Melisa sebenarnya bagaimana keadaannya? Dia selalu saja sakit. Baru saja keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sehat. Tapi sekarang kenapa dia seperti ini lagi? Pasti ada suatu hal yang tidak beres dengannya. Parahnya, Mas Farus ingin melihat Melisa dan tidak melakukan apa pun."Mas! Mas Farus!" teriakku dengan cukup lantang. "Kau tidak segera memanggil seorang dokter? Hei dia kesakitan dan berdarah." Aku mendekatinya, lalu menunjukkan arah Melisa yang masih saja memegang perutnya di atas ranjang dan berteriak."Biarkan saja dia seperti itu. Itu adalah dosa yang sudah dia terima. Ada seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata, jika dia adalah Ayah dari anak yang dikandungnya. Jika kau ingin menolongnya silakan saja." Suamiku memberikan pandangan dingin. Dia segera meninggalkan kamar Melisa. Aku tidak percaya ternyata Mas Farus mengetahui hal ini. Sudahlah aku akan membiarkan dia dan yang terpenting aku harus menolong Melisa."Ibu, ada apa?" Untung saja Ana tiba-tiba masuk ke dalam
Aku kembali ke kamar. Segera mengganti baju. Tidak akan aku tinggalkan Melisa. Bagaimana pun juga dia adalah sahabatku."Ana, kau harus di rumah. Jangan keluar kamar sampai aku kembali," ucapku sambil memegang kedua pundak Ana saat dia masuk ke dalam kamarku."Ibu, aku ikut saja. Rumah ini sangat menakutkan. Aku tidak mau ke sini. Aku mohon," rengek Ana sambil menahan langkahku. Aku menggelengkan kepala, lalu berkata, "Ana, mengertilah. Ibu harus menyelesaikan ini. Ibu akan cepat kembali." "Ibu," balas Ana masih merengek ketika aku menggandengnya dan membawa ke kamarnya kembali. "Sekarang diam di sini dan kunci pintunya," lanjutku dengan cemas meninggalkannya. Ana akhirnya menyerah. Dia menatapku dengan pandangan sayu ketika aku keluar dari sana dan menutup kamarnya.Aku bergegas menuruni tangga lalu masuk ke dalam mobil. Aku lupa itu adalah mobil suamiku dan aku ke sini diantar oleh Ema. Tanpa berpikir lagi aku berjalan ke gerbang dan membuka pintunya, lalu mencari taksi yang bisa a
Aku semakin melebarkan kedua mataku. Mereka memberiku informasi sangat mengejutkan. Foto Mas Farus melakukan kejahatan. Ternyata dia bertemu dengan seseorang dan menggelapkan uang rumah sakit yang sekarang dia kelola bersama Maria. Kenapa dia melakukan itu? Padahal, Maria sudah melakukan semua untuknya.Aku semakin terkejut saat membuka semua foto yang masih ada beberapa lembar. Ternyata, suamiku juga menuju bank dan mengambil uang Melisa. Membawa surat dan pasti itu adalah surat kuasa. Tapi, bukankah surat kuasa harus mendapat persetujuan dan tanda tangan Melisa?"Pak, maafkan saya. Kenapa kau sekarang menemuiku? Apa kau akan melakukan sesuatu dengan Mas Farus?" ucapku sambil menyodorkan semua foto itu dan meletakkan di atas meja. Ayah Melisa tidak menerimanya. Dia mengajakku duduk. Istrinya pun ikut duduk dan kali ini diam tak bekata apa pun.Febri menarik lenganku dan mengajakku duduk di hadapan mereka. Aku sangat takut. Mereka melakukan ini untuk melakukan balas dendam. Melisa sud
Benar-benar aku tak percaya sama sekali. Kenapa harus dia yang menjadi anak Melisa? Selama ini kami bersaing untuk mengejar posisi terbaik dalam profesi kami sebagai pengacara. Memang yang aku ketahui dia adalah perjaka tua yang sama sekali tidak pernah dilihat oleh wanita. Atau aku yang tidak pernah tahu ketika dia bersama dengan seorang wanita? Lebih baik aku mencari tahu dan menemuinya."Pak, sekarang lebih baik bersama Melisa saja dan Ibu. Biar saya yang mengatasi masalah ini. Jangan membuat keributan di sini. Melisa pasti mempunyai alasan untuk semua ini. Saya mohon. Melisa sudah perah dan mungkin besok adalah hari terakhirnya." Aku terus menatap kedua orang tua Melisa yang sudah memasang wajah geram. Memang benar. Orang tua mana yang bisa rela anaknya diperlakukan seperti ini? Hamil di luar nikah dengan lelaki yang sangat mengejutkan. Tapi bagaimanapun juga, Melisa pasti memiliki alasan untuk ini semua."Kau benar. Aku tidak akan pernah membuat Melisa semakin menderita melihat k
Febri sangat terkejut mendengar aku mengatakan hal itu. Dia semakin melebarkan kedua matanya. Masih menatapku sangat tajam. Aku sangat sadar dengan semua yang akan aku lakukan. Yah, ini bagian dari rencanaku. Mas Farus akan termakan janji manisku untuknya. Wajahnya semringah. Dia paham, aku akan melakukan semua untuknya."Maya. Aku tahu kau akan membelaku. Aku sangat tahu kau pasti akan selalu membahagiakan aku, karena kau masih mencintaiku. Aku mempercayaimu, Maya," ucapnya dengan penuh percaya diri. Aku hanya tersenyum, dan menganggukkan kepala. Sementara, Febri masih terdiam hanya menatap kami. Aku tahu. Dia tidak akan pernah membuat pertengkaran di rumah sakit ini."Mas, aku pikir kau harus pulang saja. Tidak enak ada di sini, apalagi ada orang tua Melisa. Aku sahabatnya, dan aku akan berada di sini. Kau sebaiknya menunggu kami di rumah. Lagipula, Maria dan Ana tidak baik jika sendirian di rumah."Aku hanya berharap dia berada di rumah saja. Ana tidak boleh sendirian dengan wanita
Sebuah rumah yang cukup unik. Terbuat dari kayu, dan ada halaman di depan yang dipenuhi berbagai macam bunga. Sangat indah sekali. Aku masih tidak bisa berkata apa pun. Yang lebih membuat aku terkejut. Mertuaku keluar dari sana. Seakan menyambut kita dengan sangat senang. Wajahnya dipenuhi dengan senyuman."Febri, aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan. Tapi sebaiknya pikirkan dahulu. Ini sangat membingungkan buatku Febri."Febri menolehkan pandangan ke arahku setelah dia mematikan mesin dengan sempurna. Senyuman tampan terpampang jelas di wajahnya. Dia mengamatiku dari atas sampai bawah. Pandangan itu sangat berbeda. Bahkan selama ini aku tidak pernah melihat tatapan itu dari Mas Farus untukku. Hingga akhirnya aku sadar. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tidak peduli dengan siapa yang berada di hadapan kita. Yang dipedulikannya hanya hati yang paling dalam, untuk membuktikan bahwa dia mencintai sosok yang sudah dia lihat sekarang ini. Namun, aku tetap harus waspada. Itu semua sangat
Aku terus memikirkan tentang perlakuan Febri. Dia membawa senjata yang sangat luar biasa untuk memikatku seperti itu. Mertuaku sendiri. Tapi tidak mungkin. Apakah aku harus menerimanya? Jika memang aku memiliki perasaan dengannya suatu saat nanti, mungkin aku bisa melakukan hal itu. Tapi tidak untuk sekarang.Pikiranku masih sangat kalut. Tapi aku harus bertahan. Aku tidak bisa lemah. Dengan cepat aku menarik napas agar bisa waras kembali. Lalu aku segera mengambil ponselku dan memberikan pesan kepada Ema agar dia menjemputku di pemberhentian bus yang sudah aku kirimkan lokasinya. Untung saja jalanan sepi. Sekarang adalah hari libur. Seharusnya aku bersama dengan anak-anak dan menghabiskan waktu dengan mereka. Namun apa boleh buat. Semua permasalahan bertubi-tubi menyerangku seperti ini."Mbak, sudah sampai!" teriak sopir bus ke arahku. Tanpa sadar ternyata aku sudah melamun dan tidak tahu arah tujuan. Dari kaca aku melihat Ema melambaikan tangan ke arahku."Mbak, segera turun, ya. Sa
Hari demi hari aku jalani dengan hati tertekan. Aku berusaha memasang wajah seperti dulu saat kami bersama. Ema datang ke rumah setelah tahu kedua istri ayahnya tidak ada di rumah. Kami kembali berempat. Namun, tidak ada tawa seperti biasanya. Semua kami jalani dengan tekanan masa lalu mengerikan itu."Aku sudah menceraikan Melisa lewat pesan dan aku sudah mengatakan itu saat menghubunginya. Sekarang aku hanya milikmu. Kita bisa menjalani kehidupan seperti dulu lagi. Kau memang yang terbaik."Kedua anakku hanya menatap kami. Aku tersenyum, lalu melanjutkan suapan yang sudah akan masuk ke dalam mulutku. Mungkin dengan diam saja dan hanya memperlihatkan senyuman aku bisa membuat dia percaya jika memang ini yang aku inginkan. Mendengar Melisa diceraikan dengan sangat kejam seperti itu, tentu saja membuatku sangat sakit. Bagaimanapun juga aku manusia biasa yang memiliki perasaan halus seperti wanita pada umumnya."Lalu ayah mencari wanita lain?" Ema menyelutuk sambil tersenyum. Sebuah sen
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus