Sekeras apa pun orang-orang jahat bertekad untuk menjatuhkan Lia dan Alex, akan semakin Alex buktikan bahwa dirinya adalah pilihan terbaik sebagai pendamping Lia. Masalah dan ancaman terus berdatangan, tetapi Alex tak pernah menjadikan itu sebagai alasan agar dia bisa mundur, apa lagi menjauhi Lia. Jika banyak alasan yang ingin memisahkan mereka, maka Alex juga punya beribu-ribu alasan untuk tetap bersama Lia. Kini, Alex tengah menghadiri sebuah acara fashion, lebih tepatnya Cat Walk yang diselenggarakan rutin tiap tahun. Pastinya, Alex hadir untuk melihat Lia sekaligus menjadi salah satu undangan acara tersebut. Banyak model cantik dan tubuh semampai yang berlalu-lalang di depan sana, tetapi Alex tetap menunggu bagian dengan antusias. Banyak kameramen yang menyorot kehadirannya, tetapi Alex menghiraukan hal itu. "Para hadirin, kita sambut model papan atas yang memuncaki penampilan hari ini—Natalia Nawasena!" Mendengar sebutan itu, Alex sontak melakukan tepuk tangan dengan senyum
Malam ini, Alex dan Lia kembali bersama di dalam kamar pribadi Alex. Sementara itu, tuan Andreas, ayah Alex ingin menikmati malam terakhirnya menginap di rumah Alex bersama Alesia, cucunya. Entah mengapa, kali ini Lia merasakan degupan jantungnya cukup membara tak seperti biasa. Seperti ada yang bergejolak di dalam diri Lia, namun dia sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. "Apa kamu baik-baik saja?" Lia membuyarkan lamunannya, menemukan Alex yang baru saja selesai membersihkan tubuhnya dengan wangi yang begitu melekat. Saat Lia menatap Alex, debaran jantungnya semakin tak menentu. "Hei, apa kamu baik-baik saja?" Ulang Alex dengan menghampiri Lia, membuat wanita itu bergegas mengumpulkan fokusnya. "Ya, aku baik-baik saja." Alex dengan rambutnya yang masih basah hanya mengangguk, kemudian mengusap selembar handuk kecil di atas kepalanya agar rambutnya lebih cepat kering. Dalam benaknya, Lia membatin. 'Aku seperti melihat Alex yang dulu, yang begitu tampan dan selalu be
Sinar mentari kali ini cukup teduh, mengingat di luar sana, langit tengah kelabu. Ruang panas semalam menjadi suasana di antara hangat dan sejuk, menyambut kisah kasih yang seperti baru di antara Alexander Adarsa dan Natalia Nawasena. Pukul 6 pagi, Alex menjadi orang yang lebih dulu melenguh, merasakan lengannya sedang menopang sesuatu. Begitu Alex mengerjapkan matanya dan menoleh, dia tersenyum manis. Kehadiran Lia di sampingnya usai menyampaikan cinta dan kasih semalam sangat membahagiakan Alex. Tak dapat dipungkiri, Alex menjadi sangat berenergi seolah terlahir kembali. Tak lama berselang, Lia melenguh, pertanda wanita itu pun mulai tersadar dari alam bawah sadarnya. Lambat laun Lia membuka matanya, menemukan Alex dan senyumannya yang membuat candu. "Selamat pagi, istriku." Sambut Alex dengan suaranya yang parau. Lia ikut merekahkan senyuman tipis di wajahnya. "Selamat pagi." Meski keduanya hanya terbalut selembar selimut, namun keduanya pun masih merasakan kehangatan satu sa
Kini pilar pernikahan atau rumah tangga Alex dan Lia kian menguat atas kasih sayang masing-masing. Keduanya semakin tak segan untuk menyalurkan perhatian dan keinginan untuk saling mencintai di depan banyak orang. Bukan lagi masalah kesepakatan kontrak yang menggerayangi pemikiran Alex dan Lia, sekarang mereka hanya ingin fokus untuk membina rumah tangga mereka menjadi lebih baik. "Tuan, apa kita akan menjemput nyonya hari ini?" Tanya supir pribadi Alex yang baru saja melihat tuannya masuk usai menyelesaikan jam kerja di dalam Agensi Star Music. Alex berdehem. "Ya, tolong untuk langsung saja ke gedung Highlight karena Lia akan selesai sejam lagi. Aku tak ingin dia menunggu." "Baik tuan." Mobil yang membawa Alex kemudian melaju menuju tempat Lia melakukan pekerjaannya hari ini. Seperti rutinitasnya, Alex tak lupa membeli sebuket bunga segar dan buah-buahan kesukaan Lia. Tak pernah sedikit pun Alex melewatkan kesempatan untuk terus menunjukkan rasa cintanya pada Lia, apa lagi Lia
Apa yang berada di dalam benak dan kecurigaan Lia sejak malam itu sepertinya tak mampu padam dengan sendirinya. Pagi ini, Lia baru saja mengerjapkan kedua matanya yang menandakan bahwa harinya akan dimulai seperti hari-hari sebelumnya. "Hei, kamu sudah bangun." Sapa Alex yang juga baru saja keluar dari kamar kecil dalam balutan handuk kimono itu. Alex menghampiri Lia dan mengecup dahinya, "selamat pagi." Lia hanya tersenyum tipis kemudian merenggangkan oto-otot ringan di tubuhnya, kemudian bangkit saat Alex menjauh untuk menata penampilannya hari ini. Sontak dahi Lia mengernyit tatkala dia menyadari bahwa ini adalah akhir pekan. "Apa kamu akan pergi bekerja?" "Ah, aku akan menghadiri pertemuan privat dengan salah satu kerabatku. Dia berencana untuk membahas sebuah proyek selagi kami bermain Golf." Dengan berat hati Lia mengangguk paham, lantas berjalan hendak keluar dari kamar Alex. Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, Alex lebih dulu mencegat lengannya. "Mau ke man
Alex yang baru saja memasuki kediamannya di buat bingung dengan kesunyian yang menyambutnya. Dahi Alex mengernyit, mencari-cari keberadaan Lia di luar kamar. Saat melihat Hani yang sedang membereskan ruang makan, Alex reflek mengajukan tanya. "Hani, mana Lia?" "Dia sedang berada di kamar, tuan." Alex menghela nafas. "Apa dia sudah di sana sejak tadi pagi?" "Nyonya baru saja masuk karena ingin melihat Alesia, tuan." Kini Alex tersadar bahwa Lia kembali ke kamarnya yang dulu, kamar tamu itu. Alex pun kembali melangkah memasuki kamar Lia, menemukan sosok yang dicarinya sedang berbaring di atas ranjang. Pria Adarsa itu bergegas menghampiri Lia, dan menyentuh bahunya. "Hei." Sekejap Lia membuka kedua matanya, tapi tak menoleh pada Alex sedikit pun. "Apa kamu sakit?" Lia kembali memejamkan matanya dan menjawab Alex singkat. "Tidak." Menyadari bahwa Lia sedang tidak baik-baik saja, Alex memutuskan untuk duduk di tepi ranjang, tepat di belakang Lia. "Apa aku telah membuat
Kisruh kecil yang terjadi membuat Alex dan Lia kembali memadu kasih, menunjukkan bahwa mereka hanya ingin untuk saling mempercayai satu sama lain. Semalam, keduanya kembali berakhir di atas ranjang dan malam yang panjang. Tentu ini juga hal yang sangat dinanti Alex dan Lia, terlebih keduanya akan selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Setidaknya, kasih di antara Alex dan Lia akan semakin erat walau diterpa oleh masalah kecil. "Apa kamu ingin berangkat denganku?" Tanya Alex usai menggunakan handuk kimononya, berjalan menuju lemarinya untuk memberi handuk serupa pada Lia. Lia melenguh sejenak karena dia baru saja sadar dari alam mimpinya. "Ya—jika kamu ingin seperti itu." "Semuanya terserah padamu, sayang." Alex pun mengecup singkat dahi Lia dan kembali beranjak. "Aku akan bersiap lebih dulu." "Tentu." Balas Lia kemudian ikut bangkit, tetapi Lia lebih memilih untuk menunggu dengan memainkan ponselnya. Lia menghabiskan awal paginya dengan membaca-baca dunia maya, menemu
Lia tak menyangka akan apa yang dia saksikan saat ini, mengetahui bahwa ucapan Alex tempo hari merupakan kebohongan yang mampu menjatuhkan kepercayaannya. Reflek Alex mendorong bahu Maya yang masih berjarak dekat dengannya, bergegas menghampiri Lia. "A-aku bisa menjelaskannya, ini tidak seperti yang kamu—" "Jangan, sentuh, aku." Balas Lia yang menepis kedua tangan Alex dari kulitnya. "Kamu sungguh pria pembohong dan pengkhianat." "Natalia, aku tak pernah ingin mengkhianatimu." "Lalu, bagaimana dengan kehadiran dia yang sedekat itu denganmu?" Tantang Lia dengan suaranya yang bergetar. "Apa kamu menganggap itu normal?" "Dia menjebakku!" "Bagaimana caranya kamu dijebak dengan roman wajah yang sangat tenang itu?!" Alex mengusap wajahnya frustasi. "Di-dia tiba-tiba saja datang dan—" "Cukup, aku rasa tak ada yang perlu kamu jelaskan padaku. Ternyata aku memang bodoh karena ingin mempercayaimu, Alexander." Alex menatap Lia lirih. "Lia, maafkan aku. Dengarkan aku dulu, kumoho
Pada pagi yang cerah, Alex mengerjapkan matanya dengan seksama, menemukan langit-langit kamarnya yang menyambut hari itu. Reflek Alex merenggangkan otot-otot tubuhnya, dan secara tidak sengaja menyentuh kulit lembut Lia yang juga masih terlelap di sampingnya. Merasakan sentuhan itu, Lia perlahan tersadar. "Ah, maaf sayang." Kata Alex yang lalu memeluk Lia perlahan. Sentuhannya masih saja sama, menghangatkan dan penuh kasih. Lia hanya tersenyum, kemudian berbalik demi membalas pelukan kasih sang suami. "Selamat pagi sayang." Katanya. "Selamat pagi juga untukmu." "Bagaimana hari ini? Apa kamu akan berangkat lebih awal lagi seperti kemarin?" Alex terdiam dan mempertimbangkan, kemudian menjawab. "Sepertinya tidak perlu, aku bahkan cuti sebanyak dua hari." Dahi Lia mengernyit. "Benarkah?" "Ya." Alex mengangguk. "Rasanya ingin menghabiskan waktu bersamamu dan Reksa setelah sekian lama tak memilikinya." Lia mendengkus. "Apa semuanya akan baik-baik saja jika kamu tetap cuti hari ini
"Kita sudah sampai tuan." Ucap seorang pengawal membuat Evan tersadar dari lamunannya di dalam kendaraan yang membawanya pulang. Evan terdiam sejenak, dan melihat ke arah depan mobil tersebut. Dilihatnya kediaman yang sudah beberapa bulan menjadi huniannya, juga menjadi heran ketika menemukan sebuah mobil tak dikenalnya terparkir di depan pintu masuk. "Mobil siapa itu?" Tanya Evan masih kebingungan. "Apa Rika membeli mobil baru? Karena sudah tidak mungkin dia menerima tamu di waktu malam seperti ini." Pengawal terdiam, sedikit ragu menjawab sang tuan dan membuat pria itu semakin menaruh curiga. Tanpa isyarat Evan segera keluar dari dalam mobil, melangkah terburu-buru ke dalam rumahnya dan Rika. Evan semakin terkejut ketika menemukan beberapa lembar pakaian yang berserakan di atas lantai. 'A-apa apaan ini?' Batin Evan mulai merasa marah di atas curiganya. 'Apa dia berselingkuh?!' Evan terus melangkah, menemukan pintu kamar pribadinya dan Rika yang sedikit terbuka. Terdengar suara
Satu tangan Erika Odeline terkepal, mendengar fakta bahwa Evan, pria yang dikenal sebagai suaminya sedang berada di dalam tahanan. "Apa yang membuatnya ditahan di dalam sana?" Tanya Rika pada salah satu pengawalnya. "Apa ini berkaitan dengan masalah perusahaan Adarsa dan Agensi Star Music?" Pengawal Rika mengangguk. "Ya nyonya, tuan Evan dituntut atas kasus percobaan penculikan, dan penyalah gunaan dokumen penting atas aset orang lain." "Apa? Orang lain?" Ulang Rika dengan nada bicaranya yang berapi-api. "Orang lain katamu?!" Kekesalan Rika menyebabkan pengawalnya menunduk. "Maaf nyonya." "Sial! Aku sudah memberi umpan agar Evan bisa mengklaim aset aset itu secara gamblang, tapi apa yang selama ini dia lakukan?!" Rika terdiam sejenak, lalu mendadak histeris menyerukan kekesalannya. Tentu, tak ada yang berubah dari wanita temperamental seperti Rika yang sangat mudah memelihara ego dan amarahnya. Bahkan setelah banyak hal dan hukuman yang Rika lalui, dia masih saja membena
Menyusul di penghujung hari, Alex yang cukup lelah pun tiba di kediamannya. Lelah membuat Alex lebih banyak diam, terus berjalan masuk dan menemukan kehadiran Lia di dalam kamar pribadi mereka. Ketika Pintu berderit, Lia menoleh, tersenyum menemukan kembalinya sang suami yang telah melalui hari yang panjang. Lia merentangkan tangannya, reflek disambut hangatnya dekapan. "Kamu telah menolongku hari ini." Desis Alex menggelitik telinga Lia. "Kamu adalah penyelamatku." Lia terkekeh dan mengeratkan pelukannya. "Akan kulakukan hal terbaik yang kubisa untukmu, sayang." Cukup lama Alex dan Lia saling bertukar dekapan, seolah tak berjumpa setelah sekian tahun. Sepertinya hanya ingin menyampaikan rindu melalui sentuhan, dan itu sudah lebih dari cukup. Selang beberapa detik, Lia melepas pelukannya. "Apa kamu sudah makan malam?" Alex tersentak, menyadari bahwa dia tak mengkonsumsi apa-apa sejak tadi siang. Melihat roman wajah Alex yang terkejut itu membuat Lia menyadari dan paham,
Evan hendak untuk menyerang Lia, tetapi matanya memincing tatkal menyadari sesuatu. Dalam sekejap Evan terbelalak, menemukan Lia sepertinya sedang merekam segala bentuk percakapan mereka sejak tadi. "Ka-kamu..." Suara Evan bergetar ketakutan, Lia pun mengeluarkan ponselnya dari balik saku gaun. Lia menghela nafas, "kamu menyadarinya." "Ka-kamu merekamku sejak tadi?" Lia menggeleng, kemudian memperlihatkan layar ponselnya. "Lebih dari itu, aku menyiarkan ini secara langsung di ruang pertemuan perusahaan suamiku, perusahaan Adarsa." Evan terperanjat begitu dalam, tubuhnya seperti kaku, tak mampu mengatakan apa apa. "Selamat, Evan. Kamu baru saja mengungkapkan kebohonganmu di depan banyak orang. Sepertinya kamu harus menjelaskan semuanya di depan petugas berwajib nanti." Lalu, secara bersamaan pula, pintu unit apartemen tampak terbuka secara paksa dari luar. Evan semakin terkejut, menyadari bahwa dia keliru. Sementara itu, Lia masih terlihat tenang. "Kamu memang wanita licik!" Ke
Sungguh tak ada yang dapat dibendung lagi ketika Lia mengetahui bahwa Evan sungguh berniat melakukan hal buruk terhadap dirinya dan keluarganya, lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya Lia harus berpura-pura bodoh, pura-pura tak tahu bahwa Evan saat ini sedang membuntutinya. Ketika Lia selesai dengan niatnya meyakinkan Alex melalui pesan singkat, Lia menghela nafas. Wanita itu lantas turun dari kendaraan yang membawanya. "Apa aku harus turun, nyonya?" Tanya pengawal yang juga sedang mengemudikan mobil tersebut. Lia menggeleng. "Tak perlu, kamu langsung pulang saja." Pengawal dibuat heran. "Tak bisa nyonya, setidaknya aku harus menunggu anda." Kedua kalinya Lia menggeleng. "Ini adalah perintah dariku." "Tapi nyonya—" "Percaya padaku." Pengawal masih saja ragu. "Aku tahu tugasmu adalah mengawalku, tetapi kali ini aku dan Alex sudah sepakat mengenai perubahan rencana untuk hari ini." Lia yang menolak membuat pengawal terpaksa melakukan perintahnya, apa lagi Lia mengakui bahwa in
Pihak internal Agensi Star Music tiba-tiba saja mengadakan pertemuan di luar jadwal hari ini. Tak lain dan tak bukan, ini merupakan kehendak sang penerus Adarsa, Alexander. Banyak hadirin yang mengeluhkan jadwal mendadak ini, tetapi pihak Alex sepertinya lebih mementingkan keberlangsungan rapat itu. Di antara banyaknya petinggi yang hadir, tampak tuan Erik, kakek dari Natalia, yang terdiam di sana. Sampai detik ini, beliau masih memegang posisi sebagai pemilik saham terbanyak di dalam perusahaan Adarsa. "Apa yang ada di dalam pikiran pak Alex hingga mengadak pertemuan yang begitu mendadak seperti ini?" Tuan Erik mendengar keluhan salah satu kenalannya di sana, tetapi tuan Erik tak menanggapi. "Sepertinya ini berhubungan dengan masalah saham dan aset kemarin." "Apa dia gagal melindungi aset-aset itu? Jika ya, dia harus mengganti semua kerugian." Nafas tuan Erik terhela berat. Mendengarnya seperti membuat beliau hendak menerkam siapa saja. Walau tuan Erik hanyalah kakek Lia, teta
Pernyataan ibu dari Evan tentu membuat Alex dan Lia terkesiap. Pasalnya, Evan dan banyak saksi mengaku bahwa Evan merupakan anak dari tuan Andreas, ayah Alex sendiri. Suasana di dalam bilik perawatan itu hening sejenak, ibu Evan dibuat kikuk. Galih Anggara, sosok terpercaya tuan Andreas yang diketahui Alex sebagai orang dalam yang membantu rencana Evan. 'Tak pernah kusangka jika asisten itu memiliki kelicikan yang seperti ini!' Ucap Alex dalam benaknya yang dilanjutnya dengan helaan nafas. Melihat hal itu Lia mengusap lengan Alex, membuat sang suami membuyarkan lamunannya. Alex mengangguk yakin, dan hendak mengatakan sesuatu. "Jadi—" Belum sempat Alex menyentuh kata kedua, seseorang muncul dengan tergopoh-gopoh serta nafas yang tersengal. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" Seru Evan menyiratkan rasa panik di wajahnya. Hal tersebut membuat Alex mendengkus. "Jadi kamu memang bermain busuk, Evan. Tak kusangka kamu begitu haus akan kekuasaan dan berbohong seperti ini." "Aku akan m
Tidak dipungkiri bahwa Evan semakin tertekan menghadapi banyaknya masalah yang semakin rumit. Di satu sisi, ini semua memang kesepakatan yang telah disetujui oleh Evan sendiri. Dalam sehari, helaan nafas beratnya hampir tak terhitung. Evan sungguh merencanakan segalanya sendiri, bahkan Rika semakin tak peduli. 'Wanita itu hanya haus akan tubuhku yang dia anggap sebagai pemuas hawa nafsunya.' Gumam Evan di dalam ruang pribadinya. Pria itu hanya bisa berusaha dan berusaha, memuaskan Rika sekaligus keluarganya untuk merampas aset di bawah naungan perusahaan keluarga Adarsa. Tok tok! "Masuk." Sahut Evan gontai ketika mendengar pintu ruangannya diketuk. Evan menegapkan tubuhnya dan bangkit, menemukan siapa orang yang baru saja datang. "Paman." Katanya. Pria paruh baya yang tak lain adalah paman Evan, sekaligus asisten tuan Andreas atau ayah dari Alexander Adarsa itu, muncul dengah wajah tenang. "Bagaimana dengan rencanamu?" Untuk ke sekian kalinya, Evan menghela nafas berat. "Seb