"Syahinaz berpulang." Ucapan lirih itu membuat Ajeng mendongakkan kepala.
Syahinaz. Dia tahu nama itu. Syahinaz adalah istri dari saudara sepupu Akara, suami kakak angkat Ajeng.
Serentak kalimat "Innalilahi wa innailaihi raji'un." mendengung.
"Bagaimana dengan Bang Il?" Tanya Rianna dengan sorot sedih.
"Dia pasti sangat bersedih. Tidak ada hal yang dia cintai di dunia ini selain Syahinaz." Jawab Akara dengan lirih.
Semua orang mengenal Akara sebagai sosok yang dingin dan tanpa ekspresi, namun kali ini, Ajeng bisa melihat sorot sedih dan linangan airmata yang Ajeng tahu coba disembunyikan oleh pria itu. Akara dan Ilker tumbuh besar bersama, ikatan persaudaraan mereka jauh lebih erat dari sekedar sepupu. Mereka sahabat baik yang sudah mengalami susah senang bersama. Jadi wajar jika kini Akara merasakan kesedihan yang Ilker rasakan.
"Aa akan pergi ke rumah sakit dan melihat kondisinya. Kalian langsung saja pergi ke rumah Uncle Adskhan." Ucapnya yang dijawab anggukan oleh Rianna dan Ajeng. Setelah mengecup dahi sang istri, Akara pun berlalu pergi.
"Kasihan Ilsya." Ucap Ajeng lirih. "Dia bahkan tidak bisa merasakan air susu ibunya." lanjutnya yang dihadiahi Rianna dengan tatapan sendu.
Baik Ajeng ataupun Rianna sama-sama tahu bagaimana rasanya tidak memiliki orangtua karena mereka tumbuh besar di panti asuhan yang sama. Jadi mereka tahu apa yang mungkin nantinya akan Ilsya rasakan.
Tapi jika dibandingkan mereka, Ilsya jelas jauh lebih beruntung, karena setidaknya bayi kecil itu masih memiliki ayah dan juga keluarga besar yang pasti akan membuatnya tumbuh dengan banyak cinta dan jelas tanpa kekurangan finansial. Tidak seperti Rianna dan Ajeng kecil dulu.
Namun apa yang Ajeng dan Rianna duga-tentang Ilsya yang beruntung karena masih memiliki ayah yang akan menyayanginya-tampaknya tidak akan menjadi kenyataan.
Siang itu, mereka berkumpul di kediaman pasangan Adskhan dan Caliana-orangtua Ilker-dan menunggu mobil jenazah yang datang membawa jasad Syahinaz.
Mereka sudah menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah Syahinaz di halaman belakang rumah. Ajeng sendiri turut sibuk membantu asisten rumah tangga untuk menyiapkan segala hal bagi para tamu yang datang melayat.
Rumah seperti sedang mengadakan pesta. Entah bagaimana dan darimana orang-orang itu tahu dan datang, tapi sekarang kediaman Adskhan Caliana dipadati banyak orang. Mereka datang untuk melayat, menyolatkan jenazah dan mengaji.
Dalam hati Ajeng iri pada Syahinaz. Kebaikan apa yang wanita itu lakukan semasa hidupnya sampai orang-orang yang datang sampai segini banyaknya. Bahkan dalam akhir hidupnya pun masih banyak orang yang peduli pada wanita itu. Kelak, saat Ajeng meninggal ia belum tentu akan disholatkan dan didoakan oleh banyak orang seperti wanita itu.
Namun demikian, Ajeng merasakan keganjilan Ilker saat itu.
Pria itu ada disana, duduk tak jauh dari jasad istrinya. Menerima salam dari para tamu yang mengucapkan duka cita. Tapi, Ajeng memperhatikan tidak ada airmata yang menetes di wajah pria itu. Tidak seperti yang umum terjadi pada keluarga yang ditinggalkan pada umumnya.
Ilker sedih, tentu saja. Ajeng tahu tidak akan ada orang yang paling sedih diantara semua orang yang ada disana selain Ilker. Tapi kesedihan pria itulah yang membuat semuanya terasa janggal.
Tubuh Ilker ada disana, namun tidak demikian dengan jiwanya. Dia masih menanggapi orang-orang yang mengajaknya bicara, tapi ekspresinya datar, tanpa rasa. Syahinaz bukan hanya pergi membawa cinta Ilker, namun juga sisa kehidupan pria itu.
Ketika orang mengatakan kalau Ilker sudah mati rasa, Ajeng yakin faktanya tidak demikian. Diantara orang-orang yang berkumpul disana-dimana keluarga Syahinaz juga berada dan menangis dengan histeris di depan jasad yang tertutup kain jarik itu berada-Ilker lah yang jelas paling menderita. Orang bilang, jika luka hati seseorang sudah teramat besar, seringkali orang sudah lupa bagaimana caranya menangis. Dan itulah Ilker yang Ajeng lihat.
Selepas Ashar, mobil sudah berjejer di depan rumah keluarga Adskhan-Caliana. Mobil jenazah sudah memasukkan keranda berisi jenazah Syahinaz. Satu persatu orang masuk ke dalam mobil tanpa dikomando dan Ajeng turut ikut ke pemakaman dengan mobil milik Akara yang dikendarai oleh pria itu sendiri.
Tidak ada perbincangan selama perjalanan. Rintik hujan yang membasahi kaca seolah menandakan bahwa langit turut bersedih akan kepergian Syahinaz. Mereka sampai di pemakaman dan tanpa dikomando berjalan menuju liang lahat yang sudah disiapkan oleh para penggali.
Ajeng berdiri diantara kedua kakak angkatnya-Rianna dan Raia-sambil memegang tangan Hanna-putri Raia dan mendiang suaminya. Matanya entah kenapa selalu saja terangkat dan mengarah pada Ilker yang berdiri tepat di seberangnya. Pria itu berdiri tegap disamping para sepupu prianya dan juga ayah dan paman-pamannya.
Fisik pria itu berada dekat, namun Ajeng merasa pria itu berada sangat jauh. Kepalanya sedikit tertunduk dan Ajeng tidak bisa menebak kemana mata pria itu terarah karena tertutup oleh kacamata hitam. Yang jelas, lagi-lagi pria itu tidak tampak menangis. Karena tidak sekalipun pria itu mengangkat tangan untuk mengusap wajahnya.
Ilker masuk ke dalam liang lahat ditemani oleh Akara. Tangan kedua pria itu terulur untuk menerima jasad Syahinaz yang sudah terbungkus kain putih. Meletakkannya seirama dan dengan sangat hati-hati di atas tanah yang basah karena gerimis tak kunjung berhenti. Setelah menutup tubuh itu dengan papan kayu, Ilker dan Akara kembali naik ke atas dan kemudian lubang persegi itu perlahan ditumpahi tanah hingga benar-benar tertutup.
Untaian doa yang keluar dari mulut ustadz diiringi isakan lirih para pelayat. Sampai kemudian doa itu selesai, Ajeng kembali menatap Ilker. Pria itu masih menunduk, namun kali ini Ajeng tahu kemana mata pria itu terarah, nisan bertuliskan nama mendiang istrinya.
Perlahan, semua orang bubar. Ajeng pikir, Ilker akan menghabiskan waktu lebih lama di peristirahatan terakhir Syahinaz. Mungkin mengucapkan kalimat perpisahan. Atau mungkin meraung menangisi kepergian sang istri tercinta setelah tak ada orang.
Tapi tidak, lagi-lagi pria itu melakukan tindakan yang tak terduga karena ia melangkah menjauhi pemakaman lebih dulu dibandingkan pelayat lainnya yang hanya memandangnya dengan tatapan penuh tanya.
Lagi-lagi, mereka kembali ke kediaman Adskhan-Caliana tanpa banyak kata. Rumah besar itu kini sepi. Pelayat yang tadi memenuhi ruang kini tampak sudah tidak ada sama sekali. Hanya ada keluarga Levent yang berusaha tampak biasa ditengah kesedihan yang melanda hati mereka, mempersiapkan pengajian yang akan berlangsung setelah Magrib. Di tengah haru yang hening itu, suara tangisan menggema.
Ajeng mengerutkan dahi, memandang Rianna dengan tatapan tanya.
"Apa itu bayi Ilsya?" tanya Rianna pada si pemilik rumah yang sedang bangkit dari duduknya.
Nyonya Caliana menganggukkan kepala. Rianna dan Ajeng berjalan mengikuti Nyonya Caliana yang melangkah menuju salah satu kamar yang ada di lantai satu. Tanpa mengetuk pintu, Nyonya Caliana membuka pintu dan mereka melihat seorang suster yang Ajeng perkirakan berusia empat puluh tahunan tengah mengayun tubuh bayi yang berbungkus selimut berwarna merah muda dan berusaha memasukkan dot ke dalam mulutnya.
"Kenapa dengan Ilsya, Sus?" tanya Nyonya Caliana seraya mendekati cucunya dan memperhatikan Ilsya yang terus menerus menolak ujung dot yang diberikan sang suster.
"Saya tidak tahu, Nyonya. Tubuhnya tidak panas, popoknya juga bersih. Saya pikir dia lapar, tapi dia juga tidak mau minum susu." Ucap Suster itu yang entah bagaimana terlihat gugup di hadapan Nyonya Caliana.
Nyonya Caliana mengambil bayi kecil itu dari gendongan sang suster dengan hati-hati. Wajah kecil Ilsya sudah memerah karena tangis, sementara tangannya seolah menepis dot yang kembali coba diberikan sang nenek. "Sayang, kenapa?" tanya Nyonya Caliana dengan suara tercekat yang entah bagaimana membuat mata Ajeng memanas begitu saja. "Jangan nangis ya, Mama memang udah pergi, tapi kan ada Oma, ada Opa, Papa." Bujuk wanita itu seraya mengayun sang bayi dengan lembut. Bayi itu seolah mendengarkan ucapan Nyonya Caliana, tapi hanya sejenak. Karena kemudian bayi itu kembali menangis.
Suara langkah kaki yang tergesa membuat mereka menoleh ke arah pintu. "Oma.." Sosok Afham, cucu Nyonya Caliana muncul dengan mimik shock dan napas terengah.
"Kenapa?"
"Uncle, Oma." Ucap pemuda itu seraya menunjuk ke lantai dua. "Uncle Akara dan Uncle Ilker ribut. Uncle Ilker udah berkemas dan bilang mau pergi." ucap pemuda itu dengan cepat.
Nyonya Caliana, Rianna, Ajeng sama-sama mengerutkan dahi karena bingung.
"Pergi kemana?" tanya Nyonya Caliana turut panik. Namun Afham hanya menggelengkan kepala.
Dengan perlahan dan hati-hati, Nyonya Caliana menyerahkan Ilsya kembali pada susternya dan dengan langkah cepat, secepat yang bisa dilakukan kaki tuanya, wanita itu meninggalkan kamar, berusaha untuk mengejar sang putra yang dari ambang pintu Ajeng lihat tampak membawa sebuah tas gunung yang tampak besar, lengkap dengan sepatu gunung dan jaket.
"Bang!" teriak Nyonya Caliana seraya menghampiri Ilker dan menarik lengan pria itu untuk menghentikan langkahnya. "Abang mau kemana?!" serunya lagi saat sang putra tak menghiraukannya.
Ajeng ingin melangkah meninggalkan kamar, namun saat mendengar tangisan Ilsya, ia mengurungkan niatnya.
Inikah alasan bayi kecil itu menangis? Karena ia tahu kalau ia juga akan ditinggalkan sang ayah?
Ajeng mendekati sang suster tanpa mengalihkan tatapannya dari Ilsya. "Boleh saya menggendongnya, Sus?" tanyanya dengan lirih.
Suster itu hanya menatap Ajeng, seolah ragu dan takut untuk menyerahkan bayi berharga yang ada di tangannya pada gadis muda seperti Ajeng. Namun setelah mempertimbangkan, wanita itu kemudian menyerahkan Ilsya ke dalam gendongan Ajeng.
Ajeng tersenyum, mencoba memposisikan tubuh kecil Ilsya supaya nyaman dalam pelukannya. "Jangan menangis sayang," bisiknya membujuk dengan nada lirih dan lembut. "jangan menangis." Lanjutnya seraya mengusapkan punggung teluntuk tangannya pada pipi bayi itu dengan lembut. "Kamu tahu, Allah itu tidak akan menguji seseorang diluar batas kemampuannya. Dia tahu kamu anak yang kuat, dan kakak tahu kamu itu calon anak yang hebat." Ucapnya tanpa sadar menitikkan air mata saat mengecup dahi Ilsya yang mungil. "Jadi jangan menangis ya." Mohonnya lirih. Dan entah bagaimana, bayi itu menjadi tenang dalam sekejap mata.
"Abang!" Pekikan Nyonya Caliana menghentikkan langkah Ilker yang lebar.Ilker hanya mematung sejenak, mencengkeram tali tas di lengannya dengan erat. Ia tampak tidak ingin membalikkan tubuhnya sama sekali. Memilih untuk mengeraskan hatinya dan menulikan telinganya meskipun ia tahu di belakang punggungnya sang ibu bersedih dengan pilihan yang dibuatnya."Abang mau pergi kemana?" Tanya ibunya dengan nada tercekat. Ilker masih tidak menjawabnya. "Apa Abang gak kasihan sama Ilsya? Dia masih bayi, Bang. Dia baru saja kehilangan ibunya, masa dia harus kehilangan ayahnya juga?" Rintih Nyonya Caliana sedih."Maafin Ilker, Ma." Ucapnya dengan lirih namun masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di belakangnya. "Tapi Ilker gak mampu jaga anak itu. Hati Ilker sakit, dan Ilker gak mau membenci dia dan menyalahkan dia atas perginya Syahinaz."Kalau Mama memang sayang abang. Biarkan abang pergi. Abang percaya kalau Mama bisa jaga dia. Abang yakin kalau bersama kalian dia akan lebih bahagia
"Uncle sakit, Il." Pemberitahuan bernada lirih itu membuat jantung Ilker berdenyut nyeri. Itu adalah rekaman suara sepupunya, Akara, yang tersimpan dalam rekaman suara di ponselnya. "Beberapa waktu yang lalu beliau sempat dirawat karena jantung. Stres berlebih jadi penyebabnya." Lanjut sepupunya itu lagi.Akara jelas lebih tahu kondisi ayah Ilker karena satu, pria itu tinggal di kota yang sama dengan keluarga Ilker. Dan kedua, Akara adalah seorang spesialis jantung. Jadi dia tahu seluk beluk serta efek dari kondisi ayahnya."Uncle berusaha untuk tegar. Tapi sekuat apapun dia, terlalu banyak pikiran jelas bukan hal yang bisa dengan mudah dia tanggung, Al."Pulanglah. Selain demi Uncle, lakukan demi adik-adikmu dan..." Ucapan Akara tak berlanjut sebab Ilker sudah mematikan rekaman itu.Ilker duduk di kursi portabel nya. Mendongakkan kepala dan memandang langit yang berbintang di kegelapan malam.Lima tahun.Lima tahun sudah ia berlari dari kehidupan nyata. Mencoba menghindari hiruk piku
ALARM BERBUNYI. Dengan mata mengantuk, Ajeng meraba-raba bawah bantal, mencari ponselnya untuk mematikan alarmnya.Ia berbaring beberapa saat untuk menghilangkan kantuk sambil menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya sebelum duduk di atas tempat tidur.Pukul lima pagi dan di luar jendela kamarnya sudah tampak orang-orang berlalu lalang memulai aktifitas. Ajeng turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi yang ada di bagian dalam kamarnya.Tempat tinggalnya itu bisa disebut sebagai apartemen studio. Berukuran empat kali enam meter dimana di dalamnya terdapat kamar mandi dan juga dapur kecil seluas dua kali satu meter setengah. Tapi ia tidak berada di gedung apartemen, ataupun lingkungan kos-kosan, melainkan di komplek tempat tinggal karyawan yang dibangun di bagian belakang rumah keluarga Levent. Keluarga blasteran Turki-Indonesia. Tempat dimana Ajeng bekerja.Terhitung sudah lima tahun Ajeng bekerja di keluarga Adskhan-Caliana. Jabatannya? Entahlah, Ajeng sendiri tidak b
Can I call you baby? Can you be my friend Senandung samar dari luar kamar membuat Ilker membuka mata. 'Siapa yang menyalakan musik?' Tanya Ilker dengan mata mengantuk. Can you be my lover up until the very end? Siapa itu? Hanya lagu, tanpa musik. Ini jelas seseorang yang sedang bersenandung. Batin Ilker dengan kepala yang masih berdenyut nyeri. Let me show you love, oh, I don’t pretend Stick by my side even when the world is givin’ in, yeah Suara yang merdu dan lirih itu membuat Ilker akhirnya bangkit dari baringannya dan fokus mendengarkan. Oh, oh, oh, don’t Don,t you worry I’ll be there, whenever you want me Ilker menurunkan kakinya dan meraih jubah kamar mandi berwarna hitam yang semalam digunakannya. Berjalan menjauhi tempat tidur seraya mengikat tali jubahnya. Semakin dekat dengan pintu, semakin jelas suara itu terdengar. I need somebody who can love me at my worst No, I’m not perfect, but I hope you see my worth ‘Cause it’s only you, nobody new, I put you first
Ajeng melanjutkan pekerjaannya, membiarkan tamu majikannya itu makan sendirian. Saat ia mulai mengangkat lap untuk menyeka kotoran, matanya terbelalak seketika. Sebuah ingatan masuk ke dalam kepalanya.Ia menoleh kembali ke arah meja makan untuk memastikan kalau apa yang dilihatnya itu benar.Tadi, sekilas ia melihat kesamaan antara si tamu dengan majikannya yang lain. Namun saat itu Ajeng mengabaikannya karena berpikir mungkin mereka berasal dari negara yang sama, maka dari itu kontur wajah mereka terlihat sama.Tapi sekarang, setelah Ajeng pikir baik-baik. Apa yang tadi ia sangka umum, itu bukan hal yang umum. Melainkan karena ia memang familiar.Wajah itu, memang tidak sama seperti foto yang ada di ruang keluarga kediaman Adskhan-Caliana. Karena pria yang sedang sarapan itu, benar-benar berpenampilan urakan. Dengan rambut panjang dan diikat asal di belakang kepala, rambut-rambut di wajah yang hampir menututpi dua pertiga wajahnya, jelas sangat jauh berbeda dengan sosok yang sering
Ajeng turun dari ojeg yang dipesannya tepat di depan kediaman keluarga Adskhan-Caliana. Ia menyapa satpam yang membukakan pintu untuknya dan berjalan melalui area samping rumah utama untuk menuju kediamannya. Tepat sebelum ia membuka pintu, terdengar suara salah satu asisten rumah tangga memanggilnya. "Oma minta bibi manggil kamu ke rumah depan kalo kamu udah pulang." Ucap wanita berusia empat puluhan yang sudah bekerja cukup lama di keluarga Levent. "Kenapa? Ada apa?" Tanya Ajeng cemas. Wanita itu menggeleng. "Oma dari tadi bolak-balik nanyain apa kamu udah pulang atau belum." Jawabnya lagi. Dan tanpa menunggu penjelasan lain, Ajeng pun berjalan menuju rumah utama lewat dapur. Ajeng mencari-cari sosok wanita paruh baya yang dikatakan sedang mencarinya itu. Namun sebelum ia menemukan keberadaan nyonya rumah, ia malah disambut dengan pelukan dari sebuah tangan kecil yang ia tahu siapa. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok Ilsya tengah nyengir padanya. Gadis kecil berusia lima
"Kami sudah tahu kalau Ilker sudah kembali." Ucap Akara saat Ajeng memberitahukan informasi itu. Ajeng menatap kakak iparnya itu dengan heran hingga tak bisa berkata-kata. "Kami memiliki banyak orang yang ditugaskan untuk memantaunya selama ini, Ajeng." Ajeng menoleh pada Halil yang kebetulan sedang mampir ke kediaman kakak iparnya itu. Ia kembali melirik Akara dan melihat anggukan pria itu. "Kami tidak pernah membiarkannya lepas dari pengawasan." Jawab Akara lagi. "Kami mengijinjan dia pergi, tapi bukan berarti kami lepas tangan darinya begitu saja. “Kondisi Ilker berbeda. Dia pergi bukan untuk liburan. Dia pergi dengan luka hati yang dalam. Kami tidak tahu apa yang mungkin setan bisikan padanya. “Tidak menutup kemungkinan kalau dia pasrah pada keadaan dan memilih untuk mengakhiri hidupnya." Jawab Akara dengan santainya. "Kami memberinya waktu untuk berpikir dan menyembuhkan perasaannya. Tapi kami tidak pernah lepas memantaunya." Jawab Halil menimpali. "Kami tahu dia berada di
Keesokan paginya, Ajeng mendatangi Nyonya Caliana tepat sebelum sarapan. Dengan jantung berdebar, Ajeng menghadap wanita paruh baya itu. Seolah mengerti hanya dengan melihat gerak-gerik Ajeng, wanita itu lantas tersenyum dan berkata. "Sudah mendapat keputusan?" Tanyanya dengan nada lembut. Dengan ekspresi yakin, Ajeng menganggukkan kepala. “Jadi, apa jawabannya?” Tanyanya tanpa melepas pandangan dari Ajeng. “Ajeng mau bantu, Oma. Tapi…” “Tapi?” “Tapi Ajeng gak janji kalau Ajeng bisa mendekatkan mereka dalam waktu dekat.” Jawaban Ajeng dihadiahi senyuman Oma Ana. Tangan wanita itu terulur dan begitu saja memegang tangan Ajeng. “Terima kasih, Ajeng. Oma sungguh-sungguh berterima kasih.” ucapnya dengan senyum tulusnya. “Kalau Ajeng gak berhasil, apa Oma akan marah?” Tanyanya tanpa ragu. Oma Ana terkekeh lantas menggelengkan kepala. “Oma minta bantuan kamu, tapi harapan Oma sepenuhnya Oma berikan kepada Allah. Karena Dia yang Maha Membolak-balik Hati.” ucap wanita itu lagi
"TA-TAPI MAS.." Ajeng mendesis lirih saat merasakan kecupan Ilker di lehernya."Hmm?" Tanya Ilker tanpa menjauhkan bibirnya dari leher Ajeng, mengendusnya seolah sedang membaui tubuh wanita itu."Sampai kapan kita akan disini?" Tanya Ajeng gugup. Sisa kewarasannya mulai membuatnya takut akan anggapan orang-orang terhadap hubungan mereka nantinya. Ia sangat tidak suka jika orang berdesas-desus tentang dirinya.Ya, mereka memang sudah menikah. Meskipun surat-surat resmi mereka belum keluar, tapi tetap saja mereka sudah halal untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun.Meski demikian, Ajeng masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang melihatnya nanti.Bayangkan saja, apa yang akan dipikirkan oleh resepsionis Ilker, atau sekretaris pria itu besok saat melihat Ajeng keluar dari kantor Ilker di pagi atau siang atau mungkin sore hari tanpa pernah melihatnya masuk?Atau bertanya-tanya dimana keberadaannya dan apa yang dil
AJENG MERINTIH PELAN. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia ingin bangun tapi rasa ngilu di tubuhnya malah membuatnya ingin meringkuk lebih lama.Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah jendela kaca lebar dengan tampilan sinar-sinar kecil yang indah.Apa diluar sedang ada pesta kembang api? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi sinar-sinar itu tidak bergerak layaknya kembang api pada umumnya.Ajeng semakin mengetatkan selimutnya dan memilih untuk melihat pemandangan itu lebih lama."Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lirih rendah itu membuat Ajeng sadar kalau dia tidak sendirian. Seketika ingatannya kembali masuk. Adegan demi adegan yang ia lakukan beberapa jam sebelumnya membuat Ajeng membelalakkan mata.Ia menoleh, dan melihat Ilker sedang duduk di belakangnya. Pria itu tengah menunduk dan memandang ke arahnya. Tangannya yang besar terulur perlahan dan menyibak rambut Ajeng."Sudah baikan?" Tanyanya lagi seraya menyent
“MAKSUDNYA?" Tanya Ajeng bingung.Ilker duduk di tepian tempat tidur dan tersenyum. "Maksudnya, serahkan dirimu padaku. Disini, saat ini juga. Aku tidak akan mengambil keperawananmu, Ajeng. Kamu yang harus menyerahkannya padaku." Ucapnya masih dengan senyum nakalnya yang membuat Ajeng bukan hanya terbelalak tapi terpaksa menelan ludah dengan susah payah."Me-menyerahkan keperawanan?" Tanya Ajeng bingung.Ilker mengangguk pelan. "Aku tidak akan menyentuhmu, tapi kamu yang akan menyentuhku." Ucapnya dengan senyum miring di wajahnya. "Lupakan cara konvensional dimana suami yang selalunya mengambil keperawanan istri. Kali ini, aku ingin kamu memerawani dirimu sendiri, denganku." Ucap Ilker lagi."Ta-tapi bagaimana?" Tanya Ajeng bingung."Bercintalah denganku, dengan caramu." Lanjut Ilker lirih.Mendengar kata bercinta membuat kewanitaan Ajeng berdenyut dan memanas. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya bercinta sejak dimalam pertama Ilke
AJENG BERDIRI tepat di depan gedung Kralligimiz. Kepalanya mendongak memandang bangunan tinggi itu. Entah sudah keberapa kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Sekarang, saat ia berada di depan gedung, kakinya terasa sangat berat untuk melangkah.Ini bukan hal yang benar. Gumamnya pada diri sendiri seraya memutar badan, hendak berjalan menuju gerbang.Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa bicara pada Ilker? Tanyanya lagi dan kembali memutar badan menghadap depan gedung.Ini terlalu impulsif. Lanjutnya lagi seraya menggelengkan kepala kembali memutar tubuhnya.Tapi ia sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk sampai di kantor ini, tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa bicara dengan Ilker.Mereka harus menyelesaikan masalah 'Istri Papa' ini dan membuat Ilsya tenang. Jika tidak, llsya bisa benar-benar tidak mau pulang. Terlebih keinginan bocah kecil itu sangat didukung oleh kakak Ajeng, Rianna."
SESUATU YANG HANGAT terasa membelai bagian bawah tubuh Ajeng. Secara naluriah Ajeng bergerak mundur mendekati benda hangat yang berdenyut di bagian bawah bokongnya. Usapan dan remasan lembut juga ia rasakan di bagian dada yang membuatnya melenguh lirih."Sshhh.. jangan berisik, nanti Ilsya bangun." Bisik seseorang tepat di telinga kanannya. Seketika mata Ajeng terbelalak terkejut. Tubuhnya yang sejak tadi menggeliat sekarang berubah menjadi kaku. Ia membuka mata dan melihat Ilsya yang tertidur lelap tepat di hadapannya.Bantal yang tadi ia gunakan rupanya telah berganti menjadi lengan kekar berbulu milik Ilker yang kini telapak tangannya menyusup masuk ke dalam kaus yang Ajeng kenakan yang sepertinya sejak tadi mulai bermain dengan payudaranya sementara tangan lain pria itu—seperti biasa—menyusup masuk ke dalam celananya."Sir, apa yang Anda lakukan?" bisik Ajeng lirih tanpa berani menoleh."Menyentuhmu, tentu saja. Menurutmu apa lagi
AJENG TERBANGUN saat matahari sudah cukup terik. Ia benar-benar terkejut, pasalnya selama bekerja di kediaman Adskhan-Caliana ia tidak pernah terlambat atau bangun sampai sesiang ini.Dengan segera Ajeng bangkit dan membersihkan diri.Bagaimana ini? Pikirnya dalam hati. Para asisten di kediaman Adskhan-Caliana pasti menduga dirinya besar kepala karena kini, setelah menikah dengan Ilker, Ajeng berubah menjadi pemalas. Padahal bukan itu yang diinginkan dan diniatkan oleh Ajeng.Setelah menikah dengan Ilker, Ajeng justru ingin tetap sama atau mungkin menjadi lebih rajin daripada sebelumnya.Ajeng turun ke lantai satu dan langsung melangkah masuk menuju dapur kotor. Saat pintu terbuka, kegiatan yang sedang dilakukan para asisten terhenti seketika.Dua pasang mata memandang langsung ke arahnya. Awalnya dengan ekspresi terkejut, dan lama-lama berubah menjadi senyum jahil dan siulan rendah meledek."Ekhem, yang habis unboxing kayaknya keca
"MAU KEMANA?" Tanya Ilker dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk Ajeng merinding seketika."A-anu..""Jadi kau berniat untuk tidur terpisah denganku?" Tanya Ilker lagi dengan alis bertaut dan tatapan dinginnya yang membuat Ajeng menelan ludah dengan susah payah."Bu-bukan begitu, Sir. Aku...""Sir?" Seru Ilker dengan nada yang cukup tinggi. "Kau memanggilku, suamimu, dengan sebutan Sir?" Tanya Ilker dengan nada tak suka.Ajeng dibuat semakin serba salah karenanya. "A-anu.. itu..." Kenapa Ajeng mendadak menjadi gagap seperti ini? Ini seperti bukan dirinya. Keluhnya dalam hati."Ikuti aku." Perintah Ilker dan tanpa menunggu jawaban Ajeng, pria itu berjalan menjauh, melangkah menuju kamarnya sendiri.Ilker membuka pintu dan menahannya tetap terbuka, menunggu Ajeng menyusulnya.Dengan jantung berdebar kencang tak karuan, Ajeng melangkah masuk ke dalam kamar dan sesaat setelahnya, Ilker menutup pintu d
ILKER BERDIRI dengan perasaan tak menentu. Ia gelisah sepanjang malam memikirkan pernikahannya dengan Ajeng.Ini bukan pernikahan pertamanya, tapi tetap saja, mau tak mau ia harus mengakui kalau ia merasa gugup.Pagi hari, dua sepupunya sudah datang menjemputnya. Mengatakan kalau mereka takut Ilker berubah pikiran di detik-detik terakhir dan memilih untuk lari sebelum pernikahan dilangsungkan.Gila. Random sekali pikiran mereka. Kalau memang Ilker ingin lari, kenapa dia tidak lari dari berhari-hari yang lalu? Pikirnya sinis.Dia justru sangat siap menghadapi pernikahan ini, terlebih membayangkan pembalasan dendam yang akan ia lakukan pada Ajeng setelahnya membuat ia tidak bisa menghilangkan senyum licik di wajahnya.Ilker mandi dengan santai, tidak terburu-buru meskipun para sepupunya memintanya demikian.Walau bagaimanapun, sekalipun pernikahan ini akan dilangsungkan secara sederhana, Ilker tetap ingin terlihat sempurna.Saat melangk
PERNIKAHAN BERLANGSUNG.Pagi hari Ajeng dijemput oleh mobil keluarga dan kemudian dibawa ke rumah sakit dimana Tuan Adskhan dirawat.Ya, pernikahan Ajeng dan Ilker memang akan dilaksanakan di rumah sakit, secara sederhana dan hanya dihadiri oleh anggota keluarga.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pernikahan Ajeng dan Ilker akan dilakukan secara agama terlebih dulu, baru kemudian didaftarkan di KUA, atau mungkin sebenarnya saat ini sudah di daftarkan, Ajeng tidak tahu.Sampai saat Ajeng dijemput, orangtua angkat Ajeng tidak banyak bicara. Ajeng tahu, sampai saat ini ayah angkatnya masih tidak memberikan restu pada Ilker untuk meminangnya. Tapi Ajeng berpikir kalau ini semua dia lakukan untuk kebaikan semua orang, untuk kebaikan ayah angkatnya sendiri. Karena Ajeng yakini, jauh di lubuk hatinya, ayah angkatnya itu ingin Tuan Adskhan kembali sehat.Setelah menengok Tuan Adskhan sejenak, Ajeng kemudian digiring ke salah satu kamar tidu