"Nora, kamu benar-benar gila! Apa sepicik itu keinginanmu untuk mendapatkan Kevin?!" bentak Alex dengan nada tak percaya. Nora, dengan tenang namun penuh keyakinan, menjawab, "Aku hanya ingin Kevin, tidak yang lain. Ayolah, Lex, bantu aku. Jika kamu benar-benar mencintaiku, tolong bantu aku."Alex menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nora. Ini tidak masuk akal. Kamu benar-benar di luar nalar," jawabnya sambil berusaha mengendalikan emosinya.Nora menatap Alex dengan pandangan yang tajam. "Alex, jika kamu tidak mau membantuku, aku akan mengakhiri hidupku. Aku tidak bercanda. Kalau kamu tak percaya, kamu bisa melihatku besok pagi di apartemenku—dalam keadaan tak bernyawa," ancamnya sambil beranjak pergi, meninggalkan Alex dengan perasaan campur aduk. Di dalam hatinya, Nora yakin bahwa Alex tak akan tega melihat dirinya binasa.Namun, Alex tetap diam, membiarkan Nora melangkah pergi. Ia berdiri kaku, terjebak dalam pergulatan batinnya sendiri. Namun, sebelum Nora benar-benar pergi, Alex akhi
Malam itu, Alexa mendapatkan kabar dari Brian bahwa Papanya terlibat dalam transaksi saham yang sangat berisiko. Brian merasa khawatir jika Papanya Alexa salah langkah, hal itu akan membuat perusahaan keluarga mereka mengalami kerugian besar."Alexa, Papamu sedang bermain saham," kata Brian dengan nada cemas saat mereka berbicara lewat telepon. "Aku punya informasi yang sangat lengkap mengenai ini. Aku cuma takut kalau Papamu salah langkah, investasi perusahaan bisa anjlok dan perusahaan kalian mengalami kerugian besar. Sebaiknya kau tanyakan langsung pada Papamu."Alexa terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja disampaikan Brian. Setelah mengucapkan terima kasih, dia memutuskan untuk menghubungi Papanya malam itu juga."Papa, apakah kau sedang sibuk?" tanya Alexa saat panggilannya diangkat. "Apakah aku mengganggumu?""Tidak, Sayang. Ada apa? Tiba-tiba kau menghubungi Papa malam-malam begini," jawab Papanya dengan nada sedikit heran."Pah, aku ingin mentransfer sejuml
Nora duduk di ruang tamu apartemen Kevin, wajahnya memerah karena kesal. Sudah berkali-kali dia mencoba menarik perhatian Kevin, tapi pria itu tetap saja sibuk dengan laptopnya, tak sedikit pun menoleh ke arah Nora."Kevin!" seru Nora dengan nada merajuk, mencoba menarik perhatian kekasihnya yang terlihat asyik dengan tumpukan pekerjaan. "Kamu dengar aku, kan? Aku di sini, Kevin. Aku butuh perhatianmu."Kevin menghela napas, lalu menutup laptopnya dengan kesal. Dia tahu Nora sudah mulai marah, tapi ada hal-hal yang lebih penting di kepalanya sekarang. "Nora, aku sibuk. Aku harus menyelesaikan ini sebelum terbang ke London malam ini.""Kenapa kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu?" Nora bangkit dari sofa dan mendekat ke meja kerja Kevin. "Aku butuh kamu, Kevin. Setidaknya sebelum kamu pergi, kita bisa menghabiskan waktu bersama."Kevin meremas batang hidungnya, berusaha meredam kekesalannya. “Nora, aku benar-benar tidak punya waktu sekarang. Kamu tahu aku harus ke London untuk urusan pe
Kevin tiba di London dengan perasaan yang campur aduk. Pesawat baru saja mendarat, dan dia segera bergegas keluar dari bandara dengan langkah cepat. Meski cuaca di London cukup dingin, darahnya terasa panas. Pikirannya terus berputar, mengulang-ulang bayangan Alexa bersama pria-pria kaya yang begitu memujanya. Ia tidak menyangka bahwa perasaan cemburu ini akan muncul dan menguasainya seperti ini. "Aku hanya melindungi apa yang menjadi milikku," gumam Kevin pada dirinya sendiri. Dia menolak untuk mengakui bahwa perasaan ini lebih dari sekadar rasa memiliki. Alexa adalah istrinya, dan itu sudah cukup sebagai alasan untuk dia bertindak. Tidak ada yang boleh mendekati atau merayu Alexa, tidak ada yang boleh merebutnya, meskipun dia tidak mencintainya. Itu prinsip yang dia pegang teguh sejak awal, tetapi kini, prinsip itu tampak goyah di hadapan kenyataan. Setelah check-in di hotel, Kevin langsung menuju lokasi acara di mana dia tahu Alexa akan hadir. Laporan yang dia terima menyebutkan
**Judul: Keputusan Terberat**Nora akhirnya merasakan kebahagiaan yang sudah lama ia nantikan. Setelah berbulan-bulan merencanakan dan menunggu, kini hasil tes menunjukkan bahwa ia positif hamil. Perasaan itu memenuhi hatinya dengan sukacita yang tak terlukiskan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan baru yang tumbuh, sebuah kehidupan yang akan menjadi kunci dari rencananya untuk mendapatkan apa yang selalu diidam-idamkannya: cinta dan pengakuan dari Kevin.Namun, di balik senyum dan kebahagiaannya, ada seorang pria yang berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi yang bertolak belakang. Alexo, atau biasa dipanggil Alex, menatap Nora dengan perasaan campur aduk. Dia merasakan kegembiraan karena tahu bahwa bayi yang dikandung Nora adalah darah dagingnya. Namun, di sisi lain, hatinya hancur ketika mengingat percakapan terakhir mereka.Hari itu, Nora berbicara tanpa ragu, seolah-olah kehamilan ini adalah tiket emasnya. "Aku akan menggunakan kehamilan ini untuk menjebak Kevin," katanya sambil ter
Malam itu, setelah seharian beraktivitas, Kevin akhirnya merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya terpejam, mencoba melepaskan lelah yang menghimpit. Namun, rasa penatnya belum sempat terlepas ketika ponselnya bergetar di atas meja di samping ranjang. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Kevin segera meraihnya dan menempelkan ponsel itu ke telinga.“Halo, Kevin di sini,” jawabnya dengan suara pelan. “Kevin, ini aku, Nora,” suara wanita di seberang sana terdengar bergetar, penuh isak. Suara tangisan yang menyesakkan dada itu langsung membuat Kevin tersentak. "Nora, ada apa? Kenapa kau menangis?" Kevin bertanya dengan nada cemas, duduk tegak di atas ranjang, fokusnya terpusat pada suara wanita itu. “Kevin... aku... aku punya masalah besar,” isak Nora semakin jelas terdengar. "Masalah apa? Katakan padaku, Nora. Apa yang terjadi?" "Kevin... aku positif hamil," jawab Nora, hampir berbisik, tapi cukup jelas bagi Kevin untuk mendengarnya. Kata-kata itu seperti petir di siang bol
Kevin merasa sedikit lega setelah mendapatkan kepastian bahwa Nora benar-benar hamil. Usia kandungannya baru beberapa minggu, dan Kevin tidak bisa menahan rasa cemas sekaligus tanggung jawab yang kini harus ia pikul. Ia memutuskan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter kandungan, memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Di sisi lain, Nora tampak sangat senang dan antusias dengan perhatian Kevin yang tak terduga."Nora, bagaimana kalau kita makan di tempat biasa? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ucap Kevin setelah mereka selesai di klinik.“Baiklah, Kevin. Aku bisa menunggu. Apa yang ingin kamu bicarakan?” jawab Nora dengan senyuman penuh arti.Mereka tiba di restoran yang biasa mereka kunjungi. Setelah memesan makanan, Kevin membuka percakapan dengan nada serius, "Aku akan menikahimu begitu aku pulang dari London."Nora terkejut mendengar pernyataan Kevin, tapi ia tetap tenang. "Terserah kamu, Kevin. Aku bisa menunggu. Lagipula, kandunganku masih sangat mud
Alexa merasakan ketegangan di ujung telepon. Suara Kevin terdengar tegas dan dingin, sesuatu yang sudah biasa dia dengar belakangan ini. "Alexa, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Ini penting," kata Kevin dengan nada serius.Alexa menahan napas, mencoba menenangkan diri. “Baik, Kevin. Aku akan mendengarkan. Tapi tolong, tidak melalui telepon,” pintanya."Aku akan terbang ke London besok. Kita bisa membicarakannya secara langsung,” jawab Kevin, memotong pembicaraan dan langsung menutup telepon.Alexa terdiam sejenak, merenungkan perkataan Kevin. Nalurinya mengatakan ini pasti ada hubungannya dengan Nora, wanita yang selalu menjadi bayangan gelap dalam pernikahan mereka. "Sepertinya ini saatnya," gumamnya pada dirinya sendiri. "Lebih cepat aku bisa mengakhiri semuanya, lebih baik."Pagi berikutnya, Alexa tiba di hotel tempat dia menginap di London. Malam itu, suara ketukan pintu mengganggunya dari lamunan. Justin, sopir yang dikirim Kevin, sudah tiba. “Apa kamu sudah siap? Aku
Setelah kejadian malam itu, Gina dan Kevin merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Bukan dalam bentuk jarak, tetapi sebaliknya—perasaan saling pengertian dan kedekatan yang lebih mendalam. Gina, yang semula dibelenggu oleh kecurigaan dan rasa cemburu, kini merasa lega. Kevin, di sisi lain, merasakan beban yang terangkat karena tidak lagi harus menyembunyikan rencana kejutan untuk ulang tahun istrinya.Beberapa hari kemudian, ulang tahun Gina tiba. Kevin sudah merencanakan acara kejutan kecil di rumah mereka. Sejak insiden di mana Gina mengetahui tentang kalung berlian itu, Kevin berusaha memberikan lebih banyak perhatian. Ia pulang lebih awal, membantu di rumah, dan sering kali memastikan mereka memiliki waktu berkualitas bersama, meski hanya sekadar menonton film atau berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka. Gina pun mulai merasa lebih tenang dan percaya pada Kevin, berusaha membuang jauh-jauh rasa cemburu yang sempat mengganggunya.Malam ulang tahun Gina dimulai d
Beberapa hari kemudian, Gina merencanakan untuk mengikuti Kevin. Ia telah mengumpulkan cukup keberanian, dan perasaan curiga yang membebani pikirannya semakin sulit diabaikan. Malam itu, Gina mengatur alarm di ponselnya dengan pelan, lalu menunggu saat Kevin pulang terlambat seperti biasanya. Ketika Kevin akhirnya tiba di rumah, ia tampak lelah seperti biasa, menjelaskan bahwa rapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.Gina berusaha menahan diri, pura-pura tersenyum dan memberikan pelukan hangat. Namun, pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia bertekad untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar "proyek kerja" antara Kevin dan Karla.Keesokan harinya, Gina mengamati Kevin dengan cermat saat ia bersiap-siap pergi ke kantor. Sesaat setelah Kevin keluar dari rumah, Gina segera menyusul, memastikan jaraknya cukup jauh sehingga Kevin tidak akan menyadari bahwa ia sedang diikuti. Jantungnya berdebar kencang sepanjang perjalanan. Gina mencoba menenangkan diri, me
Malam itu, meski Kevin sudah berusaha meyakinkannya, Gina masih tak bisa sepenuhnya mengusir rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Setelah Kevin tertidur di sampingnya, Gina terjaga dalam kegelapan, pikirannya terus memutar ulang percakapan mereka. Hatinya gelisah. Sesuatu di balik senyum ramah Karla dan reaksi Kevin yang canggung saat melihatnya di kafe tidak bisa ia abaikan.Beberapa hari berlalu, dan Gina mulai memperhatikan perubahan kecil dalam perilaku Kevin. Ia menjadi lebih sering pulang terlambat, selalu dengan alasan pekerjaan atau rapat mendadak. Setiap kali Gina mencoba mengajak Kevin berbicara tentang perasaannya, Kevin akan menjawabnya dengan nada lembut namun penuh penjelasan logis, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin banyak Kevin beralasan, semakin Gina merasa dirinya diabaikan.Suatu malam, ketika Kevin kembali terlambat lagi, Gina memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi. Setelah anak-anak ti
Gina tidak langsung mendekati Kevin dan Karla. Ia berdiri dari kejauhan, memperhatikan suaminya tertawa lepas dengan wanita lain—wanita dari masa lalunya. Hati Gina berdebar keras, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia tahu, sebagai seorang istri, Kevin selalu jujur padanya, dan Gina berusaha untuk mempercayai suaminya. Tapi melihat kedekatan Kevin dengan Karla membuat hatinya tak tenang. Gina menggenggam erat tasnya, mencoba meredam emosi yang mulai naik.Saat Gina akan berbalik pergi, tanpa disadari, tatapan Kevin tertuju padanya. Wajahnya berubah seketika—senyum yang tadi mengembang kini tergantikan oleh keterkejutan. Karla, yang menyadari perubahan ekspresi Kevin, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Gina."Hei, Gina?" sapa Kevin dengan nada ragu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Gina berusaha tersenyum meski hatinya tak menentu. "Aku hanya mampir sebentar untuk mengejutkanmu, mungkin kita bisa makan siang bersama," katanya pelan, mencoba terde
Kehidupan Kevin dan Gina setelah liburan di desa berjalan kembali ke ritme kota besar. Kevin tenggelam dalam pekerjaannya sebagai eksekutif di perusahaan besar, sementara Gina sibuk mengurus Keiva dan Keanu serta menjalankan bisnis kecil yang ia mulai dari rumah. Mereka masih sering mengenang momen indah di desa, dan meski topik tentang anak ketiga jarang dibicarakan lagi, Kevin tidak pernah benar-benar melupakannya.Suatu sore, saat Gina sedang menyiapkan makan malam, Kevin tiba-tiba menerima telepon dari perusahaannya. Ada proyek besar yang memerlukan perhatiannya, dan rapat mendadak dijadwalkan. "Gina, aku harus ke kantor sebentar, ada rapat penting yang harus kuhadiri," katanya sambil mengambil jasnya."Rapat lagi?" tanya Gina sedikit kecewa, tapi ia tahu pekerjaan Kevin memang selalu menuntut. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu larut ya."Kevin tersenyum dan mencium keningnya sebelum berangkat. "Aku akan segera pulang. Aku janji."Di kantor, Kevin disambut dengan atmosfer yang
Kevin dan Gina memutuskan untuk menghabiskan liburan mereka bersama kedua anak mereka, Keiva dan Keanu, di sebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terletak di kaki gunung, dengan pemandangan yang menakjubkan dan udara yang sejuk. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk melepas penat, bersantai, dan menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Hari pertama di desa dimulai dengan sarapan yang sederhana namun lezat. Gina memasak roti panggang dengan selai buatan sendiri, sementara Kevin sibuk membantu Keiva dan Keanu bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Keiva, yang kini berusia lima tahun, sangat antusias untuk menjelajahi desa dan melihat hewan-hewan di peternakan terdekat. Keanu, yang baru berusia satu tahun, juga tampak senang meskipun ia belum mengerti banyak tentang petualangan yang menunggu. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga liar. Kevin menggandeng tangan Keiva, sementara Gina menggendong Keanu yang terus tertawa melihat ku
Pernikahan kedua Kevin dan Gina yang sederhana namun penuh makna benar-benar menjadi awal baru bagi mereka. Setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian, mereka akhirnya bisa hidup bersama, kali ini dengan hati yang lebih terbuka dan ikatan yang lebih kuat. Mereka tak hanya memulai kembali kehidupan sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua dari dua anak, Keiva dan Keanu.Minggu-minggu setelah pernikahan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tiada tara. Keiva, putri pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sangat gembira dengan kehadiran adik laki-lakinya. Setiap hari, dia selalu ingin membantu Gina merawat Keanu, mulai dari menghiburnya saat menangis hingga ikut mengganti popok. Keiva tampak sangat menyayangi adiknya, dan ini membuat Kevin serta Gina semakin bahagia melihat kasih sayang yang tumbuh di antara anak-anak mereka.Suatu pagi yang cerah, Kevin dan Gina duduk di teras rumah mereka yang nyaman, mengamati Keiva bermain dengan Keanu yang masih berbaring di kere
Hari itu adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Gina dan Kevin. Setelah bertahun-tahun terpisah oleh berbagai masalah, mereka akhirnya bisa bersama lagi. Gina sudah berjuang keras menghadapi masa-masa sulit, dan kini dia bisa merasakan kebahagiaan sejati. Kevin, yang selama ini dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan memulai kembali hubungan mereka dari awal. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu rumah mereka, berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka jalani bersama sebagai sebuah keluarga. Gina tersenyum hangat sambil memegang perutnya yang sudah besar. Dia tengah hamil, dan hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai kehamilan itu mencapai puncaknya. Kevin, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gina dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan mereka bersama dengan anak yang akan segera lahir. "Rasanya seperti mimpi, Kev," kata Gina dengan mata yang
Kevin duduk di meja kerjanya dengan senyum tipis, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terbaru dari Gina. Sudah beberapa hari ini dia berpura-pura menjadi "Alex," sosok yang dia ciptakan untuk membuat kejutan kepada Gina. Hubungan mereka yang baru saja kembali pulih membuat Kevin ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar berkomitmen. Namun, dia tahu Gina tidak akan menyangka bahwa Alex dan Kevin adalah orang yang sama. Itu adalah bagian dari kejutan yang dia rencanakan.Gina, di sisi lain, mulai merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Alex kepadanya. Alex, yang tiba-tiba muncul di hidupnya, selalu mengirim pesan yang hangat dan penuh perhatian, sesuatu yang sebenarnya mengingatkannya pada Kevin. Meski hatinya masih terfokus pada Kevin, kedekatan dengan Alex membuat Gina sedikit bingung dan gelisah. Dia tidak ingin memberi kesan kepada Kevin bahwa dia tertarik pada pria lain, tetapi semakin lama, perhatian dari Alex semakin sulit diabaikan