Aku hanya tersenyum setelah mendengar suamiku berkata seperti itu. Tidak menjawab dengan perkataan apa pun. Wajahnya sangat tegang saat menatapku. Febri yang semula terpaku, kini menarik napas panjang setelah melihat aku tidak menjawab apa pun."Baiklah, aku akan meninggalkan kalian berdua. Nanti, jika kondisimu membaik, boleh pulang.""Kau pikir aku bisa berjalan? Apa kau bisa menjamin aku keluar dengan membaik? Apa kau buta? Sudah jelas-jelas aku tidak bisa berjalan lagi. Bagaimana bisa aku memiliki kondisi yang baik dan kau berkata sangat enteng seperti itu!" Mas Farus tiba-tiba membentak dengan sangat kencang. Aku dan Febri saling menolehkan pandangan. Dia berusaha untuk terduduk melawan tubuhnya yang lemah."Oh, aku tahu. Kau sangat senang bukan melihat kakakmu seperti ini. Kau bisa dengan mudah menyingkirkan aku dan mengambil istriku. Adik tidak tahu untung. Masih banyak wanita di sana yang bisa kau nikahi. Kenapa kau malah mengincar istriku?" lanjutnya sambil berteriak sangat k
Aku melewati Maria begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Suamiku terlihat sangat kesal. Sorotan kedua matanya juga sangat tajam. Tanpa aku duga, dia mengambil gelas yang berada di atas nakas tepat sebelah kanannya, lalu melemparkan isinya ke arah kedua kakinya, hingga air yang berada di dalam gelas itu membasahi kedua kakinya."Kalian puas!" teriaknya sangat kencang. "Kalian pasti senang melihatku seperti ini. Kalian bisa dengan bebas di luar sana bersama dengan lelaki lain, sementara aku yang selalu berada di samping kalian, akan kalian tinggalkan begitu saja.""Di sampingku?" Maria mendekati suamiku kemudian berkacak pinggang di hadapannya. Aku membiarkan dia melakukan hal itu karena aku ingin suamiku melihat istri ketiganya wanita yang sangat tidak cocok untuknya dan pasti akan membuatnya sengsara. Dengan seperti itu dia akan lebih menderita dan merasa terpuruk melihat kenyataan yang terjadi. Mungkin sekarang aku yang bersikap sangat kejam seperti ini. Tapi memang ini adalah takdir
Kami berdua menikmati roti dengan tertawa. Sambil berbicara masa lalu yang sangat indah ketika kami masih kuliah dahulu dan tentunya bersama Melisa. Aku mengingat saat pertama kali bertemu dengan sosok lelaki yang benar-benar membuatku terpana.Ketika itu, aku baru saja memasuki Universitas impianku. Sebuah universitas yang memiliki gedung sangat tinggi dan aku masuk karena beasiswa. Nilaiku benar-benar sempurna saat menjalani ujian ketika masih duduk di bangku SMA.Saat berjalan aku selalu saja menatap ke atas, tidak mengalihkan pandanganku sama sekali kepada gedung yang sangat tinggi itu yang akan menjadi tempatku belajar selama 4 tahun. Hingga aku menabrak seseorang, dan menjatuhkan ponselnya."Maafkan aku. Sumpah, aku tidak sengaja," ucapku dengan gugup saat memunguti ponselnya yang menjadi beberapa bagian itu. Aku benar-benar merasa bersalah namun aku tidak bisa mengganti ponsel itu karena aku hanya anak seorang janda dan tidak bisa mengganti ponsel yang sangat mahal."Kalau jala
Aku masih terdiam saat mendengar ucapan ibuku. Mungkin apa yang dikatakan dirinya itu benar. Kembar tidak seharusnya melihat pertunjukan menarik sekali lagi antara kedua orang tuanya dengan pihak ketiga. Namun, aku juga tidak bisa jauh dari mereka. Tapi ... sepertinya ini adalah keputusan yang tepat. Mereka harus tinggal bersama ibuku dan terbebas dari ini semua. Harus konsentrasi untuk perlombaan yang sudah dijanjikan mereka untuk sekolah."Kau jangan diam saja, dan cepat beri keputusan. Mereka membutuhkan suasana yang tenang. Dan ini adalah keputusan yang harus disetujui. Mau tidak mau Ibu harus membawa mereka pergi dari sini. Ibu tidak ingin mereka menderita sekali lagi, melihat keadaan rumah tanggamu yang sangat buruk itu."Ibu menatap tajam kearah ku dan menunggu apa yang menjadi keputusanku. Hingga Ema mendekati aku."Apa yang dikatakan ibumu itu benar. Mereka tidak boleh berada di sini dan itu keputusan yang harus disetujui. Hei, jika tidak, aku yang akan membawa mereka.""Baik
Febri masih saja menatapku dengan tajam. Dia tidak rela jika aku harus menyerahkan diriku kepada kakaknya. Aku tetap harus mengatakan sesuatu yang akan membuatnya pergi meninggalkan aku. Tidak mungkin aku mengatakan hal yang sesungguhnya karena aku tidak mau seakan-akan memberikan harapan untuknya."Apa yang ingin kamu lakukan? Aku adalah istri kakakmu dan tentu saja akan melakukannya. Sekarang lebih baik kau memeriksa kakakmu dan setelah itu pergi dari rumah ini. Karena aku tidak mau semua orang berpikiran buruk tentang kita.""Mbak, entah apa yang Mbak katakan. Tapi aku yakin Mbak tidak akan pernah melakukan hal itu. Tentu saja aku akan pergi setelah memeriksanya. Tapi aku membutuhkan air hangat dan akan memberikannya terapi terlebih dahulu."Maria datang membawa baskom putih yang dipenuhi air hangat. Berjalan melewati kami tanpa menyapa. Aku masuk ke dalam kamar suamiku dan sedikit tersenyum ketika melihatnya. Dia akan melayani suamiku dan aku akan membiarkannya. Itu adalah hukuman
Aku kembali mencari klien. Aku akan berusaha berjuang sendiri. Tidak ada yang bisa aku andalkan. Uang tabunganku sudah mulai menipis. Tapi ... rekomendasi dari Ema kepada beberapa klien tetap tidak membuahkan hasil. Sampai detik ini aku masih tidak mendapatkan apa pun."Maya," ucap seseorang mengetuk pintu. Aku segera menolehkan pandangan. Febri berdiri di depan pintu kamarku. Aku tidak mau dia masuk. Ini akan sangat berbahaya. Aku segera keluar dan menutup pintu kamarku. Mengajaknya ke ruangan tengah. Kami duduk saling menatap."Mbak, aku mau mengatakan sesuatu," ucapnya dengan pelan. Dia menarik napas dengan kasar. Mungkin untuk mengatasi hatinya."Katakan, apa yang akan kau katakan. Tidak perlu ada yang kamu tahan." Aku semakin menatapnya, lalu memberikan sedikit senyuman agar suasana tidak menjadi tegang."Aku ... mau menitipkan kakakku kepada, Mbak. Kakak membutuhkan perawatan untuk kedua kakinya. Dia harus menjalani terapi dan nanti aku akan memesankan kaki untuknya agar dia tid
Entah kenapa aku mengatakan itu kepada Febri. Aku dengan lantang mengatakan tidak akan pernah kembali dengan suamiku. Febri memandangku sambil tersenyum. Dia kembali mendekatiku, lalu memelukku. Aku juga semakin tidak mengerti kenapa aku biarkan dia melakukan itu. Semakin erat dia melakukan itu, semakin aku berdebar. Apakah ini dosa? Apakah aku memang sudah membuka hatiku? Kenapa aku bisa melakukan ini?"Sudah ...," ucapku sangat pelan. Aku memalingkan wajahku yang bersemu. Febri semakin tersenyum melihatku. Ini salah dan aku tidak akan pernah melakukan lagi. "Pergilah, dan jangan mempersulit keadaan. Ini tidak benar. Hati-hati di mana pun kau berada.""Aku ada di Jerman, rumah sakit terbaik di sana. Jika suatu saat kau membuka hatimu, aku berada di sana. Pintu hatiku selalu terbuka untukmu."Febri masih tersenyum. Dia keluar dari rumahku, dan benar-benar pergi. Aku berjalan cepat mendekati jendela dan segera membuka tirai. Tidak ingin melewati kesempatan untuk melihat Febri sekali l
Ini sangat tidak baik. Aku memang terlihat seorang pembunuh. Tapi, ini tidak akan pernah aku biarkan. Aku akan memutar balikkan keadaan."Maria? Kenapa kau?" ucap salah satu dari mereka sambil melotot ke arahku. Dia adalah sahabat suamiku. Pria lajang dan belum menikah sampai saat ini. Dia mendekatiku, masih menatap tajam. "Maya, kau ini kenapa? Apakah ini yang kau lakukan sejak suamimu cacat?" lanjutnya sambil membentak keras."Ya, aku melakukannya," balasku dengan sangat santai. Dia semakin melebarkan kedua matanya, tak percaya mendengar ucapanku barusan."Maya, kau tidak punya perasaan. Aku tahu kau sangat marah dengan keadaan ini. Tapi, kau tidak berhak melakukan ini? Dan menikahi wanita lain juga sudah mendapatkan izinmu," lanjutnya masih membentak. Sementara, Maria masih saja berakting menangis."Apa kau melihat darah? Pecahan kaca itu masih berada di tangan Mbok. Tidak ada darah di sana," balasku sambil menunjuk tetesan darah yang membekas di lantai. "Kalau kau mau menemui Mas
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus