Fio bergegas memakan makanannya dengan tidak nafsu. Pagi itu dirinya kembali tidak mendapatkan lauk karena telur yang dirinya kumpulkan pecah. Dia sengaja makan di tempat yang jauh dari teman-teman satu kelompoknya supaya tidak ada yang melihat ketika dirinya hanya makan dengan nasi dan sayur saja.
“Ini makanlah!”
Sepotong telur dadar diletakkan begitu saja ke atas piring Fio. Gadis itu mengerutkan keningnya dan mendongak. Matanya membulat seketika saat sosok Bian berdiri dengan membawa piring.
“Ta-“
Belum selesai Fio mengatakan sesuatu, Bian sudah berlalu pergi dari sana dengan wajah datarnya. Fio kemudian kembali menatap piringnya. Sepotong telur dadar di atas nasi yang masih mengepul membuat hati Fio menghangat.
Dia menghela napas panjang. Kemudian senyuman terbit di bibirnya. Dia mulai memotong telur dadar tersebut menjadi dua bagian. Fio kemudian menatap punggung Bian yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya. Fio ber
Fio merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran single. Matanya menatap langit-langit kamar kos yang dia tempati selama menempuh pendidikan di kota pelajar tersebut. Dua hari mengikuti acara berkemah membuatnya merasa rindu dengan kamar sederhana itu.Benaknya kembali melayang pada kejadian minggu pagi di mana dia mendengar obrolan antara Bian salah satu panitia bernama Donny. Helaan napas lolos begitu saja melalui bibirnya. Setelah dia selesai makan tadi pagi, Bian hanya memintanya untuk kembali bergabung dengan kelompoknya. Pemuda itu tidak mengatakan apapun lagi. Seolah-olah apa yang kemarin terjadi bukanlah hal yang penting untuk Bian.Fio bahkan harus menerima tatapan sinis maupun mendengar ucapan dari beberapa orang yang menjadi saksi ketika Bian menarik tangannya meninggalkan Prisa begitu saja.“Ckh!” dia berdecak.Sudah pasti dirinya akan diberi label sebagai gadis penggoda pacar orang. Fio menggaruk kepalanya dengan kesal.
“Halo, Kak!” Fio duduk di sebelah mahasiswi yang sedang sibuk dengan bukunya.Fio tersenyum kala mahasiswi tersebut menoleh dan menatapnya dengan satu alis terangkat. Dia nampak menutup bukunya dan bersedekap.“Ada apa?” tanyanya.Fio mengulurkan tangannya. “Kenalkan nama saya Fio, saya dari fakultas kedokteran,” kata Fio ramah.Gadis berambut pirang di sampingnya itu hanya menatap Fio dengan wajah malasnya. “Oh, kamu yang katanya sudah menggoda Bian kemarin waktu makrab, ya?” tanya gadis itu tanpa perasaan.Fio menarik tangannya dengan senyum yang langsung lenyap dari wajah cantiknya. “Saya tidak pernah menggoda Bian,” sanggah Fio dengan cepat.“Sudah mengaku saja! Di kelasku, kamu sudah terkenal sebagai gadis yang menggoda Bian, aku berbicara jujur seperti ini karena aku kasian dengan Prisa.” Dia kemudian berdiri dari duduknya. “Prisa adalah orang baik, dia tidak
“Aku akan membersihkan namamu, bagaimana?” tanya Bian.Fio melempar tatapannya ke arah lain. “Kenapa kamu memaksaku seperti ini?” tanya Fio masih tidak habis pikir dengan sikap Bian yang suka membuatnya bingung.“Karena aku ingin, Fi.” Tatapan Bian melembut.Fio bahkan kini ingin berlama-lama menatap mata itu. Tatapan yang dulu selalu Bian berikan untuknya. Fio menghela napas pelan.“Sikapmu membuatku bingung, aku mohon jangan seperti ini, Bi.” Gadis itu kembali membuang tatapannya ke sembarang arah.“Sikapku yang mana yang membuatmu bingung?” tanya Bian.“Kamu jangan bersikap baik seolah-olah kamu peduli padaku,” kata Fio.“Aku memang peduli padamu, aku merasa bersalah kamu jadi bahan gunjingan di kampus,” sahut Bian dengan cepat. “Aku hanya ingin menebus kesalahanku, maaf.” Bian masih memperhatikan wajah yang selama ini selalu mengisi mal
Setengah jam sudah berlalu dengan sangat cepat. Suasana yang terasa kaku begitu mendominasi. Tidak ada percakapan penting yang terjadi di antara mereka berdua, kecuali mengenai pertanyaan-pertanyaan yang Fio ajukan kepada Bian guna melengkapi tugasnya.“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membantuku,” kata Fio dengan tulus.Bian mengangguk dan segera berdiri. “Aku harus segera pergi,” ucap Bian dengan nada setengah hati.Fio masih sibuk mengemasi barang-barangnya. “Hmm, aku mengerti!” sahutnya yang terdengar begitu menyesakkan di telinganya sendiri.Bian tidak mengatakan apapun lagi kepada Fio. Pemuda itu memilih berjalan menjauh dan pergi dari sana. Fio seketika menghentikan kegiatannya. Dia mendongak dan menatap langit yang terlihat cerah.“Kenapa dia selalu membuatku bingung?” katanya kemudian mendesah kecewa.Fio kemudian menoleh ketika mendengar suara pintu yang terbuka. “Kenap
Fio tidak mengerti kenapa perasaannya untuk Bian bisa bertahan selama ini. Jika dia bisa memilih, maka Fio lebih memilih Rey. Pemuda itu selalu ada di dekatnya, sejak dulu hingga detik ini. Rey tidak pernah sungkan untuk memberikan perhatian kepada Fio. Meskipun status mereka hanya sebatas teman.Rey yang selalu menemaninya ketika hatinya sedang sedih maupun bahagia. Hal-hal kecil yang dilakukan pemuda itu tidak pernah luput dari perhatian Fio. Seperti malam ini, Rey sedang berada di kosan Fio sambil membawa roti bakar rasa cokelat untuk Fio. Mereka berdua duduk di bawah beralaskan karpet berwarna cokelat.“Makanlah!” ucap Rey.“Kamu tidak perlu repot membawa roti bakar ke sini, Rey.”“Aku tahu kalau kamu belum makan malam,” sahut Rey dengan cepat. “Dan aku tahu kalau kamu pasti akan menolak jika aku ajak untuk makan malam sekarang,” lanjut Rey.Fio terkekeh. “Ya, kamu memang benar! Kalau begitu
Rey menoleh ke belakang, sedangkan Fio jelas sudah hafal dengan suara pemuda yang kini berdiri di depan kamar kosnya dengan wajah marahnya.“Bian?” Rey buru-buru berdiri dan menyingkir dari ranjang Fio.Gadis yang masih cukup terkejut dengan kedatangan Bian itu beranjak duduk dan menatap mantan kekasihnya dengan wajah penuh tanda tanya. “Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Fio.“Brengsek!” Bian melepaskan kantong plastik dari tangan kirinya begitu saja.Pemuda itu langsung maju ke depan dan memukul Rey hingga teman sekelasnya itu terpental ke belakang. Fio membekap mulutnya.“Bian!” Fio segera berdiri dan berlari menubruk tubuh Bian yang hendak memukul Rey lagi.“Lepasin, Fi!” Bian berusaha menjauhkan tubuh Fio yang menempel begitu erat di tubuhnya.“Jangan pukul Rey lagi!” pinta Fio dengan nada yang nyaris bergetar.“Kenapa?” Bian berdiri dengan
Fio menatap ponsel pintarnya dengan penuh tanda tanya. Dia tidak mengerti kenapa Bian tiba-tiba kembali mengajaknya bertemu. Fio masih menimbang-nimbang apakah dirinya harus menjawab pesan dari Bian tersebut atau tidak.“Kebetulan sekali kita bertemu di sini.”Fio yang sedang duduk di depan perpustakaan kampus mendongak dan seketika matanya melebar. “Bian?” katanya.Fio buru-buru mengamati sekitarnya. Hal tersebut membuat Bian ikut mengamati sekitarnya. Tidak ada apapun yang di temukan Bian. Pemuda itu kemudian duduk di sebelah Fio.“Ada apa?” tanya Bian.“Kamu pacar Prisa, aku hanya memastikan tidak ada Prisa atau orang yang berpihak pada Prisa secara buta melihatmu duduk di sampingku sekarang,” jawab Fio tanpa menoleh ke arah Bian.“Oh!” Bian hanya mengangguk.“Bagaimana dengan pesanku tadi?” tanya Bian. “Kenapa kamu tidak membalasnya?” lanjut Bian p
“Terima kasih karena sudah mentraktirku makan,” kata Fio sambil menyerahkan helm kepada Bian.Bian tersenyum dan mengangguk. “Sama-sama, Fi.”Fio kemudian menyerahkan kantong plastik berisi buku-buku yang tadi dibelinya kepada Bian. Pemuda itu menatap Fio dan kantong plastik itu secara bergantian.“Ini untukmu! Anggap saja ini hadiah untukmu yang sudah mau berteman denganku setelah sekian lama kamu menghilang.” Fio tersenyum lebar.“Fi.”“Aku senang bisa berteman denganmu, kamu adalah salah satu orang baik yang pernah singgah di hidupku meskipun kini kamu menetap sebagai teman,” sahut Fio.Bian menerima pemberian Fio dengan perasaan campur aduk. “Fi, maaf.” Bian menatap Fio dengan wajah penuh penyesalan.Fio tersenyum tipis. “Simpan maafmu itu untuk Prisa karena kamu sudah berteman dengan gadis yang paling dia benci di muka bumi ini.”B
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t