Selanjutnya, kuliah yang berlangsung beberapa jam itu tidak ada yang masuk dalam ingatan. “Kapan kau masuk kerja, Rin?” Ayuk Indah bertanya saat kuliah usai dan kami berjalan beriringan di koridor kampus.Kuhela napas sekali lagi. Berpikir beberapa kali belakangan ini tentang sebuah keputusan besar yang harus kuambil.“Rin resign aja, Yuk. Manda ndak ada yang jaga di rumah. Cuma ada Amak yang sudah tua, sama pembantu yang sibuk dengan kerjaan.”“Aih, sayang nian.”Apa boleh buat. Aku melanjutkan kuliah sebenarnya agar bisa setara dan dapat membuka rumah bersalin sendiri. Namun, nasib terkadang membelokkan ke arah yang berlainan dengan kehendak hati.Abah dan Amak yang sedianya hanya menjenguk pun, akhirnya memutuskan tinggal. Mereka tidak ingin aku kerepotan sendirian. Aku tidak mampu menolak. Toh, rumah itu milik mereka juga.Untuk masalah resign ini, aku sudah diskusi sama Bapak dan ibu di rumah, Bang Sam, dan Amak tempo hari. Justru laki-laki bermata teduh itu yang memintaku mengu
Aku yang tak tahu menahu ujung pangkal, bergeming. Kedua alisku bertaut. Bingung melihat situasi yang terjadi.Laki-laki yang wajahnya tiba-tiba demikian layu itu lalu berdiri, meraih lenganku, dan cepat-cepat menghelanya hengkang dari tempat itu. Menghindari berpasang-pasang mata yang menatap kami dengan sorot ingin tahu.Perempuan itu barangkali yang selama ini menjadi biang keladi. Mungkin dia adalah rahasia yang Bang Sam sembunyikan selama ini.Aku diam dan mengikuti langkah-langkah panjangnya meski agak tersaruk-saruk. Kutundukkan kepala, menghindari mata-mata yang melihat ke arah kami. Sementara, ujung belati seakan masih menancap di ulu hati, nyerinya semakin tak terkendali.Cepat-cepat Bang Sam membawaku ke mobil, menerjang rinai yang masih setia menyirami bumi.Dia lantas duduk dan mengatur napas, sementara air mataku pun mulai menderas, dibakar api cemburu yang menyerbu dada hingga panas.“Dia siapa, Abang?” tanyaku di antara isak tangis. “Pacar Abang?”Mata lembutnya seket
Terkadang, senyum adalah kamuflase untuk menyembunyikan kepedihan. Semacam kebohongan yang dilakukan dengan sengaja.Perempuan itu masih memindaiku dengan mata penuh tanya.“Hujan tadi lebat, Amak. Pedih mata Rin terkena tampias. Nggak sempat pakai helm karena buru-buru.” Mengelak terkadang menjadi pilihan untuk menyelamatkan diri. Toh, aku tidak berbohong.Aku lantas memilih duduk di samping perempuan itu, memeluknya, menyerap kehangatan yang selama ini dia berikan tulus kepadaku.Obrolan lantas menjadi panjang lebar, juga tentang kerinduan Amak Saidah dan suami kepada cucu-cucunya. Kerinduan yang mengantar mereka menyambangi rumah besannya.Ayuk Fatma memang tinggal di rumah mertua sejak menikah, “Lebih dekat ke tempat kerja dan kampus.” Begitu alasannya ketika itu.Setiap pulang ke rumah amaknya, dia sering mengajakku, tapi tidak jika ke rumah mertuanya. Segan, katanya.Namun setelah aku dinikahi Bang Sam, kami memilih tinggal di rumah yang abah berikan kepada anak lelaki satu-satu
Aku menggigit bibir, ikut merasakan apa yang Bang Sam rasakan. Bagaimana pekerjaan seorang anak dianggap sebelah mata oleh orang tua. Nama besar dan usaha Abah yang gemilang, membuat dia mudah saja menghakimi putranya.Aku menyingkir ketika salah satu dari laki-laki itu berdiri dan masuk ke rumah. Abah terlihat menuju kamarnya.“Amaak!” Gelegar suara Abah memanggil istrinya beberapa saat kemudian. Amanda sampai terbangun karena terkejut.Amak tergopoh memasuki kamar depan mendengar panggilan sang suami yang tidak biasa.“Sertifikat rumah ini ke mana?”“Entah. Mana Amak tahu. Abah taruh di laci biasanya.”Hebohlah suasana pagi di rumah besar itu. Abah kehilangan sertifikat rumah sementara tidak ada orang yang bersuara atau pun mengaku melihatnya.Tak lama setelah itu, Bang Sam pamit pergi ke kantornya tanpa banyak cakap, sementara hatiku menerka-nerka.Apa mungkin, Bang Sam yang mengambilnya. Tetapi untuk apa?Aku menggeleng. Mengenyahkan pikiran buruk yang melintas tiba-tiba.**Abah
Sudah nyaris sebulan dari syarat yang aku ajukan, tetapi Bang sam masih juga tidak memberikan jawaban. Barangkali dia lupa syarat satu bulan itu atau atau sengaja melupakannya.Dia selalu pergi kerja terburu-buru, bekerja hingga larut malam, dan pulang membawa wajah yang kusut masam.Singasana kami pun tidak berubah, dia di ranjang dan aku di sofa di samping boks Amanda, meski Bang Sam lelah memintaku pindah dan bertukar tempat.Betapa sebenarnya sungguh menyenangkan memiliki pasangan meski tidak sempurna. Pasangan yang punya kekurangan. Asal saling bergandengan tangan dan saling menguatkan, jatuh bangun berdua. Sehingga ketika salah satu tergelincir, yang lain akan menariknya kembali berdiri. Berjalan bersama, seiya sekata menuju satu titik di ujung sana.Hal yang begitu samar untuk kami berdua.Bang Sam keluar kamar mandi hanya dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Pemandangan yang membuatku jengah dan memalingkan muka.“Sudah nyaris dua bulan, Abang. Masih juga belum mau bicara?
Aku mulai bosan, sementara tubuh belum bisa diajak kompromi untuk duduk lama. Seperti ini ternyata rasanya menjadi pasien.Seperti pahan, Bang Sam lalu pamit mencarikan teh hangat dan camilan. Kemudian datang kembali setelah beberapa saat kemudian.Dia duduk di sampingku, menyodorkan teh dalam cup lalu dengan sigap merangkul pundakku untuk memberikan rasa nyaman.Andai saja dia tidak berulah dan membuatku benci, diperlakukan seperti ini oleh suami tentu saja akan terasa menjadi permaisuri sejati.“Ibu Airin istri Bapak Samsuari!”Seorang perawat yang berdiri di depan ruang periksa, memanggil dengan map di tangannya. Akhirnya. Setelah hampir lumutan, namaku dipanggil juga.Konon kabarnya, di rumah sakit umum seperti ini, untuk mendapat pelayanan cepat, pasien harus mengantri pagi-pagi sekali.Seorang dokter paruh baya dengan kacamata menyapa ramah. Cara beliau bertanya dengan hangat, membuatku teringat Dokter Ramlan.Anamnesa (tanya jawab) dilakukan dengan cepat untuk membantu menegak
Beberapa puluh meter ke dalam, tampak sebuah bangunan semacam rumah, gubuk, barak atau apalah.Rumah sederhana itu berdinding papan dan beratap seng. Menilik dari warna atap yang masih mengkilat dan cat putih yang belum pudar, aku yakin pondok yang kami tuju belum terlalu lama didirikan.“Rumah siapa itu?”“Rumah pengkhianat.”“Maksudnya?”Bang Sam tidak menjawab. Dia justru sibuk meraba sesuatu di atas para-para.Kemudian, tangannya dengan cekatan membuka gembok dan mempersilahkan aku masuk.Tidak ada apa-apa di dalam ruangan berukuran kecil itu kecuali lantai papan, sebuah tikar plastik dan satu set alat masak portabel. Bau apak yang menguar menjelaskan bahwa rumah ini jarang dibuka. Aroma cat labur putih juga masih meninggalkan jejaknya. Tetesan noktah di lantai menjelaskan bahwa ruangan ini jarang dikunjungi.“Mana pengkhianatnya?” Mataku berputar-putar dan tidak menemukan siapa pun kecuali hawa pengap dan keheningan.“Mereka kabur.” Bang Sam menjawab sekenanya.Aku menoleh tidak
Mataku berpendar mengawasi setiap sudut ruang, membiarkan laki-laki itu lebih tenang sebelum kami pulang. Bang Sam tidak boleh gusar karena harus membawa kendaraan.Lelaki itu masih duduk tercenung sambil sesekali menyesap kopi instan yang mulai dingin. Kedua telapak tangannya merangkum gelas kertas di tangannya.Kemudian, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang ganjil di dinding sebelah kanan. Bercak darah kering tercetak jelas di beberapa titik. Kupandangi Bang Sam yang tepekur menatap lantai, menopangkan dagunya pada lutut yang ditekuk. Darah siapa itu?Di tempat sesepi ini orang bisa saja gelap mata, leluasa meluapkan amarah karena dicurangi. Tidak akan ada saksi mata apalagi orang yang peduli.Hatiku kembali bertanya-tanya, teringat malam itu Bang Sam pulang dalam keadaan basah kuyup dan terluka. Darimana dia? Kenapa tangannya terluka dan baju basah dengan noda lumpur? Apakah dia baru saja membunuh seseorang?“Abang,” panggilku hati-hati. Tetap saja, aku masih harus waspa
Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting
Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i
Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja