Pernikahan antara Theodore Gabriel Hamilton dengan Arienne Liliana Dalton dilangsungkan dengan meriah. Kedua keluarga yang cukup berkuasa itu akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan, yang tentunya membuat Maurice Dalton cukup gembira. Akhirnya, ia memiliki sosok seorang anak lelaki yang selama ini diinginkannya dalam diri Theodore Hamilton. Ia juga mengira bahwa akan ada merger di antara dua keluarga, membuat kekuasannya semakin meningkat nantinya.
Kekuasaan yang bertambah, berarti uang yang akan lebih melimpah. Uang yang melimpah, maka semakin banyak pula wanita yang akan tergila-gila padanya nanti. Sama sekali tidak terfikir olehnya, mengenai apakah anak perempuannya bahagia atau tidak dengan pernikahannya.
Kegembiraan pria baya ini berakhir ketika menantu yang baru mengucapkan sumpah satu hari yang lalu, menjatuhkan bom di ruang makan keluarga malam itu.
"Jadi, karena keluarga Dalton dan Hamilton sudah bersatu maka aku kira tidak ada salahnya membicarakan mengenai kemungkinan bisnis di antara keluarga kita bukan, Theodore? Lagipula, kita sudah menjalin kerjasama yang baik selama beberapa tahun ini di bidang batu bara. Tidak rugi bukan kalau ada kemungkinan merger di antara perusahaan keluarga?"
Mendengar perkataan itu, Gabriel menyenderkan punggungnya di kursinya dan meneguk anggurnya santai. "Merger? Maaf, tapi aku tidak mengingat adanya pembicaraan mengenai merger sebelumnya, Maurice."
Kedua mata Maurice mengedip cepat, sadar dengan kesalahannya. Tidak mau membuat Gabriel tersinggung, pria baya itu mengangkat gelasnya tinggi. "Maaf. Maaf. Bukan maksudku tidak sopan seperti ini. Tapi aku kira dengan track record kinerja Dalton corp. selama ini, aku kira tidak ada salahnya dari HGC untuk mempertimbangkan kemungkinan merger bukan, Theo? Setidaknya dengan salah satu anak usaha kita?"
Pertanyaan itu hanya membuat Gabriel mengerling pada isterinya yang terlihat tenang memotong-motong steak di sebelahnya. Tampak pria itu tersenyum samar sambil meletakkan salah satu tangannya di tangan isterinya yang sedang memegang pisau. "Honey? Kau belum mengatakan apapun pada papamu?"
Panggilan itu membuat Arienne menghentikan kegiatannya dan memandang suaminya. Tahu arti tatapan suaminya, wanita itu meletakkan pisau dan garpunya dengan pelan. Ia menatap ayahnya dan berkata tenang. "Papa. Aku dan Gabriel sepakat untuk tidak mencampur-adukkan antara urusan pekerjaan dengan kehidupan pernikahan kami."
Kata-kata anak perempuannya yang perlahan mulai memasuki otaknya, membuat amarah Maurice perlahan timbul ke permukaan. "Apa maksudmu, Arienne? Tolong jelaskan, karena papa tidak mengerti."
"Meski aku sudah menikah dengan salah satu dari Hamilton, namun itu tidak menjamin kalau Dalton dan Hamilton akan menjalin kerja sama nantinya. Dan Gabriel juga menginginkan agar aku tidak bekerja lagi di perusahaan. Jadi, aku akan mengundurkan diri segera setelah aku pindah ke rumahnya."
Tubuh Maurice terlihat bergetar sekarang. Sangat jelas pria baya itu sedang menahan amarahnya yang sudah menuju puncak. "Kau sama sekali tidak pernah membicarakan mengenai kemungkinan itu pada papa, Anne! Dan Papa juga tidak akan mengizinkan kau untuk resign dari perusahaan!"
Tangan Arienne yang berada di atas meja terlihat mulai mengepal. Nada suaranya rendah ketika ia bersuara kembali. "Papa..."
"Kalau kau berniat keluar dari perusahaan, maka kau harus keluar dari rumah ini dan dari keluarga Dalton, Arienne! Untuk selamanya! Papa tidak akan pernah memberikan warisan apapun padamu saat mati nanti!?"
"Maurice! Sadarlah! Dia itu anak kita satu-satunya!" Pada akhirnya ibunya bersuara. Setelah selama ini tidak pernah terlihat membela anak satu-satunya. Dan Arienne sudah tahu, kalau ibunya membela dirinya hanya agar tidak kehilangan jatah warisan dari suaminya nanti.
"Diam kau, Jane! Dasar kau anak yang durhaka! Percuma aku memiliki anak perempuan sepertimu! Kalau kau memang tetap mau mengikuti keinginan suamimu, maka silahkan saja! Tapi jangan harap kau akan diakui sebagai Dalton!"
Hati Arienne terasa perih. Baru kali ini ia berani untuk melawan ayahnya, dan mendapatkan reaksi yang sangat keras. Apakah belum cukup ia menunjukkan dedikasinya sebagai seorang anak selama ini?
"Papa... Aku selalu menuruti kata-katamu. Aku selalu melakukan yang papa inginkan. Apakah tidak boleh aku mengambil keputusan sendiri saat ini?"
Dengan marah, Maurice membanting gelas tingginya ke atas meja dan menumpahkan sebagian isinya. "Kau dilahirkan untuk mewarisi perusahaan keluarga Dalton! Kau ada di dunia ini hanya untuk itu! Kalau kau tidak mau melakukannya, maka lebih baik kau segera angkat kaki dari sini!"
Perkataan Maurice benar-benar telah menyakiti hati Arienne. Meski tahu kalau ayahnya selama ini hanya menyayangi kemampuan berbisnisnya, tapi ia tidak mengira kalau pria baya itu akan setega ini mengatakan kalimat dingin itu pada anaknya sendiri.
Sedikit bergetar, ia menoleh pada ibunya yang terlihat langsung menunduk. "Mama? Benar yang dikatakan oleh papa? Aku dilahirkan hanya untuk tujuan melanjutkan perusahaan keluarga?"
Tidak mendapat jawaban apapun dari ibunya, dengan tenang Arienne bangkit dari duduknya. Tampak emosi wanita itu sangat terkontrol dan ia tersenyum simpul. Bola matanya menyorot dingin saat menatap kedua orangtuanya. "Well, terima kasih untuk pemberitahuannya yang mendadak. Hal ini semakin membuatku membuka mata, papa. Ternyata kalian sama sekali tidak pernah menyayangiku, bukan?"
Terkekeh pelan, wanita itu menoleh pada suaminya yang masih memandanginya dengan datar. "Kamu dengar sendiri kan, Gabe? Aku sudah diusir dari rumah ini. Apa kamu masih bersedia untuk menampungku? Karena sekarang aku sudah tidak punya rumah dan juga pekerjaan karena dirimu, honey."
Mengikuti isterinya, Gabriel berdiri dari duduknya. Ia menghela tubuh isterinya untuk mendekat padanya dan memberikan pandangan yang sangat dingin pada kedua mertua yang masih duduk di depannya.
"Maurice. Karena kau telah melepaskan tanggungjawabmu pada Arienne, maka aku tidak akan sungkan lagi. Mulai hari ini, Arienne akan tinggal denganku dan sebagai isteriku yang sah. Kau tidak ada kewajiban lagi untuk menafkahinya, karena itu sudah menjadi urusanku mulai detik ini. Dan aku harap, kau tidak lagi menganggunya untuk urusan-urusan lain selama tidak mendapatkan izin dariku."
Pandangan Maurice tampak nanar saat melihat pasangan suami-isteri itu mulai melangkah ke arah pintu keluar. Tidak menyangka sama sekali kalau Arienne akan menerima keputusannya begitu saja. Tanpa diinginkannya, pria baya itu mulai merasa takut. Ia takut kehilangan anaknya.
"Anne!?"
Seruan itu berhasil membuat Arienne berhenti sejenak dari langkahnya. Wanita itu menoleh dan kembali senyum cantik terlihat di bibirnya yang merah muda. "Terima kasih papa, sudah memberikan tempat dan juga makanan untukku selama ini. Aku memang anak yang tidak tahu diri. Jaga dirimu."
Itu adalah terakhir kalinya Maurice melihat sosok anaknya. Setelah kepergian Arienne, Dalton corp. semakin lama semakin merosot dan akhirnya hanya menyisakan satu bisnis saja yang berhasil dipertahankan oleh Maurice. Dan bisnis itu adalah bisnis batu bara, yang masih dapat bertahan karena mendapatkan sokongan dana yang besar dari perusahaan Hamilton.
Setelah ditinggal anak perempuannya, Maurice Dalton seolah kehilangan tangan dinginnya dalam mengelola perusahaan. Ia tidak menyadari kalau ia sangat menyayangi anaknya, sehingga kepergian anak gadisnya itu sangat mempengaruhi psikologisnya dengan kuat.
Hubungannya dengan isterinya yang sudah tidak baik, semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Maurice menjadi sering minum-minum dan bermain dengan para wanita dengan lebih sembarangan. Yang pada akhirnya pria baya itu pun terkena serangan jantung, ketika sedang bersama dengan salah satu selingkuhannya di kamar hotel.
Saat itu Arienne sedang berada di ruangan perpustakaan ketika mendapatkan telepon dari rumah sakit.
"Halo?"
Wanita itu yang tadinya sedang mengetik sesuatu di komputernya tiba-tiba menegang. Wajahnya pun tampak serius mendengarkan perkataan seseorang yang ada di telepon.
"Saya akan segera ke sana!"
Selesai mengatakan hal itu, Arienne langsung lari mengambil kunci mobilnya dan melajukan kendaraannya menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, tetes demi tetes air mata mengaliri pipinya ketika bongkah penyesalan semakin lama, semakin membesar dalam d*danya.
Sampai di rumah sakit, bukannya pelukan yang diterimanya tapi ia malah mendapatkan tamparan di pipinya, dan itu dilakukan oleh ibunya sendiri.
"Kau!? Ini semua gara-gara kau!"
Arienne hanya bisa memegang pipinya yang terasa perih karena pukulan itu. Pandangannya tampak nanar. "Mama? Papa...?"
"Maurice sudah mati...! Dia sudah mati dan itu karena dirimu, kau anak tidak tahu diuntung!?"
Penuh kemarahan, Jane menjambak rambut anak perempuannya sendiri. Wanita baya itu sangat histeris, membuatnya tidak sadar telah melakukan tindak kekerasan pada anaknya.
Butuh dua orang petugas keamanan untuk memisahkan keduanya. Jane yang tampak belum bisa mengontrol dirinya, membuat salah satu dokter terpaksa memberinya obat penenang. Setelah berhasil mengatasi salah satu pasien, dokter itu berpaling pada wanita muda yang tampak berdiri dalam diam. Rambutnya yang tadinya acak-acakan, tampak dirapihkan oleh jari-jari lentiknya dengan sangat tenang.
"Anda tidak apa-apa?"
Arienne mengerjapkan matanya cepat. Ia mengangkat kepalanya dan ekspresinya yang datar membuat alis sang dokter mengernyit dalam. "Ya. Saya tidak apa. Ayah saya? Maurice Dalton?"
Ketenangan wanita muda di depannya ini membuat sang dokter sedikit terkejut, apalagi saat membicarakan seorang pasien pria yang ternyata telah meninggal. "Tuan Dalton telah meninggal dunia. Beliau ada di kamar rawat VIP, menunggu untuk prosesi pemakaman dari keluarga."
Ragu-ragu sang dokter bertanya, ketika melihat wanita muda di depannya ini hanya terdiam. "Nona? Apakah Anda keluarga dari Tuan Dalton?"
Hanya anggukan pelan sebagai jawabannya. Suara wanita itu terdengar mantap dan tidak ada rasa sedih di dalamnya. "Ya. Saya anaknya. Saya yang akan mengurus administrasinya."
Dan dalam waktu singkat, tubuh pria yang merupakan ayah kandungnya telah terkubur di kedalaman 2 meter di bawah tanah. Melihat gundukan tanah yang masih basah itu, Arienne hanya mampu mengedipkan matanya dengan cepat. Berusaha menghalau air mata yang mengancam ingin turun. Selama beberapa saat ia melakukannya, dan pada akhirnya aliran air yang deras pun tidak mampu dibendungnya.
Hari itu Arienne menangis pilu. Ia telah kehilangan ayahnya.
Meski tahu kalau hidupnya selama ini berantakan karena ulah kedua orangtuanya, tapi tetap saja ayahnya-lah yang paling berjasa membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Pria itulah yang membesarkannya, dan bukan ibunya sendiri. Bagaimana pun, ia telah berhutang budi pada pria baya itu.
Dalam hatinya, wanita itu menyayangi ayahnya. Dan malangnya sampai mati pun, ia tidak pernah dapat mendengar Maurice Dalton mengucapkan kata sayang pada dirinya. Padahal pria baya itu, juga sangat menyayangi puteri satu-satunya. Dan ia terlambat menyadarinya sampai kematian datang menjemputnya.
"Darimana kau?"Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gabriel, segera setelah Arienne memasuki kediaman mereka.Meletakkan tas tangannya di sofa, Arienne menghampiri suaminya yang tampak berdiri kaku di depan meja makan. Pria itu masih mengenakan jas dan dasi, menandakan kalau ia baru saja sampai dari kantor.Mengelus jas pria itu, Arienne membantu suaminya membuka jas dan juga dasinya. Sambil merapihkan kedua pakaian itu yang diletakkan di lengannya, ia berkata santai. "Dari rumah sakit. Papa meninggal."Penjelasan isterinya yang dingin menghentikan kegiatan Gabriel yang sedang menggulung lengan bajunya. Kedua alisnya yang tebal berkerut dalam. "Maurice meninggal?"Kepala Arienne mengangguk, dan Gabriel tidak menemukan tanda apapun yang menunjukkan kalau isterinya sedih dengan berita itu."Kau tidak apa?"Kedua mata hijau yang menatap Gabriel tampak jernih, dan kembali wanita itu mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja. Mama sempat histeris, tapi sudah ditenangkan oleh dokter. Untuk sementara,
"Apa kekuranganku, Gabe?"Tidak ada. Kau sempurna, honey. Sangat sempurna.Kedua mata Gabriel yang hitam hanya memandang isterinya dalam diam, meski hatinya memberontak. Ia tidak ingin berpisah dari wanita ini, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Karena ia juga tidak pernah tahu apa yang ada dalam otak wanita itu, membuatnya selalu bertanya-tanya saat ia berhadapan dengan isterinya."Kenapa kau menanyakan ini, Arienne? Kau sudah tahu dari awal, kalau aku tidak mencintaimu. Kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini ada untuk keuntungan kita berdua. Kau dapat keluar dari rumah itu, dan aku terhindar dari omelan keluarga. Apalagi yang ingin kau ketahui?"Posisi Arienne tampak santai saat menatap foto pernikahan mereka berdua yang tegantung di salah satu dinding. Bukan reaksi seperti ini yang diharapkan oleh Gabriel, tapi itulah Arienne. Wanita itu selalu datar. Selalu terkontrol."Aku tahu. Tapi aku ingin tahu, apa kekuranganku sebagai seorang isteri, Gabriel. Aku berhak untuk tahu kan? Pa
Malam itu seperti biasa, mereka makan malam dengan penuh sopan santun dan etiket. Setelah itu, keduanya pun tampak duduk di sofa sambil menonton acara di TV yang sebenarnya sama sekali tidak menjadi perhatian mereka. Benak suami-isteri itu penuh dengan berbagai macam pemikiran."Apa rencanamu besok?" Sambil lalu Arienne bertanya pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya."Tidak ada. Seharian sepertinya aku akan di rumah karena lusa aku ke luar negeri."Informasi itu membuat Arienne mengangguk singkat. Ia sudah terbiasa dengan jadwal Gabriel yang harus pergi di waktu week end, membuat keduanya cukup jarang menghabiskan waktu bersama di hari libur."Ke mana sekarang ini?""Amerika, kemudian Italia dan Perancis."Kembali kepala isterinya mengangguk. Ia bertanya lagi dengan pelan. "Berapa lama?"Ada jeda yang singkat sebelum akhirnya Gabriel menjawab pelan. "Sekitar tiga minggu."Jawaban itu membuat kepala Arienne berpaling dengan sangat cepat pada suaminya. "Tiga minggu? Tapi Gabe, k
Setelah merasakan suaminya benar-benar terlelap di belakangnya, perlahan Arienne bangkit dari tidurnya.Duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan menatap Gabriel yang sangat terlelap seperti bayi. Raut pria itu tenang dan mulutnya sedikit terbuka.Tangan lentiknya mengusap-usap rambut tebal pria itu yang berwarna hitam selama beberapa saat. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening suaminya penuh perasaan. Kedua matanya berair, ketika mengingat beberapa waktu lagi ia harus akan melepaskan lelaki ini untuk selamanya.Arienne sangat ingin mempertahankan Gabriel di sisinya, tapi ia sangat tahu prioritas pria itu dalam hidupnya. Theodore Gabriel Hamilton adalah seorang pengusaha yang sangat ambisius. Yang ada di benaknya adalah untuk membesarkan usaha keluarganya. Menjadi semakin besar, dan semakin berkuasa. Saat ini, kesempatan itu tengah datang apalagi dengan runtuhnya kerajaan Dalton, membuat peluang itu terbuka semakin lebar.Seringnya
"Tidak ada lagi yang tertinggal?"Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut saat ini.Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?"Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya.Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya.Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?"Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap berger
Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama
Tidak sampai setengah jam kemudian, tampak pintu ruangan Gwendolyn terbuka dan Gabriel keluar dari sana. Ricard yang melihatnya hanya sekilas menangkap kalau wanita itu sedang berdiri membelakangi pintu dan bahunya terlihat tertunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan ia tampak menangis.Menoleh pada atasannya, pria tampan itu bertanya pelan. "Apa yang terjadi padanya, Tuan Hamilton? Anda memukulnya?"Merapihkan kerah jasnya, Gabriel mendengus kasar dan menyerahkan berkas-berkas yang tadi sempat ditinggalkan asistennya di ruangan. "Kau kira aku pria yang rendah dan akan melakukan itu pada seorang wanita lemah, Ricard? Dia menangis hanya karena ketakutan kehilangan hartanya kalau Gregorio sampai menceraikan dirinya nanti. Dan dia sudah menandatangani berkas-berkas ini."Mengerjapkan kedua matanya, Ricard menerima berkas itu. "Bagaimana cara Anda-""Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini aku ingin segera kembali ke Jerman, Ricard. Semua urusan kita sudah beres kan?""
Keesokan harinya, dengan tidak sabar Arienne mematut dirinya di depan kaca besar lemarinya. Beberapa kali ia mengganti bajunya, karena merasa tidak ada yang pas untuk menyambut suaminya nanti.Ketika akhirnya ia memilih satu pakaian yang dirasa menggambarkan hatinya saat ini, wanita itu berputar-putar di depan kacanya dan pipinya terlihat memerah. Ia sudah memulas wajahnya dengan make-up tipis, dan menggerai rambut pirangnya yang cukup panjang.Wanita itu tersenyum lebar dan mengelus perutnya yang rata. Mengambil amplop putih dari tas tangannya, Arienne menyimpan benda itu di laci lemarinya. Ia memutuskan akan mengatakan hal ini pada suaminya, saat mereka benar-benar sudah dalam keadaaan santai. Ia tidak mau membebani Gabriel dulu, sebelum merasa yakin 100% dengan hubungan mereka berdua.Memandang kembali kamar tidurnya, matanya bersibobrok pada koper besarnya yang terletak di pojokan ruangan. Beberapa hari lalu, ia telah selesai merapihkan pakaiannya dan siap untuk membawanya pergi s
= Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe
"Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya
"Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal
Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa
Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den
"Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri
"Kamu sudah baikan dengan Evan?""Kapan memangnya aku marahan dengan anak itu?""Gabe..."Sadar nada isterinya yang geram, Gabriel segera memeluk pinggang Kat dan mengusel-usel kepalanya di d*da wanita itu yang empuk dan hangat."Aku sudah bicara dengannya, honey. Semua sudah beres. Sekarang, usap-usap kepalaku."Menurut, Kat pun mengelus lembut kepala suaminya. Ia berhati-hati agar tidak sampai menyentuh bagian yang terluka. Meski seharusnya ia telah pulang, tapi Gabriel bersikeras agar dirinya dapat menginap di rumah sakit. Untungnya ruang rawat VVIP memiliki tempat tidur yang cukup luas, membuat mereka berdua leluasa untuk dapat berbaring tanpa saling mendorong. Seperti sekarang ini.Selama beberapa saat, Kat mengusap-usap kepala suaminya. Tampak pandangannya melamun."Gabe...?""Ya...?""Mengenai masalah Burton. Kamu yakin sudah beres?"Semakin memeluk erat pinggang Kat, pria itu mengangguk."Burton dan Luzt sudah dipenjara, honey. Meski mungkin jaringan pengedarnya masih belum te
"Benar dia tidak apa-apa, dokter?""Tidak ada gumpalan darah dalam kepalanya, Ny. Hamilton. Dan dari pemeriksaan, tidak ada retakan atau kerusakan yang parah karena kecelakaan itu. Tuan Hamilton hanya mengalami luka-luka luar saja. Ia cukup beruntung memiliki reaksi yang baik dan melakukan gerakan yang tepat. Jika tidak, mungkin saja akan ada cedera yang lebih fatal pada dirinya dan juga puteranya.""Tapi kenapa sampai sekarang dia belum sadar, dokter? Ini sudah hampir dua hari.""Kita hanya bisa berdoa saja, Nyonya. Karena meski secara medis tidak ada masalah tapi sebagai manusia, dokter juga punya keterbatasan. Dan yang perlu dingat, meski masih sangat bugar tapi Tuan Hamilton sudah berusia 60 tahun. Tentu fisiknya tidak akan sama dengan kondisinya 20 tahun yang lalu. Akan butuh waktu bagi tubuhnya untuk recovery yang kita juga masih memonitornya sampai dengan hari ini."Kepala Kat menunduk, dan ia kembali bertanya dengan suara pelan. "Apakah-"Belum juga kalimat Kat selesai, dari a
"Aku ingin mengajakmu bertaruh, Apollyon."Saat ini, Apollyon dan Gabriel sedang bermain catur di taman bunga pria berambut merah itu. Melihat dari posisi bidaknya, tampaknya ia yang akan memenangkan pertandingan ini."Bertaruh? Kau yakin?""Ya."Pria berambut merah itu terkekeh arogan. Ia memindahkan salah satu bidak dengan santai di depannya. Setelahnya, ia menyenderkan punggungnya santai di kursi dan mengangkat kedua tangannya sombong."Baiklah. Aku menyukai pertaruhan, karena aku selalu menjadi pemenangnya. Apa yang kau inginkan?"Kepala Gabriel mengangguk dan ia menggerakkan bidaknya di papan catur."Kalau aku memenangkan pertandingan ini, maka aku akan memberikan tepukan sayang di pipimu."Mendengar itu, kedua alis Apollyon berkerut. "Tepukan sayang? Apa itu?""Kau akan mengetahuinya saat aku memenangkan pertandingan ini. Bagaimana? Kau takut?"Tantangan yang menyebalkan itu berhasil menyulut kemarahan Apollyon. "Ayo! Siapa takut! Tapi sebaliknya, kalau aku yang memenangkan pert