Selamat membaca ... jangan lupa vote dan komennya, ya. Makasi*Mba Sri mencoba untuk menghubungi nomor Bu Dian sekali lagi, tapi, percuma. nomornya tidak diangkat.Tak berapa lama, datang panggilan masuk dari nomor Bu Rani."Hallo, Assalamualaikum Bu Rani." jawab Mba Sri seramah mungkin, walaupun sebenarnya dalam hatinya masih diliputi rasa heran akan sikap Bu Dian barusan."Jeng, saya mau, Jeng Sri sekarang juga ke toko sayur saya, tolong jeng tanggung jawab karena semua pelanggan saya hari ini pada protes. Karena katanya sayuran di warung saya ngikut-ngikut jenis sayuran di warung Jeng Sri," pekik Bu Rani, sampai-sampai Mba Sri sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya."Ada masalah apa tho, Bu? Apa hubungannya dengan saya?" jawab Mba Sri seraya memijat-mijat pelipisnya."Pokoknya Jenengan ke sini dulu, Saya ga mau tau. Jenengan, kan, sudah janji, karena nuduh Saya sembarangan waktu itu, Jenengan bilang bakalan ngelakui apa saja buat nebus kesalahan jenengan," ucap Bu Rani berapi-a
Wajah Bu Rani mulai pias, ia tak menyangka kalau Mba Sri berani mengancamnya balik seperti itu."Iya, iya, Jeng. Pokoknya hari ini Jenengan bantu dulu menghabiskan stock sayuran di warung saya," sungut Bu Rani."Huh, dasar Bu Rani. Mau sukses, kok, ga mau susah! Udah lah, besok-besok mending aku langsung belanja ke warung Mba Sri sekalian aja, lah. Gapapa mahal dikit." ucap Ibu tadi.Kemudian datang lagi beberapa orang Ibu-ibu yang Mba Sri kenali tinggal persis di sebelah rumah Bu Dian. Ibu-ibu ini memang jarang terlihat berkumpul dengan Ibu-ibu komplek yang lain, seperti Bu Rani, Bu Susi, Bu Dwi, Bu Jihan dan yang lain, karena mereka hanya bisa keluar rumah saat hari libur saja. Mereka adalah pekerja kantoran yang pagi-pagi buta sudah harus berangkat bekerja dan baru akan pulang malam harinya. "Mungkin Saya bisa cari informasi mengenai Bu Dian dari mereka." batin Mba Sri."Eh, ada Bu Asmita dan Bu Cahya, lho. Tumben banget keluar rumah, saya hampir lupa lho, sama wajah Ibu-ibu berdu
Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ya. Makasi udah mampir. Semoga suka. **"Kasman, kamu tau, alamat Bu Dian di Tegal? Rencana Saya, nanti malam kita berangkat. Saya mau menemui Bu Dian langsung," ucap Mba Sri pada Kasman melalui sambungan telepon."Siap, Bu. Saya tau.""Tolong tanggung jawab kamu di gudang dan di warung sayur, kamu alihkan dulu ke yang lain. Ini Saya juga sedang minta izin dari Bapak. Untuk kepastiannya, nanti Saya hubungi kamu lagi, ya.""Mudah-mudahan Bu Dian mau menemui Saya, biar masalah ini segera selesai," gumam Mba Sri sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya. ***"Ini, Bu. Alamat rumah Bu Dian," Kasman menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana. Rumah khas pedesaan yang materialnya terbuat dari kayu, halamannya cukup luas, di sekelilingnya ditanami tanaman apotik hijau beraneka jenis. Terletak di pedesaan, tepatnya berada di kaki gunung Slamet. Sejauh mata memandang, tampak beberapa bukit hijau yang sebagian ditanami sayu
Mba Sri sedikit terkejut dengan sikap Bu Dian, tapi ia berusaha tetap menjaga emosinya, "Maaf Bu, kalau kedatangan Saya menganggu, Saya cuma berniat untuk silaturahmi, saya ga mau masalah yang sebenarnya saya juga belum tau apa, menjadi berlarut-larut. Makanya saya datang ke sini, karena saya telepon, Bu Dian juga tidak ada tanggapan." Mba Sri menjeda kalimatnya, "Jadi tolong, Saya mohon jelaskan, ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba sikap Bu Dian berubah sama Saya?""Bukannya Mba Sri sendiri juga sudah tau dari Kasman?" Bu Dian melirik Kasman yang duduk di sebelah kirinya. "Jadi benar, Bu Dian marah sama Saya, karena kerjasama baru perusahaan kami dengan klien, yang ternyata sebelumnya adalah klien perusahaannya Bu Dian?"Bu Dian hanya diam, tidak mengiyakan, tapi tidak juga membantah. "Begini ya Bu, soal kerjasama itu, jujur Saya ga tau menau, karena itu adalah urusan suami. Saya juga baru tau dari Kasman kalau ternyata perusahaan kami tidak sengaja telah mengambil klien
"Keluar dari rumah saya, sekarang!" usir Bu Dian masih sambil menangis. "Ga, Bu. Saya ga akan pergi dari rumah ini sebelum urusan kita selesai!" ucap Mba Sri tegas. "Sekarang, Bu Dian bangun, kita bicara baik-baik. Saya yakin, Ibu bisa berpikir jernih dan bisa menilai masalah ini dari berbagai sisi. Ibu harus mendengar juga keterangan dari Saya.""Saya sudah tidak mau berurusan dengan Mba Sri lagi, ga ada yang perlu kita bicarakan! Sekarang Mba Sri pergi dari rumah saya!" Bu Dian tetap dengan keputusannya, ia terlihat masih sangat emosi. Sepertinya Mba Sri datang di saat yang kurang tepat. "Saya lebih percaya dengan apa yang anak saya ceritakan, dan semuanya sudah jelas.""Mas, maaf siapa nama kamu?" tanya Mba Sri kepada sosok pemuda yang sedari tadi hanya berdiri diam di pojok ruangan, ia hanya melihat Ibunya tanpa ada pergerakan untuk membantu. "Gusti, Bu.""Jadi, perusahaannya Gusti yang menurut Bu Dian sudah kami rugikan?" Pemuda itu mengangguk pelan. "Bisa saya lihat laporan k
Pak Bagyo semakin naik darah. "Pak Rifai dan Bu Sri itu ga salah, mereka hanya mencoba menawarkan produk baru dari perusahaannya secara online di market terbuka, dan kebetulan klien kita tertarik, karena merasa produk yang kita kirimkan semakin lama semakin jelek kualitasnya. Tadinya aku malah mau minta bantuan, kok, ke mereka. Eh ini ... Ibu malah ngedarin edaran yang enggak bener tentang mereka." Pak Bagyo yang memang baru saja pulang ke rumah setelah beberapa minggu berada di luar negri merasa kaget setelah mendengar tentang semua hal yang terjadi, termasuk apa yang sudah Bu Dian lakukan. "Sekarang, gimana aku punya muka mau minta bantuan ke mereka? Hah, Ibu ini, udah bikin Bapak malu!" "Maafin Ibu, Pak. Ibu hanya berusaha untuk membantu. Jadi ketika Bapak pulang, Bapak sudah bisa bernapas lega. Ibu berpikir ini adalah salah satu tindakan yang tepat untuk memberi pelajaran ke mereka.""Tapi, pelajaran apa yang ingin Ibu berikan sama mereka? Kan, mereka ga salah, Bu. Masa pedagang
"Gusti!! Bicara yang benar, Kamu!" hardik Pak Bagyo marah. Gusti bukannya menjawab, malah terus menunduk, ia semakin ketakutan setelah dibentak keras oleh bapaknya. "Sudah, Pak. Ayo kita keluar, temui mereka." Bu Dian menarik tangan suaminya. Suasana di luar rumah Bu Dian sudah sangat ramai, para petani sayuran sudah berkumpul sambil membawa bertruk-truk sayuran hasil panen kebun mereka. Mereka menuntut Bu Dian untuk segera membelinya sesuai dengan apa yang pernah Bu Dian janjikan. Mereka juga membawa satu dirigen besar minyak tanah yang akan dipergunakan untuk membakar hasil panen mereka di depan rumah Bu Dian jika Bu Dian tidak segera menepati janji. "Sabar, Bapak-bapak. Saya akan berusaha menepati janji, Saya." ucap Bu Dian setenang mungkin, berkebalikan dengan suasanan hatinya yang juga sangat merasa ketakutan. Pak Bagyo suaminya, juga hanya diam, dan cenderung tak peduli dengan permasalahan yang disebabkan oleh istri dan anaknya. "Jangan janji-janji terus, Bu. Ini sudah ketig
"Minggu depan, Salsa mau pulang ke Indonesia, lho, Mas," ucap Mba Sri saat sedang menikmati makan malam bersama Mas Pai. "Oh, ya? Apa kuliahnya lagi libur? Kok tumben pulang?""Mas, ini, gimana, si. Anak sendiri pulang bukannya seneng, malah dibilang tumben. Kan Aku kangen, Mas, sama Salsa. Udah hampir setahun, ga, ketemu.""Bukannya gitu, Ma. Salsa, kan, emang paling males pulang, kalau ga beneran penting. Udah kerasan jadi bule, kayaknya dia," sahut Mas Pai sambil tertawa. Ia memang paling senang menggoda Mba Sri dengan menggunakan putri bungsu mereka, soalnya Salsa yang justru paling mirip Mba Sri, tapi malah yang paling tidak dekat dengan ibunya. Mba Sri lebih dekat dengan kedua putranya yang lain, sedangkan Salsa lebih dekat dengan ayahnya."Katanya, ia, sedang mengambil tugas akhir dan ia mengambil tema thesisnya tentang sayuran organik, ya udah dia pulang, sekalian ambil data.""Wah, bagus, tu, Ma. Cepetan deh, Salsa lulus, biar kita bisa cepetan istirahat. Nanti Dika yang men