“Apa gosip itu benar?”
Fio berdiri di pinggir lapangan dengan tas ransel yang sudah ada di punggungnya. “Hmm, benar,” jawabnya.
Bahu Rey merosot ke bawah. “Jadi selama ini kamu terus menolak untuk pergi bersamaku karena kamu dan Bian sudah bersama?” Rey tahu dirinya sedang memilih untuk menyakiti hatinya sendiri.
“Ya, aku sudah menjadi kekasih Bian,” jawab Fio.
“Ah I see!” Rey menganggukkan kepalanya dengan mata yang menyorotkan rasa kecewa.
“Selamat ya.” Rey tersenyum.
“Terima kasih.” Fio ikut tersenyum.
“Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi, Fi,” Rey tersenyum dan pergi meninggalkan Fio tanpa menunggu gadis itu menjawab ucapannya.
Fio menatap punggung Rey yang semakin menjauh. “Ada apa dengannya?” Fio bergumam kemudian mengangkat bahunya acuh.
***
“Terima kasih sudah mengantarku pulang
“Apa kamu merasa senang?”Fio menoleh kemudian tersenyum lebar. “Hmm, tentu saja aku senang!” jawabnya.Bian ikut tersenyum. Pemuda dengan kulit putih bersih dan juga hidung mancung itu menatap beberapa anak kecil yang sedang bermain di taman itu.“Es krimnya enak sekali!” kata Fio dengan nada yang terdengar antusias.Bian menoleh ke samping dan terkekeh geli melihat bagaimana Fio memakan es krimnya. “Kenapa kamu selalu seperti anak kecil saat makan es krim?” Bian mengusap ujung bibir Fio dengan jempolnya.Fio terbelalak kaget. Dia menatap wajah Bian tanpa berkedip. Bibir Fio terbuka ketika melihat Bian menjilat es krim dari jempolnya dengan mata yang tidak lepas dari Fio.“Bi?” Fio bergumam.“Kenapa?” Bian tersenyum. “Kamu ingin aku menciummu di sini?” tanya Bian dengan nada jahil.“Ekhm!” Fio segera mengalihkan tatapannya ke arah l
Gadis bermata bulat itu menutup kepalanya dengan bantal. Bibir bawahnya sudah dia gigit dengan kuat.“Kamu pikir aku bisa menerima kamu kembali karena kamu lebih kaya dari Bima?!” Rahma berteriak. “Kamu salah, Anjar! Semuanya karena bapak dan ibumu bukan karena laki-laki brengsek seperti kamu! Aku menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku sendiri!” Rahma meraih vas bunga di atas meja.Praangggg!Satu lagi, vas bunga kembali menjadi korban. Rahma melemparnya dan hampir mengenai Anjar.Anjar naik darah. “Jaga ucapanmu!” Anjar berjalan cepat menghampiri Rahma dengan mata berapi-api.Plakk!Satu tamparan keras berhasil membuat tubuh Rahma terhuyung-huyung. Suasana kemudian berganti menjadi hening, dingin dan mencekam.Fio semakin menggigit bibir bawahnya hingga mulai berdarah. Sekuat tenaga dirinya menahan isakannya hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Fio sudah tidak sanggup lagi
Fio berjalan pelan melewati kamar kedua orang tuanya. Langkahnya terhenti dan dia menoleh sekilas sebelum kemudian dirinya kembali berjalan menuju ke arah dapur. Pukul setengah lima pagi, Fio terbangun karena rasa dingin yang menembus ke tulang-tulangnya serta rasa rasa sakit di sekujur tubuhnya karena tertidur di atas lantai kamar.Gadis itu segera meneguk satu gelas penuh air putih kemudian berjalan untuk mengambil sapu dan juga pengki untuk membersihkan rumahnya yang berantakan karena terdapat banyak pecahan kaca. Helaan napas lolos begitu saja kala dirinya memunguti satu demi satu pigura foto keluarganya yang pecah berserakan di lantai.“Awww!” Fio meringis kala merasakan goresan pada telapak tangannya. “Ssshhhh!” gadis itu mendesis kala menatap telapak tangannya yang sudah terluka cukup dalam akibat kecerobohannya sendiri.Fio mengambil pecahan-pecahan kaca dengan tangan telanjang serta lamunan yang membawa ingatannya kembali ke masa
“Nad, apa kamu bisa membantuku?” Fio berbisik dengan nada lirih.Nadya melirik ke arah Fio sekilas. “Selama aku bisa, aku akan membantumu,” kata Nadya tidak kalah lirihnya.“Sepulang sekolah tolong temani aku ke kantor Papaku, ya?” Fio menatap gurunya yang sedang menerangkan pelajaran matematika di depan kelas.Nadya mengangguk. “Oke, nanti aku akan menemanimu,” jawabnya dengan mata yang juga sama seperti Fio, tetap menatap ke depan.“Nadya dan Fio!”Fio memejamkan matanya sejenak. “Iya, Bu.” Fio tersenyum kaku.“Kalian silahkan keluar kelas sekarang juga!” Guru matematika Fio sudah menatap mereka berdua dengan tatapan setajam elang.***“Sekertaris Papa sedang pergi, Nad.” Fio menatap meja kosong di depannya.Nadya memajukan bibirnya. “Hmm.” Gadis itu menganggukkan kepalanya.“Kamu bisa menunggu di sa
Fio sedang memandag lurus ke depan. Matahari terasa lebih terik hari itu. Banyak pikiran yang datang silih berganti.“Bagaimana kalau Papa dan Mama bercerai?”“Aku ikut siapa sebaiknya?”“Apa Mama benar-benar membenciku?”“Aku ingin keluargaku kembali harmonis.”Semua perntanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja di benaknya membuat Fio menghela napas berkali-kali demi meredakan gejolak di dalam dadanya yang semakin terasa menghimpit paru-paru hingga dia terasa seperti sulit bernapas.Ketika Fio masih terhipnotis dengan bunga-bunga yang tumbuh di taman itu, rasa dingin dengan tiba-tiba terasa di pipi kanannya. Fio tersentak dari lamunannya dan la
“Aku sedang memintamu untuk membantuku,” jawab gadis itu yang kini berjalan dengan pelan ke arah Bian.Bian meneguk salivanya kala melihat kemeja Fio yang sudah terlepas dan menyisakan tanktop berwarna putih. “Fio berhenti!” Bian berdiri kala melihat Fio hendak membuka rok sekolahnya.Fio menatap wajah Bian yang terlihat panik. “Kenapa?” tanya Fio dengan nada pelan.“Kalau yang kamu inginkan adalah hal yang ada di dalam kepalaku, maaf aku tidak bisa.” Bian menggelengkan kepalanya.Mata gadis itu memerah. Dia berjalan dengan cepat menuju ke arah Bian dan meraih tengkuk pemuda itu. Dengan sekali gerakan, Fiooo menempelkan bibirnya ke atas bibir Bian. Pemuda yang lima belas sentimeter lebih tinggi di banding Fio itu terbelalak dengan bibir yang terkatup rapat. Fio menggerakan bibirnya yang sayangnya sama sekali tidak bisa membuat Bian tergoda.Bian tersentak dalam hitungan detik. Dia seger
“Ini gaji Bian bulan ini,” kata pemuda yang sedang mengulurkan amplop berwarna putih ke depan ibunya.Helaan napas terdengar keluar dari bibir Ningsih. “Jangan memberikan Ibu semua gajimu,” kata Ningsih.Bian mendongak dan tersenyum. “Ibu tenang saja, aku sudah menyimpan sendiri bagianku, oh ya kemarin malam Bian juga sudah memberikan sedikit uang saku untuk Nara.” Bian melirik ke samping kanannya.“Iya Bu, Kak Bian sudah memberikan Nara uang jajan.” Gadis yang selalu menjadi penghibur Bian dan ibunya tersenyum.“Nara harus belajar yang rajin,” kata Bian sambil mengusap puncak kepala Nara dengan sayang.“Iya pasti, Kak!” Nara terkekeh riang.Pagi itu, seperti biasanya, suasana hangat sangat terasa di meja makan berbentuk persegi yang terbuat dari kayu itu. Bian, pemuda yang terlihat keren dan tampan ketika sedang bermain basket adalah sosok yang ikhlas bekerja untuk menc
Setelah makan malam selesai, Fio mengajak Rey untuk ke ruang tamu. Rey tentu saja sangat senang karena kali ini niatnya mendekati Fio tidak mengalami gangguan. Pemuda dengan kulit putih dan juga mata berwarna coklat itu segera duduk di sofa yang berada di depan Fio.“Ada apa kamu ke rumahku?” tanya Fio.Rey tersenyum. “Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat.” Rey menatap Fio yang pipinya terlihat lebih tirus.“Dan beruntungnya kamu, karena aku baru selesai memasak makan malam yang sebenarnya lebih cocok di sebut makan sore,” Fio terkekeh.“Ya, aku memang beruntung.” Rey ikut terkekeh.“Fio?!”Fio dan Rey menoleh ke arah pintu rumah yang sengaja Fio buka ketika mereka berada di runag tamu. Mata Fio membulat sempurna. Dia segera beranjak berdiri sedang Rey terlihat masih tenang di tempatnya duduk.“Kamu menghindari aku karena sibuk bersama dengan Rey?!” Suara Bian t