"Who? Who is that?" Suara Donna menggema ke seluruh ruangan. Mata Donna ditutup dengan menggunakan sehelai kain hitam, tangannya di ikat di belakang kursi dan kakinya diikat di depan.
Richard tidak meneruskan langkahnya , melainkan memilih untuk duduk di kursi yang terletak tepat di tengah ruangan dengan sebuah meja di depannya, sedangkan aku dan Ivan melangkah maju mendekati Donna.
"Daddy? Is that you?" tanya gadis itu lagi.
Hanya suara pantulan sepatu pantofel milik ku dan Ivan yang terdengar, tanpa ada sepatah kata yang keluar dari bibir Ivan setelah mendengar pertanyaan Donna.
"Satya? Yeah, you must be satya, right?! C'mon... Let me go.." Donna masih menebak-nebak siapa yang datang. Aku membiarkan Richard mengamati dari jauh, mengikuti setiap gerakan dan pembicaraan melalui laptop yang sudah disiapkan Erick di atas meja di depannya, yang tersambung langsung dengan cctv di ruangan itu.
Hening. Tidak ada suara
"Hello, my little sist?" sapa Richard ketika tatapannya bersirobok dengan Donna. Donna ternganga. Wajahnya seketika pucat. Kehadiran Richard sungguh tidak ada dalam benaknya, terpikirpun tidak. Ia mengamati kakaknya itu dengan seksama. Dua tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu, hanya lewat pesan singkat, terkadang lewat telpon meski hanya beberapa menit. "Richard??" gumam Donna pelan, sambil terus menatap tak percaya akan kehadiran saudaranya. "How... How.... Wha... What brings you here?" tanya gadis itu gugup. Donna memandang Richard tidak berkedip. Kakaknya ini, sekian lama tidak bertemu, tetap saja membuatnya merasa tidak berdaya, merasa tidak dapat menyembunyikan apapun darinya. Selalu saja bisa menebak jalan pikirannya. Sekarang, pria dingin ini berdiri di depannya, menatapnya dalam diam, yang itupun sudah cukup membuat dirinya mati kutu. "Well, here i am..." jawab Richard sambil merentangkan kedua tangannya masih dala
Ruangan interogasi itu kian dingin seiring malam yang kian larut. Donna masih bungkam. Richard meninggalkan ruangan itu dengan wajah yang penuh pertanyaan. Siapa yang sudah berani membuat adiknya melakukan hal memalukan dan berbahaya seperti ini. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pertikaian atau persengketaan antara dua kelompok atau indvidu, akan selalu memakan korban pada akhirnya. Bila seseorang terjebak di antaranya, terlebih lagi hanya karena hasutan yang ia sendiri tidak mengetahui kejadian sebenarnya, sangat besar kemungkinannya akan menjadi kambing hitam dalam pertikaian itu.Richard tidak ingin adiknya terjebak dalam masalah yang tidak ia ketahui. Hanya karena hasutan orang yang tidak di kenal, ia melakukan hal gila yang akan membahayakan dirinya.Aku dan Ivan berjalan menghampiri Richard. Kami bertiga berjalan meninggalkan ruang interogasi. Ketika sampai di depan ruang kerjaku, ternyata Mr. Smith sudah duduk di kursi ruang tamu."How is
Donor mata. Dimana aku bisa menemukan seseorang yang bersedia untuk mendonorkan matanya secara sukarela? Pikiranku benar-benar buntu. Untuk saat ini, aku hanya mendengarkan Harun menyampaikan hasil pemeriksaannya selama beberapa hari belakang termasuk pemeriksaan yang ia lakukan tadi sore. Ia mengakhiri penjelasannya dan mengingatkan agar aku segera mengambil keputusan terkait kesembuhan mata Hira. Ia melangkah pergi meninggalkan Vila kembali ke rumah sakit tempatnya bertugas, karena akan ada operasi jam 2 dinihari nanti. Aku kembali masuk ke ruang kerjaku dan mendapati kedua pria terlantar itu sudah tidak bersuara, bergelimpangan dengan sukses di sofa coklat tanpa selimut menutupi tubuh mereka. Mereka terlelap tanpa mengganti terlebih dulu jas yang masih melekat di tubuh mereka. Aku mengguncangkan tubuh mereka, membangunkan agar mereka beristirahat di kamar yang sudah disiapkan oleh pak Dar. Dengan mata yang setengah terbuka, Ivan dan Richard bangun dan
"What do you think?" Ivan justru balik bertanya, beralih menatap Richard yang pandangannya masih terfokus pada Hira. Aku mengamati dari jauh kedua sahabatku yang tengah berbisik-bisik pelan. Aku mencoba membaca gerakan bibir keduanya dan arah pandangan mereka berdua. Mengetahui jawabannya membuatku mencoba berkonsentrasi pada menu sarapan pagi ini, yang hanya sebuah roti dengan berbagai pilihan isi yang sudah disiapkan Madam Catty. Aku memilih beberapa lembar daging asap lengkap dengan selembar keju dan sedikit saus sambal dan mayonaise. Ya, junk food. Pagi itu aku memilih memakan makanan orang barat, karena aku ingin melampiaskan kekesalanku pada Richard. Lebih tepatnya, kekesalan tak beralasan. Ahh, aku jadi emosi sendiri. Entahlah...aku ingin segera meninggalkan meja makan ini, dan berlari pagi bersama anak-anak buahku di lapangan belakang vila. Membuang amarah yang aku sendiri tidak tahu mengapa muncul dengan tiba-tiba. Aku beranjak
Mr. Smith melangkah cepat mendahuluiku, bergegas secepatnya agar bisa segera bertemu dengan putri kesayangannya, mungkin juga ia akan berusaha untuk membujuk anak perempuan satu-satunya itu agar segera memberitahukan siapa yang menyuruhnya datang ke Indonesai dan melibatkan diri dalam urusan yang sama sekali tidak dipahami olehnya. Richard masih berada di dekatku, tidak berniat menyusul sang ayah,merayu Donna. Aku duduk sebentar di ruang tamu. Erick berjalan di sampingku. "Kau katakan pada Beni, untuk memeriksa semua persenjataan di gudang. Mana yang masih bisa dipakai, mana yang sudah harus diganti. Lakukan pencatatan siapa saja yang memegang senjata. Jangan lupa rompi anti peluru. Kita harus mempersiapkan skenario terburuk." "Aku rasa akan ada sosok baru dalam kasus ini..maksudku, teka-teki kita akan mulai terjawab, meski mungkin agak sedikit lama.. Aissh, padahal aku paling benci bila harus menunggu," gumamku pada Erick. Pria
Mr. Smith terdiam mendengar perkataanku barusan. Ia sejenak tampak bingung dan linglung. Sebagai seorang yang tahu hukum, ia paham bahwa putrinya memang layak untuk mendapatkan hukuman tapi bagaimanapun dirinya adalah seorang ayah. Ia membesarkan Donna sendiri sepeninggal istri tercintanya, dan kini melihat kenyataan bahwa putri kecilnya telah melakukan kesalahan dan sekarang sedang dituntut untuk menerima pertanggung-jawaban meski tuntutannya tidak melalui pengadilan negara, tetap saja, batinnya meronta. Ia tidak sampai hati melihat anak gadisnya itu akan di bawa pergi jauh dari tempat tinggalnya, tanpa seorang teman. Mr. Smith berjalan mendekati putra sulungnya. Memintanya merayuku agar aku membatalkan semua rencana dan skenario yang sudah aku buat. Namun, Richard diam bergeming. Di dalam kamus Richard, siapapun itu, meski keluarganya sekalipun, bila terbukti bersalah maka dirinya tidak akan melarang siapapun untuk memberi hukuman pada anggota keluarganya ters
Dokter Harun mulai memasang infus di tangan kanan Donna, lalu ia menyuntikkan obat pereda nyeri sekaligus obat tidur sehingga dirinya bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. "Apakah aku boleh membawanya ke rumah sakit?" tanya Harun sambil mengecek tensi darah gadis itu. "Tidak bisakah dirawat di sini saja?" tanyaku. "Kalau di sini, aku tidak bisa memeriksanya dengan maksimal, peralatan yang kubawa sangat terbatas, apalagi tampaknya aku harus mengirim sampel darah dan urin nona ini ke laboratorium." "Hasil pemeriksaan awalmu apa?" "Aku belum begitu yakin hanya saja dugaan awalku, nona ini keracunan obat. Tapi, untuk lebih pastinya, aku harus membawa sampel darah dan urin ke laboratorium." Aku belum memberikan jawaban atas permintaan Harun. Yang jelas, pengamanan akan menjadi lebih ketat mengingat Donna adalah saksi kunci yang memegang informasi penting yang aku perlukan. AKu harus berpik
Aku membatalkan niatan untuk merehatkan tubuhku setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Richard. Donna tidak sadarkan diri dan saat ini sedang berada dalam masa kritis. Aku langsung menghubungi Harun meminta penjelasan singkat mengenai kondisi Donna. "Betul, Sat. Tampaknya Nona ini sudah mengkonsumsi obat dalam dosis tinggi. Aku ingin kau mencari tahu seperti apa obat yang akhir-akhir ini dikonsumsinya. Secepatnya kau berikan padaku sehingga aku bisa mengambil tindakan pengobatan yang tepat untuknya." Aku kembali menghubungi Richard. "Has Beni reached there?" tanyaku ketika Richard mengangkat telponku. "Yes. Wanna talk with him?" "Yes, Let him talk to me. Its urgent." "Ok." "Halo, Sat..." Kini suara Richard sudah berganti dengan Beni. "Ambil alih penjagaan dan akan aku tambah personel di sini. Biarkan Richard dan Mr. Smith pulang ke kastil, aku akan menunggu mereka di sana. Begitu
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag