Keesokan harinya, aku tak melihat Rebecca lagi. Bahkan sampai saat ini, kabarnya tak pernah sampai di telingaku.
Di lain pihak, rumor mengenai aku yang membuat Rebecca pindah sekolah mengantarkanku pada puncak hierarki di sekolah. Dalam semalam, aku mendadak disegani. Atau mungkin ditakuti.
Yang jelas, hari-hari di sekolah terasa ringan.
Tidak ada lagi yang merundungku.
Tidak ada lagi kejahilan-kejahilan kecil.
Tidak ada lagi yang berani membuat kontak mata denganku.
Apalagi semenjak rapat itu, Bu Nahfi jadi semakin lunak padaku. Bahkan ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah atau terlambat masuk sekolah, ia memberikan banyak kelonggaran.
Hal ini membuat rumor yang beredar semakin parah. Sampai-sampai mereka menyimpulkan bahwa siapapun yang kubenci akan menghilang dari dunia ini. Berkat rumor itu aku juga tak pernah mendapat undangan reuni
"Kejedot lagi?" Tanya Andra ketika melihat lebam di lipatan lenganku. Aku mengangguk dan terus mengerjakan essay. Andra menggeleng lemah, suara decakan lidahnya lolos dari mulutnya. Seragamku di sekolah sudah bukan lengan panjang lagi. Tapi tetap saja Ayah berulah lagi. Saat itu kadang ia pulang dalam keadaan sadar dan memukuliku seperti samsak. "Ayo nanti ke rumahku." Aku mengalihkan pandangan dari buku tugasku ke arah manik mata cokelatnya, "Apa?" "Tugas geografi 'kan dikerjakan secara berkelompok. Di rumahku saja." "Aku saja yang mengerjakan." Seumur-umur aku belum pernah diajak kerja kelompok, ini hal yang baru untukku. Sayangnya waktu itu aku hanya berpikir bahwa ini merepotkan daripada menyenangkan. "Sudahlah ikut saja. Rumahku deket sekolah sini kok. Nanti kubelikan seblak." Perutku berbunyi pelan. Seblak kedengarannya enak. Langsung
Aku merasa sudah melewati koridor yang sama selama belasan kali. Dan di sinilah aku. Di depan pintu kamar sebelumnya.Nafasku terengah-engah meski mataku terus nyalang mencoba jalan lain yang kemungkinannya tetap sama."Sial!" Umpatku. Harusnya aku keluar selagi bisa. Lalu kucium wangi aroma dupa yang kuat dari pintu di seberangku. Ada sesuatu yang magis, menarik diriku untuk mendekatinya. Aku sudah berusaha untuk tidak mendekatinya, maksudku, ini 'kan bukan rumahku.Tujuanku adalah keluar dari tempat sialan ini. Tapi tahu-tahu, aku menemukan diriku di depan pintu dan mendorongnya. Kamar itu gelap. Refleks, tanganku meraba dinding, mencari saklar lalu menekannya. Tempat itu memiliki perabotan dan dan tata letak yang sama dengan kamarku."Astaga!" Satu-satunya perbedaan adalah seorang wanita yang tergantung di langit-langit dengan tal
Lorong koridor di bangunan ini membuatku pusing. Berbeda dengan rumah yang sebelumnya, tempat ini lebih kecil dan tidak banyak ruangan di sini.Anggota sekte itu tidak mengejarku atau lebih tepatnya, belum. Karena aku tak mendengar suara apapun dari belakangku."Sebelah.. kiri." Suara parau Gilang nyaris mengagetkanku. Ia masih berada di atas punggungku. Kedua tangannya terkulai lemah di pundakku. Sama sekali tak kusangka akan ada hal semacam ini dalam hubungan kami."Kamu sudah sadar?" tanyaku setengah berteriak."Kiri." Katanya sebelum kesadarannya menghilang.Aku mengangguk sebelum berlari ke arah yang ditunjuk Gilang. Tapi, ini jalan buntu.Ada satu pintu di sebelah kiri dan tidak terkunci ketika aku membukanya. Sayup-sayup terdengar suara berisik dari belakang.Celaka, sepertinya mereka sudah dekat. Tak ada pilihan lain dan aku terpaksa masuk
Aku merasa seperti seorang pendekar. Sialan. Bagaimana bisa aku terjebak dalam hal seperti ini? Kugendong Gilang di belakang punggungku. Tubuhnya lunglai jadi aku berusaha untuk memeganginya dengan satu tangan. Sementara tanganku yang lain memegang pedang. Aku tidak tahu teknik menggunakannya dengan benar. Tapi asalkan dapat melukai mereka, kurasa itu lebih dari cukup. Semua ini demi bertahan hidup, itu kilahku saat ini. Sekaligus untuk memompa keberanian kalau-kalau mereka menyerangku. "Oke." kataku sambil membuka pintu dengan kaki kananku setelah itu aku mulai berlari menuju pintu keluar. "Kak! Itu dia orangnya!" Seeseorang bertudung hitam menunjukku. Dia sendirian saat di persimpangan. Aku harus membungkamnya sebelum teman-temannya datang. Kuayunkan pedang itu ke arah wajahnya, tapi dia cukup cepat menghindar dan berla
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aku bahkan tidak memelankan laju kendaraan di jalanan berbatu itu. Tujuanku saat ini adalah Penginapan Merinda. Bagaimanapun, aku tak tahu letak rumah sakit atau klinik terdekat. Masih kupikirkan cara agar mereka tidak menolak saat ada seorang laki-laki melambaikan tangan di tengah jalan. Mataku terbelalak tapi kakiku bergerak lebih cepat karena mobil berhenti tepat beberapa senti di depannya. "Tono? Tono, kan?" tanyaku saat menyadari pemilik wajah familiar itu. Lelaki itu mengerutkan alisnya saat mengajakku bicara dari jendela mobil. "Waduh, Mbak Delilah ini kemana saja, tho?' "Maaf. Tapi yang lebih penting, antarkan aku ke rumah sakit. Gilang sekarat." Kataku sambil menunjuk kursi di sebelahku. Begitu Tono melihat si penumpang, matanya terbelalak. "EEEE, LHA DALAH??! MAS GILANG KENOPO, MBAK?" "Nanti saja ceritanya. Ayo k
"Sudah bangun?"Wajah Rani yang berlumuran darah adalah hal yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata. Harus kuakui, kalau itu bukan pemandangan yang menyenangkan.Tapi, untungnya aku tahu dengan jelas bahwa ini hanya mimpi.Kami berdua ada di kamar yang aku pinjam di rumahnya. Aku terduduk di tepi ranjang, sementara ia berdiri membelakangi jendela dan menatapku dengan senyum yang samar."Tenang saja, aku takkan datang lagi. Bagaimanapun aku sudah kalah darimu.""Baguslah. Katakan apa yang kau inginkan. Aku sedang sibuk."Wanita itu mengedikkan bahunya, "Kuberi kau sebuah peringatan sebagai hadiah. Kuakui tekadmu memang mengerikan. Hanya saja, kau pikir memangnya kami akan semudah itu untuk melepaskanmu?"Dahiku berkerut saat melihatnya menyeringai. Sejujurnya, aku tak merasa dimudahkan, sih."Kau sempat menanyakan padaku be
Dinar memegangi bahuku yang gemetar setelah pemeriksaan kandungan. Aku sudah diperbolehkan pulang dan urusan administrasi sudah terselesaikan. Namun alih-alih menjenguk Gilang, aku terduduk di lobby sambil memegangi foto hasil USG. Kehamilanku sudah berjalan selama delapan minggu dan sama sekali tidak kusadari. Ukuran janinnya sepanjang tiga senti. Ibu jariku bahkan lebih besar darinya. "Jangan diliatin terus. Ntar bisa bolong tuh fotonya." Kata Dinar sambil duduk di sebelah kursiku. Ia nampak lebih santai dari sebelumnya. "Njir. Gue enggak siap." "Lah? Terus mau lo bunuh? Darah daging sendiri? Beneran?" Aku bisa mendengar nada menyebalkan dari setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Entah kenapa kata 'bunuh' terasa amat kasar. Aku cuma ingin ia menghilang. Ah, sial! Aku memang manusia sampah. "Gue tanya Gi
Segalanya terasa berjalan lambat. Aku bisa melihat Dinar berusaha mengatakan sesuatu padaku.Ia sedang berada di kursi di sebelah kiriku, tapi suaranya terdengar sangat jauh.Sementara itu orang-orang nampak berjalan mondar-mandir atau mungkin, semacamnya. Entah mana yang benar, yang jelas mereka sedang bergerak.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah kuketahui mengenai kematian Gilang, rasanya ada sebuah dengungan yang sangat keras, menulikan kedua telingaku.Di saat bersamaan, aku tak bisa merasakan gravitasi. Tubuhku terasa ringan dan melayang. Melayang jauh hingga rasanya kepalaku mampu menyentuh langit-langit jika aku sedikit mendongak.Dinar sepertinya menarik pundakku lalu menyuruh untuk duduk di kursi lobi sambil terus mengatakan sesuatu yang tidak kupahami.Suaranya memang terdengar jauh tapi sedikit demi sedikit aku bisa mendengarn
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel