Raya berjalan menyusuri koridor gedung fakultas hukum. Kedua tangannya mendekap tumpukan buku tebal. Wajahnya terlihat kusut. Bibirnya tak henti menggerutu. Hari ini mood-nya benar-benar buruk. Bagaimana ia tidak kesal? Tadi ketika ia baru berangkat, tiba-tiba ia diserbu oleh banyak gadis terutama oleh Scarlett and the gank.
Awalnya ia bingung apa yang membuat mereka menyerbunya, namun ketika Scarlett menyebut nama Edard, Raya jadi mengerti apa permasalahannya. Terlebih lagi dengan berita yang menyebutkan kalau Raya akan menikah dengan Edard yang beredar di berbagai acara gosip dan berita di media sosial.
Tentu saja hal itu memicu berbagai argument. Apa lagi Scarlett. Gadis itu bahkan menyindir Raya kalau selama ini Raya tidak mau berhubungan dengan lelaki lain karena tidak memenuhi kriterianya. Jadi ketika Edard mendekatinya dan mengajak menikah, Raya langsung menerima karena menurut Scarlett, siapa sih yang bisa menolak pesona seorang Edard Stollin? Ada! Itu Raya menolak, buktinya.
“Menyebalkan!” ketusnya.
“Wah… calon nyonya Stollin kenapa wajahmu seperti itu?” ujar Sam, salah satu pentolan di kampus Raya.
Rambutnya yang gondrong selalu ia ikat, di tambah dengan tato di lengan lelaki itu menambah aura brandal. Namun Sam bukan juga orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Raya.
“Berisik!” hardik Raya sembari melayangkan tatapan tajam ke arah Sam. Gadis itu tidak suka dengan Sam yang kerap kali mengganggunya.
Sam menyunggingkan senyum sinis. Gadis yang selama ini disukainya, yang selalu mengatakan tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki, nyatanya sebentar lagi akan menjadi istri seorang pengusaha kaya.
Sam berdecih. “Munafik,” ujarnya tajam.
Membuat Raya meradang mendengar itu. “Apa maksudmu?!”
“Kau bilang tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki karena terlalu merepotkan. Tapi nyatanya kau malah mau menikah. Bukankah itu definisi dari munafik? Ah, aku tau. Kau pasti hanya mengincar hartanya saja, kan?” kata Sam sembari menunjukkan smirknya.
“Tutup mulutmu!” bentak Raya namun Sam malah tertawa meledeknya.
Emosi Raya semakin naik ke ubun-ubun. Sam, salah satu lelaki di kampusnya yang juga menyukainya sejak pertama ia masuk ke sini. Lelaki dengan tampang brandal itu selalu mengejarnya namun Raya tidak pernah merespon itu.
Dan sekarang, lelaki itu menganggunya dengan berita pernikahan yang dibuat Edard. Edard, lelaki itu benar-benar menguji kesabaran Raya. Awas saja kalau nanti ia bertemu dengan lelaki itu. Akan ia habisi sampai habis bahkan tak tersisa.
Sam masih setia berada di depan Raya. Menampilkan wajah menyebalkan yang membuat Raya ingin meninju wajah itu. Apa lelaki itu tidak ada kesibukan lain sampai harus mengganggunya?
Sam berjalan mendekat ke arah Raya. Tangan lelaki itu terangkat lalu mendarat di bahu Raya. Raya menepisnya namun Sam kembali merangkul gadis itu.
“Lepas!” desis Raya tajam. Matanya melotot ke arah Sam namun malah ditanggapi kekehan ringan oleh lelaki itu.
“Beri aku waktu untuk seperti ini sebelum kau menjadi istri orang, Ray.” Sam berujar sembari tersenyum lebar.
Raya merotasikan bola matanya. Sebal dengan sikap Sam yang seenaknya itu. Lalu dengan kasar, Raya menepis lengan lelaki itu sampai membuat Sam mengaduh sakit. Kemudian Raya menatap Sam dengan tatapan penuh amarah.
“Jauh-jauh dariku!” pekiknya.
“Raya?”
Sontak Raya mengalihkan pandangannya ketika ada suara yang memanggil namanya itu. Matanya membuat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar.
***
“Berhenti menggangguku, Ed!”
“Bagaimana bisa aku berhenti mengganggumu? Kau adalah calon istriku.”
Raya langsung membalikkan badannya setelah mendengar ungkapan yang sangat tidak masuk akal baginya itu. Calon istri, katanya? Hei! Mereka bahkan tidak saling mengenal lalu dengan mudahnya Edard mengatakan kalau Raya adalah calon istrinya? Lelaki kurang waras! Batin Raya berteriak.
“Kau dengar baik-baik. Aku bukan calon istrimu!” ujar Raya dengan penuh penekanan di setiap suku katanya.
Kemudian gadis itu melanjutkan langkahnya lagi menuju halte bus. Sial! Tau begini mending ia bawa mobil saja tadi. Bukannya malah naik taksi. Jujur, Raya sangat kaget saat mendapati Edard dengan percaya dirinya datang ke kampus Raya dengan alasan ingin menjemput gadis itu.
Tentu saja hal itu memicu kehebohan di kampusnya. Mereka bahkan berbondong-bondong mendekati Edard bahkan ada juga yang meminta foto. Sudah seperti artis saja lelaki itu. Raya mengibaskan rambutnya. Seolah tengah meruntuhkan pikiran tentang Edard. Tidak penting juga baginya.
Tapi bukan Edard namanya kalau menyerah begitu saja. Lelaki itu bahkan ikut berjalan kaki menuju halte. Membuat Raya semakin risih karena kehadirannya. Raya duduk di kursi yang ada di sana. Pandangannya teralih menatap jalanan. Ia tak lagi peduli dengan Edard yang kini bahkan sudah duduk di sebelahnya. Ia terlalu lelah untuk berbicara dengan lelaki bebal seperti Edard.
“Kau sudah berjanji akan membantuku, Ray.” Edard tampak berujar dengan lirih.
Raya menajamkan pandangannya menatap Edard. “Tapi bukan untuk menikah,” tekannya.
“Seharusnya pernikahanku dilaksanakan hari ini. Namun terpaksa harus ku undur karena kekasihku berkhianat. Aku harus segera mencari penggantinya, Ray.”
“Apa hubungannya denganku? Kau tau? Sebelum aku mengenalmu, hidupku jauh lebih tenang. Tapi sejak mengenalmu, kau selalu membawa aura negatif untukku. Sebaiknya kau menjauh, aku tidak suka dekat denganmu,” ujar Raya membuat sudut hati Edard seperti tercabik. Untuk pertama kalinya ada gadis yang mengatakan tidak suka dekat dengannya.
“Aku butuh pengantin pengganti,” ujar Edard lagi.
“Ya kau cari saja. Akan ada banyak wanita yang mengantri untuk jadi istrimu. Dan yang paling penting aku bukan salah satu dari mereka.”
“Tidak semudah itu, Raya. Semuanya sudah aku siapkan tidak mungkin ku batalkan begitu saja. Ku mohon bantulah aku,” ucap Edard dengan wajah yang begitu sendu.
Satu hal yang terlintas di otaknya adalah bagaimana jika nanti keluarganya tahu kalau ia gagal menikah? Apa kata mereka? Namun ia juga merasa bersyukur, karena sejak berhubungan Lora, keluarganya tidak pernah tahu bagaimana wajah Lora. Mereka bahkan belum pernah bertemu karena orang tua Edard menetap di Kanada. Dan lagi pula, Edard juga sudah membayar seluruh channel televisi yang menayangkan berita tentang dirinya yang selingkuh. Jadi bisa dijamin kalau berita itu tidak sampai ke telinga orang tuanya.
“Ini bukan urusanku. Jadi kau urus saja urusanmu sendiri,” ujar Raya kemudian berdiri.
Gadis itu sudah bersiap untuk melangkah, meninggalkan Edard yang masih setia duduk di sana. Tatapan lelaki itu terlihat redup.
“Hanya kau yang bisa ku percaya saat ini, Ray.”
Raya mengernyit bingung mendengar ucapan itu. Gadis itu membalikkan badannya menatap Edard. “Maksudmu?”
“Menikahlah denganku hanya sebagai bentuk formalitas. Setelah itu kau bebas melakukan apapun. Segala kebutuhanmu, akan aku jamin. Kau sejutu?”
Raya menatap dirinya di pantulan cermin besar di depannya. Kemudian menghembuskan nafasnya pelan. Apa mungkin ini keputusan terbaik yang ia pilih? Apa mungkin setelah ini hidupnya akan tetap berjalan seperti sebelumnya? Setelah berdebat panjang dengan Edard, akhirnya Raya bersedia membantu Edard dengan syarat pernikahan ini hanya sebagai formalitas saja. Tidak ada yang namanya pernikahan sungguhan. Raya juga bebas melakukan apapun dan pernikahan dilangsungkan secara privat. Raya tidak ingin menjadi bullyan di kampusnya hanya karena ia menikah. Tanpa banyak pertimbangan, Edard pun menyetujui syarat dari Raya. Karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah pengantin pengganti.Tepat setelah menyetujui persayaratan itu, hari ini mereka melangsungkan pernikahan dan sesuai dengan permintaan Raya, pernikahan ini dilangsungkan dengan privat. Tidak ada yang tahu kecuali Davin, sahabat Raya. Untuk orang tua Edard, beruntungnya mereka tidak bisa hadir karena masih ada urusan bisnis. M
Seharusnya, Edard menjelma menjadi lelaki paling bahagia karena bisa menikah dengan gadis cantik seperti Raya yang kini sudah sah menjadi istrinya. Baik secara agama maupun hukum.Seharusnya, sebagai pengantin baru, Edard bisa menikmati moment penting bersama istrinya seperti tidur seranjang.Seharusnya juga, Edard merasakan bagaimana rasanya dilayani dengan baik oleh istrinya seperti Papanya dulu.Tapi semua itu sepertinya hanya ada di dalam imajinasinya saja. Jangankan untuk dilayani, diizinkan masuk ke kamar sama tidak.Edard ingat betul bagaimana Raya memberinya satu bogem mentah ketika Edard masuk ke kamar ketika Raya sedang berganti pakaian. Bukankah seharusnya itu biasa saja karena mereka sudah suami istri?Tapi kembali lagi, rupanya Edard melupakan sesuatu. Ia lupa kalau pernikahan ini hanya di atas kertas. Raya mau menikah dengannya hanya sebatas memberi bantuan.Raya tidak meminta cerai di hari pertama mereka menikah saja itu sudah
"Davin!" teriak Raya dengan nyaring.Membuat beberapa pasang mata pengunjung mall melihat ke arahnya. Namun gadis itu terlihat tidak peduli dan terus berjalan ke arah Davin. Nafasnya menggebu-gebu bersiap menumpahkan segala amarah untuk lelaki itu.Sementara Davin, lelaki itu terdiam kaku di tempatnya. Dalam hatinya, ia merutuk kesal. Padahal tadi ia sudah berusaha untuk tidak terlihat tapi kenapa penglihatan Raya tajam sekali?Di lain sisi, ada Ava, gadis yang beberapa hari lalu telah resmi menjadi kekasihnya. Tampaknya gadis itu sedikit bingung melihat kedatangan Raya dengan muka marah."Vin, dia siapa? Apa dia temanmu?" tanya Ava pada Davin.Sedangkan Raya, gadis itu menatap Ava dengan penuh penilaian. Cukup bagus juga selera Davin, pikirnya.Davin berdehem sebentar kemudian menatap Raya lalu tersenyum lebar. "Hallo, Ray. Apa kabar?" tanyanya basa-basi.Raya mendengus kesal. Bisa-bisanya Davin dengan percaya diri tersenyum lebar di
Ava menganga tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Bagaimana mungkin Edard Stollin sudah menikah? Bahkan tidak ada pemberitaan apapun tentang lelaki itu baik di televisi atau di media sosial.Lagipula, yang benar saja lelaki setampan Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya. Ah, itu tidak mungkin."Ternyata Edard suka becanda, ya?" kekeh Ava membuat Raya memutar bola matanya malas."Dia memang suami Raya, Va." Davin memberitahu dengan nada datar."Mana mungkin seorang Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya, Vin?" ujar Ava tanpa tahu malu.Padahal jelas-jelas disini dia yang gatal. Lihat saja tingkahnya, terlihat sekali kalau sedang menggoda suami orang.Sedangkan Raya, gadis itu tentu saja menahan amarah karena selalu disebut gadis gatal oleh Ava. Namun Edard terus menggenggam erat tangannya agar ia tidak bertindak gegabah.Ava, dimana Davin menemukan gadis ular semacam ini? Sejak bersama Davin, lelaki itu be
"Mampir sebentar di toko depan, aku ingin beli sesuatu," pinta Raya saat ia mengingat ada barang yang perlu ia beli.Edard mengangguk kecil menyetujui permintaan Raya. Saat sampai di toko yang dimaksud Raya, Edard segera menepikan mobilnya."Aku akan menemanimu," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolaknya kemudian bergegas keluar mobil.Sementara Edard, lelaki itu hanya menghela nafasnya pelan. Ia lupa kalau Raya adalah gadis yang mandiri. Tentu saja hal semacam ini akan dinilai terlalu manja baginya.Mata Edard menatap punggung Raya yang semakin menjauh lalu hilang dibalik pintu toko. Edard mengeluarkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan.Lelaki itu menatap foto Raya yang ia jadikan wallpaper di ponselnya. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan setengah lingkaran.Ia sengaja memasang foto gadis itu di ponselnya karena ia memang menyukainya. Tentu saja hal itu tanpa sepeng
Tampak dua insan yang duduk di sofa tamu saling melempar tatapan. Keduanya kompak diam saat ditatap oleh seorang wanita paruh baya yang tengah bersedekap dada di depan mereka. Tatapan wanita itu jelas menuntut penjelasan.Edard menghela nafasnya berat kemudian menatap wanita itu. "Baiklah, aku minta maaf karena tidak memberitahu soal pernikahanku," ujarnya dengan wajah dibuat semenyesal mungkin agar wanita di depannya itu bisa melunak.Wanita itu lalu mengalihkan tatapannya ke Raya. Gadis itu tertunduk sembari menautkan kedua jemarinya. Jujur saja, ditatap seperti itu membuat dirinya kembali ke kenangan masa ospek dulu. Benar-benar menegangkan. Jadi begini rasanya bertemu mertua? Itulah salah satu alasan mengapa ia tidak mau menikah. Ia takut memiliki mertua yang kejam seperti di film yang kerap kali ia tonton.Wanita paruh baya itu menatap Raya dengan tatapan penuh penilaian. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat jantung Raya ingin lompat dari temp
Edard membolak-balik dokumen di tangannya dengan perasaan gusar. Sejak tadi ia tidak pernah fokus dengan apa yang ia kerjakan. Pikirannya selalu melayang kepada gadis yang beberapa saat ini memenuhi kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Raya.Bagaimana perasaan gadis itu? Sejak kedatangan ibunya tadi, Raya menjadi banyak diam. Gadis itu selalu bersikap hati-hati. Apalagi Emily terus memperhatikan gerak-gerik Raya. Mungkin saja membuat Raya tidak nyaman.Edard memegang kepalanya pusing. Tidak tahu harus berbuat apa. Dengan keberadaan Emily disini ia yakin akan membuat semuanya menjadi rumit.Edard melirik jam yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Sudah hampir larut, sebaiknya ia tidur saja.Edard pun berjalan keluar menuju kamar yang ia tempati, yaitu kamar yang ada di lantai satu. Edard tampak mengendap-endap sembari mengamati keadaan di sekitarnya. Takut kalau Emily memergokinya masuk ke dalam kamar ini."Ken
Edard langsung membuka kelopak matanya begitu mendengar kalimat itu dari mulut Raya. Lelaki itu mendudukkan badannya dan menatap tak mengerti ke arah Raya."Kenapa kau mengatakan itu?" tanya Edard. Nada kecewa jelas kentara disana.Raya mengerjapkan matanya. "Iya aku hanya berbicara apa yang seharusnya kita lakukan, Ed."Raya mendadak bingung dengan sikap Edard yang sepertinya tidak terima dengan ucapannya. Apanya yang salah? Memang benar, kan, kalau mereka menikah hanya sebatas formalitas saja?Edard mengusap wajahnya kasar lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak akan ada perceraian di antara kita," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya bingung. Tidak ada perceraian? Itu artinya..."Ed, berhentilah bercanda. Kau gila?" tanya Raya tak habis fikir.Edard bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati Raya. Membuat Raya beringsut menjauh dari Edard. Matanya menatap waspada, takut kalau nanti Edard melakukan sesuatu diluar dugaannya
Sumpah serapah jelas keluar dari bibir Raya apalagi saat mengingat bagaimana dengan gamblangnya, Edard melayangkan satu kecupan manis di bibirnya tanpa permisi.Hei! Bibir Raya yang awalnya masih suci jelas ternodai oleh tindakan Edard yang menurutnya kurang ajar. Ya, jelas saja kurang ajar meskipun mereka sudah menikah, tapi meraka menikah hanya di atas kertas. Tapi kenapa Edard selalu bersikap kalau mereka ini menikah sungguhan? Sangat menyebalkan.Raya tersentak saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kedua pipinya. Ternyata itu Edard yang baru saja menempelkan sebotol minuman dingin ke pipinya."Ish!" Dengus Raya dengan sebal. Ia mengusap pipinya yang basah karena embun minuman itu.Edard duduk di sebelah Raya yang tampak cemberut. Lelaki itu tertawa pelan melihat ekspresi kesal milik gadis itu. Terlihat sangat menggemaskan. Bahkan Edard baru menyadari kalau istrinya itu menggemaskan.Saat ini mereka tengah duduk di sebuah taman kota. Sore hari yang cukup cerah. Apalagi Raya y
"Biar aku yang antar kamu ke kampus."Raya yang sedang menyisir rambutnya itu sontak memalingkan wajahnya menatap Edard yang sudah berdiri di ambang pintu. Kening gadis itu mengernyit, sedikit heran dengan keinginan Edard yang tiba-tiba itu? Tumben sekali, biasanya Edard lebih mengutamakan berangkat pagi ke kantor."Tumben. Kesambet apa kamu? Tapi nggak usah, aku bisa berangkat sendiri," kata Raya lagi.Ia hanya malas saja jika nanti Edard akan merecokinya sepanjang perjalanan. Lelaki itu sangat bawel jika menyangkut dirinya. Membuat Raya risih.Edard melangkah masuk ke kamar sembari bersedekap dada. Menatap Raya dengan pandangan menilik."Kamu mau bertemu dengan lelaki itu, ya? Makanya tidak mau aku antar," tuduh Edard.Yah, bukannya ia berniat menuduh Raya. Hanya saja ia tidak suka melihat Raya berdekatan dengan lelaki kemarin. Bahkan kelihatannya mereka cukup akrab. Siapa lelaki itu? Bukankah kata Davin, Raya tidak suka berdekatan dengan lelaki manapun selain Davin?Raya mendelik m
Alis Raya mengerut dalam kala melihat seorang wanita memeluk Edard dengan mesra. Bahkan wanita itu dengan beraninya mencium Edard di depan Raya. Hei! Apa dia tidak lihat kalau Edard bersama orang lain? Siapa sih wanita itu? Bisa-bisanya bersikap agresif terhadap lelaki yang bukan mukhrimnya. Ditambah lagi Edard sepertinya tidak risih dengan kehadiran wanita itu. Buktinya lelaki itu malah mengulas senyum lebar.Raya menatap sekeliling. Banyak sekali orang yang memperhatikan dirinya dengan tatapan iba. Sial! Ia merasa seperti nyamuk disini. Lebih baik ia pergi saja. Toh, untuk apa melihat kemesraan dua orang yang tak tau malu itu. Buang-buang waktu saja.Raya berniat melangkahkan kakinya meninggalkan Edard. Namun lengannya dicekal oleh Edard. Raya meliriknya sinis."Je, kenalkan ini Raya," ujar Edard sembari merangkul pundak Raya.Raya menggerakkan bahunya risih akan keberadaan tangan Edard. Wanita yang dipanggil "Je" itu menatap Raya dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Waja
Raya menepuk pipinya berulang kali. Pikirannya masih melayang pada insiden tadi pagi. Bisa-bisanya Edard bersikap tidak senonoh padanya. Sembarangan menciumnya. Tentu saja hal itu membuat Raya kesal. Tapi, selain rasa kesal, perasaan aneh lebih mendominasi dirinya.Bahkan jantungnya seperti bekerja dua kali lebih cepat saat Edard menciumnya. Memang hanya sekilas, tapi tetap saja. Ini adalah yang pertama bagi Raya. Wajar jika Raya merasa aneh.Ditambah lagi dengan panggilan "sayang" yang lelaki itu sematkan. Sial! Kesambet apa dia sampai berubah jadi semanis itu. Ingin membuat Raya jatuh cinta? Tidak semudah itu. Apalagi hanya dengan ucapan manis, Raya sudah sering mendapatkan itu dari Sam yang sangat menyukainya.Perkara kejadian itu, Raya memutuskan untuk mengurung diri di kamar daripada harus bertemu dengan Edard. Berhubung ini hari libur, sudah pasti lelaki itu ada di rumah. Untung saja Emily sedang pergi bersama teman-temannya. Jadi ia tidak perlu berakting menjadi istri Edard se
Kicauan burung kian terdengar bersahutan. Mengusik tidur tenang gadis yang masih setia di bawah gulungan selimut. Sinar mentari pun sudah naik. Menerobos masuk melalui kaca jendela.Gadis itu melenguh pelan. Tangannya terentang, meregangkan otot-otot. Selimut itupun tersibak, menampakkan gadis yang tengah mengusap kedua wajahnya.Gadis itu beranjak duduk dan menilik jam yang ada di nakasnya. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Beruntung ini hari minggu, ia tidak perlu berangkat kuliah.Raya, gadis itupun bergegas turun dari ranjangnya dan berjalan menuju walk in closet. Berniat untuk mencuci mukanya.Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada Edard. Semalam ia mengunci kamarnya, sudah pasti lelaki itu tidak bisa masuk. Lantas dimana lelaki itu tidur?Raya menggelengkan kepalanya. Untuk apa ia memikirkan Edard? Masalah lelaki itu tidur dimana saja bukanlah urusannya. Toh, rumahnya ini memiliki banyak kamar. Jadi tidak perlu berlebihan.Meskipun jika Emily melihatn
Kedua netra yang bertabrakan itu saling memutuskan kontak. Raya melengos begitu saja dan masuk ke dalam tanpa peduli dengan Edard yang terus memperhatikannya. Biar saja, demi apapun Raya membenci Edard yang egois seperti ini. Sudah memiliki kesepakatan namun dengan seenak jidatnya Edard mengubah kesepakatan itu. Ia pikir Raya akan setuju? Cih!Raya berjalan menuju kamarnya lalu mengunci pintu. Terserah bagaimana nanti Edard menjelaskan pada Emily perihal mereka yang tidak tidur satu kamar. Salah siapa mencari masalah dengan Raya.Sementara itu, Edard yang kini tengah berbaring di sofa ruang keluarga tampak termenung. Pandangannya menatap lurus ke plafon di atasnya. Memikirkan tindakannya barusan. Apa ia salah mengatakan itu pada Raya? Atau mungkin, apa ini terlalu cepat sehingga Raya belum siap menerimanya?"Sedang apa, Ed?" Edard tersentak kaget ketika mendapati Emily berjalan ke arahnya. Lelaki itu menilik jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Edar
Raya lantas membeku kala mendapati Edard tengah berbaring di ranjangnya. Lelaki itu berbaring dengan lengan yang ditekuk untuk menumpu kepalanya. Matanya menyorot tajam ke arah Raya yang masih mematung di ambang pintu."Kenapa baru pulang?" tanya Edard dengan nada yang dingin. Wajahnya terlihat datar, tidak sumringah seperti biasanya.Raya menelan salivanya kelat. Sial! Kenapa Edard bisa berada di kamarnya? Bukankah lelaki itu belum pulang? Bahkan mobilnya saja tidak ada di parkiran.Raya menaikkan pandangannya serta menatap Edard dengan acuh. Setidaknya ia tidak boleh terlihat takut, toh bukannya di perjanjian kemarin tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi? Edard juga sudah menyetujui itu. Lantas kenapa sekarang lelaki itu menyalahi perjanjiannya?Raya menutup pintu lalu melangkah masuk. Tidak enak kalau nanti di dengar oleh Emily. "Apa urusannya sama kamu? Mau aku pulang jam berapa dan pergi kemana, itu bukan urusanmu," ketus Raya sembari meletakkan tas jinjingnya ke atas mej
"Maaf menunggu lama," ujar Raya.Gadis itu baru saja dari kamar mandi. Meninggalkan Egar cukup lama. Egar menoleh, lalu mengulas senyum tipisnya. "Nggak papa," ujarnya.Kemudian Egar menyerahkan ponsel di genggaman tangannya pada Raya. Gadis itu mengernyitkan kening mendapati ponsel miliknya berada di tangan Egar lalu mengambilnya."Kenapa ada di kamu?" tanya Raya bingung.Pasalnya, sebelum ke kamar mandi, ponsel itu berada di atas meja kerjanya. Lalu sekarang ada pada Egar, terlihat aneh bukan? Tidak salahnya juga kan kalau Raya menaruh curiga pada lelaki itu?Egar tersenyum canggung. "Ponselmu berdering sejak tadi. Jadi aku-""Kau mengangkatnya?" Sela Raya.Egar mengangguk. "Iya. Maaf, Ray."Raya memejamkan matanya kesal. Bagaimana bisa Egar selancang itu mengangkat telepon miliknya? Dengan segera Raya mengecek siapa yang baru saja menelponnya.Mata gadis itu membuka begitu mendapati banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab. Damn! Jika itu dari Davin, maka Raya tidak akan pedul
"Apa kabar, Bu?" tanya salah satu pegawai yang berada di pintu masuk menyambut kedatangan Raya.Raya tersenyum kecil. "Baik. Kalian bagaimana?" tanyanya kembali."Kami baik-baik saja, Bu. Apalagi sekarang restaurant milik kita ramai pengunjung. Jelasnya, omset per-bulan juga ikut melonjak drastis," paparnya pada Raya.Raya hanya tersenyum tipis. Pengaruh tangan Edard memang cukup kuat. Meskipun Raya sudah berkali-kali menolak, namun Edard tetap keras kepala ingin membantu mengembangkan usahanya.Sekarang lihat saja, ada banyak perubahan interior di setiap sudut ruangannya. Dan pastinya semua itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Pernikahan pura-pura ini, kenapa rasanya seperti nyata? Bahkan Edard kerap kali ikut campur dalam urusan pribadinya. Sangat berbeda dengan kesepakatan di awal."Mari masuk, Bu."Pegawai itu mengantar Raya untuk masuk ke ruang kerjanya. Raya pun menurut. Ah, dia lupa. Gadis itu menoleh ke belakang, mendapati Egar yang tersenyum ke arahnya."Ayo, Gar." Ray