"Apa kekuranganku, Gabe?"
Tidak ada. Kau sempurna, honey. Sangat sempurna.
Kedua mata Gabriel yang hitam hanya memandang isterinya dalam diam, meski hatinya memberontak. Ia tidak ingin berpisah dari wanita ini, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Karena ia juga tidak pernah tahu apa yang ada dalam otak wanita itu, membuatnya selalu bertanya-tanya saat ia berhadapan dengan isterinya.
"Kenapa kau menanyakan ini, Arienne? Kau sudah tahu dari awal, kalau aku tidak mencintaimu. Kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini ada untuk keuntungan kita berdua. Kau dapat keluar dari rumah itu, dan aku terhindar dari omelan keluarga. Apalagi yang ingin kau ketahui?"
Posisi Arienne tampak santai saat menatap foto pernikahan mereka berdua yang tegantung di salah satu dinding. Bukan reaksi seperti ini yang diharapkan oleh Gabriel, tapi itulah Arienne. Wanita itu selalu datar. Selalu terkontrol.
"Aku tahu. Tapi aku ingin tahu, apa kekuranganku sebagai seorang isteri, Gabriel. Aku berhak untuk tahu kan? Paling tidak, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari."
Kedua alis hitam Gabriel berkerut dalam. "Kesalahan yang sama?"
Belum memandang suaminya, bibir merah Arienne tampak tersenyum. "Siapa tahu aku menikah lagi. Jodoh, tidak ada yang tahu, kan? Kau juga tentu ingin menikah lagi setelah berpisah dariku, kan?"
Kata-kata pedas itu terasa menggores hati Gabriel, membuat pria itu mer*mas kedua tangannya erat. Ia berusaha untuk mengontrol emosinya. Sama seperti wanita itu.
"Secara keseluruhan, kau wanita yang sempurna. Isteri yang terlalu sempurna, Arienne."
Kali ini kepalanya yang cantik menoleh pada suaminya. Tampak kedua mata hijaunya yang indah berbinar menatap pria di depannya, membuat Gabriel semakin mengepalkan tangannya.
Ia tidak ingin menyakiti isterinya, tapi ia harus melakukannya. Ia tersiksa dengan pernikahan ini dan yakin, kalau isterinya pun merasakan hal yang sama.
Beberapa kali, Gabriel memergoki Arienne sedang menangis dalam diam di pojokan ruangan. Tapi setiap didekati, wanita itu selalu tampak tersenyum, seolah tidak ada masalah apapun.
Lama-lama perilaku isterinya ini membuat Gabriel merasa menjadi seorang suami yang tidak berguna. Ia merasa tidak ada gunanya ia ada di samping isterinya, terutama sejak Jane Dalton pun telah meninggal satu tahun yang lalu dan membuat tidak ada alasan lagi bagi Arienne untuk tetap berada di sampingnya.
Pria itu sadar kalau isterinya menerima lamarannya dulu karena tahu kalau kekuasaan keluarga Hamilton jauh melebihi keluarga Dalton. Hal ini membuat Maurice Dalton tidak akan dapat mengintimidasi dirinya dan bahkan ancamannya pun tidak akan pernah memberikan arti apapun baginya.
Saat dirasa tidak ada lagi hal yang mengikat mereka, pria itu merasa lebih baik untuk melepaskan isterinya. Wanita itu masih cukup muda. Masih memiliki kesempatan untuk meraih hal yang menjadi cita-citanya. Ia masih bisa mencari kebahagiaannya sendiri, tanpa halangan siapapun.
Menelan ludahnya, Gabriel mengeraskan hatinya saat ini.
"Kau sangat sempurna, Anne. Saking sempurnanya, aku seolah menikahi seorang robot. Kau selalu melakukan yang aku katakan. Tanpa protes. Tanpa marah. Tanpa emosi."
Maafkan aku, Anne.
"Kau bahkan dingin di tempat tidur, Arienne. Aku seolah sedang bercinta dengan sebuah boneka s**s dan bukan seorang wanita. Aku membutuhkan seorang isteri dan bukan robot atau pun pembantu. Kau paham sekarang, kenapa aku ingin kita berpisah?"
Tidak benar. Aku selalu puas saat bersama denganmu, Anne. Aku hanya tidak mau kau menderita hanya karena terikat denganku.
Suara Arienne terdengar tercekat saat wanita itu akhirnya ia bersuara. "Kamu tidak pernah mengatakannya selama ini, Gabriel. Mungkin kalau kamu-"
"Tidak. Aku sama sekali tidak mau mendengarmu menyalahkanku, Arienne! Kau sendiri tahu, kalau aku tidak punya waktu untuk mengurusi permasalahan remeh-temeh seperti ini! Seharusnya, kaulah sebagai isteri yang tahu mengenai kebutuhanku sebagai seorang suami!"
Aku sudah berusaha, honey. Tapi kaulah yang selalu menutup diri dariku. Lebih baik, kita berpisah saja.
Jawaban Gabriel memunculkan senyum miring dari bibir Arienne. Senyum yang sangat tidak disukai oleh pria itu. Arienne selalu tersenyum seperti itu di saat ia memandang remeh seseorang atau sesuatu.
"Ternyata kamu adalah pria yang sangat egois, Gabriel. Kalau kamu sadar, pernikahan adalah penyatuan dua kepribadian yang berbeda. Butuh dua orang untuk membuatnya berhasil. Tidak bisa kamu menyerahkan tanggungjawab itu hanya pada pihak wanita saja."
Geram dengan segala tuduhan itu, Gabriel akhirnya memutuskan untuk berterus terang pada isterinya. Sama sekali tidak menyadari kalau caranya yang kasar telah membuat wanita itu semakin terluka. Dan ia akan sangat menyesalinya di kemudian hari.
"Aku tidak mengerti maksudmu, honey. Karena seingatku, kaulah yang selalu menghindar saat aku memergokimu sedang menangis. Kau juga tidak pernah mau mengatakan apapun saat aku bertanya. Selama ini, aku berusaha untuk mendekatimu. Tapi apa yang kau lakukan? Kau selalu menghindariku dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Jadi, jangan pernah melemparkan kesalahan yang kau buat pada orang lain!"
Penjelasan dingin dari Gabriel tampak menampar Arienne dengan sangat keras. Raut wanita itu perlahan memucat dan ia terdiam. Suaranya terdengar lirih dan serak saat wanita itu berbicara kembali. "Gabe... Aku melakukan itu karena-"
"Tidak ada gunanya mengungkit hal itu lagi, Arienne. Keputusanku sudah bulat. Lagipula, perjanjian kita hanya untuk lima tahun saja. Apa kau lupa?"
"Aku tidak lupa. Tapi Gabe... Kita sudah mengenal lebih dari 10 tahun, dan sudah menjalani pernikahan ini selama 5 tahun. Tidak bisakah kamu-"
Tidak tahan lagi, Gabriel menghantamkan telapak tangannya yang besar ke permukaan meja kerjanya dan menimbulkan suara yang sangat nyaring. Pembicaraan ini menurutnya tidak ada gunanya lagi. Mereka berdua sudah menjalani hubungan ini selama lima tahun, dan sama sekali tidak ada perubahan apapun.
Percuma saja berusaha mempertahankan pernikahan ini. Apalagi tidak ada cinta di antara keduanya.
"Apa perlu kukatakan dengan lebih jelas, Arienne? Aku sudah muak padamu! Aku muak dengan pernikahan sandiwara ini! Aku ingin kita berpisah! Bagian mana dari kata-kata itu yang masih belum jelas untukmu!?"
"Gabe..."
Dengan kasar, Gabriel membuka laci meja kerjanya dan mengambil dokumen yang telah dipersiapkannya selama ini. Ia melemparkannya ke atas meja dengan kasar dan menunjuk berkas itu dengan jari telunjuknya.
"Tandatangani dokumen itu. Secepatnya!"
Tampak sorot mata isterinya yang tenang saat menatap dokumen yang ada di depannya. Kedua mata Gabriel berusaha melihat tanda apapun, yang bisa menunjukkan kalau wanita itu memiliki emosi.
Tidak ada.
"Apa ini?"
Menahan gumpalan rasa kecewa di tenggorokannya, Gabriel menjawab ketus. "Berkas perceraian."
Terasa jeda yang sangat lama, sebelum akhirnya wanita itu meraih berkas tersebut dan membukanya. Pandangannya masih terarah pada dokumen yang sedang dipegangnya saat ia bertanya pelan. "Kamu sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari?"
"Pernikahan ini hanya untuk sementara, seperti kesepakatan awal kita. Lagipula, grandmamma sudah tidak pernah menuntut kita untuk memiliki keturunan lagi. Kau juga sudah tidak memiliki halangan lagi dari keluargamu. Kau bisa melakukan apapun yang kau mau, tanpa harus dihambat dengan urusan perusahaan Dalton yang sekarang sudah berada di bawah Hamilton. Ini waktu yang sangat tepat untuk berpisah, Anne."
"Kamu tidak mau mempertimbangkannya lagi, Gabe?" Wanita itu masih menunduk.
"Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Please, Anne. Jangan membuatnya menjadi rumit. Kau juga tahu sendiri kalau aku tidak menyukai basa-basi dan hal yang terlalu dramatis. Lagipula kita tidak saling mencintai."
Menutup dokumen itu dengan pelan, pandangan Arienne akhirnya naik dan menatap suaminya. Bibirnya menampilkan senyum tipis. "Baiklah. Aku akan menandatanganinya. Tapi aku ada permintaan, Gabe."
"Apa itu?"
Tampak kedua mata hijau Arienne yang indah bergerak-gerak pelan. Tubuh wanita itu tegak ketika ia berdiri menghadap suaminya yang sedang duduk di balik meja. "Beri aku satu bulan untuk menjalani perananku sebagai seorang isteri yang sebenarnya. Bagaimana?"
Kedua alis hitam Gabriel berkerut dalam. Ia tidak mengerti maksud isterinya ini. "Apa maksudmu, Arienne? Isteri sebenarnya?"
Kembali ada jeda saat Arienne menundukkan kepalanya. Terlihat alisnya yang melengkung indah tampak berkerut untuk pertama kalinya, membuat Gabriel cukup terkejut.
Kepala isterinya terangkat dan wanita itu berkata datar. "Selama ini, aku melakukan peranku sebagai isteri sesuai kemauanmu, Gabriel. Aku menjadi wanita yang tegar dan tidak manja. Aku berusaha tidak egois dan membebanimu dengan masalah-masalah pribadiku. Aku juga berusaha menahan diriku sebagai seorang wanita saat kita bercinta, karena kamu tidak menyukai wanita agresif. Beri aku satu bulan untuk dapat bebas menjadi isterimu seutuhnya. Dan setelah itu kita berpisah. Bagaimana?"
Gabriel sangat terkejut dengan perkataan Arienne yang terasa menghantam ulu hatinya dengan sangat keras. Ia merasakan sakit dalam d*danya saat ini. Sama sekali tidak menyangka kalau perilaku dingin Arienne ternyata sebenarnya bersumber dari dirinya sendiri. Di satu sisi, dirinya mengakui kesalahannya tapi rasa egoisnya sebagai seorang lelaki, masih berusaha menolak kenyataan itu.
"Anne..." Terasa getaran dari suara Gabriel yang tidak diinginkannya.
"Aku akan menandatanganinya, apapun yang terjadi nanti karena itu sudah menjadi keputusan dirimu. Aku hanya meminta waktu satu bulan darimu, Gabe. Apa jawabanmu, honey?"
Mengepalkan kedua tangannya, raut Gabriel mengeras. ia tidak suka ditantang. Dan wanita ini telah menantang dirinya. Bagaimana pun, pria itu yakin kalau tidak akan ada yang berubah dalam hubungan mereka. Hal yang diminta oleh isterinya ini adalah sesuatu yang percuma saja, menurutnya.
"Baiklah. Terserah kau saja."
Tanpa menjawab apapun, Arienne berbalik dan keluar dari ruangan dengan membawa dokumen itu.
Suaminya sama sekali tidak tahu kalau wanita itu sedang mengalirkan air matanya saat ini. Dan pria itu akan sangat menyesal nantinya, telah menyia-nyiakan isteri yang sangat mencintainya itu.
Malam itu seperti biasa, mereka makan malam dengan penuh sopan santun dan etiket. Setelah itu, keduanya pun tampak duduk di sofa sambil menonton acara di TV yang sebenarnya sama sekali tidak menjadi perhatian mereka. Benak suami-isteri itu penuh dengan berbagai macam pemikiran."Apa rencanamu besok?" Sambil lalu Arienne bertanya pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya."Tidak ada. Seharian sepertinya aku akan di rumah karena lusa aku ke luar negeri."Informasi itu membuat Arienne mengangguk singkat. Ia sudah terbiasa dengan jadwal Gabriel yang harus pergi di waktu week end, membuat keduanya cukup jarang menghabiskan waktu bersama di hari libur."Ke mana sekarang ini?""Amerika, kemudian Italia dan Perancis."Kembali kepala isterinya mengangguk. Ia bertanya lagi dengan pelan. "Berapa lama?"Ada jeda yang singkat sebelum akhirnya Gabriel menjawab pelan. "Sekitar tiga minggu."Jawaban itu membuat kepala Arienne berpaling dengan sangat cepat pada suaminya. "Tiga minggu? Tapi Gabe, k
Setelah merasakan suaminya benar-benar terlelap di belakangnya, perlahan Arienne bangkit dari tidurnya.Duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan menatap Gabriel yang sangat terlelap seperti bayi. Raut pria itu tenang dan mulutnya sedikit terbuka.Tangan lentiknya mengusap-usap rambut tebal pria itu yang berwarna hitam selama beberapa saat. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening suaminya penuh perasaan. Kedua matanya berair, ketika mengingat beberapa waktu lagi ia harus akan melepaskan lelaki ini untuk selamanya.Arienne sangat ingin mempertahankan Gabriel di sisinya, tapi ia sangat tahu prioritas pria itu dalam hidupnya. Theodore Gabriel Hamilton adalah seorang pengusaha yang sangat ambisius. Yang ada di benaknya adalah untuk membesarkan usaha keluarganya. Menjadi semakin besar, dan semakin berkuasa. Saat ini, kesempatan itu tengah datang apalagi dengan runtuhnya kerajaan Dalton, membuat peluang itu terbuka semakin lebar.Seringnya
"Tidak ada lagi yang tertinggal?"Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut saat ini.Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?"Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya.Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya.Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?"Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap berger
Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama
Tidak sampai setengah jam kemudian, tampak pintu ruangan Gwendolyn terbuka dan Gabriel keluar dari sana. Ricard yang melihatnya hanya sekilas menangkap kalau wanita itu sedang berdiri membelakangi pintu dan bahunya terlihat tertunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan ia tampak menangis.Menoleh pada atasannya, pria tampan itu bertanya pelan. "Apa yang terjadi padanya, Tuan Hamilton? Anda memukulnya?"Merapihkan kerah jasnya, Gabriel mendengus kasar dan menyerahkan berkas-berkas yang tadi sempat ditinggalkan asistennya di ruangan. "Kau kira aku pria yang rendah dan akan melakukan itu pada seorang wanita lemah, Ricard? Dia menangis hanya karena ketakutan kehilangan hartanya kalau Gregorio sampai menceraikan dirinya nanti. Dan dia sudah menandatangani berkas-berkas ini."Mengerjapkan kedua matanya, Ricard menerima berkas itu. "Bagaimana cara Anda-""Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini aku ingin segera kembali ke Jerman, Ricard. Semua urusan kita sudah beres kan?""
Keesokan harinya, dengan tidak sabar Arienne mematut dirinya di depan kaca besar lemarinya. Beberapa kali ia mengganti bajunya, karena merasa tidak ada yang pas untuk menyambut suaminya nanti.Ketika akhirnya ia memilih satu pakaian yang dirasa menggambarkan hatinya saat ini, wanita itu berputar-putar di depan kacanya dan pipinya terlihat memerah. Ia sudah memulas wajahnya dengan make-up tipis, dan menggerai rambut pirangnya yang cukup panjang.Wanita itu tersenyum lebar dan mengelus perutnya yang rata. Mengambil amplop putih dari tas tangannya, Arienne menyimpan benda itu di laci lemarinya. Ia memutuskan akan mengatakan hal ini pada suaminya, saat mereka benar-benar sudah dalam keadaaan santai. Ia tidak mau membebani Gabriel dulu, sebelum merasa yakin 100% dengan hubungan mereka berdua.Memandang kembali kamar tidurnya, matanya bersibobrok pada koper besarnya yang terletak di pojokan ruangan. Beberapa hari lalu, ia telah selesai merapihkan pakaiannya dan siap untuk membawanya pergi s
"ANNEEE!?"Kedua mata hitam Gabriel membelalak terbuka. Dan dengan segera, pria itu segera menoleh ke sampingnya. Melihat tempat di sebelahnya kosong, lelaki itu kembali memalingkan mukanya dan tangan kirinya menutupi mukanya. Masih telentang, perlahan Gabriel mengusap wajahnya dan juga rambutnya. Keringat tampak membasahi tubuh berototnya yang saat ini terlihat polos.Menyender di kepala tempat tidurnya, kembali kepala pria itu menoleh ke sebelahnya dan menghela nafas berat. Sama seperti beberapa hari lalu, tempat di sampingnya kosong dan dingin. Terlihat tidak ada seorang pun yang tampak pernah tidur di sana.Perlahan, pria itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Di dalam sana, ia membersihkan dirinya sambil melamun dan sejenak, membiarkan air yang cukup panas menerpa kepalanya yang saat ini terasa sangat berat. Tangan kanan pria itu terlihat mer*mas kencang d*danya yang kembali terasa sakit.Beberapa menit kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi dan mulai berpakaia
= Di suatu tempat. Nun jauh di atas sana ="Dia akan datang?""Ya.""Sudah ke berapa kalinya?""Hum... Entahlah. Aku tidak menghitungnya. Yang jelas, sudah lebih dari 600 tahun ini.""Enam ratus tahun!? Kau yakin?""Aku bahkan sudah bosan mengurusnya. Entah kapan ini akan berakhir."Terdengar kekehan pelan seorang wanita. "Mungkin kita harus memberitahu Tuan Michael.""Mungkin. Karena sepertinya ini adalah kesempatan terakhir bagi jiwa tersesat itu. Karena kalau tidak, jiwanya akan langsung menghilang begitu saja.""Kasihan sekali.""Ya. Sangat jarang kasus seperti ini terjadi.""Ah. Dia datang."Tampak di depan mereka berdua, sebuah bola yang melayang-layang dengan ringannya memasuki gerbang yang menjulang megah di depan mereka. Bola yang berwarna emas itu bersinar dengan cemerlangnya. Sinarnya makin lama makin membutakan, membuat keduanya tidak bisa melihat apapun sebelum akhirnya rasa silau itu perlahan menghilang.Sebagai gantinya, di depan mereka telah berdiri sosok seorang pria
= Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe
"Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya
"Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal
Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa
Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den
"Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri
"Kamu sudah baikan dengan Evan?""Kapan memangnya aku marahan dengan anak itu?""Gabe..."Sadar nada isterinya yang geram, Gabriel segera memeluk pinggang Kat dan mengusel-usel kepalanya di d*da wanita itu yang empuk dan hangat."Aku sudah bicara dengannya, honey. Semua sudah beres. Sekarang, usap-usap kepalaku."Menurut, Kat pun mengelus lembut kepala suaminya. Ia berhati-hati agar tidak sampai menyentuh bagian yang terluka. Meski seharusnya ia telah pulang, tapi Gabriel bersikeras agar dirinya dapat menginap di rumah sakit. Untungnya ruang rawat VVIP memiliki tempat tidur yang cukup luas, membuat mereka berdua leluasa untuk dapat berbaring tanpa saling mendorong. Seperti sekarang ini.Selama beberapa saat, Kat mengusap-usap kepala suaminya. Tampak pandangannya melamun."Gabe...?""Ya...?""Mengenai masalah Burton. Kamu yakin sudah beres?"Semakin memeluk erat pinggang Kat, pria itu mengangguk."Burton dan Luzt sudah dipenjara, honey. Meski mungkin jaringan pengedarnya masih belum te
"Benar dia tidak apa-apa, dokter?""Tidak ada gumpalan darah dalam kepalanya, Ny. Hamilton. Dan dari pemeriksaan, tidak ada retakan atau kerusakan yang parah karena kecelakaan itu. Tuan Hamilton hanya mengalami luka-luka luar saja. Ia cukup beruntung memiliki reaksi yang baik dan melakukan gerakan yang tepat. Jika tidak, mungkin saja akan ada cedera yang lebih fatal pada dirinya dan juga puteranya.""Tapi kenapa sampai sekarang dia belum sadar, dokter? Ini sudah hampir dua hari.""Kita hanya bisa berdoa saja, Nyonya. Karena meski secara medis tidak ada masalah tapi sebagai manusia, dokter juga punya keterbatasan. Dan yang perlu dingat, meski masih sangat bugar tapi Tuan Hamilton sudah berusia 60 tahun. Tentu fisiknya tidak akan sama dengan kondisinya 20 tahun yang lalu. Akan butuh waktu bagi tubuhnya untuk recovery yang kita juga masih memonitornya sampai dengan hari ini."Kepala Kat menunduk, dan ia kembali bertanya dengan suara pelan. "Apakah-"Belum juga kalimat Kat selesai, dari a
"Aku ingin mengajakmu bertaruh, Apollyon."Saat ini, Apollyon dan Gabriel sedang bermain catur di taman bunga pria berambut merah itu. Melihat dari posisi bidaknya, tampaknya ia yang akan memenangkan pertandingan ini."Bertaruh? Kau yakin?""Ya."Pria berambut merah itu terkekeh arogan. Ia memindahkan salah satu bidak dengan santai di depannya. Setelahnya, ia menyenderkan punggungnya santai di kursi dan mengangkat kedua tangannya sombong."Baiklah. Aku menyukai pertaruhan, karena aku selalu menjadi pemenangnya. Apa yang kau inginkan?"Kepala Gabriel mengangguk dan ia menggerakkan bidaknya di papan catur."Kalau aku memenangkan pertandingan ini, maka aku akan memberikan tepukan sayang di pipimu."Mendengar itu, kedua alis Apollyon berkerut. "Tepukan sayang? Apa itu?""Kau akan mengetahuinya saat aku memenangkan pertandingan ini. Bagaimana? Kau takut?"Tantangan yang menyebalkan itu berhasil menyulut kemarahan Apollyon. "Ayo! Siapa takut! Tapi sebaliknya, kalau aku yang memenangkan pert