Selama gue hidup, rasanya gue ini termasuk anak rumahan. Berbeda sama abang-abang gue yang suka ngelaba, gue itu termasuk orang yang malas pergi ke mana-mana sekali pun dalam kota. Bagi gue yang cenderung introvert, bertemu banyak orang itu seakan menemui peperangan. Kok bisa? Ya, itu karena gue tuh orangnya serba gak enakan dan segala sesuatunya dipikirin. Kalau gue udah ketemu banyak orang, biasanya kalau pulang selalu jadi kelelahan oleh pikiran sendiri.Benak gue bisa seharian bertanya-tanya. Tadi gue salah gak ya ngomongnya? Atau tadi ada perbuatan gue yang salah gak ya? Dan banyak lagi. Kata Ibu, gue ini emang tipe introvert yang semi ekstrovert jadi kalau ketemu orang, laganya kayak yang heboh tapi pas udahnya jadi kecapean sendiri dan berujung sama menyalahkan diri sendiri akibat takut salah bersikap.Ya Salam. Kasian banget ya, gue.Sialnya, setelah lama menghindari kerumunan kali ini gue mesti pasrah karena tuntutan pekerjaan. Gue terpaksa banyak menghabiskan waktu dalam ke
'Alina Maryamah Wijaya merupakan anak sulung dari Raffi Hari Wijaya, salah satu pemilik pabrik sepatu di Indonesia dan disinyalir akan menjadi pewaris tunggal. Selain pembisnis, Alina juga merupakan model dan salah satu calon terkuat untuk menjadi Miss Indonesia selanjutnya. Menurut orang terdekatnya, Liana memutuskan bercerai dengan suaminya karena alasan yang tidak jelas. Namun, dia berharap suatu saat nanti bisa kembali bersatu dan tetap menjalankan hubungan baik dengan mantannya.'"Wow! Menjalankan hubungan baik dengan mantannya!? Mungkinkah itu Pak Zian!?" Gue mendesis sambil menutup layar ponsel jengah.Akibat gak tenang setelah Alina meminta ngobrol sama Pak Zian, entah mengapa perasaan gue jadi gak karuan. Ada rasa cemburu, kesal, bosan dan cemas dalam satu waktu yang kini sedang gue rasakan.Sialnya semua perasaan itu bikin gue jadi gabut dan cuman bisa membaca artikel tentang Alina dan Pak Zian. Gue baru tahu kalau di dunia bisnis, nama mereka cukup terkenal. Bahkan percerai
Aula ballroom hotel terlihat sangat penuh,dengan sedikit gugup gue memasuki ruangan besar itu. Ini adalah acara pembukaan 'Pelatihan Guru-Guru UKS dan Kewirausahaan Setingkat MA/SMA', pastinya semua orang hadir tak terkecuali orang penting. Gue celingukan gugup mencari kursi yang kosong. Sebenarnya, sampai di aula ballroom ini gue cukup syok melihat membludaknya jumlah peserta yang ikut pelatihan guru hari ini. Menurut sumber yang terpercaya, guru-guru pada antusias dikarenakan pembicaranya adalah dokter Zian yang merupakan suami gue. Gak sangka, suami gue cukup terkenal juga, mungkin karena dia sering diundang menjadi pembicara tentang kesehatan di kedinasan. Gue kira dia cupu ternyata suhu. Ketika gue sedang sibuk mencari tempat kosong, mata gue menangkap dua makhluk aneh yang bergerak heboh untuk memberi kode agar gue mendekati mereka dan sayangnya mereka mendapat kursi tepat paling depan. Di mana letak deretan kursi itu persis di belakang sofa para orang penting kedinasan dan
Gue menelan ludah, mata ini berkali-kali mengerjap dan bibir gue gemetar. Tidak sangka di saat gue batuk malah mendapat pertanyaan yang membuat diri ini jantungan. Gue edarkan pandangan pada beberapa pasang mata yang mulai menelisik. Berbagai macam ekspresi mereka membuat perasaan gue gak karuan. Terutama Bu Wini dan Pak Joan, kedua orang itu tampak kaget karena gak nyangka kepala sekolah mereka yang duda nyatanya sudah menikah lagi padahal rumor tentang rujuk dengan sang mantan banyak terjadi. Duh, kacau! Gue yakin nih pulang dari sini Bu Wini pasti syok berat soalnya sekarang juga wajahnya udah merah padam.Dia bahkan menatap gue kayak mau menerkam. "Beneran Pak Zian udah nikah? Jadi selama ini Bu Tsania tahu ya? Kok Bu Tsania gak bilang!?" bisik Bu Wini. Matanya udah sepenuhnya memerah, gue kira perasaan Bu Wini emang udah dalam sama Pak Zian.Gue menggelengkan kepala. "Aku gak tahu Bu, serius.""Terus kenapa Ibu batuk pas dia bilang udah nikah? Kenapa?""Ehem! Kenapa Bu Tsania
Salah. Ya ini salah. Gue kira ada yang salah dalam diri gue malam ini. Seharusnya, di malam ini sekarang gue sudah terlelap di bawah belaian pulau yang bernama bantal. Seharusnya sekarang gue juga udah beristirahat karena badan ini rasanya sangat capek tapi sayangnya di sisi lain mata dan pikiran justru gak bisa diajak kompromi, inginnya itu terus saja terbuka seraya memikirkan teka teki apa yang terjadi antara Pak Zian dan Alina. Entah berapa kali gue bergonta-ganti posisi di atas kasur queen bad tapi hasilnya nihil. Rasa kantuk sama sekali gak datang dan tinggallah rasa gelisah.Biasanya, jika kamar ini ber-AC pastinya gue bisa langsung tidur tapi anehnya malam ini kenyamanan yang gue rasakan sama sekali gak membantu karena resah ini membuat badan dan hati jadi gerah.Ish! Menyebalkan. Hal yang seperti ini nih yang membuat gue gak suka dengan kata 'cemburu'. Gue akui mungkin tadi terlalu sensitif untuk masalah Pak Zian tapi tetap aja kali ini berbeda dari sebelumnya, sepanjang g
Apartemen Jarden? Ada apa dengan apartemen itu? Untuk apa Pak Zian ke sana? Bukankah dia bilang mau ke rumah sakit dan seingat gue dia juga bakalan operasi pagi, rasanya aneh kalau dia harus ke apartemen bukan ke hotel karena perlengkapannya ada di kamar.Anehnya seolah menambah rasa penasaran gue, mendadak ponsel Pak Zian sampai sekarang belum aktif. WA-nya pun terakhir dilihat adalah saat dia meneleponku.Gue yang gak puas langsung menghubungi pihak rumah sakit Belinda yang disinyalir menjadi tempat bertugas Pak Zian juga tempat berada ibunya Alina. Namun, ketika gue menghubungi rumah sakit untuk menanyakan perihal keberadaan suami gue, nyatanya Pak Zian gak ada di rumah sakit. Ish! Cukup mengherankan! Ini tak pernah terjadi sebelumnya.Ada apa sebenarnya? Ke mana kamu Mas? Kamu seolah ditelan bumi. Please jangan bikin gue suudzon. Astaghfirullah!(***)Gue menghela napas panjang, menyeka keringat yang bercucuran di kening. Gara-gara mengingat pesan Mas Januar pagi ini gue benar-ben
Taksi online yang gue tumpangi akhirnya berhenti tepat di depan gerbang kediaman Ibu. Setelah menyerahkan uang pada sopir gue bergegas masuk.Saking terburu-burunya gue bahkan gak memperdulikan penampilan yang awut-awutan dan Hana yang melambaikan tangan. Kulihat Hana baru saja mau pergi setelah berkunjung tapi karena melihatku datang dengan menangis, dia jadi enggan pergi. Namun, kali ini bukan itu yang menjadi fokus pillihanku karena diri ini sedang merasa sakit, terkoyak dan hancur. Gak disangka perjuangan dan harapan gue untuk bisa berlayar dengan Pak Zian akhirnya harus berakhir hanya karena suami gue masih mencintai istri pertamanya. Bodoh! Tolol! Seharusnya sejak awal gue gak usah menyepakati hal ini. Persetan dengan semua sandiwara yang perlahan bikin gue sakit. Gue benci. Gue benci Pak Zian! BRAK. Dengan kencang, pintu gue buka dengan kasar membuat Ibu dan Bik Iyem yang sedang membereskan ruang tamu sontak menoleh. Tapi, lagi-lagi gue gak perduli, gue memilih untuk berj
Jantung gue berhenti mendadak. Pikiran gue kacau dan gue biarkan buliran itu mengalir ke pipi tanpa henti. Setelah dapat info kalau Pak Zian mengalami kecelakaan, gue buru-buru berlari keluar dan mengambil motor yang terparkir. Tanpa memperdulikan Hana mau pun Ibu yang memanggil nama gue, gue memacu motor bagaikan kesetanan menuju rumah sakit tempat Pak Zian dirawat. Meski hujan besar mengguyur badan karena Bandung sedang diguyur hujan, sekuat mungkin gue tetap melewati mobil dan motor yang menghalangi jalan.Otak gue sekarang benar-benar kalut dan setengah gak waras karena sangat cemas.Setelah sampai di rumah sakit dan memarkirkan motor di parkiran. Gue menyeret tubuh yang basah dan tak bertenaga berlari menuju ruang informasi.Di depan meja informasi, gue lekas merangsek maju, gak perdulikan pandangan orang lain yang diseruduk antriannya saking pusingnya. Gue juga gak perduli lagi pada semuanya, fokus gue sekarang hanya buat memastikan kondisi Pak Zian. Ya, gue ingin hanya ingin t
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia