“Bu, kenapa bilang kayak gini?” Alula menggenggam telapak tangan Jannah.“Ibu nggak rela kamu sama dia, Nak. Katakanlah Ibu ini jahat atau menilai orang dari tampilan luar. Tapi Ibu betul-betul belum bisa menerima kenyataan ini meskipun Ibu paksa. Ibu memang terus memantaumu atas permintaan Lutfan, tapi tetap saja sebenarnya Ibu ingin kamu kabur, pergi."“Bu, aku udah khatam sama pria tampan dan mereka makan ati, kan? Semoga yang ini enggak. Semoga Pak Lutfan bener-bener bisa memenuhi tanggung jawab sebagai suami, nggak neko-neko, dan yang penting nggak selingkuh. Mana ada yang mau diajak selingkuh sama pria mohon maaf, jelek kayak gitu?” Alula mencoba bercanda.“Apa kamu benar-benar sudah mantap, La?”“Iya, Bu. Aku udah bukan anak kecil, aku udah dewasa. Memang udah waktunya nikah. Ada pria baik meskipun dia kayak gitu, sikapnya over protektif, dia menawarkan keseriusan, ya aku terima. Apalagi Bu Nur baik banget. Ibu tahu itu. Di mana lagi ada ibu mertua baiknya kayak gitu? Masalah w
“La, kamu ngundang aktor Billy Davidson?” bisik Aprilia. “Enggak. Pertanyaanmu aneh-aneh,” jawab Alula. "Pria itu mirip Billy Davidson versi lokal." “Permisi, apa saya bisa membawa istri saya keluar?” tanya pria yang masih berdiri di ambang pintu itu lagi. “Istri? Maksudmu apa, sih? Siapa kamu? Istrimu nggak ada di sini.” Alula mencecar tak sabar. Pria itu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berjalan mendekati Alula. “Siapa kamu? Dari tadi ditanya bukannya jawab malah nekat mendekat.” Jannah menghadang sebelum pria itu sampai di hadapan Alula. “Saya–“ “Atau kami akan teriak biar kamu digebuki orang yang ada di luar! Pergi sebelum kamu babak-belur!” Aprilia ikut pasang badan. “Saya ini–“ “Tolong! Ada penyusup!” teriak Aprilia. “Pak Lutfan, datanglah! Ke sinilah karena istrimu mau diculik lelaki tampan. Eh!” Aprilia memukul mulutnya. Alula masih memicing, menatap pria itu dalam. “Tolong!” Aprilia kembali berteriak. “Ada apa ini, kok, minta tolong? Fan, cepat bawa Alula kelu
Ego Alula meminta untuk berontak dan pergi dari acara itu, tetapi nalurinya justru diam dan menikmati prosesi demi prosesi sakral yang terjadi. Tidak dipungkiri, ia terharu, sedikit rasa bahagia, tetapi di satu sisi tidak membenarkan kebohongan Lutfan. Entah apa maksudnya, akan ditanyakan nanti.Lutfan lega luar biasa meski mungkin nanti istrinya meminta penjelasan sambil ngereog. Tidak apa, kalau sudah halal, bebas menenangkan dan menjelaskan dengan cara apa saja.Setelah berkas pernikahan selesai, itu artinya Lutfan sudah sah memiliki Alula baik dari sisi agama maupun negara. Lafal hamdalah terus digaungkan pria itu di hatinya.Beberapa foto dan video merekam semua prosesi tersebut. Tidak lupa juga, penyerahan mahar.Acara sederhana yang dimaksud Nur ternyata tidak sesederhana yang diucapkan. Setelah penghulu pergi, Alula diminta untuk berganti gaun untuk selanjutnya acara temu pengantin, sungkeman, dan walimatul ‘ursy.“Udah, jangan mikir aneh-aneh. Pasti Pak Billy kw punya alasan
“Ya Allah, sejak kapan dosen ini jadi lebay kayak gini?” gerutu Alula sambil memutar bola mata.“Sejak tadi menghalalkanmu, menyebut namamu atas nama Allah. Kamu itu candy, manis, dan bikin candu.” Lutfan mendekatkan lagi tubuhnya.“Sana keluar.” Alula mendorong suaminya agar menjauh. Lutfan tertawa kecil.“Oke, Sayang. Cepat ganti baju, kita lakukan prosesi acara selanjutnya.” Lutfan mengecup sekilas pipi Alula, lalu berjalan membuka pintu, dan keluar.Sementara Alula masih mematung bersandar pada dinding. Ia mengerjap beberapa kali karena serangan yang membuatnya senam jantung itu, lalu memegangi pipi.“Ayo Ibu bantu ganti pakaian. Sebentar lagi ada acara temu manten sekalian walimah.” Nur menyentuh lengan Alula, memintanya duduk di kursi rias.Alula hanya mengangguk, masih berdebar-debar.“Lutfan itu kalau sudah sangat dekat dengan seseorang, bakalan jahil dan usil. Ibu sudah pernah bilang kayaknya. Jadi, kamu harus membiasakan diri. Diapakan kamu tadi?”“Bu, apa Ibu dan Pak Lutfan
Lutfan mendekat, lalu menarik sang istrinya agar lekas masuk. Lantas, mengunci pintu.“Kenapa teriak?”“Bapak nggak pakek baju!”“Tapi pakai sarung, ‘kan?”Alula mengangguk, belum membuka wajah. “Tapi tetep aja horor!”Lutfan tergelak.“Sekarang sudah pakai baju koko. Kamu bisa buka.”Perlahan, Alula membuka telapak tangannya dan benar, Lutfan sudah berpakaian lengkap.“Niat banget ngerjai saya! Saya keluar ajalah.” Alula bersiap keluar kamar, tetapi Lutfan berhasil menarik tubuh istrinya.“Nggak boleh keluar. Bersihkan cepat mekapmu, mandi, lalu kita salat. Mas juga batal lagi wudhunya karena nyentuh kamu."Alula mengangguk. Dengan micellar water yang dibawa, ia mulai membersihkan mekap di meja rias milik Lutfan. Meskipun laki-laki, pria itu punya perabotan lengkap di kamarnya. Setelah itu mandi dan berwudu.Bersama Lutfan, Alula berjamaah salat Zuhur. Jika dulu pernah berjamaah Zuhur statusnya masih dosen mahasiswi, sekarang sudah jadi suami istri.Keduanya beribadah dengan khusyuk.
Azan Subuh mulai bersahutan. Alula membuka mata saat ruhnya sudah terkumpul sempurna ketika bangun tidur. Ia sedikit terlonjak ketika ada tangan melingkar di perutnya. Wanita itu mengingat-ingat dan baru sadar kalau sekarang telah bersuami.Dengan hati-hati, Alula melepaskan diri dari tangan itu. Ia lantas berdiri dan meraba kepala. Hijab sudah terlepas jarumnya. Lalu merasakan inti tubuhnya. Tidak terasa apa-apa, tidak perih. Ia mendes*h lega. Itu artinya, Lutfan semalam belum menjamahnya.Alula langsung menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah memakai baju, hijab, dan mukena lengkap, ia baru membangunkan Lutfan. Wanita itu belum siap melepas hijab jika di hadapan suaminya.“Mas, bangun!” Alula menggoyang tubuh Lutfan, berpenghalang kain mukena hingga tidak membatalkan wudu.Lutfan menggeliat, lalu menatap Alula sambil menyipitkan mata sebab silau dengan cahaya lampu.“Masyaallah, bidadari. Apa aku sedang ada di surga?” gumam pria itu sambil menguap.Alula tertawa. “Jangan l
“Habis itu apa?” todong Alula.Lutfan hanya mengedipkan mata.Setelah sarapan, Lutfan pamit kepada Nur untuk pergi berdua dengan Alula. Tentu saja wanita paruh baya itu mengizinkan. Asal tidak jauh-jauh karena pamali pengantin baru langsung pergi jauh.“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Alula ketika ia digandeng Lutfan keluar rumah menuju garasi.“Ke suatu tempat agar kita bisa leluasa berduaan, nggak diganggu orang.”Lutfan menuju Pajero Sport warna hitam dan membukakan pintu untuk istrinya. Alula tersenyum, lalu masuk. Beberapa saat kemudian, Lutfan duduk di kursi kemudi. Keduanya melenggang ke jalan raya.“Ikut Mas dulu ke kampus. Mau presensi dan ngasih tugas ke anak-anak.”“Nggak ambil cuti?”“Enggak. Cutinya nanti habis resepsi. Ini hari Sabtu, besok Minggu. Ada waktu panjang buat kita."Alula makin merasa waswas.“Minta nomor rekeningnya, Sayang. Biar Mas bisa transfer uang nafkah dan uang belanja ke kamu. Oh, ya, Mas lihat maharnya juga masih berserakan di kamar tamu. Belum kamu b
“Masih perih?” tanya Lutfan sesaat setelah mereka selesai salat Zuhur berjamaah.Alula mengangguk. “Iya. Apalagi kalo dibuat pipis. Rasanya nggak nyaman.”“Maaf, ya? Tapi lama-lama pasti terbiasa. Sering digarap, nanti juga enak.”“Mas Lutfan, iih!” Alula mencubit pelan perut suaminya.Lutfan merentangkan tangan. Pria yang memakai baju koko putih itu meminta istrinya mendekat. Pelan, Alula pun masuk. Direngkuhnya tubuh ramping itu erat.“Terima kasih, Sayang. Sudah menjaga semuanya untuk Mas.”“Aku juga makasih. Mas mau menerimaku apa adanya. Mas tadi juga memperlakukan dengan lembut. Tapi tetep aja sakit.”“Mas sangat-sangat sayang sama kamu.” Lutfan menciumi pucuk kepala istrinya.Alula seperti dejavu dengan semua ini. Ia mencoba mengingat-ingat moment yang sepertinya sudah pernah dialami. Wanita itu menggali ingatannya dan pada satu titik, ia teringat. Sontak ia melepaskan diri dari suaminya.“Mas, aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Dipeluk pria berbaju koko putih, sarung put
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi