Sepulang jogging dari taman kompleks, aku berjalan santai, menikmati udara sore tanpa ingin buru-buru sampai rumah. AirPods yang terpasang di kedua telinga memutar Why Don’t You Love Me (feat. Demi Lovato), dan liriknya terasa begitu mewakili perasaanku terhadap Atlantis—terutama di bagian “Cause I could be all that you need, oh.” Rasanya ingin kuteriakkan kalimat itu padanya, agar dia tahu seberapa besar aku menyukainya.Sejauh ini, progresku dalam mengejar Atlantis baru mencapai sekitar 25%. Belum ada tanda penerimaan, tetapi kabar baiknya, Artemis mulai semakin waspada padaku. Dia yang biasanya bicara sok akrab dan penuh perhatian kini perlahan menjaga jarak.Waktu kebersamaannya dengan Atlantis juga semakin meningkat, seakan tak ingin memberiku celah sedikit pun untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ternyata, bahkan seseorang seperti Artemis—yang selalu merasa lebih unggul—bisa merasa terancam juga. Sulit baginya berpura-pura tidak terusik, karena kenyataannya, semua tindak
Hari Sabtu, setelah pulang syuting pukul setengah dua siang, aku hanya menemukan Papa di ruang keluarga. Beliau awalnya sibuk membaca, tetapi ketika aku kembali dari kamar setelah berganti baju dan turun ke dapur untuk mengambil minum, beliau sedang berbicara di telepon dengan seseorang.Dari beberapa kata yang kudengar, percakapan itu terdengar menarik. Tanpa sadar, aku mendekat secara diam-diam, berusaha menguping lebih banyak tanpa sepengetahuannya.“Tentu, nanti kuatur makan malam kedua, tapi yang ini khusus untuk anak-anak kita. Pertemuan sekali tidak cukup untuk saling mengenal lebih dalam.”“…”“Aku tak bisa menjanjikan apa pun. Kalau Artemis hanya ingin berteman dengan Batara, kita harus menerimanya. Sebagai orang tua, aku menghormati keputusannya.”“…”“Jangan menaruh harapan terlalu besar, Surya. Bisnis kita tetap bisa berjalan baik, meski tanpa melibatkan pernikahan di antara anak-anak kita.”Mataku membelalak. Luar biasa. Rupanya, rekan kerja Papa tertarik pada Artemis dan
Dalam perjalanan pulang dari restoran, aku nekat mampir ke rumah Atlantis, membawa sekotak kue dan satu krat minuman soda. Suasana hatiku sedang bagus malam ini, dan aku ingin dia ikut merayakannya bersamaku.Setelah membunyikan bel beberapa kali, aku berdiri menunggu sambil memperhatikan sekitar. Lingkungan tempat tinggal Atlantis sangat tenang, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Rasanya nyaman—cukup nyaman hingga membuatku berpikir untuk pindah ke sini suatu hari nanti. Tentunya, sebagai nyonya dari rumah ini.Ah, semoga angan-angan itu tidak hanya sekadar khayalan. Kalau tidak, aku benar-benar bisa gila.Aku membunyikan bel sekali lagi karena pintu masih belum terbuka. Jangan-jangan, Atlantis sedang mengintip dari balik kaca, lalu memutuskan untuk pura-pura tidak ada di rumah setelah melihatku? Wah, kalau benar begitu, kadar ketegaannya semakin meningkat dari hari ke hari.Tepat saat pikiran itu melintas, terdengar suara kunci diputar dua kali. Pintu perlahan terbuka,
Saat kami meninggalkan dapur, aku menyadari langkah Atlantis terasa lambat. Aku berusaha menyesuaikan diri dan mengisi waktu singkat ini dengan berbicara, “Kuharap Kakak selalu sehat. Sakit tanpa orang lain tahu itu tidak enak. Aku sering mengalaminya, jadi aku tahu rasanya.”“Apa setelah mengaminkan, aku harus berterima kasih lagi sama kamu?”“Tidak perlu. Aku tulus mengucapkannya. Sebagai seorang teman.”Mungkin karena melihat keseriusan di raut wajahku, Atlantis memilih diam, tidak membalas dengan ketus seperti biasanya.Tiba di depan kamarnya, Atlantis berhenti, dan aku bersiap melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan. Namun, melihatnya seolah ingin mengatakan sesuatu, aku bertanya, “Kenapa? Ada yang ingin Kakak katakan?”“Artemis nggak boleh tahu kamu ke sini lagi. Terakhir kali dia merajuk, dan aku harus membujuknya sampai mau memaafkan aku.”“Sampai segitunya? Kukira dia akan berbesar hati menerima, karena itu bukan kesalahan Kakak, tapi kesalahanku.”“Aku tetap salah karen
Jadwal talk show untuk membahas film kami akhirnya keluar—dan itu akan berlangsung minggu ini. Bersama Mahendra dan Sherina, aku diundang sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi. Kami akan berbincang santai mengenai film Dua Sisi, yang dijadwalkan tayang beberapa bulan lagi.Tentu saja, aku tidak sabar menantikannya. Ini adalah talk show pertamaku, pengalaman yang seharusnya penuh semangat. Tapi, anehnya, pikiranku justru sibuk dengan hal lain yang lebih menyita perhatian: Artemis yang akan dikenalkan pada orang tua Atlantis.Sampai detik ini, otakku terus bekerja keras mencari cara agar itu tidak terjadi. Kalau mereka sampai bertemu, peluangku untuk menjadi orang ketiga akan semakin kecil. Atlantis sudah tidak menyukaiku—jangan sampai keluarganya pun ikut membenciku. Jika suatu hari aku berhasil mendapatkannya, aku ingin keluarganya menerimaku, bukan justru memperlakukanku sebagai pengganggu.“Ngomong-ngomong soal talk show, apa kau merasa gugup, Thena?” suara Mbak Hera m
Dari percakapan panjang di DM Instagram, aku dan Sekar akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Obrolan kami berlanjut lebih intens di sana, terasa lebih leluasa dibandingkan melalui DM. Awalnya, pembicaraan kami masih seputar perkenalan dan basa-basi ringan, tetapi seiring waktu, Sekar mulai terbuka dan menceritakan lebih banyak tentang situasi keluarganya.Salah satu hal yang dia ceritakan adalah konflik besar yang sedang terjadi di perusahaan papanya. Perusahaan mereka mengalami kerugian besar akibat ulah salah satu manajer dan seorang karyawan yang bekerja sama melakukan penggelapan dana operasional. Mereka tidak hanya mencuri, tapi juga memanipulasi laporan keuangan agar tindakan mereka tidak terdeteksi lebih awal.Kasus ini tentu membuat situasi keluarga semakin sulit. Awalnya, mereka sepakat untuk tidak memberitahu Atlantis, karena sang papa merasa masih bisa mengatasi masalah ini, meskipun belum menemukan solusi sepenuhnya. Namun, tekanan yang datang dari berbagai arah semakin memper
“Ma, ini Mbak Athena yang aku ceritakan kemarin. Dia rela datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menjenguk papa,” ujar Sekar dengan penuh semangat, mendahului Atlantis yang tampak ingin bicara.“Halo, Tante,” sapaku dengan sopan. Aku lalu menyerahkan paper bag yang kubawa kepada Sekar dan memberikan buket bunga untuk mamanya. “Ini bukan apa-apa, semoga Tante menyukainya.”“Terima kasih banyak, Nak Athena. Tentu saja Tante menyukainya.” Mama Atlantis menerimanya dengan ekspresi penuh haru, lalu tanpa ragu, beliau memelukku. “Atlantis jarang bercerita tentangmu, tapi kami ingat kalau kamu teman kuliahnya dulu.”Begitu pelukan terlepas, beliau menuntunku duduk di salah satu sofa. Bunga yang tadi kuberikan langsung beliau serahkan kepada Sekar agar dimasukkan ke dalam vas.“Bagaimana perjalanan ke sini? Maaf kalau merepotkanmu. Seharusnya kita bertemu dalam situasi yang lebih baik, tapi ...”“Ah, jangan meminta maaf, Tante. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena datang tanpa pemberita
Sepertinya perjalananku ke Bandung ini benar-benar membawa keberuntungan. Bukan hanya Sekar dan mamanya yang menyambutku dengan baik, tetapi bahkan papanya pun menerimaku dengan hangat. Meski masih lemah karena dalam masa pemulihan, beliau tetap berusaha mengajakku berbicara dan mengenalku lebih dekat.Kini aku tahu dari mana Atlantis mendapatkan ketampanan dan kharismanya—semuanya diwarisi dari sang papa. Meski usia beliau tak lagi muda, jejak-jejak pesona itu masih terlihat jelas di wajahnya. Aku bisa membayangkan, suatu hari nanti, Atlantis akan menua dengan cara yang sama.“Sebelumnya ... Atlan bilang ... akan mengenalkan calon istrinya ... pada kami. Apa itu ... kamu?” tanya beliau dengan suara lemah, berbicara dengan terbata-bata.“Oh, itu—”Aku nyaris menjawab ketika tiba-tiba Atlantis memotong dengan nada tegas, “Untuk saat ini, rencana itu ditunda. Bagaimana bisa aku memikirkan hal semacam itu sementara situasi keluarga kita ...” Dia menarik napas berat, lalu melanjutkan, “Fo
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca
Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s
Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku
Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi