POV AksaAku melangkah gontai memasuki kamar apartemen. Suasana sepi yang menyapaku menyadarkan kalau gak ada lagi Jingga di sini. Sehari tanpa Jingga, bagiku benar-benar berat. Biasanya jika aku pulang, wajah Jingga yang ceria akan menghiburku tapi kali ini berbeda. Tak ada lagi sosok yang dengan nyaman bermanja padaku dan tak ada lagi seseorang yang memelukku ketika aku rindu. Hampa. Rasanya begitu sangat hampa. Bahkan apartemen ini terasa seperti kuburan saking sunyinya. Setelah meletakkan tas kerja, aku menyandarkan kepala ke punggung sofa sambil mengeluarkan ponsel. Kupandangi foto-foto Jingga yang tersimpan di galeri ponselku yang diambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Wajah Jingga yang manis dan berbagai fose candidnya membuatku cukup terhibur. Namun, ketika menyadari kalau kejadian menyenangkan ini bisa jadi tidak akan terulang, perlahan hatiku terasa semakin remuk seolah dicincang puluhan pisau tajam. Rasa bersalah, cinta, kemarahan dan emosi semuanya seakan menjadi padu d
Aku tersenyum menatap pemandangan indah nan syahdu yang ada di depanku.Dari tadi mataku asyik memengamati aktivitas pagi di desa Ciomas. Kulihat banyak warga yang lalu lalang, dari mulai beberapa warga yang sibuk bercocok tanam sampai anak-anak kecil yang semangat bermain air genangan semuanya tampak bahagia. Inilah suasana yang sudah lama aku rindukan, tanpa sangka setelah belasan tahun tidak pulang situasi di kampungku tidak jauh berbeda. Hanya sedikit perubahannya, salah satunya yaitu jalanan ke sini saja yang mulai bagus dibanding saat dulu aku merantau ke Bandung dan bekerja pada Bu Zela. Diam-diam aku bersyukur, bisa menyaksikan semua ini lagi dari rumah bibikku yang teras belakangnya menghadap langsung ke area persawahan.Aku yakin kalau Bu Zela lihat ini pasti akan senang sekali, mertuaku itu sangat suka dengan kesederhanaan. "Haaah!"Aku mendesah lelah ketika menyadari kalau belum apa-apa hatiku sudah rindu saja pada keluarga Prawira. Tak kupungkiri meski aku memutuskan men
POV AuthorAksa menepikan mobilnya di tepi sebuah rumah yang memiliki halaman yang cukup luas. Ia melihat lagi dirinya di pantulan kaca spion.Wajahnya terlihat semakin lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya tampak semakin jelas. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaannya yang memang sudah kacau. Setelah menghembuskan napas beberapa kali akhirnya dia pun memutuskan untuk turun dari mobil. Aksa menarik napas masygul ketika memasuki halaman. Rupanya inilah rumah Bik Awin, rumah singgah sementara Jingga jika pulang ke kampung halaman. Melihat kondisi rumahnya, Aksa tak heran jika Jingga bisa jadi kerasan di sini. Walau tak semewah miliknya, rumah panggung Bik Awin sangat nyaman dan asri. Terutama rumah ini bereda tepat di daerah persawahan dan di belakangnya terdapat bukit yang Aksa tidak tahu bukit apa namanya. Sejujurnya, Aksa agak ragu untuk menemui Jingga sekarang tapi masih ada yang harus ia jelaskan dan ia pun cemas jika tak bertemu Jingga lama-lama. Dia
Aku menatap ke luar jendela, sama sekali tak membuka percakapan dengan Kalila karena sibuk mengamati jalanan yang mulai menjauh dari daerah perkotaan. Aku sengaja tidak tidur atau bersantai karena tengah bersikap waspada dan bahkan diam-diam aku mengirimkan lokasi terkini ke Nino kalau-kalau aku tidak bisa pulang dengan selamat. Sayangnya semakin jauh kami berkendara, GPS sudah tidak bisa diakses.Aku gelisah tapi tak mau menunjukannya. Aku tidak mau Kalila menilai aku takut padahal aku sendiri yang menyanggupi permintaannya untuk mengikuti. Kupikir ini satu-satunya cara untuk membuka maksud terselubung dari seorang Kalila. Sebenarnya, seusai Kalila bilang ingin menemuiku untuk memberi informasi mengenai kesalahan Mas Aksa yang katanya lebih besar dari berselingkuh, mendadak rasa respect-ku pada Kalila menguap begitu saja dan insting wanitaku langsung memberi kode bahaya.Jujur, awalnya aku sempat tidak perduli pada omongan Kalila, terlebih aku merasa sudah tak ada gunanya lagi meng
Rasanya aku ingin tertawa sumbang atas apa yang sedang terjadi padaku sekarang. Seorang wanita yang sok jagoan dan bodoh telah berhasil diperdaya oleh dua wanita yang pernah mencintai suamiku sendiri. Pantas saja, anjing pasti temannya anjing. Tak heran jika mereka bisa bersama untuk merencanakan hal jahat ini."Dasar tolol! Di mana otakmu, Jingga? Kamu hanya cari mati dan nekat tanpa perhitungan!" Begitulah isi batinku tak henti memaki semenjak aku dijebak dan berakhir terperangkap di kamar tertutup, dalam kondisi badan terikat. Parahnya, aku bahkan hendak dijadikan mangsa bagi Mang Ardi dan teman-temannya di geng semut hitam. Ya Allah apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi bulan-bulanan mereka!Menyadari ketololanku, tanpa terasa air mataku kembali mengalir. Walau rasanya aku sudah lelah menangis karena merasa menyesal dan bersalah pada Mas Aksa karena telah gagal mempercayainya tetap saja aku sangat ketakutan sekarang. Terkadang orang yang balas dendam lebih me
Mataku perlahan terbuka ketika mencium bau obat-obatan yang membuatku mual dan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit ruangan yang bercat putih.Aku nggak sadar bagaimana caranya aku bisa sampai di sini. Hanya saat ini kurasakan kepalaku kembali berdenyut, rasanya seolah-olah kepala ini ditusuk ribuan paku. Sakitnya nggak kira-kira hingga aku mengeluarkan sebuah rintihan kecil."Aww!""Eh, Jingga udah bangun? Tsabit! Tsania! Jingga udah bangun!" Suara lantang Bu Zela yang antusias membuat dua orang tetiba datang masuk ke ruagan. "Alhamdullilah ya Allah. Jingga ... akhirnya kamu bangun Ga," ujar Tsabit dengan nada parau dan berat. Pria itu terlihat lega, begitu juga gadis yang ada di sampingnya. Aku tersenyum lemah kepada mereka, bersyukur bisa melihat kedua adik iparku lagi. Pandanganku teralih pada Ibu mertuaku. "Kenapa Jingga bisa di sini, Bu?" tanyaku bingung. Sepertinya aku mengalami disorientasi waktu juga tempat."Kamu pingsan Jingga, kepala kamu kayaknya dibentur oleh
Seminggu telah berlalu pasca insiden tapi Mas aksa masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Di sisi lain aku pun sama masih tetap bolak-balik kampus dan rumah sakit sambil mengerjakan tugas kuliah. Aku ingin ketika Mas Aksa siuman dia akan merasa bangga karena istrinya telah mengerjakan skripsi.Malam ini, seperti biasanya sepulang dari kampus aku langsung menjenguk suamiku. Aku tidak boleh telat karena kasian pada Bu Zela, Pak Alfa atau Tsania yang kadang menggantikanku menjaga Mas Aksa saat kuliah.Kok, cuman mereka bertiga ke mana Tsabit? Aku tahu pasti banyak yang bertanya tentang itu.Nah itulah masalahnya. Usai pertemuan kami terakhir di kafe di mana dia mengungkapkan perasaannya dan diakhiri dengan adegan mengejar Hana, Tsabit seolah menghindariku. Entah apa alasannya tapi dia tiba-tiba menjadi orang asing. Namun, meski menjadi berbeda anehnya aku malah bersyukur karena dengan begini Tsabit dan aku jadi bisa menjaga satu sama lain. Terutama kata Bu Zela, baik Tsabit atau Hana
Tinggal satu hari lagi Mas Aksa berada di rumah sakit, akhirnya setelah lebih dari seminggu berada dalam observasi, besok nanti Mas Aksa diperbolehkan pulang karena tampaknya fisik Mas Aksa lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama Mas Aksa di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya kadang juga aku sampai mengerjakan skripsi di sini. Kupikir, selaku dosen sepatutnya Mas Aksa juga bisa membantu. Namun, ternyata memiliki suami dokter dan dosen sekaligus gak bagus juga, sebab terkadang kalau udah datang bawelnya aku suka berasa dengerin ceramah non stop. Otak Mas Aksa yang memiliki kecerdasan nasional di atas rata-rata sepertinya jomplang sekali dengan otakku yang hanya sesendok, sehingga ketika dia memberikan arahan, alhasil aku hanya bisa bengong sambil ngupil. "Mas, kayaknya aku gak usah sarjana aja deh, aku nyerah." Aku menelungkupkan tangan di atas meja yang ada di ruang rawat VIP. Rasanya kepalaku udah mau pecah gara-gara dari pagi sampai sore gak henti menelaah buku. Di
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia