“Syukurlah, rebut kembali apa yang menjadi milikmu. Jadilah wanita yang kuat dan memiliki keberanian untuk berdiri di atas kebenaran, Nak.” Ratih mengangguk tanpa ragu.
“Baik, Ma,” jawab Ratih tegas.Lalu keduanya melihat Deva memberikan liontin tersebut kepada Lusi."Bunda aku sudah mendapatkan liontin ini, walau harga yang kubayar sangat mahal tapi itu bukanlah sebuah masalah bagiku.” “Yang penting aku bisa melihat istriku kembali membuka kedua matanya dan aku bisa melihat seulas senyum manis di wajah Ratih," ucap Deva seraya memberikan kalung liontin giok tersebut kepada Lusi.“Katakan, harga apa yang harus kamu bayar untuk mendapatkan liontin ini?” tanya Lusi kepada Deva dengan wajah khawatir.“Aku, belum siap mengungkapkannya. Jika Ratih nanti sudah sadar, ijinkan aku menyampaikannya kepada Ratih dulu baru kepada Bunda dan ayah serta papa.” Melihat wajah murung Deva, Lusi memutuskan untuk tidak memaksanya.““Aku percaya kepadamu, Ratih! Aku tidak akan meragukanmu lagi. Lihatlah, apa yang baru saja terjadi. Kumohon kembalilah kepadaku, Sayang. Aku sangat mencintaimu, aku membutuhkanmu Ratih,” ucap Deva sepenuh hati. Walau di dalam ruangan tersebut tidak ada angin puting beliung tetapi penyatuan kedua liontin tersebut membuat Deva seolah mendengar suara angin ribut. Matanya pun silau terpapar oleh cahaya terang berwarna kuning. Sangat terang, hingga ia tidak lagi mampu untuk sekedar mengintip. Terpaksa dipejamkanlah kedua matanya. Bersamaan dengan kejadian yang dialami oleh Deva, Ratih yang berada di alam sana merasa seperti tersedot dalam sebuah pusaran air yang kembali membuat dadanya sesak. “Mama, apa yang terjadi kepadaku?” tanya Ratih kepada Nadira saat ia merasa tertarik ke dalam sungai yang jernih tersebut. Nadira lantas memegang tangan Ratih. “Jangan dilawan, pasrah saja. Kamu akan kembali bertemu dengan suamimu lagi, Ratih. Janga
"Bunda?" lirih Ratih mengeluh memanggil Lusi. Lusi mendekat, tapi Ratih masih terdiam dan memilih untuk mengingat sejenak apa yang barusan terjadi. Lalu sekelebatan ingatan saat bertemu Nadira membuatnya teringat akan sensasi dada yang sesak seperti tenggelam. Ia lalu merasakan ngilu yang luar biasa di bagian perutnya. "Perutku sakit, Bunda," keluh Ratih saat Lusi menghampirinya dan duduk di sisi Ratih. "Iya, Nak. Bunda tahu memang sakit, tapi yang terpenting adalah sekarang kamu sudah sadar. Kamu sudah bangun dan kamu sudah kembali kepada kami," ucap Lucy penuh haru. Ratih mengangguk lemah, ia pun menoleh melihat seorang pria yang sangat dirindukannya. Ia mendengar suara Deva tapi ada sesuatu yang sangat aneh. Suara itu terdengar jelas di telinga Ratih walau Deva tidak mengatakan apa-apa. Deva terlihat hanya menatap Ratih dengan bibir yang terkatup rapat. Hanya matanya yang berbicara dengan memancarkan kesedih
"Kamu justru harus melindungi apa yang kamu miliki sekarang demi masa depanmu." Ini adalah nasehat yang disiapkan oleh Lusi untuk Ratih, ketika Ratih datang ke rumahnya. Sayangnya belum sempat datang musibah itu sudah terlanjur menimpa Ratih. "Iya Bun, aku akan mempercayai suamiku dan akan menghormatinya. Sama seperti bagaimana Bunda bersikap kepada ayah." Mendengarnya Lusi pun lega. Ia lalu menatap Deva seolah berbicara ‘katakan saja yang sebenarnya’. Melihat tatapan Lusi, Deva pun seolah paham, ia mengangguk mengerti. "Baiklah kalau begitu kamu bersama suamimu dulu ya. Bunda sama Jakse ada urusan di luar. Bunda juga harus mengabarkan kepada ayah dan Mas Abizar bahwa kamu sudah sadar, Nak.” “Ayo Jakse, kami juga harus mengurus sesuatu kan?" ajak Lusi sambil menatap Jakse seolah mengajaknya untuk meninggalkan sepasang suami istri ini. Jakse spontan mengangguk dengan cepat. "Benar, saya juga harus keluar sebentar, Tuan Deva.
"Bener Nyonya. Terima kasih untuk keputusan yang sangat bijaksana ini," ucap Jakse bersyukur. Dengan begitu Jakse tidak perlu terlalu menghadapi kepanikan tuan besarnya. Kembali ke dalam kamar perawatan, sebuah kepercayaan yang Ratih tanamkan kepada Deva semakin membuat pondasi pernikahan mereka menjadi lebih kokoh. Rasa cinta keduanya pun semakin bertambah lebih dalam lagi. Terkadang kita akan sadar betapa kita sangat mencintai seseorang di saat kita akan kehilangan dirinya. "Jika saja kamu tahu, Ratih. Saat aku mendengar dirimu berada di sini, rasanya aku mau mati saja," cerita Deva tak kuasa menumpahkan kesedihannya saat pertama kali ia menerima panggilan telepon dari orang asing. Ratih mengangguk. "Aku tahu, jika kamu hancur, Deva. Aku pun merasakannya Deva, entah bagaimana walau dalam kondisi tidak sadarkan diri, tapi aku tau kamu tidak baik-baik saja,” “Tapi kini masa yang paling sulit dan buruk, sudah kita lalui, Say
“Bagaimana, Tante?” tanya Deva terdengar khawatir. Sedikit terbelalak Hastuti sampai mundur satu langkah ke belakang dengan wajah yang cukup pucat. "Bagaimana mungkin lukamu bisa kering secepat ini? Rasanya sangat tidak masuk akal," gumam Hastuti dalam hati. Ratih yang bisa mendengar isi hati Hastuti pun juga cukup terkesiap. Ternyata kelebihannya bukan saja dapat membaca pikiran orang tetapi ia seperti benar-benar dilindungi dari maut. "Lukamu kering lebih cepat dari yang seharusnya, aku rasa besok sudah bisa cabut jahitan ya Ratih. Padahal kalau luka seperti ini biasanya membutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk bisa cabut jahitan,” “Kamu baru saja masuk rumah sakit satu hari kan? Tapi sudahlah, kita syukur saja kemajuan signifikan kesehatanmu. Ini memang sebuah keajaiban yang paling nyata. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan hanya Tuhan saja yang tahu sekarang,” “Saranku, kamu istirahat y
Saat itu juga ia segera meminta pak Ratmin untuk menuju ke rumah kayu.“Ratmin, kita ke rumah kayu yah,” titah Deva.Ratmin tersenyum lebar dan langsung mengangkat satu jempol tangannya. “Siap, Tuan!” sahut Ratmin semangat.“Makasi yah, Dev,” ucap Ratih dengan manja lalu menyandarkan kepalanya di bahu Deva dan segera disambut dengan kecupan lembut di dahi sang istri.“Sama-sama, Sayang.” Deva menatap Ratih penuh cinta.Sebuah jalan yang lebih kecil dari jalan utama dilalui oleh Ratih. Kiri kanannya tentu saja masih banyak pohon karet dan juga ada sawit. Ini pertama kalinya Ratih memasuki area kebun pribadi milik Deva.Jalan kecil itu cukup menanjak, lalu menurun curam. Pada saat jalanan mulai rata terlihat di samping kiri kanan terdapat jembatan yang di bawahnya dialiri air sungai yang sangat jernih. Pak Ratmin lalu memarkirkan mobilnya di pinggir sungai tersebut.“Silahkan turun,
“Tapi, aku ingin bercinta,” keluh Ratih sambil mendesah frustasi. “Apalagi, aku.” Deva juga mengeluh sambil memijat kepalanya yang mendadak pusing. Keduanya tidak sadar bersamaan menghela nafas panjang lalu menoleh satu sama lain dan terbahak bersama. “Oh, Tuhan. Kita memang pengantin baru mesum yang tidak tau keadaan,” kikik Ratih malu dengan dirinya sendiri. “Begitulah, habis kamu suka sekali memancing geloraku.” Deva lalu memeluk Ratih dan menenggelamkan wajahnya di tengkuk Ratih. “Kita pulang sekarang yah,” ajak Deva dan Ratih masih protes. “Kok pulang? Katanya mau tidur di sini?” tolak Ratih sudah terlanjur betah di rumah kayu tersebut. “Tampaknya rencanaku kacau karena tubuh kita yang sudah basah seperti ini. Kita pulang saja dulu, kalau mau kembali boleh saja asal kita membawa pakaian ganti, okay?’ rayu Deva kepada Ratih. Ratih akhirnya mengangguk nurut dan membuat Deva lega. Keduanya lantas kembali turun ke bawah. Terlihat Pak Ratmin setia menunggu keduanya di depan mo
Sesi mandi sekaligus bercinta membuat Ratih dan Deva sedikit bisa mengurangi rasa rindu satu sama lainnya. Kini keduanya telah terbaring dengan senyuman yang mengembang di wajah mereka. “Kalau melakukannya dengan lembut, aku pasti tidak bisa terlalu lama,” keluh Deva lalu memiringkan tubuhnya dan memeluk Ratih. “Empat puluh menit kamu bilang tidak lama? Yang benar saja,” kekeh Ratih lalu mengecup bibirnya Deva dengan lembut. “Kalau begitu sekarang tidurlah, besok kita akan jalan-jalan lagi. Ke rumah kayunya besok saja yah,” ucap Deva. “Baiklah, aku juga harus beristirahat,” sahut Ratih lalu memejamkan kedua matanya. Kesokan paginya, Ratih memilih untuk lebih dulu membersihkan diri. Kalau Deva yang memandikannya, maka akan episode ke dua untuk pertarungan nikmatnya semalam. Ratih lalu keluar dari kamar dan melihat Deva sudah tidak ada di dalam kemar tersebut. Sesuatu kembali mengusik batin Ratih. Ia menjadi tidak sabar untuk
Deva dan Ratih saat itu juga langsung menghubungi Lusi dan Abizar. Selama ini, Deva dan Ratih sengaja menutupi dan menyembunyikan kalau ingatan Ratih sudah kembali untuk kepentingan penangkapannya Rangga.“Bunda, bisakah kita bertemu malam ini juga?” tanya Ratih pada Lusi.Malam ini sudah pukul sebelas malam, Lusi mengira ada masalah baru lagi. “Baiklah, Nak. Bunda akan ke sana sekarang yah,” jawab Lusi segera bergegas.“Bunda, nanti dijemput sama pak Ratmin yah,” ucap Ratih.“Baiklah, Bunda akan bersiap sekarang juga,” jawabnya.Benar saja, saat dirinya sudah siap dengan jaket di tubuhnya, mobil pribadi Deva sudah menunggunya di depan."Selamat malam, Pak Ratmin. Maafkan, anakku yang memerintahkanmu malam-malam menjemputku ke sini," sapa Lusi merasa tidak enak hati dengan sopir setianya Deva.Ratmin menatap prihatin kepada Lusi. "Saya tahu kondisi kesehatan anak anda, memang sangat mengkhawatirkan dan sangat menyedihkan, Nyonya Lusi. Tetapi, yakinlah Tuhan pasti berpihak kepada yang
“Saudara Tania dan Leni, anda ditangkap karena sudah melakukan penipuan dan penggelapan serta pembunuhan berencana terhadap korban Susantio!”Alan datang dan langsung segera memborgolnya, sedangkan anak buah yang lainnya langsung datang bergerak meringsek masuk.Mereka segera menuju ke dalam kamar hotel mewah tersebut untuk menangkap Leni. Keduanya digeret ke lantai satu dan dimasukkan ke dalam mobil tahanan.Habis sudah mimpi mereka untuk menjadi orang kaya raya. Saat itu juga Leni masih berusaha untuk melepaskan dirinya menggunakan kekuatan hipnotisnya kepada para polisi. Tetapi sayang, semua itu tidak berlaku bagi para polisi yang saat ini bersama dengannya.“Apa yang sedang kau lakukan, Bu? Kenapa, dari tadi mulutmu umak umik tidak jelas,” kekeh salah satu anak buahnya Alan.Leni pun geram mendengar ejekan tersebut. “Kalian harus melepaskan kami saat ini juga! Ini, adalah perintahku,” ucap Leni tegas berusaha untuk menghipnotis orang yang mengejeknya.Tetapi Alan datang dan menepu
“Tentu saja, aku ingin mencari para wanita tetapi bukan hanya satu wanita. Aku ingin sepuluh wanita tercantik dan terseksi, yang ada di tempat ini.” Rangga tampak sangat takabur.“Satu malam akan ku bayarkan dua juta setengah untuk mereka. Aku akan menyewa mereka selama waktu yang aku inginkan,” sambung Rangga.Wanita di hadapannya langsung mengalungkan tangannya di leher Rangga. “Di mana anda akan menginap? Kami akan menuju ke sana, Tuan tampan,” ucap wanita itu.“Berikan saja nomor ponselmu, aku akan mengirimkan waktu dan tempatnya,” jawab Rangga.Wanita itu pun segera bergegas mengeluarkan sebuah kartu nama kepada Rangga. “Anda bisa memanggil saya kapan saja dan sembilan wanita lainnya akan siap melayani anda.” Rangga tertawa dengan puas.Ia lalu beranjak pergi ke sebuah showroom mobil. Dilihatnya, sebuah mobil Lamborghini berwarna merah tua dengan harga dua setengah milia
“Ah, Tuan!” ucap Ara saat dadanya menabrak dada bidangnya Rangga, hingga membuat darah Rangga berdesir.“Kapan kau akan pulang kerja, hari ini?” tanya Rangga to the point, masih dalam kondisi memeluk Ara tanpa ada jarak diantara tubuh keduanya.“Aku akan pulang dua jam lagi, bagaimana?” tanya Ara menahan senyuman lebar di bibir.Ia sudah tau apa niatan pria yang dikenalnya sebagai Raka ini. Hanya dengan saling menatap saja, Ara sudah bisa menebak kalau Raka tertarik padanya.“Bisakah sebelum kau pulang, kau mengirimkan seorang desainer dan belikan aku beberapa pakaian yang sekiranya tampak casual? Juga, aku membutuhkan beberapa pakaian resmi untuk pertemuan bisnisku,” ucap Rangga sambil tertawa geli dalam hatinya.“Oke bisnis man, sambil kau menunggu, aku aku akan mengirimkan beberapa orang yang kau perlukan,” jawab Ara yang tanpa segan meraba dadanya Rangga dengan lembut, se
“Okay, Sayang. Aku pasti akan membei rumah yang terbaik untuk kita. Pergilah dari kekangan keluargamu dan hiduplah berdua denganku di sana. Aku yakin, kau dan aku akan hidup bahagia selamanya,” kekeh Rangga.Ratih mengangguk dan berusaha menatap Rangga dengan bahagia. “Baiklah, Sayang. Aku percayakan semuanya padamu,” jawab Ratih sambil mencium punggung tangannya Rangga.“Kalau begitu, bisakah kau pesankan aku tiket pesawat hari ini? Aku sudah bosan di sini dan aku ingin segera menggunakan nama baruku Raka Sagabara, bagus tidak?” kekeh Rangga.Ratih mengangguk. “Nama yang sangat indah, cocok dengan tampilanmu yang sangat tampan,” jawab Ratih membuat Rangga juga terbahak dan tampak bangga.“Terima kasih, Sayang. Berarti, kita akan langsung mengambil tiket tersebut?” tanya Rangga dan Ratih menunjukkan e-tiket pada ponselnya.“Pesawat akan berangkat tiga jam lagi. Kau tida
“Lalu, kapan kau mengirim uangnya? Aku tidak mungkin menunggu kau selesai sampai masa pemulihan. Rumah itu harus segera dibayar, Rangga.” Nia mendengus saat membaca pesannya Rangga.“Aku tidak bisa menunggu sampai kau selesai masa pemulihan yang baru akan berakhir tiga minggu lagi!” dengus Nia.Rangga pun sudah mulai kesal, ia memilih untuk mengarsipkan pesan dari Nia dan mengirimkan pesan pada Ratih. “Ratih, kapan kau datang ke tempatnya dokter Charles? Aku, merindukanmu,” ucap Rangga.Ratih yang pada saat itu sementara berbelanja di sebuah supermarket yang besar bersama dengan Saka dan Deva lantas terdiam. Ia mematung saat membaca pesannya Rangga dan menunjukkan pesan itu kepada Deva.“Lihatlah apa yang harus aku lakukan?” Deva tersenyum menanggapi pertanyaannya Ratih.“Lakukan saja apa yang dia inginkan, bukankah dia baru saja meminta uang tambahan. Kirim saja sepuluh miliar lagi. Dengan begitu, dia akan terus memberikan kabar padamu tanpa kau perlu bertemu dengannya.” Ratih pun me
Saat melihat wajahnya sendiri, Rangga tampak sangat takjub. “Gila! Aku, sangat tampan!” ucapnya sangat puas saat menatap gambar dirinya di sebuah cermin kecil.Ia tahu kalau dirinya saat ini sudah siap untuk mengubah identitas aslinya. Cermin di tangan Rangga diberikan kembali pada dokter Charles, sambil menyeringai puas.“Terima kasih, Dokter. Ternyata uang yang dibayarkan oleh calon istriku, sepadan dengan hasil yang kau berikan!” Charles pun tersenyum, hingga membuat mata sipitnya semakin menghilang.“Hari ini kau sudah bisa melakukan proses foto untuk keperluan mengganti identitasmu. Tulis saja siapa nama yang kau inginkan di sebuah kertas putih. Tanggal lahir dan untuk alamat, aku sudah memberikan alamat yang tidak akan ditemukan oleh siapapun,” terang Charles.Ia sudah terbiasa membantu pelarian para mafia, maupun bandar narkoba. Dirinya cukup berpengalaman, untuk hal-hal illegal seperti ini. “Raka Sagara! Aku menginginkan namaku menjadi Raka Sagara, Dokter Charles,” ucapnya sam
Leni sedikit mendapatkan firasat tidak enak. Akhirnya, Nia pun menganggukkan kepalanya. “Okey, Bu. Kita, berangkat sekarang.”Keduanya pun segera menuju ke sebuah kantor pemasaran, tampak gedung bertingkat yang sangat tinggi. Dengan penampilan bak artis ibukota, mereka jalan penuh percaya diri.Siapa saja yang menatap mereka, tahu kalau orang-orang ini memakai pakaian mahal. Juga, tas serta sepatu yang bernilai fantastis. Mereka pun segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk Nia dan Leni.“Selamat pagi, Bu. Silahkan masuk,” sambut salah satu penerima tamu dan memberikan welcome drink kepada kedua wanita yang tampak kaya raya tersebut.Mereka sangat menikmati pemujaan yang luar biasa tersebut. “Ya, selamat siang. Aku mau membeli rumah, apa aku bisa melihat beberapa tipe-tipe rumah yang saat ini siap huni?” tanya Nia dengan sombong.“Oh baik, Ibu. Boleh, Ibu perkenalkan nama Ibu siapa ter
“Bu, pakaian di sini pun di bandrol paling murah senilai satu juta setengah, tolong jangan mempersulit pekerjaan kami,” ucap pelayan tersebut berusaha menyadarkan Leni.“Lancang mulutmu!” pekik Nia dan Leni langsung mengangkat tangannya untuk mencegah kemarahan anaknya.Leni ingin tetap tampi dengan elegan dan bersikap seperti orang kaya pada umunya. Leni lantas mengatupkan bibirnya dan menoleh kepada pelayan tersebut.Sedangkan, Nia sudah hendak menghajar pelayan itu. tetapi dicegah oleh Leni. “Oh, benarkah harga pakaian ini satu juta lima ratus paling murah? Kalau begitu, ini!” Leni menjeda sebentar ucapannya seraya memberikan tumpukan pakaian yang ada di pelukannya pada pelayan tersebut.Ia menatap tajam pelayan itu dan berbicara dengan kesan yang sangat mengintimidasi. “Hitung semua pakaian ini, aku akan membayarnya sekarang. Bila perlu, kau dan seisi ruangan ini pun akan kubeli,” ucap Leni dingin dengan menatap nyalang pada wanita itu.