Nadya menampilkan wajah sedih dan juga kecewa. “Ya,” jawabnya dengan lirih.
Jantung Fio berdegup kencang. “Kenapa kamu mau melakukannya? Kalian bahkan belum menikah dan kita bahkan masih duduk di bangku SMA.” Fio benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Nadya dan juga Dio.
“Kami saling cinta, terlebih aku sudah terlanjur mencintai Dio setengah mati,” jawab Nadya sambil mengangkat bahunya acuh.
Fio menghela nafasnya dalam. “Kalau kamu yang katanya sudah di cintai saja masih bisa di lukai, apalagi aku yang masih berstatus teman?” Fio menundukkan kepalanya dengan kerutan-kerutan di dahinya.
“Fi?” Nadya mencoba memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman baiknya itu.
Fio mendongak. “Nad, apa kamu tidak takut kalau kamu sampai eumm…” Fio menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. “Apa kamu tidak takut hamil?” Fio berhasil membuat beberapa orang di se
“Nanti pulang sekolah denganku, ya?” kata Rey yang tengah mengendarai motor sport-nya.Fio menatap jalanan di sekitar mereka. “Oke,” jawabnya singkat.Rey menatap pantulan dirinya dari kaca spion. “Fi, apa kamu sedang ada masalah?” tanya Rey.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Fio.Rey menghela napasnya dalam kemudian tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Sampai saat motor Rey berhenti di lampu merah, mata Fio terbelalak.“Bian?” Rey menepuk bahu Bian yang sedang menaiki sepeda motornya.Posisi yang berjejer membuat Bian bisa menatap wajah Fio dengan jelas. “Hai Rey,” sapa Bian.Bian hanya melirik Fio dengan raut wajah datar. Pemuda itu sama sekali tidak menyapa Fio. Hanya sebentar, karena setelahnya lampu hijau menyala.“Aku pergi dulu, Rey,” kata Bian.Rey terlihat mengangguk kemudian berbelok ke kanan di mana sekolahnya dan Fio
Fio menoleh ke samping. Dia meneguk salivanya dengan pelan. Mata Bian menatapnya dengan tajam.“Katakan kalau kamu tidak benar-benar menginginkan Rey!” Fio dapat melihat urat-urat di leher Bian yang tercetak jelas.“Aku tidak perlu melakukannya, ini semua bukan urusan kamu,” kata Fio. “Aku harus segera pulang.” Fio berdiri dari duduknya.Bian dengan cepat menangkap pergelangan tangan Fio dan menarik gadis itu hingga Fio kembali terduduk di bangku taman.“Bi?” Mata Fio melebar merasakan cengkeraman tangan Bian yang terasa erat.Dengan sekali tarikan, tubuh Fio semakin mendekat dengan Bian. Tanpa permisi, Bian memajukan wajahnya. Mata Fio membulat sempurna kala bibir Bian sudah menempel di atas bibirnya. Benda kenyal dan juga lembut itu seketika membuat kaki Fio terasa tidak bertenaga.Bian dengan pelan mulai menggerakkan bibirnya pelan. Tubuh Fio menegang dengan sempurna saat Bian meraih tengkuk
“Kita berhenti di sini sebentar,” kata Bian kemudian menepikan motornya.“Bukankah semalam kita sudah ke taman? Kenapa sekarang ke taman lagi?” tanya Fio dengan kerutan di dahinya.Bian diam sambil melepaskan helmnya. “Ayo!” Bian meraih tangan Fio dan menggandengnya.Mereka berdua berjalan menuju ke sebuah pohon besar yang terlihat rindang. “Duduk!” kata Bian kepada Fio yang masih berdiri di depannya.Fio menatap Bian yang sudah duduk di atas rerumputan di bawah pohon tersebut. “Aku tidak pernah sadar kalau taman di sini sangat asri,” kata Fio yang kemudian duduk di sebelah Bian.“Hmm, kamu tidak pernah memperhatikan beberapa hal yang sebenarnya sangat sesuai dengan keinginanmu,” kata Bian.Fio mengerutkan dahinya. “Maksud kamu?” tanyanya.“Taman ini sangat nyaman untuk mengobrol, bahkan tempat yang aku pilih sekarang untuk kita duduk juga
“Apa gosip itu benar?”Fio berdiri di pinggir lapangan dengan tas ransel yang sudah ada di punggungnya. “Hmm, benar,” jawabnya.Bahu Rey merosot ke bawah. “Jadi selama ini kamu terus menolak untuk pergi bersamaku karena kamu dan Bian sudah bersama?” Rey tahu dirinya sedang memilih untuk menyakiti hatinya sendiri.“Ya, aku sudah menjadi kekasih Bian,” jawab Fio.“Ah I see!” Rey menganggukkan kepalanya dengan mata yang menyorotkan rasa kecewa.“Selamat ya.” Rey tersenyum.“Terima kasih.” Fio ikut tersenyum.“Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi, Fi,” Rey tersenyum dan pergi meninggalkan Fio tanpa menunggu gadis itu menjawab ucapannya.Fio menatap punggung Rey yang semakin menjauh. “Ada apa dengannya?” Fio bergumam kemudian mengangkat bahunya acuh.***“Terima kasih sudah mengantarku pulang
“Apa kamu merasa senang?”Fio menoleh kemudian tersenyum lebar. “Hmm, tentu saja aku senang!” jawabnya.Bian ikut tersenyum. Pemuda dengan kulit putih bersih dan juga hidung mancung itu menatap beberapa anak kecil yang sedang bermain di taman itu.“Es krimnya enak sekali!” kata Fio dengan nada yang terdengar antusias.Bian menoleh ke samping dan terkekeh geli melihat bagaimana Fio memakan es krimnya. “Kenapa kamu selalu seperti anak kecil saat makan es krim?” Bian mengusap ujung bibir Fio dengan jempolnya.Fio terbelalak kaget. Dia menatap wajah Bian tanpa berkedip. Bibir Fio terbuka ketika melihat Bian menjilat es krim dari jempolnya dengan mata yang tidak lepas dari Fio.“Bi?” Fio bergumam.“Kenapa?” Bian tersenyum. “Kamu ingin aku menciummu di sini?” tanya Bian dengan nada jahil.“Ekhm!” Fio segera mengalihkan tatapannya ke arah l
Gadis bermata bulat itu menutup kepalanya dengan bantal. Bibir bawahnya sudah dia gigit dengan kuat.“Kamu pikir aku bisa menerima kamu kembali karena kamu lebih kaya dari Bima?!” Rahma berteriak. “Kamu salah, Anjar! Semuanya karena bapak dan ibumu bukan karena laki-laki brengsek seperti kamu! Aku menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku sendiri!” Rahma meraih vas bunga di atas meja.Praangggg!Satu lagi, vas bunga kembali menjadi korban. Rahma melemparnya dan hampir mengenai Anjar.Anjar naik darah. “Jaga ucapanmu!” Anjar berjalan cepat menghampiri Rahma dengan mata berapi-api.Plakk!Satu tamparan keras berhasil membuat tubuh Rahma terhuyung-huyung. Suasana kemudian berganti menjadi hening, dingin dan mencekam.Fio semakin menggigit bibir bawahnya hingga mulai berdarah. Sekuat tenaga dirinya menahan isakannya hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Fio sudah tidak sanggup lagi
Fio berjalan pelan melewati kamar kedua orang tuanya. Langkahnya terhenti dan dia menoleh sekilas sebelum kemudian dirinya kembali berjalan menuju ke arah dapur. Pukul setengah lima pagi, Fio terbangun karena rasa dingin yang menembus ke tulang-tulangnya serta rasa rasa sakit di sekujur tubuhnya karena tertidur di atas lantai kamar.Gadis itu segera meneguk satu gelas penuh air putih kemudian berjalan untuk mengambil sapu dan juga pengki untuk membersihkan rumahnya yang berantakan karena terdapat banyak pecahan kaca. Helaan napas lolos begitu saja kala dirinya memunguti satu demi satu pigura foto keluarganya yang pecah berserakan di lantai.“Awww!” Fio meringis kala merasakan goresan pada telapak tangannya. “Ssshhhh!” gadis itu mendesis kala menatap telapak tangannya yang sudah terluka cukup dalam akibat kecerobohannya sendiri.Fio mengambil pecahan-pecahan kaca dengan tangan telanjang serta lamunan yang membawa ingatannya kembali ke masa
“Nad, apa kamu bisa membantuku?” Fio berbisik dengan nada lirih.Nadya melirik ke arah Fio sekilas. “Selama aku bisa, aku akan membantumu,” kata Nadya tidak kalah lirihnya.“Sepulang sekolah tolong temani aku ke kantor Papaku, ya?” Fio menatap gurunya yang sedang menerangkan pelajaran matematika di depan kelas.Nadya mengangguk. “Oke, nanti aku akan menemanimu,” jawabnya dengan mata yang juga sama seperti Fio, tetap menatap ke depan.“Nadya dan Fio!”Fio memejamkan matanya sejenak. “Iya, Bu.” Fio tersenyum kaku.“Kalian silahkan keluar kelas sekarang juga!” Guru matematika Fio sudah menatap mereka berdua dengan tatapan setajam elang.***“Sekertaris Papa sedang pergi, Nad.” Fio menatap meja kosong di depannya.Nadya memajukan bibirnya. “Hmm.” Gadis itu menganggukkan kepalanya.“Kamu bisa menunggu di sa
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t