Siang itu angin bertiup cukup kencang dan membawa serta debu juga butiran pasir kering. Tanah di sekitar tampak tandus tanpa satu pun tumbuhan hijau yang tumbuh mewarnai. Sementara aroma berbau busuk masih tercium menyengat indra penciuman meski pertempuran di tempat ini sudah lama usai. Kira-kira seperti inilah pemandangan menyedihkan yang menghiasi seluruh kontinen timur Beta Urora. Tidak ada manusia, tidak ada hewan yang berkeliaran, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Semenjak pertempuran berakhir dengan kemenangan telak Putri Kematian, mayat-mayat hidup tampak menguasai Pollaris Imperial yang merupakan pemerintah pusat kontinen timur. Sang Putri Kematian menjadi penghuni baru atas bangunan pencakar langit yang sebelumnya menjadi kantor para dewan dan senat. Sudah hampir sebulan wanita berhati dingin itu berdiam di sana tanpa melakukan pergerakan apa-apa.
“Putri Endley.” Sesosok mayat hidup berpenampilan layaknya petani miskin dengan pakaian compang-camping dan syal merah kumuh melingkar di leher memanggil dari luar ruangan kantor yang kini beralih fungsi menjadi kamar istirahat pribadi Alvi Veenessa Endley. Sebenarnya alasan utamanya adalah karena hanya di ruangan ini saja yang memiliki sofa empuk, kamar mandi dan pemandangan langsung ke seluruh Pollaris Imperial.
“Kirra Anggriawan, ya?” Alvi melirik singkat ke arah pintu sebelum kembali menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan seluruh Pollaris Imperial sama matinya dengan sorot mata Alvi yang tanpa binar kehidupan.
“Alice Nebula baru saja mengumumkan uang hadiah terbaru atas kepala Anda. Mulai sekarang akan ada lebih banyak pemburu hadiah yang datang. Anda harus lebih hati-hati,” lapor Kirra Anggriawan. Satu-satunya mayat hidup yang bangkit dengan membawa serta jiwa dan kesadaran.
Alvi hanya memberi respons berupa sebuah senyum cemooh. “Datanglah. Aku tidak pernah menolak jika ada yang datang mengantar nyawa. Aku akan mempercepat pertemuan mereka dengan kematian,” komentarnya sambil berpindah tempat dan duduk bersandar di sofa.
“Ada juga kabar mengenai pencarian North Compass oleh para pemburu.” Kirra melanjutkan laporan.
Senyum Alvi berganti menjadi dengusan dingin. Ekspresinya semakin menunjukkan sikap hina dan merendahkan. “Pusaka primitif itu tidak mudah dicari. Aku menghabiskan setahun penuh untuk mencarinya. Tapi hasilnya nihil.”
“Ada yang bilang kontinen tenggara mungkin memiliki petunjuk,” balas Kirra melaporkan apa yang ia dengar selama menyusup ke kontinen barat.
“Tenggara?” Alvi mengernyit sambil berpikir selama beberapa waktu. Di antara semua kemungkinan lokasi penyimpanan North Compass, kontinen tenggara merupakan satu-satunya wilayah yang tidak masuk ke dalam daftar pencarian. Kontinen kekuasaan Kerajaan Ishlindisz itu seolah bukan tempat yang baik untuk menyimpan sebuah pusaka primitif.
“Kirra, bawa semua mayat hidup ke Jalur Kematian baru. Target kita berikutnya adalah perbatasan tiga kontinen,” perintah Alvi.
“Putri Endley, apakah Anda akan ke tenggara?” Kirra bertanya penasaran.
“Sedang kupertimbangkan,” jawab Alvi seraya bangkit berdiri. Jika benar kontinen tenggara menyimpan petunjuk mengenai North Compass, ia tentu saja tidak akan melepaskan kesempatan itu. Tapi ia masih bimbang antara memprioritaskan kebinasaan kontinen barat atau langsung pergi ke tenggara. Karena saat ini ancaman terbesarnya adalah Alice Nebula.
“Aku keluar dulu cari udara. Urusan mayat hidup, aku serahkan padamu.” Alvi berlalu meninggalkan Kirra Anggriawan yang membungkuk patuh.
Matahari bersinar semakin terik dan angin kering terus-terusan berembus kencang menjentik lonceng mini berbentuk bola yang terjurai di pinggang Alvi. Rumput liar yang telah mengering layu di pinggir trotoar dekat tiang lampu tampak terombang-ambing di tengah serbuan angin yang semakin beringas. Meski demikian, akarnya tetap memilih bertahan di dalam tanah, seakan masih berusaha keras untuk menggenggam erat harapan untuk bertahan hidup di tanah yang telah mati ini.
Alvi berbelok dari blok bangunan perkantoran menuju kompleks sekolah. Sesungguhnya keluar untuk mencari udara hanya alasan belaka. Tujuan utamanya adalah lokasi yang ditunjukkan dalam surat misterius. Alvi sendiri tidak menyadari sebuah surat terselip di saku pakaiannya hingga sehari setelah ia berhasil membinasakan total kontinen timur dan menguasai Pollaris Imperial. Kala itu ia hendak mengganti pakaiannya ke sweter santai berwarna krem muda ketika sebuah kertas asing terjatuh.
Menarik juga di tengah pertempuran ada seseorang yang secara diam-diam berhasil mendekat dan menyelipkan surat ini tanpa ia sadari. Alvi cukup tertarik dengan orang berkemampuan tinggi itu, tapi mengenai isi dan tujuan pengirim, ia sama sekali tidak menaruh minat. Setidaknya ia telah mengabaikan surat itu selama hampir sebulan hingga beberapa menit lalu ketika mendengar laporan dari Kirra Anggriawan.
Kontinen tenggara. Kerajaan Ishlindisz. Entah kebetulan atau disengaja, tanda nama pada surat misterius itu juga tertulis Ishlindisz. Saat itulah Alvi akhirnya mau serius mempertimbangkan surat yang sebetulnya hanya berisi alamat sebuah tempat yang masih masuk dalam wilayah Pollaris Imperial. Ruang kelas di sebuah sekolah putri berasrama. Papan nama di pagar depan tertulis Sekolah Tinggi Saint Hela.
Alvi mendorong pelan pintu pagar yang memang tak terkunci. Derit nyaring akibat engsel berkarat bergema memecahkan kesunyian halaman bangunan. Mayat hidup yang berada di sekitar terpancing seketika. Mereka menggeram pelan dan panjang sebelum mengurungkan niat untuk menghampiri. Makhluk tanpa jiwa itu seolah tahu yang menimbulkan suara berderit barusan adalah sang Putri Kematian. Pencipta mereka.
Kelas 5D yang ada di lantai tiga adalah tempat pertemuan dengan si pengirim surat. Di dalam sana terdapat kursi dan meja yang masih tertata rapi. Papan tulis juga telah dihapus bersih hingga hanya menyisakan tulisan tanggal di pojok kiri atas. Tanggal 15 bulan kedua belas tahun XX87.
Hari itu adalah hari terakhir kegiatan belajar mengajar sebelum liburan musim dingin tiba. Liburan yang seharusnya diisi oleh hal-hal indah dan wisata menyenangkan itu justru berubah menjadi mimpi buruk yang menyajikan pemandangan akan kebinasaan total Pollaris Imperial dan seluruh kontinen timur.
“Akhir kau datang juga. Tak sia-sia kami sabar menunggumu di sini.” Suara tegas milik seorang wanita terdengar dari belakang Alvi.
“Kau yang mengirim surat ini?” Alvi mengangkat kertas surat yang dimaksud sambil melirik ke belakang. Meski di saat itu ia terang-terangan memberi punggungnya pada dua sosok asing, namun ia tidak terlihat lengah sedikit pun. Tatapan matanya tetap tajam dan penuh sikap siap menyerang.
“Aku, Kim Hana, pengawal pribadi Tuan Putri Vania En Laluna Ishlindisz sekaligus orang yang mengantar surat itu pada Anda, Putri Kematian.” Wanita yang menyapa tadi memperkenalkan diri. Pedang dengan gagang berlapis emas dan sarung berukiran mewah yang terselip di pinggang menjadi bukti kuat bahwa dia adalah seorang pengawal elite yang secara khusus dilatih untuk menjadi pelindung anggota keluarga Kerajaan Ishlindisz.
Hanya saja Alvi tidak tahu setinggi apa status anggota Kerajaan yang hendak menemuinya itu.
Alvi kemudian berbalik hingga mereka bisa saling bertatapan dengan leluasa. “Unik juga cara kalian mengantar surat.” Alvi mengomentari sementara matanya bergeser pada sosok kedua saat mengucapkan bagian ‘kalian’.
“Vania En Laluna Ishlindisz. Putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz.” Sosok kedua melepas tudung yang menutupi kepala hingga memperlihatkan wajah jelitanya.
Wanita keturunan darah biru memanglah berbeda. Rambut hitam panjang yang begitu terawat tergerai indah sedangkan kulit putih mulus yang seperti tidak pernah terpapar sinar matahari tampak berkilau. Usianya mungkin baru memasuki awal dua puluh tahun, tapi setiap detail dalam dirinya begitu sempurna dan bergelimpangan cahaya. Terutama paras yang teramat cantik serta sepasang iris mata berwarna hijau yang nyaris menghipnotis Alvi.
“Seorang Tuan Putri dan pengawal pribadinya. Ada keperluan apa sampai rela menemui seorang Putri Kematian sepertiku?” Alvi bertanya.
“Aku ingin memintamu memusnahkan seluruh kontinen tenggara. Termasuk rakyat Kerajaan Ishlindisz.” Kalimat Vania meluncur begitu cepat dan tiba-tiba hingga Alvi nyaris tidak memercayai apa yang barusan ia dengar.
Alvi memberi respons kilat berupa kerutan di dahi. Tatapan matanya berubah menjadi menyelidik dan bertanya-tanya tak mengerti. Ia tidak pernah membayangkan untuk mendengar sesuatu yang lebih gila dari ambisinya sendiri.
Alvi bergantian mencermati Vania En Laluna Ishlindisz dan Kim Hana. Aneh sekali! Di saat seluruh Beta Urora berusaha mati-matian mempertahankan wilayah masing-masing, seseorang justru datang kepadanya dan meminta bantuan membinasakan seluruh kontinen tenggara. Terlebih lagi, yang datang adalah putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz! “Musnahkan semua yang ada di kontinen tenggara dan sebagai gantinya, aku akan menjadi senjata kematianmu.” Vania En Laluna Ishlindisz menunjukkan sebuah hologram senjata berjenis sabit besar ala dewa kematian di atas telapak tangannya. Seluruh permukaan senjata dilapisi material hitam mengilap termasuk mata sabit. Retakan halus yang hanya sebatas ornamen tampak memendarkan cahaya semerah bara api di sekujur gagang senjata, menambah kesan ganas dan mematikan.Vania tampak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Namun sosok di depannya bukanlah seseorang yang bisa percaya dengan mudah. Apalagi segalanya terlihat sangat tidak masuk akal dan penuh tanda tanya.
Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebag
Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. “Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya
Sinar matahari yang menyilaukan mata disertai kicauan burung-burung yang merdu di pagi hari membuat Claudia bergelut manja di bawah balutan selimut tebal yang hangat. Semula ia pikir dirinya hanya mengalami mimpi buruk yang amat panjang dan melelahkan. Lalu ketika fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, maka semua akan kembali seperti normal. Kerajaan Ishlindisz yang damai, penduduk yang penuh semangat memulai aktivitas, dan tentu saja di meja makan sudah ada ayah serta kakak yang menantinya untuk sarapan bersama.Gambaran-gambaran indah akan kehidupan tenteram itu seketika buyar sewaktu bunyi dentingan besi yang ditempa berulang kali menusuk telinga Claudia. Udara hangat pelan-pelan berubah menjadi hawa panas yang menciptakan rasa gerah. Claudia En Lacia Ishlindisz terpaksa membuka mata yang masih mengantuk dan berusaha mencari sumber suara yang sangat mengganggu tidurnya itu. Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mata dengan iris berwarna hijau miliknya langsun
Claudia mencermati secara saksama setiap ruangan hingga sudut koridor yang ia lewati. Setelah menjelajah singkat ke setiap kamar di lantai dua, ia pun menuruni tangga. Mata dengan iris hijau indahnya sempat melirik sepintas ke arah bengkel sebelum akhirnya pergi menuju dapur di bagian paling belakang. Sesuai ucapan Vice, penginapan ini benar-benar kosong tanpa satu orang pun tak terkecuali karyawan!“Sudah berapa lama tempat ini tidak mendapat tamu?” Claudia bertanya-tanya dalam hati. Telunjuknya mengusap kuat permukaan meja kayu untuk mengukur ketebalan debu.“Kenapa dia tidak pergi saja dari tempat ini dan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan?” Anak perempuan itu terus menerka-nerka sambil mulai mencari sosok Vice Kyle yang sedari tadi tidak terlihat.Aneh dan juga sulit dijelaska
Alvi Veenessa Endley mengamati sekeliling dengan rasa penasaran yang berhasil disamarkan oleh mimik kaku di wajah. “Ishlindisz, inikah yang mau kau tunjukkan setelah membawaku berputar jauh ke arah barat daya kontinen tenggara?” tanyanya pada Vania En Laluna Ishlindisz.Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan selain bangunan-bangunan kosong dengan seluruh kaca jendela pecah total di mana serpihannya tampak berserakan di jalanan. Debu tebal juga menyamarkan warna aspal jalan menjadi coklat pasir. Lalu ada banyak sampah kertas yang entah sudah berapa tahun tergeletak di sana sampai-sampai tulisannya telah memudar.Kota mati Osteria dan Gharian merupakan dua kota bertetangga yang menjadi perbatasan langsung antara wilayah barat daya kontinen tenggara dengan kontinen barat. Sayangnya, akses keluar-masuk perbatasan dan kota telah disegel rapat-
Kerangka makhluk raksasa yang dahulu kala sempat dipuja-puja akan keagungan dan napas api seakan terbangun dari tidur abadinya. Makhluk yang hanya terdiri atas susunan tulang belulang itu meraung ganas seraya mengayun kasar tungkai kanan depan ke sisi kiri. Mengempas subjek-subjek gagal buangan Eins Stewart yang lebih dulu maju menyerang. Dengan segala keunggulan yang dimiliki, sang makhluk raksasa mengembuskan napas berat, sementara mata dengan iris semerah bara magma mengawasi makhluk-makhluk kerdil lainnya yang mulai merapat.Subjek-subjek buangan yang terempas berakhir dengan menubruk dinding bangunan dan memekik sakit. Meski demikian, mereka tetap berusaha bangkit walau struktur anatomi tubuh tampak semakin tak karuan. Dislokasi parah terlihat jelas pada sendi dan tulang mereka. Misalnya ada yang membungkuk permanen akibat tonjolan-tonjolan tak wajar pada tulang punggung seperti hendak mencuatkan sesu
Entah kenapa suasana di kota mati Gharian menjadi sedikit lebih hangat sejak pertemuan kembali dua tuan putri yang menjadi pewaris sah atas takhta Kerajaan Ishlindisz. Para subjek gagal menjadi lebih jinak dan berdiam di sudut-sudut tergelap kota. Sisa-sisa jiwa manusia yang masih tertinggal di dalam diri mereka seakan mengenali sang Tuan Putri.Vania dan Kim Hana akhirnya berhasil menemukan satu rumah bertingkat dua yang masih utuh baik luar maupun bagian dalam. Ada dua kamar tidur yang lengkap dengan kasur, penghangat ruangan, kotak obat serta beberapa pakaian yang mungkin bisa mereka pakai. Setidaknya malam ini mereka bisa terlindung dari serbuan angin malam yang semakin beku.“Endley, kau bisa masuk angin kalau terus di luar sini.” Vania berusaha memanjat ke atap rumah melalui balkon lantai dua.
Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su
Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.
Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu
Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish
“Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m
Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?
Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se
Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb