Nila ternyata wanita yang cukup ramah. Ia juga tak keberatan untuk tidur di ruang tamu karena kunci kamar tamu dibawa Tante Dinar.
Mama sudah pergi ke sekolah pagi-pagi sekali untuk mengurus surat pindah dan belum kembali hingga jam makan siang.
Aku juga sudah membereskan baju dan perlengkapan lainnya untuk tinggal di asrama tersebut.
Kami, maksudnya Mama dan aku, sudah sepakat untuk segera pergi ke asrama itu. Mama bilang bahwa kami tak boleh membuang waktu lebih lama.Aku sendiri tidak tahu mengapa harus terburu-buru. Toh, sampai saat ini, suasananya tetap aman.
Hanya saja ada satu hal yang masih mengganjal. Mengenai Aruni.Jika aku tidak ada di sekitarnya, siapa yang membantunya mengusir sihir-sihir terkutuk itu? Bukannya mengejek. Tapi, orang-orang 'pintar' yang didatangi Tante Dinar dan anaknya, kebanyakan adalah penipu yang ingin mengeruk uang mereka.
"Kau mau permen?" Tanya Kanha sambil mengulurkan sebungkus permen rasa jeruk padaku. Kuterima permen itu dan memakannya. "Terima kasih." Sudah lima belas menit, kami menunggu di halaman depan klenteng. Baik Guru Gan dan gadis-gadis kelas satu, belum nampak batang hidungnya. "Yas, kau pernah merokok?" Tanya Kanha lagi sambil mengulum permennya. "Tidak." "Hmm, sudah kuduga. Aku pernah merokok dan sekarang sedang proses untuk berhenti." Entah kenapa, tiba-tiba aku jadi sedikit penasaran, "Kenapa kau masuk ke tempat ini?" Diluar dugaan, ternyata jawabannya sederhana. "Ayahku alumni dari tempat ini." "Oh, berarti sekolah ini sudah berdiri sejak lama?" "Begitulah. Kakakku juga masuk di akademi untuk cenayang. Di kota suci Atrazal." "Baru pertama kali aku mendengar nama itu."
Kesan pertamaku saat memasuki kamar mayat adalah tempatnya dingin sekali.Guru Gan dan Kanha sama sekali tidak terganggu dan masuk dengan santai sambil sesekali mengintip kantung mayat yang sudah diresleting sampai menutupi ujung rambut. Samar-samar, aku mencium bau darah anyir saat memasuki bagian dalam kamar mayat itu. Ruangan itu nampak sepertu laboratorium. Dimana banyak sekali deretan tabung-tabung kaca bening serta jejeran botol-botol beling gelap dalam jejeran lemari kaca.Seorang perempuan berambut hitam panjang dan berkacamata tebal sedang mencatat sesuatu di bukunya. Perempuan, yang mungkin sebaya dengan Mama, itu duduk di kursi dekat meja komputer. Monitornya menampilkan deretan huruf dan angka yang rapi. "Halo, Sel." Sapa Guru Gan riang."Ada orang yang ingin kuperkenalkan. Ilyas, murid baruku." Perempuan itu mendongak sekilas
"Nah, kita sudah sampai." Kata Guru Gan begitu kami bertiga berada di depan rumah rusun kumuh yang jauh dari jalan besar.Mobil Rin terparkir di muka gang karena jalan masuknya yang sempit."Kalian berdua masuk saja. Dia tinggal di nomor tiga puluh."Kanha melempar botol kopinya ke sebuah tong sampah, "Guru Gan tidak masuk?""Aku akan berjaga di sini." Jawabnya sambil bersedekap.Kulempar pandanganku ke segala arah dan tak yakin bahwa ada sesuatu yang patut diwaspadai di daerah sesepi ini.Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Tapi, tempat ini malah membuktikan hal yang sebaliknya.Lampu jalan yang temaram dan beberapa rumah terbengkalai tidak memiliki sumber penerangan. Rusun yang akan kami datangi pun hanya beberapa unit saja yang memiliki lampu di depan pintunya.Keseluruhan gang ini meneriakkan kesuraman yang membua
Kepalaku pening. Rasanya dunia ini sedang berputar dan tanah yang kupijak melunak seperti bubur, membuat kakiku kehilangan keseimbangan hingga tak mampu berdiri dengan benar.Kanha sepertinya mengatakan sesuatu. Tapi, aku tak mengerti apa yang ia katakan. Dari makhluk itu muncul aroma yang aneh, lalu gumpalan asap kelabu keluar dari punggungnya, membuatku nyaris tak bisa melihatnya. Itu dia! Kelemahannya ada di punggungnya. Jika tempat keluarnya asap bisa dihancurkan, maka parasit itu dapat dikalahkan. "Punggung!" Teriakku pada Kanha. Tapi, anak itu tak mengerti karena terus mengguncang pundakku dengan keras. Mulutnya bergerak-gerak, tak ada kalimat keluar dari sana. "Aack!" Seruku saat asap itu mulai merambat dan mencekik leherku. Sial! Kenapa begini! Oksig
Kanha memakan roti dengan wajah masam, "Guru, aku sudah memakan roti sebanyak lima kali. Tapi, kenapa aku masih belum kenyang?"Yang diajak bicara, hanya tersenyum sambil melihat jalanan di luar jendela, "Bukankah memang makanmu banyak?"Aku mengunyah keripik kentang dengan malas. Kami bertiga sedang menunggu sesuatu terjadi dan duduk meja yang disediakan untuk pengunjung.Mobil yang mengikuti kami mendadak menghilang ketika kami berhenti di supermarket.Rin terlihat bosan menunggu dalam mobil, di halaman parkiran depan."Lima menit lagi, ya? Setelah itu, Guru Gan harus mentraktirku makan daging." Rengek Kanha dengan nada manja."Kalau Ilyas, bagaimana?" Tanya Guru Gan sambil tersenyum ramah kepadaku."Terserah anda saja."Laki-laki itu langsung melompat dari kursi sambil meregangkan badan, "Baiklah kalau Ilyas bilang begitu
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel