Gue benar-benar gak nyangka bermula dari sebuah sandiwara kecil karena ingin terbebas dari pertanyaan Reyhan dan tidak mau mengecewakan orang tua, gue harus berakhir dengan menjadi istri seorang dokter senga yang punya pekerjaan sampingan jadi kepsek. Percayalah, selama gue hidup baru kali ini gue mempertanyakan, kenapa dari milyaran manusia yang ada di dunia harus Zian Putra Alamsyah orangnya? Kenapa dari semua cowok yang gue kenal, harus dia yang jadi suami gue? Tetapi, bagai bertanya sama rumput yang bergoyang sampai kapan pun gue gak dapat jawabannya. Oh, Tuhan, mau kabur aja rasanya. Namun, mengingat kebaya modern yang gue pake ini seharga motor jadi jadi gue urungkan niat gue buat kabur. Gue takut ini kebaya sobek, entar Ibu harus ganti. Kasian dahlah.Gue menatap nanar suasana akad nikah gue yang jadinya diadakan di rumah karena permintaan gue. Berhubung gue sama Pak Zian satu kerjaan, gue mau pernikahan kami ini bersifat privat tak banyak orang yang tahu dan dirahasiakan ter
Gue pandangi wajah gue di cermin dengan pasrah. Pagi ini gue gak sangka, muka gue udah berubah kayak panda baru lahiran. Bulat, belo dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya pokoknya gak banget. Bisa jadi inilah hasil dari malam pertama yang memalukan. Cuman gara-gara cicak, gue harus merelakan sebagian tubuh gue kelihatan oleh Pak Zian. Jika memikirkan kejadian semalam, ingin rasanya gue punya jurus menghilang. 'Eh, tapi kan halal Tsan?' 'Iya, sih halal tapi kan antara kami udah ada kesepakatan.''Ya elah anggap aja bonus.''Kalau bonus, gue juga sah dong lihat dada dia? Eh, astaghfirullah!'Gue mengetuk-ngetuk kepala sendiri untuk menghentikan pembicaraan batin gue yang mulai ngelantur. Jujur saja, akibat insiden 'handuk' kemarin malam gue lagi-lagi terserang insomnia. Gue gak bisa tidur karena trauma dan terbayang di mana gue hanya pakai handuk sambil digendong sama Pak Zian. Mungkin bagi sebagian orang yang pasangannya menikah dengan normal didasarkan cinta, peristiwa itu a
Pemandangan yang kulihat di lorong sekolah menjadi buah pikiran gue sampai malam harinya. Akibat itu gue tidak terlalu konsen melakukan apa pun bahkan memutuskan untuk gak datang ke pembukaan klinik. Gue memutuskan pulang karena otak dan hati gue lagi gak sinkron.Malam ini, sekali lagi gue memeriksa pintu kamar dengan rapat bagai orang bodoh. Kali ini gue gak mau berbicara apa pun dan dengan siapa pun, apalagi jika yang mengajak mengobrol itu adalah Pak Zian.Entah kenapa, semenjak gue melihat dia bersama Alina--mantan istrinya di lorong rasanya gue jadi malas bertemu dengan lelaki itu. Padahal gue sendiri gak tahu alasannya, pokoknya gak suka aja. Titik.Gue bawa tubuh ini buat berbaring miring di atas ranjang, penat rasanya memikirkan semua keraguan gue, bahkan saking gak enak hatinya, nafsu makan gue pun jadi ikutan tiarap. Gak lama gue membaringkan tubuh, gue dengar derap langkah seseorang membuka pintu rumah, sepertinya itu Pak Zian. Kami memang memiliki kunci rumah masing-masi
Seumur-umur, baru kali ini gue ngerasa hati gue dibuat mendadak dangdut sama cowok sampai pagi. Padahal seingat gue, perasaan waktu suka sama Reyhan gak sampai kayak orang gak waras kayak gini. Sumpah gue gak nyangka, hanya karena sebiji nasi hati gue yang tandus mendadak berbunga.Dengan konyolnya, gue tersenyum sendiri bak orang gila mengingat kejadian semalam di mana dengan manisnya Pak Zian mengambil satu biji nasi dari sisi bibir gue.Untungnya pagi ini, gue memaksa ke Pak Zian buat berangkat pakai motor gue sendiri. Selain biar gak bikin curiga sama pihak sekolah, gue juga takut kalau Pak Zian tahu kalau gue mulai kesengsem. Awalnya, Pak Zian nolak usul gue tapi setelah gue pakai jampi-jampi sekalian merajuk akhirnya dia merelakan gue berangkat sendiri. "Tuhan tolong aku katakan padanya, aku cinta dia! Bukan salah jodoh."Gue terus bersenandung sambil mengendarai Minie sepanjang jalan menuju sekolah tapi pas lagi asyik-asyiknya nyanyi tiba-tiba gue merasa ada yang salah. Se
Terhitung sejak kesepakatan dengan Pak Zian telah diucapkan, gue tahu kalau status gue udah jadi istri seorang Zian Putra Alamsyah--pria yang memiliki dua job dalam hidupnya. Satu job karena misi kemanusiaan yaitu menjadi dokter, satu job lagi karena tuntutan keluarga yaitu kepala sekolah.Dan terhitung sejak perjanjian bumi dan langit diucapkan, gue juga tahu kalau hidup gue sekarang udah gak bebas lagi. Namun, meski ada beberapa hal berubah tetap saja status tinggal status, rasanya hubungan ini tetap aja ada yang janggal.Pak Zian tetap gak bisa bertindak selayaknya suami, begitu pun gue gak bisa bertindak selayaknya istri. Semua itu terjadi karena bisa jadi baik gue mau pun Pak Zian masih punya rasa sama orang di masa lalu masing-masing. Walau patut gue akui, akhir-akhir ini hati gue agak beda, setelah mengenal kepribadian Pak Zian lebih dekat gue rasa hati gue mulai keracunan. Bayangan Reyhan yang biasanya jadi penghias mimpi gue perlahan memudar.Aneh. Cukup aneh.Seperti hari in
"Mantan istri mau jadi madu? Gila apa, ya? Dia yang selingkuh, dia yang nyesel eh sekarang dia sendiri yang mau balikan. Terus sekarang giliran suaminya udah punya istri, malah mau jadi madu. Aneh, ente ya Alina kadang-kadang ente! Sontoloyo!"Puas mengumpati Alina yang tadi menawarkan ide gilanya, gue cepat-cepat balik ke aktivitas yang padat. Sehabis ngobrol sama mantan istri Pak Zian, gue jadi enggak punya selera melanjutkan makan.Sepanjang bekerja dan mengajar, otak gue rasanya gak bisa diajak kerja sama. Gue justru kepikiran tentang Pak Zian dan Alina. Walau mungkin belum ada perasaan mendalam antara gue dan Pak Zian tapi jelas gue merasa terganggu atas kehadiran mantan istri suami gue tersebut.Gue tahu, dari awal mulai pernikahan ini kami udah komitmen buat menghormati masa lalu masing-masing tapi semakin ke sini entah kenapa hati gue kayak ada yang lain.Mungkin gak sih gue udah mulai menaruh rasa sama Pak Zian? Tapi masa secepat ini? Padahal gue punya rasa sama Reyhan juga ud
Sepertinya ada yang salah sama gue. Akibat kejadian kemarin di kafe, otak ini jadi sering banget ngelamun Pak Zian. Dari semalam sampai pagi gue gak bisa tidur dengan baik, rasanya benak gue jadi suka konslet karena suka senyam-senyum sendiri padahal gak ada yang lagi ngelawak.Astaghfirullah! Kacau banget. "Ealaaaah ... ada apa sih sama gue? Fokus Tsania! Fokus!"Siangq ini, gue berulang kali mencoba memfokuskan kepala pada lembar ujian siswa. Beberapa hari lagi bakal ada UTS, mumpung gak ada jadwal siang gue berencana beresin lembar soal sebelum dikumpul ke kurikulum.Namun, sayang bukannya kerja, ketika pikiran mulai fokus eh gue malah ngantuk. Ajegile! Efek kurang tidur emang berbahaya. Merasa gak bisa berkonsentrasi, gue putusin buat jalan-jalan dulu cari udara segar keluar ruang guru. Sampai di depan pintu gue menolehkan kepala ke samping, ke arah ruangan 3x4 meter yang berada sekitar lima meter dari tempat gue. Siapa sangka, ternyata ruangan sang suami sedikit terbuka sehi
Seumur-umur, kayaknya baru kali ini gue merasa sangat bersemangat buat makan siang. Benar kata pepatah, bukan perkara kamu makan dengan apa, tapi dengan siapa kamu makan? Dan itu gue rasakan sekarang. Entah berapa kali gue menelan ludah melihat menu makan siang kali ini. Gak ada angin, gak ada hujan nyatanya gue malah disiapin makan siang yang Pak Zian sengaja beli dari tukang nasi gorang depan SMANSA favorit gue.Gak sia-sia gue tadi sempat tegang pas dia nguping obrolan gue sama Bu Wini, kalau pada akhirnya gue dapat rezeki nomplok.Duileeeh! Perhatian banget kan bapak satu ini? Apa mungkin, dia sudah tertarik pada gue sebelum dijodohin? Soalnya yang tahu gue suka nasgor Mang Jono hanya keluarga dan sahabat.Ya, kali kan dia khilaf stalking gue. Agh, khayalanmu saja Nyisanak! Geer!Gue menepis rasa kegeeran dalam diri ketika melihat sebegitu baiknya suami gue."Kok bengong? Kamu gak lapar?" tegur Pak Zian saat kami sudah duduk berhadapan secara lesehan di ruang rahasia milik
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia