“Guru les piano Alsen dan Kaneesha adalah Queen yang sama dengan wanita masa laluku.”
Refleks, Aldric menginjak pedal rem, mobil berhenti mendadak. Beruntung saat itu mereka masih berada di jalanan kompleks perumahan, sehingga tidak terlalu banyak kendaraan yang melintas di sana.
Aldric menoleh pada Rafael, shock. “Kau bercanda?”
“Awalnya, aku sendiri tidak percaya.” Rafael memijit pelipisnya. “Aku sudah cukup pusing memikirkan keadaan Selly, dan sekarang kehadiran wanita itu semakin membuatku sakit kepala.”
“Hum? Sakit kepala? Kau sudah memastikan jika dia tidak membawa bayi, bukan? Itu artinya tidak akan ada Joshua kedua dalam hidupmu. Lalu apa yang kau takutkan?”
“Bagaimana jika dia membalas dendam dengan menyakiti putriku?”
“Aku belum lama mengenal Queen, tapi aku rasa dia tidak sejahat itu.”
“Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya!”
“Really?” Aldric memicingkan mata, mengintimidasi lelaki yang duduk di sampin
Queen menatap lelaki yang tengah menyeruput cappuccino di hadapannya. Joshua, tidak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu. Hanya saja, wajah beralis tebal itu semakin terlihat dewasa. Style rambut kecokelatannya terlihat berantakan, tetapi justru itu salah satu hal yang menjadi daya tarik tersendiri.“Kenapa menatapku seperti itu?” Joshua meletakkan cangkir di sisi kanan piring berisi steak daging. Malam itu, mereka membuat janji temu di salah satu restoran Italia.Queen tertawa. “Kau masih Joshua yang dulu.”“Kau pun masih sama dengan Queen yang aku kenal. Hanya saja, emmm … wajahmu terlihat lebih tirus. Sepertinya kau terlalu banyak menanggung beban hidup.”“Yah … seperti yang kau tahu.”“Jangan hanya ditanggung sendiri, Queen. Kau harus berbagi dengan orang lain.”“Sudahlah, Jo. Tolong jangan bahas itu.”“Oke, tapi aku hanya ingin mengingatkanmu, aku akan selalu ada untukmu kapanpun kau membutuhkanku.”
“Raf, aku punya kabar buruk untukmu!” seru Aldric setelah masuk ke ruangan Rafael. “Joshua kembali dari Swiss!”“Aku sudah tahu itu.”“Really?” Aldric duduk di depan Rafael.“Kaneesha bahkan sudah mendapatkan tanda tangannya.”“Jadi Neesha menjadi penggemar pamannya sendiri?” Aldric tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana bisa Neesha mendapatkannya?”“Dari Queen, memangnya siapa lagi? Entah rencana apa yang sedang mereka buat.”“Sepertinya aku tahu apa yang membuat Joshua kembali, setelah Queen lebih dulu datang ke kota ini.” Aldric menjeda kalimatnya. Setelah dilihatnya Rafael memasang wajah ingin tahu, Aldric berucap, “Joshua ingin mengejar Queen lagi.”“Beraninya dia melakukan itu?” Rafael menggebrak meja.“What’s wrong with you?” Aldric memicingkan mata. “Kau cemburu?”“Cemburu apanya?” Rafael mengacak rambutnya kesal. “Aku hanya tidak habis pikir, si bodoh itu tidak berhenti mengejar bahkan setelah Queen b
Pertunjukan kesenian itu digelar di salah satu gedung besar di ibukota. Di depan gedung, pengunjung disambut oleh deretan tulisan di LED running text berwarna-warni. Kaneesha nampak antusias saat mereka tiba di sana.“Woaaah … ramainyaaaaaa.” Mata Kaneesha berbinar, sibuk mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di gedung pagelaran seni.“Kau suka?” Queen menggandeng tangan Kaneesha.“Apa Uncle pianis sudah datang?”Rafael yang berjalan di belakang mereka, mendengus kesal. Bahkan saat mereka baru menginjak pintu masuk saja, yang pertama kali ditanyakan Kaneesha adalah Joshua. Damn! Apa istimewanya seniman brengsek itu?“Kita tunggu di sini sebentar. Uncle Joshua sebentar lagi datang.” Queen mengajak Kaneesha berdiri di sisi kanan ruangan, tepat di sisi pot bonsai adenium. “Khusus untukmu.”“Menyebalkan. Kita bisa menunggu pianis itu di dalam,” gerutu Rafael, tetapi toh dia tetap mengikuti kehendak Queen.“Sabar sebentar, k
Rafael menyugar rambutnya. Instrument piano yang sejak tadi mengalun merdu, lebih terdengar seperti dentuman yang memekakkan telinga. Di tengah panggung, lampu sorot mengarah pada sang bintang, memainkan jari-jarinya di atas tuts piano. Menyerukan dentingan membentuk sebuah irama.“Papa, Neesha mengantuk.” Bisikan Kaneesha yang duduk di pangkuan Rafael, membuat lelaki itu memberikan dekapan hangat untuk putrinya.“Sudah Papa bilang jika pertunjukan ini akan sangat membosankan. Tidurlah, Sayang.”Kaneesha mengangguk, lantas menyandarkan kepala di dada bidang Rafael. Mata jernihnya mengarah pada Joshua, menatap penuh kekaguman. “Uncle Joshua hebat ya, Pa.”“Hem? Papa lebih hebat dari dia.”“Tapi Papa tidak bisa main piano. Kalau sudah besar nanti, Neesha ingin menjadi pianis hebat seperti Uncle Joshua.”“Ya, apa pun itu. Meski sebenarnya Papa lebih senang jika Neesha menjadi dokter. Atau … kau ingin menjadi pengusaha seperti Papa?”Ti
Damn! Rafael melempar ponsel ke atas nakas, lantas membenamkan wajah ke bawah bantal. Dia sudah hampir kehilangan kewarasannya! Kenapa belakangan ini, sebulan sejak pertunjukan kesenian diadakan, ada banyak hal yang berubah dalam hidup Rafael. Wanita itu!Ya, Queen! Bayangan wanita itu enggan pergi dari benak Rafael meski hanya satu detik! Terlebih saat malam tiba seperti kali ini. Hampir tiga puluh menit, dan yang Rafael lakukan hanya duduk termenung di atas ranjang sembari mengawasi galeri berisi fotonya bersama Queen.Oke, fine! Rafael harus mengakui jika sebenarnya sejak perpisahan mereka lima tahun yang lalu, Rafael tidak sepenuhnya bisa melupakan Queen. Bagaimana ia menjelaskannya? Ada banyak rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Jangan kira Rafael tidak pernah memikirkan bayi laki-laki yang sering menyambangi mimpi-mimpinya. Menyesal karena telah melenyapkan bayinya? Itu pasti. Hanya saja, ego Rafael terlalu tinggi untuk mengakui ke
Queen duduk bertopang dagu, mengawasi Kaneesha yang sedang berlatih memainkan instrument Twinkle Twinkle Little Star. Akan tetapi, pikirannya tidak berada di sana. Berkelana tidak menentu.Terlebih, pembicaraannya dengan Joshua tempo hari, selalu berputar di dalam benaknya. Apa keputusan untuk menikah dengan Joshua adalah keputusan terbaik?“Beri aku waktu untuk membuktikan, aku sangat mencintaimu,” ucap Joshua malam itu.“Tapi aku tidak memiliki perasaan apa pun padamu.”“Kau masih mencintai Rafael. Karena itu kau−”“Tidak!” tukas Queen cepat. “Aku membencinya. Sangat membencinya.”“Kalau begitu jauhi dia dan keluarganya. Lupakan keinginanmu untuk mendapatkan Neesha. Jangan jadikan dia korban, anak itu tidak tahu apa-apa.”“Aku ingin Rafael dan Selly merasakan kehilangan, sama sepertiku yang harus kehilangan anakku.”“Bukan berarti kau bisa menyeret Neesha ke dalam permainan ini. Rafael dan Selly yang bersalah. Mungkin anakmu
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang