POV Daren
Bagus sekali, gadis itu tengah mengumpat dan mengataiku dengan kencangnya. Lancang sekali dia. Tapi kenapa, aku malah suka melihatnya mengataiku seperti itu sekarang? Ah, aneh sekali. Apa aku benar-benar mulai menyukainya?Akan kucoba untuk mendekatinya. Aku yakin, gadis itu akan terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba ini.
"Apa salahku?" tanyaku pada gadis itu. Benar saja, gadis itu terlonjak kaget seraya membalikkan badannya. Wajahnya begitu pucat pasi, dengan derai air mata yang terus mengalir tiada henti. Apa aku memang sekejam itu? Tapi, apa salahku. Dia bahkan hanya salah paham padaku. Pergi begitu saja tanpa tahu apa sebenarnya yang aku lakukan tadi.
"Tu-Tuan! Se-sejak kapan Anda di sini?" ucapnya malah balik bertanya kepadaku, bukannya menjawab. Nada bicaranya juga bergetar, aku yakin, ia sangat takut kali ini.
"S
POV Zoya."Aaah..., Apa yang aku lakukan barusan? Dasar menyebalkan! Aku bahkan sudah mengira, jika pria itu akan menciumku. Bodohnya aku. Kenapa aku bisa sepercaya diri itu? Mau di taruh di mana mukaku, jika aku bertemu lagi dengannya," gumamku pada diri sendiri.Teringat kejadian di bawah pohon beringin tadi."Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu padaku. Aku melihat ada seringai kecil dari bibirnya. Mungkinkah, dia sedang menertawaiku? Sial!"A-apa?" tidak bisa menjawab. Aku malah balik bertanya kepadanya."Apa yang kau pikirkan? Kau berharap aku akan menciummu? Begitukah?" tanyanya kembali, tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Pria itu bahkan memiringkan kepalanya, agar dapat melihat dengan jelas ekspresi wajahku."Bodoh!" ucap Tuanku yang tidak pernah mau mengalah itu. Ia juga menoyor keningku dengan satu jarinya. Benar-be
"Apa? Kamu bilang apa barusan?" tanya pria itu dengan menyipitkan mata, menatap ke arahku. Ah! Semakin tampan saja."Hei!" ujarnya lagi sambil mengibaskan tangannya padaku. Ah, betapa terkejutnya raga ini. Apa pria itu mendengar apa yang aku katakan barusan ya?"Kenapa diam saja? Cepat sana, ikut bergabung dengan siswa yang lain. Jangan suka menyendiri, ini di hutan, bukan di kota, apalagi ini sudah gelap," ujarnya panjang lebar mengingatkanku. Sekejap aku terpana dengan ketampanannya. Namun, setelah mendengarkan ceramahnya yang panjang lebar itu. Ia malah mengingatkanku pada sosok yang sifatnya tak jauh berbeda dengan pria di hadapanku ini. Siapa lagi, jika bukan Tuan Daren Danendra yang terhormat."Diam lagi," sekali lagi dia berujar. Baru juga mau menjawab, dia sudah bersuara lagi. Lalu, bagaimana aku mau menjawab."Hehe, iya kak!" Sengaja ku jawab singkat sambil tersenyum paksa, agar tidak
Alunan musik gitar yang dipetik, masih mengalun indah nan merdu di indera pendengaran setiap orang yang memandangnya. Menyaksikan pula betapa indah dan rupawan nya sang pemetik alat musik, sekaligus pemetik hati para bidadari yang tengah berkerumun menatapnya penuh kagum. 'Daren' pria angkuh nan sombong itu tengah unjuk kebolehannya dalam menaklukan sang gitar, serta para gadis-gadis yang sama sekali tak terlihat olehnya. Bahkan, setiap pujian yang ia dengar pun, bagai angin lalu yang tak berbekas di waktu berikutnya. 'Kenapa pria itu begitu menawan?' tanya Zoya dalam hati. Gadis itu begitu terpesona dengan penampilan Daren malam ini, sama seperti gadis-gadis lainnya yang berebut menjadi pusat perhatian Daren. Mengagumi dalam diam. Ungkapan itulah yang paling cocok untuk menggambarkan bahwa Zoya begitu mengagumi sosok Daren, dibalik sikapnya yang arogan dan angkuh. Matanya menatap lekat tak berkedip,
"El!" "Sekretaris El!" Keduanya terkesiap dengan apa yang mereka lihat saat ini. Bagaimana mungkin? Bisa secepat itu El berada di belakang mereka. Padahal sudah jelas-jelas, jika tadi, keduanya melihat, El masih berada di dekat Daren. Pikir keduanya. "Ya! Apa yang kalian lihat hah? Apa kalian berdua sedang menguping? Atau kalian sedang ingin mencari masalah? Sepertinya..., Sudah lama ya, kita tidak menciptakan sebuah masalah!" Seringai itu membuat gio bergidik ngeri. Ia jadi merinding sendiri melihatnya. Sekretaris itu berujar dengan nada yang datar. Namun, terdengar penuh ancaman di setiap tutur katanya. Tapi, itu tidak berlaku bagi Zoya yang sudah mengetahui bagaimana karakter dari pria berambut hitam pekat tersebut. Warna rambut yang sangat mirip dengannya. Bahkan, sedikit bergelombang, sama seperti dirinya. "Ti-tidak sekretaris El. Tentu saja tidak! Aku
Jam sudah menunjukkan pukul 23.59 malam. Semua anggota perkemahan, termasuk Daren dan El yang menjadi tamu kehormatan serta yang mendanai terselenggaranya acara ini, sudah berkumpul di satu lokasi yang sama. Berkumpul, mendengarkan arahan dari sang panitia. Malam ini, semua anggota perkemahan akan melaksanakan acara malam, yaitu menjelajah malam di hutan. Hampir mirip seperti uji nyali dan di lakukan secara berkelompok. Siswa dan siswi sekolah menengah pertama dan atas, digabungkan dan di campur menjadi beberapa kelompok. Dan secara kebetulan juga, karena sudah di persiapkan oleh El, atas permintaan Daren. Zoya beserta kedua adik kembarnya yaitu Delia dan Delina, masuk ke dalam satu kelompok yang sama. Termasuk juga Gio dan tiga teman lainnya, yang terdiri dari dua siswi teman Delia dan Delina, dan satu siswa teman Zoya juga Gio, bernama Andi. "Ah, sangat menyebalkan! Pasti sekretaris menyebalkan
"Kau gila El! Kenapa aku tidak boleh ikut bersama mereka hah?" ungkap Daren setelah kepergian para anggota perkemahan. "Karena mereka akan merasa tidak nyaman saat bersama Anda Tuan!" jawab El tanpa basa-basi. Tuannya itu sedari tadi terus mengomelinya karena El tidak menyarankannya untuk mengikuti mereka. "Ah!" Daren frustasi. Pria tampan penuh kharismatik itu menjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan jawaban El. *** "Kak Zoya? Aku takut!" rengek Delia sambil menggandeng lengan Zoya erat. "Tenanglah Nona. Tidak akan ada apa-apa di sini!" ujar Zoya menenangkan. Gadis itupun akhirnya sedikit lebih tenang. Walaupun tangannya masih enggan untuk melepaskan lengan Zoya. Menempel terus seperti lem. "Delia, kenapa kau terus menempel padanya?" tanya Delina dengan nada kesal. Namun, yang di tanya terlihat enggan untuk menjawab
Zoya berjalan mundur beberapa langkah, "jangan kau pikir aku ini bodoh Mayra! Apa yang kau rencanakan padaku hah?" tanya Zoya tanpa basa-basi. Mayra tertawa, sedang Zoya mengerutkan keningnya. "Kenapa kak? Apa kau takut kakak!" tanya Mayra dengan menekankan perkataannya. Membuat Zoya yakni jika Mayra memang sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanya. "Ma-mau apa kau Mayra?" tanya Zoya bergetar. Mayra terus berjalan perlahan mendekatinya. Semakin dekat, dan terus mendekat. Sedangkan Zoya, gadis itu juga terus berjalan mundur menjauhi Mayra. Nyali Zoya semakin menciut kala melihat wajah Mayra yang terlihat seperti seorang pembunuh kala mengeluarkan tawanya. Walaupun Zoya tau, jika Mayra adalah adiknya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa Mayra ingin berbuat jahat padanya? Pikir Zoya. "Ak-aku mohon Mayra! Apa yang akan kau lakukan padaku? Aku ini kakakmu, kau adikku. Kita ini bersaudara Mayra!" ujar
"Eh, apa ada yang melihat kak Zoya?" tanya Delia yang baru saja menyadari jika Zoya sedari tadi tidak bersamanya. Semua orang memandang ke arah Delia. Lalu saling pandang satu sama lain. "Bukankah Zoya selalu bersama Anda, Nona?" ujar Gio membalikkan pertanyaan pada Delia. Delia menggeleng, "memang! Tapi setelah teriakan itu, aku langsung berlari mengikuti kalian, dan melepaskan peganganku dari tangan kak Zoya," jawab Delia sedikit gemetar. Lalu ia alihkan pandangannya pada Delina yang nampak acuh tak acuh dengan ketidakadaannya Zoya di dalam rombongan mereka. "Kenapa kau melihatku?" tanya Delina sinis, "aku memang tidak menyukainya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku juga tidak tahu kalau dia tidak bersama kita!" sambungnya dengan penuh penekanan. Dan Delina berkata jujur apa adanya. Tanpa ada yang dia sembunyikan. "Bagaimana ini kak Gio, kak Andi?" reng