"Dok apa tidak cara lain, selain operasi. Maksud saya selain harus mengangkat rahimnya?" tanya Arga. Berharap jika ia dan istrinya masih diberi kesempatan untuk memiliki seorang anak."Tidak ada, Pak. Kami harus melakukan tindakan ini, apa lagi ibu Arin mengalami pendarahan. Kalau, bapak setuju silahkan tanda tangan," sahut dokter yang menangani Arin. Tidak ada pilihan yang lain, dengan terpaksa Arga menyetujuinya."Baik, Dok." Arga mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan tempat tersebut. Selain untuk tanda tangan, Arga juga harus membayar biaya operasi istrinya.Setelah semuanya beres, Arga bergegas kembali, karena operasi juga akan dilakukan saat ini juga. Beruntung uang dalam tabungan masih cukup untuk membayar biaya operasi Arin. Tapi untuk ke depannya, Arga harus lebih giat bekerja, karena ATM miliknya sudah terkuras cukup banyak. Gaji sebagai OB mungkin hanya cukup untuk makan saja, terlebih Arin yang tidak bisa memasak."Sudah kamu bayar biaya operasi Arin?" tanya Rian
Rianty masih diam, ia tidak ingin dipenjara karena dirinya tidak merasa bersalah. Rianty mundur satu langkah, Naima dapat melihat dari raut wajahnya. Jika mantan ibu mertuanya benar-benar ketakutan, hal tersebut membuat Naima menyipitkan matanya. Kesombongan serta keangkuhan yang biasanya Rianty tunjukkan, kini seakan lenyap."Awas saja kalau kamu berani melaporkan saya ke polisi. Kamu akan tahu sendiri akibatnya." Setelah cukup lama terdiam, kini Rianty kembali bicara. Wanita itu memang sangat pandai mengancam."Aku tidak takut, toh sudah ada buktinya. Dan mama pantas untuk mendapatkan balasan atas perbuatan yang sudah dilakukan," sahut Naima dengan begitu tenang. Menghadapi orang seperti Rianty memang harus dengan kepala dingin dan hati yang tenang."Itu tidak akan pernah terjadi, kamu itu hanya perempuan kampungan dan miskin yang tak bisa apa-apa." Setelah mengatakan itu Rianty melenggang pergi meninggalkan Naima yang masih berdiri. Wanita berjilbab itu hanya menggeleng melihat sik
Arga masih bungkam, terlalu dalam dan banyak ia menyakiti Naima. Bukan hanya lahirnya saja yang terluka, tetapi juga dengan batinnya, bahkan mungkin mentalnya. Namun hanya Naima yang sanggup bertahan, mungkin jika wanita lain sudah memilih untuk mundur. Arga menatap wajah mantan istrinya, terlihat jelas dari sorot matanya jika Naima masih menyimpulkan luka itu."Naima, saat itu ... tolong maafkan mas, mas hanya menuruti keindahan mama saja." Arga menunduk. Jika mengingat kejadian itu, ia benar-benar merasa telah menjadi suami yang sangat kejam."Sudahlah, mas. Lagi pula semua itu sudah berlalu. Lebih baik sekarang kamu pulang, nanti istrimu nyariin. Aku juga khawatir kalau nantinya akan timbul fitnah, karena sekarang kita bukan lagi suami istri," ujar Naima kemudian. Rasanya ia sudah lelah memikirkan masalah yang pernah menimpanya."Mas akan pulang, tapi tolong biarkan Alifah tinggal bersama dengan mas. Kasihan Arin, dia sangat terpukul setelah tahu kalau rahimnya diangkat. Sejak pula
Arin langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos itu, sedangkan lelaki yang bersamanya itu segera memunguti pakaian miliknya dan memakainya. Ingin rasanya Arga menghajar dua manusia tak berakhlaq itu, namun percuma. Orang seperti mereka tidak akan pernah merasa jera meski sudah diberi pelajaran."Mas kamu .... ""Kenapa? Kamu kaget melihatku pulang." Arga memotong ucapan istrinya. Sementara Arin terlihat begitu gugup, wanita itu mengeratkan selimut putih yang menutupi tubuh polosnya itu."Aku pikir kamu wanita baik-baik, tapi ternyata kamu tak lebih dari wanita jal*ng," ujar Arga. Ia benar-benar kecewa dengan apa yang istrinya itu lakukan. Jika tahu akan seperti ini, tak mungkin Arga melanjutkan pernikahannya dengan Arin.Arga melirik lelaki yang baru saja bermain bersama dengan istrinya itu. "Dan kamu, apa tidak ada wanita lain, sehingga kamu memilih wanita yang jelas-jelas sudah bersuami." "Arin sendiri yang menawarkan, sebagai lelaki aku tidak mungkin menolak tawar
Arin memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang Naima daratkan. Ia pikir Naima adalah wanita lemah yang hanya bisa menangis, tapi ternyata dugaan Arin salah. Ingin rasanya Arin memberikan pelajaran kepada orang yang sudah berani berbuat kasar padanya. Namun deru mesin mobil membuat dua wanita itu menoleh."Itu kan mobilnya mas Arga, itu artinya mas Arga baru ke sini atau .... " Arin membatin. Matanya terus menatap mobil milik mantan suaminya yang kini berhenti di pelataran rumah.Setelah mobil berhenti, Arga beranjak turun dan melangkah menuju teras. Lelaki berkemeja putih itu terdiam ketika melihat Arin berada di rumah Naima. Untuk apa wanita itu mendatangi mantan istrinya itu, Arga terus melangkahkan kakinya hingga kini ia berdiri di hadapan Arin dan juga Naima."Assalamu'alaikum." Arga mengucap salam."Wa'alaikumsalam." Hanya Naima yang menjawab salam dari Arga, sedangkan Arin, wanita itu hanya diam."Arin, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Arga. Ada rasa curiga k
"Kenapa aku harus melihat ini, rasanya sakit sekali, bahkan lebih sakit dari penghianatan yang Arin lakukan," gunamnya. Rasanya mata Arga tidak mampu lagi untuk melihat mereka, telinganya pun tak sanggup untuk mendengar apa yang akan Naima katakan.Arga memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut, namun entah kenapa kakinya sangat berat untuk melangkah, seakan ada yang menahannya. Dengan terpaksa Arga akan menunggu beberapa saat, ia juga merasa penasaran dengan jawaban yang akan Naima berikan. Berharap Arga bisa menerima apapun keputusan mantan istrinya.Sementara itu, Naima masih diam, jujur ia juga merasa bingung. Di lain sisi, ia ingin hidup tenang tanpa seorang suami. Tapi Naima juga sadar, jika putrinya masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Tapi entah kenapa hati kecilnya seperti tidak yakin jika Frans mampu menjadi ayah pengganti untuk Alifah."Naima, bagaimana?" tanya Frans, seketika Naima sadar dari lamunannya. Wanita berjilbab itu mendongak, menatap wajah lelaki yang d
Rianty masih diam, namun wanita itu segera melangkah menghampiri putranya. Ia tidak menyangka jika kedatangan Haris akan bertepatan dengan kepulangan Arga. Rianty benar-benar bingung harus berbuat apa, tidak ada kesempatan lagi untuk berbohong, karena mungkin Arga telah mendengar semuanya."Arga kamu sudah pulang." Rianty melangkah mendekati putranya."Arga sudah tahu semuanya, ma. Arga tidak menyangka kalau selama ini banyak kebohongan yang mama sembunyikan," ujar Arga. Mendengar itu seketika Rianty menggeleng."Arga, mama bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang kamu dengar, mama .... ""Pendengaran Arga masih normal, ma. Dari dulu mama memang pandai berbohong dan bersandiwara." Arga memotong ucapan ibunya, rasanya memang sulit untuk menerima semua kenyataan itu. Arga benar-benar tidak menyangka jika masa lalu ibunya begitu buruk."Haris, ini semua gara-gara kamu, untuk apa kamu datang ke sini hah." Rianty membentak Haris, ia benar-benar kesal dengan ulah laki-laki satu ini."Aya
Hampir seminggu Naima dirawat di rumah sakit, kondisinya yang sering drop membuat Frans dan dokter Ali melarangnya untuk pulang. Padahal Naima sendiri sudah merasa bosan, mungkin karena efek kanker yang sudah stadium akhir. Membuat kondisi tubuh Naima melemah, bukan itu saja, penglihatannya juga mulai terganggu.Prang, bunyi gelas yang terjatuh membuat Arga yang berada di kamar mandi buru-buru keluar. Terlihat gelas yang ada di meja samping brangkar sudah berada di lantai. Arga menghela napas lalu melangkah mendekati istrinya. Saat ini mereka hanya berdua, lantaran Haris tengah menemani Alifah di rumah."Sayang kamu baik-baik saja kan," ucap Arga dengan raut wajah panik."Aku enggak apa-apa kok, mas. Maaf, gelasnya jatuh." Naima menunduk, penglihatan yang mulai bermasalah membuatnya sering menjatuhkan sesuatu."Tidak apa-apa, udah kamu duduk saja, biar mas beresin ini dulu." Arga jongkok dan bergegas untuk membereskan pecahan gelas tersebut. Sementara Naima tetap duduk dengan perasaan
Setelah pesanan tertata di atas meja, pelayan tersebut beranjak pergi, dan ini kesempatan Arin untuk kembali berbicara. Tetapi Arga justru mengusirnya, ia tidak ingin merusak mood makan siangnya. Bukan itu saja, Arga juga khawatir jika kehadiran Arin membuat Zaskia merasa tidak nyaman."Arin lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, aku mau makan," usirnya. Mendengar itu, seketika Arin membulatkan matanya."Arga, kamu ngusir aku. Memangnya kamu tidak ingin tahu siapa dia yang sebenarnya. Aku yakin kalau kamu sudah mengetahuinya, jangankan untuk menikahinya. Mungkin untuk melihatnya saja kamu akan merasa jijik," ungkap Arin, tak lupa tangannya menunjuk ke arah di mana Zaskia duduk.Sedangkan wanita bercadar itu hanya diam dan menunduk, ia sama sekali tidak berani untuk menatap Arin. Tetapi berbeda dengan Arga, justru ia yang merasa kesal dan marah dengan ucapan mantan istrinya itu. Arga memang belum tahu asal usul Zaskia, tapi bukan berarti Arin seenaknya berkata seperti itu."Terserah
Tiga tahun telah berlalu, tiga tahun sudah Naima pergi selamanya meninggalkan suami serta putrinya. Meski sudah lama, tetapi bayang-bayang istrinya masih terus menguasai hati serta pikiran Arga. Sampai detik ini Arga belum bisa melupakan Naima, wanita yang sangat ia cintai.Beberapa wanita sering dikenalkan oleh ibunya, tetapi tak ada satupun yang dapat menarik hati Arga. Bagi Arga, tidak ada yang sesempurna Naima, sangat sulit untuk menerima wanita lain di dalam hatinya. Terkadang di sisi hatinya merasa kasihan dengan Alifah, putrinya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu."Arga, bagaimana saran mama. Kasihan Alifah, mungkin kamu bisa hidup tanpa seorang istri. Tapi Alifah, diusianya yang sekarang, dia masih sangat membutuhkan seorang ibu. Mama sering merasa sedih setiap kali menjemput Alifah di sekolahnya. Hampir semua teman-temannya dijemput oleh ibunya." Rianty kembali membujuk putranya untuk menikah. Bukan apa, ia merasa kasihan dengan cucunya yang masih sangat m
Hampir seminggu Naima dirawat di rumah sakit, kondisinya yang sering drop membuat Frans dan dokter Ali melarangnya untuk pulang. Padahal Naima sendiri sudah merasa bosan, mungkin karena efek kanker yang sudah stadium akhir. Membuat kondisi tubuh Naima melemah, bukan itu saja, penglihatannya juga mulai terganggu.Prang, bunyi gelas yang terjatuh membuat Arga yang berada di kamar mandi buru-buru keluar. Terlihat gelas yang ada di meja samping brangkar sudah berada di lantai. Arga menghela napas lalu melangkah mendekati istrinya. Saat ini mereka hanya berdua, lantaran Haris tengah menemani Alifah di rumah."Sayang kamu baik-baik saja kan," ucap Arga dengan raut wajah panik."Aku enggak apa-apa kok, mas. Maaf, gelasnya jatuh." Naima menunduk, penglihatan yang mulai bermasalah membuatnya sering menjatuhkan sesuatu."Tidak apa-apa, udah kamu duduk saja, biar mas beresin ini dulu." Arga jongkok dan bergegas untuk membereskan pecahan gelas tersebut. Sementara Naima tetap duduk dengan perasaan
Rianty masih diam, namun wanita itu segera melangkah menghampiri putranya. Ia tidak menyangka jika kedatangan Haris akan bertepatan dengan kepulangan Arga. Rianty benar-benar bingung harus berbuat apa, tidak ada kesempatan lagi untuk berbohong, karena mungkin Arga telah mendengar semuanya."Arga kamu sudah pulang." Rianty melangkah mendekati putranya."Arga sudah tahu semuanya, ma. Arga tidak menyangka kalau selama ini banyak kebohongan yang mama sembunyikan," ujar Arga. Mendengar itu seketika Rianty menggeleng."Arga, mama bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang kamu dengar, mama .... ""Pendengaran Arga masih normal, ma. Dari dulu mama memang pandai berbohong dan bersandiwara." Arga memotong ucapan ibunya, rasanya memang sulit untuk menerima semua kenyataan itu. Arga benar-benar tidak menyangka jika masa lalu ibunya begitu buruk."Haris, ini semua gara-gara kamu, untuk apa kamu datang ke sini hah." Rianty membentak Haris, ia benar-benar kesal dengan ulah laki-laki satu ini."Aya
"Kenapa aku harus melihat ini, rasanya sakit sekali, bahkan lebih sakit dari penghianatan yang Arin lakukan," gunamnya. Rasanya mata Arga tidak mampu lagi untuk melihat mereka, telinganya pun tak sanggup untuk mendengar apa yang akan Naima katakan.Arga memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut, namun entah kenapa kakinya sangat berat untuk melangkah, seakan ada yang menahannya. Dengan terpaksa Arga akan menunggu beberapa saat, ia juga merasa penasaran dengan jawaban yang akan Naima berikan. Berharap Arga bisa menerima apapun keputusan mantan istrinya.Sementara itu, Naima masih diam, jujur ia juga merasa bingung. Di lain sisi, ia ingin hidup tenang tanpa seorang suami. Tapi Naima juga sadar, jika putrinya masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Tapi entah kenapa hati kecilnya seperti tidak yakin jika Frans mampu menjadi ayah pengganti untuk Alifah."Naima, bagaimana?" tanya Frans, seketika Naima sadar dari lamunannya. Wanita berjilbab itu mendongak, menatap wajah lelaki yang d
Arin memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang Naima daratkan. Ia pikir Naima adalah wanita lemah yang hanya bisa menangis, tapi ternyata dugaan Arin salah. Ingin rasanya Arin memberikan pelajaran kepada orang yang sudah berani berbuat kasar padanya. Namun deru mesin mobil membuat dua wanita itu menoleh."Itu kan mobilnya mas Arga, itu artinya mas Arga baru ke sini atau .... " Arin membatin. Matanya terus menatap mobil milik mantan suaminya yang kini berhenti di pelataran rumah.Setelah mobil berhenti, Arga beranjak turun dan melangkah menuju teras. Lelaki berkemeja putih itu terdiam ketika melihat Arin berada di rumah Naima. Untuk apa wanita itu mendatangi mantan istrinya itu, Arga terus melangkahkan kakinya hingga kini ia berdiri di hadapan Arin dan juga Naima."Assalamu'alaikum." Arga mengucap salam."Wa'alaikumsalam." Hanya Naima yang menjawab salam dari Arga, sedangkan Arin, wanita itu hanya diam."Arin, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Arga. Ada rasa curiga k
Arin langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos itu, sedangkan lelaki yang bersamanya itu segera memunguti pakaian miliknya dan memakainya. Ingin rasanya Arga menghajar dua manusia tak berakhlaq itu, namun percuma. Orang seperti mereka tidak akan pernah merasa jera meski sudah diberi pelajaran."Mas kamu .... ""Kenapa? Kamu kaget melihatku pulang." Arga memotong ucapan istrinya. Sementara Arin terlihat begitu gugup, wanita itu mengeratkan selimut putih yang menutupi tubuh polosnya itu."Aku pikir kamu wanita baik-baik, tapi ternyata kamu tak lebih dari wanita jal*ng," ujar Arga. Ia benar-benar kecewa dengan apa yang istrinya itu lakukan. Jika tahu akan seperti ini, tak mungkin Arga melanjutkan pernikahannya dengan Arin.Arga melirik lelaki yang baru saja bermain bersama dengan istrinya itu. "Dan kamu, apa tidak ada wanita lain, sehingga kamu memilih wanita yang jelas-jelas sudah bersuami." "Arin sendiri yang menawarkan, sebagai lelaki aku tidak mungkin menolak tawar
Arga masih bungkam, terlalu dalam dan banyak ia menyakiti Naima. Bukan hanya lahirnya saja yang terluka, tetapi juga dengan batinnya, bahkan mungkin mentalnya. Namun hanya Naima yang sanggup bertahan, mungkin jika wanita lain sudah memilih untuk mundur. Arga menatap wajah mantan istrinya, terlihat jelas dari sorot matanya jika Naima masih menyimpulkan luka itu."Naima, saat itu ... tolong maafkan mas, mas hanya menuruti keindahan mama saja." Arga menunduk. Jika mengingat kejadian itu, ia benar-benar merasa telah menjadi suami yang sangat kejam."Sudahlah, mas. Lagi pula semua itu sudah berlalu. Lebih baik sekarang kamu pulang, nanti istrimu nyariin. Aku juga khawatir kalau nantinya akan timbul fitnah, karena sekarang kita bukan lagi suami istri," ujar Naima kemudian. Rasanya ia sudah lelah memikirkan masalah yang pernah menimpanya."Mas akan pulang, tapi tolong biarkan Alifah tinggal bersama dengan mas. Kasihan Arin, dia sangat terpukul setelah tahu kalau rahimnya diangkat. Sejak pula
Rianty masih diam, ia tidak ingin dipenjara karena dirinya tidak merasa bersalah. Rianty mundur satu langkah, Naima dapat melihat dari raut wajahnya. Jika mantan ibu mertuanya benar-benar ketakutan, hal tersebut membuat Naima menyipitkan matanya. Kesombongan serta keangkuhan yang biasanya Rianty tunjukkan, kini seakan lenyap."Awas saja kalau kamu berani melaporkan saya ke polisi. Kamu akan tahu sendiri akibatnya." Setelah cukup lama terdiam, kini Rianty kembali bicara. Wanita itu memang sangat pandai mengancam."Aku tidak takut, toh sudah ada buktinya. Dan mama pantas untuk mendapatkan balasan atas perbuatan yang sudah dilakukan," sahut Naima dengan begitu tenang. Menghadapi orang seperti Rianty memang harus dengan kepala dingin dan hati yang tenang."Itu tidak akan pernah terjadi, kamu itu hanya perempuan kampungan dan miskin yang tak bisa apa-apa." Setelah mengatakan itu Rianty melenggang pergi meninggalkan Naima yang masih berdiri. Wanita berjilbab itu hanya menggeleng melihat sik