nggak mungkin! Bagaimana mungkin kamu tega meninggalkanku?""Kamu pasti sedang bohong! Aku nggak akan percaya!"Dia berteriak-teriak seperti orang gila.Melihat ini, para satpam di pintu masuk langsung mendekat dan menangkapnya. Dia ditekan ke tanah, terlihat sangat menyedihkan.Namun, aku tidak merasa kasihan sedikit pun.Bagaimanapun, aku dan dia sudah tidak ada hubungan lagi.Belakangan, aku mendengar dari Suzana bahwa Junanto membawa Ratna ke pengadilan atas tuduhan penipuan dan penggelapan harta pribadi.Meskipun Ratna memohon padanya sambil menunjuk perutnya yang mengandung, Junanto tetap tidak menunjukkan belas kasihan.Ratna kemudian pergi memohon bantuan pada ibuku, mengatakan bahwa dirinya tak ingin masuk penjara.Namun, setelah Junanto mengungkapkan kebohongan dan sifat asli Ratna, akhirnya ibuku melihat siapa dia sebenarnya. Tanpa
Aku tak ingin merusak riasanku yang indah, berusaha menahan air mata yang menggenang di mataku, lalu berkata dengan hati dingin, "Bukan aku penyebab kematian ayah, tapi kamu!""Obat jantung yang ayah siapkan untuk nenek selalu ada di rak, tapi kamu dengan ceroboh membuang obat nenek. Kamu bilang akan membelikan yang baru sepulang kerja, tapi malah pergi berjudi.""Malam itu, kebetulan nenek terkena serangan jantung. Dia mencoba meneleponmu, kamu malah nggak bisa dihubungi. Akhirnya, ayah pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat, tapi di perjalanan dia ditabrak oleh mobil yang kehilangan kendali ... "Ibu menatapku dengan tidak percaya, "Kamu bohong! Mana mungkin ini salahku? Kamu yang menyebabkan kematian ayahmu!"Aku menurunkan nada suaraku menjadi dingin, "Sampai kapan kamu mau membohongi dirimu sendiri? Apa kamu pikir kenapa nenek nggak mau membuka pintu untukmu selama ini? Karena sifat pengecurmu, nggak pernah berani bertanggung jawab, setiap ada masalah, kamu selalu melarikan d
Wajahnya seketika menjadi pucat, seperti orang yang baru saja mengalami pukulan berat, bahkan punggungnya sampai terlihat membungkuk."Kok bisa? Nggak mungkin! Bagaimana mungkin kamu tega meninggalkanku?""Kamu pasti sedang bohong! Aku nggak akan percaya!"Dia berteriak-teriak seperti orang gila.Melihat ini, para satpam di pintu masuk langsung mendekat dan menangkapnya. Dia ditekan ke tanah, terlihat sangat menyedihkan.Namun, aku tidak merasa kasihan sedikit pun.Bagaimanapun, aku dan dia sudah tidak ada hubungan lagi.Belakangan, aku mendengar dari Suzana bahwa Junanto membawa Ratna ke pengadilan atas tuduhan penipuan dan penggelapan harta pribadi.Meskipun Ratna memohon padanya sambil menunjuk perutnya yang mengandung, Junanto tetap tidak menunjukkan belas kasihan.Ratna kemudian pergi memohon bantuan pada ibuku, mengatakan bahwa dirinya tak ingin masuk penjara.Namun, setelah Junanto mengungkapkan kebohongan dan sifat asli Ratna, akhirnya ibuku melihat siapa dia sebenarnya. Tanpa
Aku, Richie dan Suzana mengobrol sebentar di depan bar.Suzana bilang ingin pulang sendiri naik taksi.Alasannya, dia tidak ingin mengganggu dunia berdua antara aku dan Richie.Namun, dia sudah minum alkohol dan sudah larut malam. Mana mungkin aku tenang membiarkannya pulang sendirian?Akhirnya, kamu memutuskan mengantar Suzana pulang lebih dulu.Setelah Suzana turun, kini hanya tersisa aku dan Richie di dalam mobil.Ruang sempit mobil, suasana hangat penuh keintiman.Udara di dalam terasa semakin panas.Ditambah kepalaku yang sedikit pusing akibat alkohol, semuanya jadi terasa membingungkan.Richie perlahan mendekat ke arahku.Aku menggigit bibir, merasa malu dan tidak tahu harus berbuat apa."Yenny, Yennyku sayang ... "Napasnya terasa di sekelilingku. Bibirnya yang hangat perlahan menyentuh sudut bibirku.Sentuhannya lembut dan penuh kasih.Aku begitu gugup hingga telapak tanganku mulai keringatan.Jantungku berdegup kencang, seperti seekor kelinci yang melompat-lompat tak terkendal
Tiba-tiba, seseorang dari belakang menarikku ke dalam pelukannya dan dengan mudah menendang pria mabuk yang menggangguku.Aku reflek menoleh ke belakang.Yang kulihat benar-benar di luar dugaanku, itu Richie."Kamu pakai tangan yang mana menyentuh dia? Atau dua tangan sekaligus?"Mata Richie menyipit.Tatapannya pada pria mabuk itu seperti sedang menatap seseorang yang sudah mati.Dengan dingin, dia meninjak punggung tangan pria itu menggunakan sepatunya, diiringi jeritan kesakitan.Dalam suara merengek dan permohonan maaf di pria mabuk,hanya terdengar suara Richie yang dingin, "Masih nggak mau pergi?"Dalam ingatanku, Richie selalu terlihat lembut seperti pria yang santun. Aku belum pernah melihat dia marah seperti ini.Ini pertama kalinya aku melihat sisi gelapnya.Setelah pria mabuk itu pergi, Richieemencubit lembut pipiku, "Untung aku datang tepat waktu, kalau nggak, bagaimana jadinya kalau tunanganku sampai diganggu?"Kata-kata tunangan yang keluar dari mulutnya membuat jantungku
Aku tertawa dingin melihat tingkat dua orang tidak tahu malu ini."Minta maaf? Mimpi!"Tepat saat itu, mobil taksi yang kupesan tiba.Usai bicara, aku masuk ke mobil, menutup pintu dan pergi tanpa menoleh lagi.Beberapa hari tinggal di hotel tanpa gangguan dari orang-orang menyebalkan membuat hidupku terasa begitu tenang dan nyaman.Namun, ibuku mengirimkan pesan padaku."Yenny, hari ini ulang tahunku. Pulanglah sebentar, sebenarnya aku nggak berniat memanggilmu pulang, tapi Ratna memohon untukmu. Kalau bertemu dengannya nanti, jangan lupa berterima kasih padanya."Tentu aku tidak lupa dengan ulang tahunnya.Namun, aku tidak lagi seperti dulu yang mulai mempersiapkan tempat dan hadiah seminggu sebelumnya, demi memastikan ibuku mendapatkan pesta ulang tahun yang sempurna.Dan aku juga tidak akan pulang.Rumah itu bukan lagi rumahku dan dia bukan lagi ibuku.Menjelang siang, aku sedang menikmati makanan.Mungkin karena tidak melihat kehadiranku, ibu kembali mengirim pesan, seolah tidak s
Ratna buru-buru berlutut dan meminta maaf. "Ibu, maafkan aku. Aku nggak sengaja, huhuhu ... maaf ibu. Kalau kakak nggak mau memaafkan aku, lebih baik aku mati saja!"Dia menangis penuh kesedihan."Ratna, jangan berakting la ... ""Plak!"Belum selesai aku bicara, sebuah tamparan keras sudah mendarat di pipiku."Cukup!""Bukankah hanya abu saja? Orangnya bahkan sudah meninggal, apa abu lebih penting daripada orang yang masih hidup?""Kalau kamu masih berani menyakiti Ratna, keluar saja dari rumah ini!"Tamparan itu menghapus sisa rasa kasihku pada ibu, sekaligus memutuskan ikatan terakhirku dengannya.Mungkin ini memang yang terbaik.Aku bisa pergi yanpa membawa beban apa pun.Tanpa memandang ibuku yang masih terpaku, aku menghapus jejak darah di sudut bibirku dan berjalan ke atas untuk berkemas.Jika ibu merasa keberadaanku hanya mengganggu,lagipua Ratna juga sudah merebut kamarku,lebih baik aku pergi saja daripada tinggal di rumah yang tidak lagi menjadi rumahku.Aku hanya membawa
Aku memutuskan teleponnya.Mungkin kata-kata barang bekas telah melukai Junanto, dia meneleponku berkali-kali.Aku tidak mengangkatnya, dia mulai mengirim pesan-pesan panjang.Namun, aku tetap tidak menggubrisnya.Sepuluh hari lagi, aku akan menikah dengan Richie.Pada akhirnya, semua orang ini hanyalah bagian dari masa laluku.Di sisa waktu ini, aku hanya ingin menjalani hari-hari dengan tenang tanpa drama apapun. Namun, siapa sangka Ratna melakukan sesuatu yang menghancurkan batas kesabaranku. Dia menjatuhkan kotak abu jenazah ayahku ke lantai.Abu itu berserakan.Alih-alih merasa bersalah, dia membiarkan kucing peliharaannya kencing di atas abu itu.Kemudian, dia menatapku dengan wajah penuh kepuasan."Kak, lihat, abu ini bisa jadi pasir untuk kuncingku!"Seketika, kesedihan dan kemarahanku yang selama ini kupendam meledak.Aku langsung mengambil tongkat baseball yang ada di belakang pintu dan mengayunkannya ke arah Ratna.Aku memukulnya sekali, wajahnya pucat dan dia berteriak keta
Setelah menenangkan Ratna, Junanto menatapku dengan dingin. "Aku tahu kamu selalu nggak suka karena aku diam-diam menikahinya dan melahirkan anak dengannya. Kamu bisa melampiaskan amarahmu padaku, karena aku memang salah nggak memberitahumu sebelumnya.""Tapi kamu nggak boleh menyakiti Ratna. Dia sudah cukup kasihan dengan kondisi kesehatannya yang buruk.""Dia hanya meminta satu kesempatan untuk menjadi seorang ibu, apa itu salah? Kenapa dia harus menanggung lampiasan amarah darimu?"Junanto menunjukku dengan mawah dan melanjutkan, "Kamu harus minta maaf pada Ratna hari ini!"Aku berusaha menahan tubuhku yang gemetar.Dan berkata dengan suara serak, "Kalau begitu, apa salahku?""Apa yang kulakukan padanya?"Junanto terdiam sejenak, memandang mataku yang memerah karena menahan tangis."Sudahlah, Kak Jun. Meski hampir mati jatuh dari tangga tadi ... ""Aku nggak menyalahkan kakak, aku juga nggak perlu dia meminta maaf padaku.""Kalian akan menikah ke depannya, aku nggak mau jadi alasan
Setelah menutup telepon, ibuku membuka pintu kamarku."Kalung safir yang ayahmu tinggalkan sebelum meninggal, di mana sekarang?"Aku diam saja, tidak menjawab.Ibu langsung mengernyit, tampak tak senang, "Sikap seperti apa ini? Adikmu hanya merasa kalung itu cantik, dia hanya memakainya sebentar. Cepatkan serahkan, jangan pelit begitu!"Adik angkatku, Ratna merangkul lengan ibu dengan ekspresi kecewa, dia berkata, "Nggak apa-apa kalau kakak nggak mau, aku nggak akan memaksa.""Dia berani nggak menganggapmu adik? Kalung itu milik suamiku yang juga ayahmu. Hari ini kalung itu akan menjadi milikmu."Ibu merangkul Ratna sambil menatapku dengan tatapan tajam, "Kalau kamu nggak menyerahkannya, jangan salahkan aku kalau menyuruh orang menggeledah kamarmu!"Aku memandangnya dengan tatapan kosong, mencona tersenyum, tapi rasanya lebih menyakitkan daripada menangis.Ibu yang dulu lembut dan penuh kasih sayang,kini berubah menjadi orang yang asing bagiku, dengan sikap keras seperti ini.Namun ak