Alexander Adarsa tak pernah menyangka akan kisah rumah tangganya yang berjalan buruk dalam hitungan hari. Ya, sudah hari kesekian, Lia tak kunjung kembali bahkan tak memberi kabar sedikit pun. Di satu sisi Alex menjadi bimbang, mengingat Lia pergi tanpa membawa barang lain selain apa yang di bawanya waktu itu. Apa kali ini memang tak ada kata ampun bagi Alex? Kepergian Lia untuk kesekian kali menimbulkan dampak buruk pada rutinitas Alex. Misalnya saja, hari ini Alex tampak tak serapi biasanya saat hadir di kantor. Banyak yang menduga Alex sedang mengalami masalah besar, apa lagi beberapa merek ternama mengaku bila Lia meminta pengunduran jadwal selama beberapa waktu. Hal ini menyeruak ke mana-mana, mengingat Lia tak pernah seperti ini selama menjadi seorang model ternama. Alex ikut terkena imbasnya, walau ini memang terjadi karenanya. Di sela-sela pekerjaannya mengurus dokumen baru, Alex memijat pelipisnya menahan pening yang melanda. Alex berusaha fokus, namun kepalanya masi
"Nyonya, apakah nyonya sungguh akan melakukan ini?" Tanya Hani melihat Lia sedang menutup kopernya yang baru saja diisi dengan barang-barang milik Lia sendiri. Ketika merasa semuanya sudah rampung, Lia menatap Hani lirih. "Maafkan aku Hani, tapi—ya. Aku harus melakukannya." Bohong jika Hani tak tahu apa yang sedang terjadi hingga membuat rumah tangga majikannya menjadi retak dan kini sudah terpecah berserakan. Hani menunduk, dengan berat hati membantu Lia mengeluarkan kopernya menuju ruang tamu. Saat mereka berdua keluar, secara bersamaan Alex dan Resham tiba di hadapan mereka. Alex hendak menghampiri Lia namun wanita itu bergegas memberi isyarat. "Jangan, menyentuhku, Alexander." "Lia, ayolah—" "Cukup, Alex. Sudah kukatakan semuanya jika sampai hal ini terjadi, maka tak ada lagi yang bisa kupertahankan." "Lia, bahkan kamu belum mendengar penjelasanku." Alex terus bersikukuh, mengerahkan usahanya dengan terus memohon pada Lia. "Kamu tidak memberiku kesempatan sedikit pun un
Beberapa minggu sejak perpisahan Lia dan Alex akan bahtera rumah tangga keduanya, Lia memantapkan dirinya untuk bertolak ke Paris dalam waktu seminggu yang akan datang. Sudah beredar banyak rumor akan rumah tangga antara super model dan CEO ternama itu, tetapi, baik Alex dan Lia masih sama-sama bungkam dan tidak mengeluarkan konfirmasi seperti masalah-masalah sebelumnya. Hari ini, Lia mengunjungi Agensi Modelist Sky, agensi yang akan menaunginya untuk melakukan peningkatan karirnya di Paris. Tentu, kontrak dan jadwal Lia di agensi sebelumnya akan berakhir sebentar lagi. Lia tak perlu mengkhawatirkan perihal jadwal dan kontrak, mengingat kontrak eksklusifnya dengan agensi terdahulu pun telah rampung. Kini, Lia akan berdiri sendiri di atas kakinya untuk tetap bertahan. "Selamat datang, Natalia." Sambut Evan, sahabat Lia sekaligus orang yang memberi tawaran pada Lia, ketika melihat wanita Nawasena tersebut muncul di ambang pintu Ruang Pertemuan. "Terima kasih atas undanganmu, Ev
Malam ini, tepatnya di kediaman tuan Erik, sang pemilik rumah mevah tersebut tengah menikmati potongan buah bersama anaknya, nyonya Sita. Sesekali keduanya berbincang, apa lagi ada kehadiran Alesia di tengah-tengah mereka. "Dia sangat mirip dengan ibunya." Timpal nyonya Sita yang tersenyum senang. "Tentu, dia cantik seperti Natalia Nawasena." Balas tuan Erik dan terus menggelitik perut si kecil yang sudah dianggapnya sebagai cucu sendiri. "Oh ya, apa Lia belum pulang?" Pertanyaan nyonya Sita membuat tuan Erik terdiam. Tak lama setelahnya, tuan Erik menghela nafas berat. Dahi nyonya Sita mengernyit. "Apa ada sesuatu yang telah terjadi, ayah?" "Tidak, hanya saja—" tuan Erik menjeda sejenak ucapannya, kemudian bersandar. "Dia masih menyendiri seperti itu di kamarnya." "Apa dia masih terbayang dengan rumah tangganya? Bukannya Lia sudah yakin akan berpisah dengan Alex?" Tuan Erik terdiam, menambah teka-teki di benak nyonya Sita. Tak lama berselang, nyonya Sita beranjak untuk
Tak ada yang pernah menyangka, di balik kepergian Natalia dari kehidupan Alexander untuk ke sekian kalinya menimbulkan banyak tekanan pada sang pria Adarsa. Kini, Alex tengah menikmati segelas minuman beralkohol terakhirnya di dalam sebuah Lounge mewah. Ya, dia hanya sendiri di sana. Menikmati senyap dan kesendiriannya seorang. "Hai, pria tampan." Ucap seorang wanita dengan tubuh semampai yang menghampiri Alex, mengundang wajahnya agar menoleh pada wanita tersebut. "Aku lihat kamu sendiri, apa boleh aku menemanimu?" Walau itu hanya pertanyaan sederhana atau mungkin saja hanya sekadar basa-basi, tetapi dalam sekejap, suara Alex meninggi. "Tidak! Aku tidak butuh wanita lain sepertimu! Yang kubutuhkan hanya Natalia!" Gertakan Alex membuat wanita asing tersebut tersentak dan beranjak karena ketakutan. Kini keadaan Alex sudah sangat berantakan, roman wajahnya menunjukkan keadaannya yang sangat mabuk berat, bahkan ketika memilih untuk melangkah, Alex tampak berjalan sempoyongan. Se
Hari yang begitu dinantikan Lia akhirnya tiba, hari di mana dia akan bertolak menuju Paris untuk melanjutkan karirnya di sana. Tuan Erik dan nyonya Sita mengantar kepergian Lia dan Alesia, memberinya dukungan agar tak merasakan gundah saat tiba di negeri yang dikenal sebagai gudang fashion tersebut. "Jangan lupa untuk menghubungi kami bila kamu membutuhkan sesuatu." Pinta nyonya Sita. "Kamu akan memberimu bantuan." Lia menganggu paham, "tentu ibu." "Jangan sampai kamu menyendiri, kami akan selalu mengharapkan kebaikan untukmu, cucuku." Timpal tuan Erik. "Iya, kakek. Kakek dan ibu tak perlu khawatir, aku akan melakukan yang terbaik setibanya di sana." "Perhatikan dirimu dan Alesia, kami sudah menyiapkan utusan dan pengasuh untuk membantu kalian selama di sana." "Sekali lagi terima kasih, kakek dan ibu. Kalian begitu banyak membantuku. Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang. Sampai jumpa." Pamitan Lia menjadi sangat berat di benak tuan Erik dan nyonya Sita. Mereka mel
Perjalanan Lia dan Alesia akhirnya telah usai. Mereka mendarat dengan selamat di Bandar Udara Paris Charles de Gaulle, tempat di mana Lia akan mengawali langkahnya untuk mempermantap karirnya. Lia begitu terkesima, ditambah lagi Paris menjadi kota impiannya sejak lama. Maka dari itu Lia fasih berbahasa Prancis. Ketika Lia tiba di area kedatangan, Lia disambut oleh kehadiran Evan yang sudah lebih dulu melakukan perjalanan ke Paris. "Bagaimana dengan perjalananmu, Natalia?" Tanya Evan reflek meraih koper bawaan Lia. "Apa maskapainya bagus?" Lia mengangguk. "Ya, hanya saja aku cukup lelah. Beruntungnya anakku tidak rewel dan lebih banyak diam." "Syukurlah kalai begitu. Mari, aku antar ke apartemen pribadimu." Ajakan Evan kembali diangguki Lia, membawa mereka kembali menempuh perjalanan menuju tempat tinggal baru Lia dan Alesia. Di dalam perjalanan, Evan mencairkan suasana dengan memulai obrolan. "Tempat tinggalmu persis dengan yang tuan Erik, kakekmu inginkan. Kami juga suda
Siapa sangka jika kelihaian Lia kini sangat berkembang pesat dalam dunia fashion. Di pagi hari yang cerah di Paris, Lia tampak menghadiri pertemuan pertamanya setelah mendarat di kawasan elit itu. "Wah, aku sangat kagum dengan pemaparan kamu, Natalia Nawasena!" Imbuh tuan Ronan, CEO di perusahaan baru Lia. "Tidak sia-sia aku meminta Evan mengupayakan agar kamu ingin bergabung bersama kami." Lia menunduk sejenak. "Justru aku yang sangat berterima kasih karena perusahaan memberikanku kepercayaan hingga bisa menginjak Paris dan memberikan pengetahuanku." Para hadirin penting bertepuk tangan, melanjutkan diskusi atas pemaparan dan masukan dari Lia. Tentunya Lia sangat bangga dan senang akan dirinya sendiri. Waktu terus berlalu, memberi banyak bukti bahwa Lia bukan hanya sekadar selebriti dan model papan atas. Faktanya Lia punya banyak hal yang dia pelajari dan menjadi manfaat yang besar untuk karirnya. Setelah pertemuan selesai, Lia merapikan beberapa barang bawaannya. Secara ber
Di tengah kilau cahaya malam yang membentang, tampak Evan dan Rika yang tengah bercumbu dengan begitu liarnya di dalam kendaraan pribadi mereka. Rika tampak lebih mendominan, menguasai permainan dengan lihai sekaligus menyalurkan hasratnya yang semakin membara. Di tengah-tengah permainan keduanya, tiba-tiba saja Evan sedikit mendorong tubuh Rika agar dapat melepas cumbuannya. Awalnya Rika terperanjat dengan nafasnya yang memburu, menatap Evan dilema dan penuh nafsu. Tetapi tak berselang lama, Rika bersua. "Ada apa kali ini?" Evan gelisah. "Aku hanya tak nyaman melakukannya di dalam mobil." "Kamu hanya belum terbiasa." "Ya, dan aku tak suka ini." Rika menatap Evan kesal dan skeptis. "Mengapa akhir-akhir ini kamu begitu menyebalkan dan manja? Kamu seperti wanita yang lemah." "Erika Odeline, hari ini aku cukup lelah, tidak... Aku lebih lelah hari ini." Dahi Rika mengernyit. "Oke, apa yang membuatmu sangat lelah hari ini?" "Pihak Alex mulai mencurigai rencana yang sedang kujalan
Ketika pagi menyambut seorang Natalia Nawasena, tubuh wanita itu dibuat meringkuk sebentar di dalam selimutnya yang tebal. Lia menetralisir suhu ruangan agar bisa beradaptasi, mengingat di luar sana sedang hujan deras. Lalu tak sengaja, tangan Lia menyentuh sisi ranjang yang kosong di sampingnya. Sontak dahi Lia mengernyit, menemukan Alex yang beranjak tanpa kata seperti biasa. "Alex?" Panggil Lia dengan suara yang memenuhi kamar, berniat memanggil Alex yang mungkin saja ada di dalam kamar kecil. "Alexander Adarsa." Nihil, tak ada jawaban sama sekali. Lia heran, kemudian bangkit menggunakan handuk kimononya. "Alex—" Lia terhenti begitu membuka pintu kamar kecil, dan menemukan isinya tak berpenghuni. Lantas Lia beranjak keluar dari kamar pribadinya bersama Alex, mencari-cari kehadiran pria itu ke setiap sudut penthouse atau kediaman tersebut. "Hani." Panggil Lia ketika melihat si kepala asisten rumah tangga tengah berbenah di atas meja makan. "Ya nyonya, apa ada yang bisa kuban
Apa yang terjadi hari esok adalah misteri yang tak akan terpecahkan oleh siapapun. Baik itu Alexander Adarsa seorang, yang kini hanya mampu terdiam menatapi hamparan pemandangan kota malam. "Tuan." Wajah Alex menoleh, menemukan kehadiran Resham yang muncul dengan sebuah Pad yang berada pada genggamannnya. "Bagaimana?" Tanya Alex memastikan. Sebelum menjawab, Resham menyerahkan Pad di tangannya pada Alex terlebih dulu. "Kami hanya bisa menemukan informasi mengenai ibu dari Evan, selebihnya kami belum menemukan petunjuk yang bisa kami hubungkan dengan tuan Andreas, ayah anda." Alex menjadi bimbang. Jika memang Evan adalah anak dari ayahnya, tuan Andreas, mengapa status di antara mereka masih abu-abu bagi Alex? 'Mungkin, Evan memang hanya mengincar aset dari perusahaan?' Batin Alex berusaha menerka. Bagaimana pun juga, belum ada titik temu yang bisa dijumpai Alex. Bahkan Alex harus lebih menjaga banyaknya saham di dalam perusahaan keluarga Adarsa. Hari yang melelahkan tak akan m
Rapat pertemuan yang begitu tiba-tiba sengaja diadakan oleh Alexander Adarsa hari ini. Mulai dari petinggi hingga para pemegang saham terpenting ikut hadir, tak terkecuali tuan Erik, kakek dari Natalia Nawasena. "Jadi, bagaimana bisa ada orang yang secara mendadak ingin mengklaim aset dari perusahaan ini bahkan memiliki akses tanpa sepengetahuan anda, tuan Alexander?" Pertanyaan dari salah satu petinggi membuat Alex terdiam sejenak. 'Sudah kuduga akan ada yang menanyakan hal ini. Sepertinya, ada orang dalam yang ikut membantu kelicikan Evan dan Rika.' Batin Alex. Tak lama berselang, seorang pemegang saham kemudian ikut melontarkan tanya. "Apa kondisi tuan Andreas akan berdampak pada keamanan saham perusahaan ini? Bagaimana dengan aset yang ingin diklaim itu adalah aset hasil investasi kami?" Alex menghela nafas tenang, kemudian buka suara. "Baik, para tamu terhormat. Saya sangat memahami akan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan." Lalu Alex mengambil jeda sejen
"Pelan-pelan sayang, ah..." "Tahan sedikit sayang, aku, akan, ah!" "Ah!" Sahutan panas itu usai, membiarkan peluh keringat di antara keduanya mengalir deras, melawan dinginnya suhu ruangan di kamar pribadi mereka. Mereka ialah Alex dan Lia, tentunya, yang melakukan 'permainan' mereka di waktu yang jarang digunakan. Setelah mengeluarkan puncak masing-masing, Alex dan Lia terbaring di atas ranjang. "Kukira semalam kamu tak bisa sehebat ini." Bisik Lia merehatkan tubuhnya yang menjadi lumayan lelah. "Selelah apa pun aku, melihat dirimu yang selalu indah dan hebat ini tak akan bisa kubiarkan berlalu begitu saja, sayang." Balas Alex dengan baritonnya. Keduanya terdiam sejenak, membiarkan raga dan jiwa masing-masing mengisi energi di pagi hari. Ya, begitu Lia melirik jam di atas nakas, netranya menemukan bahwa kini sudah pukul setengah enam pagi. "Alex." "Ya, sayang." "Apa kamu bisa berangkat kerja setelah..." Mendengar Lia mengambil jeda, Alex dibuat heran. Namun setelah mencern
Apa yang dihadapi Alex di gedung perkantoran, semaksimal mungkin enggan ditampakkan olehnya di depan keluarga kecilnya yang selalu Alex banggakan. Banyak masalah yang berkecamuk, tetapi sebisa mungkin Alex meletakkan itu sebelum memasuki kediamannya. Saat membuka pintu rumah, akan ada sambutan hangat yang menyertai. "Selamat datang ayah." Ujar Lia yang menggendong Reksa, anak semata wayang mereka, di depan pintu masuk. Lelah dan tekanan seolah lari beterbangan di dalam kepala Alexander Adarsa, membuatnya semakin mengobarkan tekat untuk menjaga apa yang masih ada bersamanya. Kali ini Alex sekadar mengukir senyum manis, karena hanya itu satu-satunya hal yang mampu Alex lakukan. Di samping itu, Lia sangat mengerti dengan keadaan yang sedang dihadapi oleh sang suami. Alex dan Lia berjalan beriringan menuju kamar yang dulunya hanya dimiliki oleh Alex, kini tentunya sudah resmi menjadi kamar pribadi mereka. "Begitu melelahkan bukan?" Tanya Lia di sela-sela langkah mereka yang gontai.
Ketegangan yang terjadi di antara Alex dan Evan menimbulkan titik kegaduhan di antara tatapan keduanya. Alex berupaya menahan nafasnya yang tersengal, lalu memberi isyarat pada Resham. "Tunggu perintahku di luar ruangan." Kata Alex. Resham menunduk. "Baik tuan." Seperginya Resham, Alex dan Evan kembali saling menatap. "Apa yang kamu inginkan?" Tanya Alex skeptis pada Evan. Usai mendengar Alex, Evan tertawa remeh. "Apa kamu sedang berpura-pura bodoh atau kamu memang sengaja tak ingin mengetahuinya?" Tubuh Alex menegap, nafasnya terhela tenang. "Aku ingin penjelasan darimu sebagai seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Selama ini, kamu sekadar menyampaikan semuanya pada orang lain atau melalui perantara." "Oh, jadi maksudmu, aku bukan orang yang baik." 'Tentu saja.' Kata Alex dalam hatinya karena sudah tak mungkin dia melontarkan kata yang akan membuat situasi ini memanas. "Kamu sudah tahu bukan bahwa kita memiliki ikatan darah?" Tanya Evan penuh penekanan. "Lalu?" Mende
Siapa pun yang berada di dalam posisi Alexander Adarsa akan terus merasakan dilema yang berkepanjangan. Alex sendiri bahkan kerap merasa kewalahan, apa lagi sudah seminggu sejak tuan Andreas Adarsa, ayahnya, terbaring koma. Hari ini, dengan berat hati Alex harus kembali bekerja, menjalankan rutinitasnya, sekaligus tugas tambahan yakni menggantikan sementara posisi tuan Andreas. "Kamu harus yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, Alex." Kata Lia merapikan dasi suaminya yang beroman wajah suram pagi ini. "Aku yang akan menjaga ayah hari ini, jadi kamu tenang saja." "Bagaimana dengan Reksa?" Tanya Alex dengan baritonnya. "Aku sudah meminta Resham mencarikan pengasuh tambahan kemarin. Bukannya kamu bersamaku saat meneleponnya?" Alex terdiam, berusaha mengingat kembali ucapan itu. "Ah, kamu benar. Maaf, aku lupa akan hal itu." "Tak apa, aku paham kamu sedang banyak pikiran." Helaan nafas Alex terdengar cukup berat. "Aku tak dapat membayangkan jika kamu tak ada di sisiku, aku akan
Manik mata Lia dan Alex hanya mampu terpaku pada tuan Andreas yang kini tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tuan Andreas pun diberi alat bantuan pernafasan, dan sejak tadi belum sadar dari kondisinya. Lia menutup mulutnya dengan satu tangan, membuat Alex dengan cepat meraih tubuh sang istri untuk didekapnya dengan erat. "Alex... Bagaimana bisa ayah seperti ini?" Ujar Lia pelan masih tak percaya dengan kondisi sang mertua yang mendadak drop dalam semalam. Mendengar tanya yang terlontar dari mulut istrinya, Alex dengan tenang, guna menutupi keterpurukannya, menjawab Lia. "Entahlah, bahkan dua hari lalu beliau masih terlihat baik-baik saja." Keduanya kembali terdiam, dan kini hanya mampu tenggelam dalam duka. Keduanya masih bingung, mengingat tuan Andreas sungguh tak pernah terlihat kesakitan. Dalam benaknya, Alex membatin. 'Ayah, apa kamu telah mengalami satu hal hingga menyebabkan kondisimu drop seperti ini?' Begitu menghabiskan waktu sejam, akhirnya asisten tuan Andrea