Rayhan segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Apa yang ia dengar dari mamanya tentang Sizuka baru saja, membuatnya merasa cemas. Trauma. Tampaknya gadis itu trauma untuk disentuh oleh orang lain. Tidak sampai dua puluh menit, mobilnya sudah masuk kembali terparkir dalam garasi luas rumah orang tuanya.
Ia keluar dengan langkah lebar dan cepat, seakan berburu dengan waktu, hanya demi bisa melihat dan mengetahui keadaan Siti sesegera mungkin. Langkahnya kian mendekati kamarnya, ketika terdengar lagi tangisan histeris Siti. Rayhan membuka pintu kamarnya dengan segera, namun ia tidak mendapati seseorangpun disana melainkan isakan tangis yang berasal dari kamar mandinya. Tanpa pikir panjang, Ia membuka pintu kamar mandi itu yang ternyata tidak terkunci dan mendapati Siti dan sang mama di dalamnya. Siti jatuh terduduk di depan cermin toilet kamar mandi mewah itu. Dirinya mengosokkan kedua tangannya ke tubuhnya yang terdapat luka bekas gigitan yang kini mulai membiru,
"Menikahlah denganku," ucap Rayhan mengulangi permintaannya, sambil menatap Siti lembut. Siti membisu. Lidahnya kembali kelu dan tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Ia terpaku pada suara Rayhan yang begitu lembut menyapa telinganya. Ingin ia memberi jawaban saat ini juga, akan tetapi rasa malu lebih menguasai dirinya. Ia hanya mampu menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa pun. Rayhan tersenyum tipis. Melihat rona merah di wajah Siti, dirinya maklum, mungkin ia juga terlalu dini mengungkapkan keinginan yang sudah begitu lama ia tahan. Kejadian hari ini, juga menjadi salah satu alasan mengapa dirinya begitu ingin segera menikahi Siti. Ponselnya berdering, dari Yuda. "Halo." *Bos, Saya sekarang dalam perjalanan menjemput orang tua Nona. "Oke. Hati-hati. Laporanmu aku tunggu di ruang kerjaku nanti." *Siap, Bos. Rayhan kembali mengantongi ponselnya, dan kini hendak beranjak keluar dari kamarnya.
Siti mulai mengemasi semua pakaiannya ke dalam travel bag miliknya. Sudah satu minggu ini dirinya menginap di rumah keluarga Ardan dan selama seminggu itu juga Rayhan tidur dan beristirahat di ruang yang sama dengan Siti. Rayhan menjadi pria siaga yang selalu membantu Siti selama masa penyembuhan luka di tangan dan kakinya. Mama Ray sendiri sebenarnya ingin agar Siti tetap menginap sampai lukanya benar-benar sembuh, namun Siti yang merasa sungkan karena sudah begitu banyak merepotkan keluarga calon suaminya itu bersikeras untuk pulang ke rumah orangtuanya. Rayhan tidak berani memaksakan kehendaknya yang tidak jauh berbeda dengan sang mama. Dirinya yang sudah mendapat lampu hijau dari kedua orangtua Siti, saat ini sedang berusaha mengambil hati Siti, agar gadis itu bersedia untuk segera meresmikan hubungan mereka. "Sudah selesai berkemasnya?" tanya Rayhan berjalan masuk ke dalam kamarnya yang tidak dikunci. Ia melihat Siti sedang duduk di pinggir kasurnya. Pria
Siti terdiam mendengar ucapan Rayhan. Pria ini memang benar-benar tidak mau menyerah. Tatapan Rayhan tidak juga beralih dari Siti. Ia dengan setia menanti jawaban Siti. Demi apapun. Rayhan tidak akan menyerah. Ia sudah mengantongi ijin dari kedua orangtua Siti. Yang harus ia taklukkan tinggal Siti. Rayhan akhirnya membuang mukanya ke jalan di depannya, karena Siti tak kunjung menjawab pertanyaannya. Ia kemudian menjalankan kembali mobilnya. Pikirannya melayang pada sosok Arken dan bukan Arya. Ia jelas dapat melihat Siti sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Arya. Tapi Arken, Rayhan sedikit menaruh curiga, jika gadis itu tidaklah bertepuk sebelah tangan. Bahwa Arken pun memiliki perasaan yang sama seperti yang Siti rasakan. Cengkraman tangan Rayhan pada kemudi menguat dan itu tidak luput dari Siti. Siti sebenarnya bimbang, apakah benar dirinya belum bisa menerima Rayhan. Ia menerawang hingga benaknya kini terisi dengan sosok Arken. Arken yang sam
Rayhan bergegas masuk ke dalam mobilnya, menghidupkan mesin, berjalan meninggalkan rumah Siti. Panggilan dari Yuda, membuat dirinya buru-buru berpamitan dengan Siti. Soal permintaan Siti untuk tidak menemui gadis itu sementara waktu, dirinya tidak menjanjikan apa-apa. Lihat saja nanti, ujarnya pada Siti yang berujung dengan pukulan keras Siti yang mendarat sukses di pundaknya. Mengingat raut wajah Siti yang merajuk karena dirinya tidak menjawab permintaan gadis itu, membuat Rayhan tersenyum-senyum sendiri. Ia jelas tidak mau mengabulkan permintaan Siti namun tidak juga menyetujuinya. Mobil hitamnya mulai memasuki basement. Berjalan cepat meninggalkan mobilnya, seakan ada tamu yang sangat penting sedang menanti di ruangannya. Rayhan berjalan keluar lift khusus untuknya, ketika sapaan pria yang baru saja memenuhi benaknya, terdengar jelas di telinganya. "Ray!" Arken memanggil Rayhan yang terlihat olehnya ketika ia hendak keluar dari lif
Luka di tangan dan kedua kaki Siti mulai berangsur membaik. Kini gadis itu sudah bisa makan dan mandi sendiri tanpa bantuan orang lain. Berjalanpun sudah tidak lagi tertatih. Hanya saja ia tidak diperbolehkan untuk membawa barang-barang yang terlalu berat, takutya luka yang sudah mulai menutup dan mulai terbentuk lapisan kulit baru, akan terbuka lagi. Siti melangkah masuk ke dapur hendak menghampiri emak. "Mak, masih ada persediaan pisang mentah untuk di goreng atau dibuat kolak? Siti sedang ingin makan kolak, Mak." "Coba lihat di luar dekat balai-balai tempat bapakmu tidur siang. Kelihatannya emak masih menyimpan dua tandan pisang raja," sahut emak yang sedang sibuk memotong sayuran untuk makan siang mereka bertiga nanti. Siti melangkah mengikuti arahan emak dan berhasil menemukan yang ia cari. "Sudah, biar emak yang masak. Lu duduk aja di sana." Emak melarang Siti ikut repot di dapur. Ia tahu anak gadisnya ini sedang dalam masa
"Bagaimana?" tanya seseorang di belakang Asih. Asih menggigit bibir bawahnya. Ia takut atasannya itu akan memarahinya begitu tahu jika permintaannya agar Siti kembali bekerja di gerai yang baru saja berpindah tangan ke pemilik baru, ditolak mentah-mentah. "Anu, Pak,...mmm, it-tuu, Siti.... ti-dak mau," Asih terbata-bata menjawab pertanyaan pria itu. Bambang, bagian personalia MCC seketika langsung membanting berkas yang ada di tangannya. Ia tidak tahu bagaimana nanti menyampaikan berita ini ke bos barunya. "Apa alasannya?" "Katanya, Siti sedang mempersiapkan toko roti miliknya sendiri.." "Toko roti miliknya sendiri? Hahahaha... yang benar saja kamu. Modal darimana dia buka toko roti sendiri? Dia kira modal sejuta bisa menyaingi MCC? Terlalu banyak nonton sinetron anak itu," ucap Bambang dengan nada meremehkan. Asih menghela na
Rayhan menatap tajam Arken. Sebenarnya dia ini patah hati atau layu sebelum berkembang, tanya Rayhan dalam hatinya. Ia melihat Arken yang malas-malasan. "Ada apa sih? Kau buat aku penasaran tingkat dewa." Rayhan duduk di kursi tepat di depan Arken. Ia hanya mendengar Arken yang berulang kali menghela nafas, seakan dirinya sudah tidak punya alasan untuk hidup. Lama Rayhan menunggu Arken membuka mulutnya, dan ini adalah kesekian kalinya Rayhan melirik jam tangannya. Sepuluh menit menunggu adalah rekor bagi Rayhan menunggu jawaban seseorang, dan ia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Kau masih berniat untuk merenovasi gerai kuemu atau tidak? Jika tidak, aku masih ada urusan lain," ujar Rayhan beranjak berdiri dari duduknya. Ia tidak suka berbelit-belit. Iya ayo, tapi jika tidak katakan dengan cepat. Urusannya tidak hanya di sini saja. Biasanya, hal renovasi seperti ini bukan pekerjaannya, ia bisa saja mengutus karyawannya untuk melihat letak ruang gerai
Arken melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Rayhan. Cctv. Arken mengangguk. "Akan kusuruh seseorang untuk memberikan rekamannya." "Tidak usah," tolak Rayhan cepat. "Biar Yuda saja yang akan memeriksa kamera itu. Tidak perlu merepotkan karyawanmu." Rayhan tidak ingin ada yang tahu jika dirinya sedang melakukan penyelidikan. "Terserah kau saja," ucap Arken kembali berkonsentrasi pada lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Rayhan melangkah keluar menanti kedatangan Yuda. Ia berjalan ke gerai, menatap ke sekelilingnya. Sesaat dirinya terbawa suasana, membayangkan jika Siti sedang berdiri di belakang meja kasir, lalu dirinya masuk mencari beberapa roti isi untuk mengisi perutnya. Ia membayangkan saat pertama kali masuk ke gerai ini. Waktu itu, ia tidak sadar jika gadis yang menyapanya adalah gadis yang sama, yang beberapa hari sebelumnya ia tarik paksa ke dalam dekapannya dan ia akui sebagai calon istrinya di hadapan rekan kerj
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b