Entah kenapa aku mengatakan itu kepada Febri. Aku dengan lantang mengatakan tidak akan pernah kembali dengan suamiku. Febri memandangku sambil tersenyum. Dia kembali mendekatiku, lalu memelukku. Aku juga semakin tidak mengerti kenapa aku biarkan dia melakukan itu. Semakin erat dia melakukan itu, semakin aku berdebar. Apakah ini dosa? Apakah aku memang sudah membuka hatiku? Kenapa aku bisa melakukan ini?"Sudah ...," ucapku sangat pelan. Aku memalingkan wajahku yang bersemu. Febri semakin tersenyum melihatku. Ini salah dan aku tidak akan pernah melakukan lagi. "Pergilah, dan jangan mempersulit keadaan. Ini tidak benar. Hati-hati di mana pun kau berada.""Aku ada di Jerman, rumah sakit terbaik di sana. Jika suatu saat kau membuka hatimu, aku berada di sana. Pintu hatiku selalu terbuka untukmu."Febri masih tersenyum. Dia keluar dari rumahku, dan benar-benar pergi. Aku berjalan cepat mendekati jendela dan segera membuka tirai. Tidak ingin melewati kesempatan untuk melihat Febri sekali l
Ini sangat tidak baik. Aku memang terlihat seorang pembunuh. Tapi, ini tidak akan pernah aku biarkan. Aku akan memutar balikkan keadaan."Maria? Kenapa kau?" ucap salah satu dari mereka sambil melotot ke arahku. Dia adalah sahabat suamiku. Pria lajang dan belum menikah sampai saat ini. Dia mendekatiku, masih menatap tajam. "Maya, kau ini kenapa? Apakah ini yang kau lakukan sejak suamimu cacat?" lanjutnya sambil membentak keras."Ya, aku melakukannya," balasku dengan sangat santai. Dia semakin melebarkan kedua matanya, tak percaya mendengar ucapanku barusan."Maya, kau tidak punya perasaan. Aku tahu kau sangat marah dengan keadaan ini. Tapi, kau tidak berhak melakukan ini? Dan menikahi wanita lain juga sudah mendapatkan izinmu," lanjutnya masih membentak. Sementara, Maria masih saja berakting menangis."Apa kau melihat darah? Pecahan kaca itu masih berada di tangan Mbok. Tidak ada darah di sana," balasku sambil menunjuk tetesan darah yang membekas di lantai. "Kalau kau mau menemui Mas
Suamiku benar-benar menceraikannya. Dan dia memanggil polisi. Semua orang terkejut saat melihat Mas Farus melakukannnya. Ibu Mariyati semakin memeluk Maria dan menenangkan wanita itu yang semakin histeris ketakutan."Ibu, aku tidak mau di penjara. Ibu, aku mohon." Maria mendorong ibunya dan keluar dari kamar sambil berlari. Ibu Mariyati mengejar dengan para anak buahnya."Mas, apa yang kau lakukan? Dia ... sudah sangat menderita dengan semua ini. Untuk apa kau melakukan itu? Dia juga akan memenjarakanmu. Kau pun akan berada di dalam jeruji besi," ucapku dengan sangat panik. Bagaimana pun juga aku tidak ingin semua masalah ini berakhir di penjara."Farus, apa kau melakukan kesalahan?" ucap salah satu temannya kini menghampiri ranjangnya dan menatap tajam. Beberapa teman lainnya pun melakukan hal yang sama. "Maya, kenapa kau mengatakan Farus akan di penjara?" lanjutnya masih bertanya.Suamiku terdiam masih saja menatap mereka semua yang kini memandangnya dengan sangat penasaran. Dia sel
Aku benar-benar terkejut. Tidak aku pikir ternyata orang tua memaafkan suamiku dan tidak akan pernah menuntutnya."Kenapa Ibu tidak melakukannya? Maafkan aku. Bukannya aku tidak percaya. Aku sangat terkejut dan ... ini adalah hal baik yang aku dengar," ucapku dengan pelan.( Aku memaafkannya karena aku pikir, dia sudah mendapatkan ganjaran yang lebih parah daripada keadaan di dalam penjara. Ya sudah mengalami kelumpuhan akan dia derita selama seumur hidup. Sekarang aku akan mengurusi Maria. Anakku satu-satunya yang mengalami sakit jiwa dengan semua keadaan ini. Aku hanya berharap kau memenuhi janjimu.)"Aku ... akan melakukannya, dan itu adalah janjiku. Tapi, aku membutuhkan waktu."(Entah kapan itu, kau harus melakukannya. Karena, aku melihat dia sangat berharap kau kembali kepadanya. Dan aku tidak mau hal itu. Keadaannya seperti itu dan kau meninggalkannya, itu akan sangat lebih membuatnya menderita. Jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal.)Aku menutup ponsel dengan hati bergetar. A
Dia memandangku semakin tajam. Kemudian membiarkan aku keluar dari mobil. Aku berjalan menuju pintu mobilnya dan membuka, membantunya keluar dari sana. Tanpa aku sadar dia menciumku. Tapi hanya pipiku yang terkena bibirnya. Aku hanya meliriknya dan sedikit memberikan senyuman kemudian memakannya hingga dia benar-benar bisa berdiri dengan sempurna."Hmm, kita akan masuk," ucapku dan akan mendahului berjalan. Tapi, dia menarik lenganku. Menarikku dengan sangat kuat. Dia ingin menciumku sekali lagi tapi aku menghindar."Apakah kau tidak mau?" tanyanya dengan pandangan sangat serius."Lebih baik pikirkan kesehatanmu dan kita akan membicarakan ini lain kali."Dia semakin menahan tubuhku saat aku ingin meninggalkannya. Kali ini cengkeramannya benar-benar sangat kuat. Perasaanku semakin tidak enak. Ada amarah yang benar-benar terlihat di wajahnya."Mas, kau harus tahu bagaimana perasaanku. Baiklah aku akan mengatakan sesuatu kepadamu," balasku dengan cukup tegas."Yah, kau memang harus menga
Entah apa yang aku rasakan. Hatiku rasanya sangat sedih. Bukan karena kami berpisah. Tapi karena aku melihat dia sepanjang hari berada di taman dan diam saja di sana dengan tatapan kaku lurus ke depan. Aku menatapnya dari jendela kamar. Entah apa yang dia pikirkan sekarang, Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah aku harus menghampiri dia dan menanyakan hal itu?"Bu, sudah empat jam Bapak berada di taman dan tidak mau masuk. Apa yang harus saya lakukan. Saya takut Bapak kenapa-kenapa. Kondisinya masih sangat lemah dan sebaiknya ibu datang menemuinya meminta Bapak untuk masuk ke dalam."Mbok sudah lama bekerja dengan kami. Mengurus si kecil Ema dan Ana dari bayi hingga mereka sekarang sudah beranjak remaja. Tentu saja dia merasa tidak nyaman dengan keadaan di rumah ini. Semula kami terlihat sangat bahagia dan sekarang, kehidupan kami berbalik."Baiklah. Aku akan ke bawah dan membujuknya."Mbok sangat lega ketika melihat aku mengatakannya. Dia tersenyum kemudian menganggukkan kepala lalu
Mbok segera melakukan perintahku. Dia terlihat semeringah dan ikut merasa lega ketika aku memperlihatkan ekspresi tidak menegangkan seperti biasanya. Aku semakin bersemangat dan masuk kembali ke dalam kamarku. Menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang sangat gerah ini. Kemudian sepanjang malam aku bekerja dan mencari semua klien yang bisa mempekerjakan aku lagi sebagai pengacara handal. Walaupun aku masih saja belum menemukan apa pun. Hingga aku akhirnya terlelap sampai pagi di meja kerjaku."Bu, apakah sudah bangun? Bu, tolong buka pintu karena ini penting sekali."Aku mendadak terbangun ketika mendengar Mbok mengetuk pintu kamarku dengan sangat keras. Dengan cepat aku mengusap wajahku yang masih saja mengantuk. Kemudian segera membuka pintu kamar. Aku sangat heran melihat Mbok sangat cemas sekali."Ada apa, Mbok?" tanyaku cemas."Bapak tidak ada di kamarnya. Saya sudah mencarinya ke mana-mana dan masih saja tidak menemukan. Saya khawatir terjadi hal buruk kepada Bapak. Bahkan
Hari demi hari aku lalui sendirian di dalam rumahku ini. Aku sengaja mengurungkan niatku untuk memanggil kembar. Aku takut mereka akan menuju ke sini dan bertemu lagi dengan ayahnya yang selalu membuat keributan. Aku meminta tolong Ema untuk mengamati Mas Farus. Dan aku berharap dia bisa meredakan amarahnya dan keegoisannya itu. Enggak aku mendapatkan pesan dari Ema. Mas Farus sudah kembali ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya. Aku sangat senang melihat hal itu.Lamunanku terkejut saat sahabatku itu memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aku segera keluar dari kamar dan menuruni tangga lalu membuka pintu rumah. Menyambutnya dengan wajah semringah."Hmm, kau kelihatan sangat cantik. Tidak seperti biasanya yang sangat kucel seperti baju yang tidak dicuci berhari-hari. Bahkan tidak menggunakan make up sama sekali. Wajahmu pucat seperti mayat." Dia berkata dengan tertawa. Aku mencoba perutnya dan membuat dia berteriak, "aw, sakit. Dasar."Kami duduk di ruang tengah. Menikmati kudapan yan
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus