Melanie mundur ke belakang. Senyum seringai itu sangat menakutkan. Kalau dipikir, kenapa malah pria itu yang muncul. Melanie sungguh tidak mengharapkannya. "Dasar wanita murahan! Beraninya kau menjajakan dirimu pada pengawal, ha!" Markus meraih pipi wanita itu dengan satu tangan kemudian mencengkeram. Apa? Jadi dia dengar semuanya? Dan Markus marah hanya karena itu. Padahal itu hanya strategi agar bisa keluar. Mana mungkin dirinya tidur dengan sembarang pria. "Lepaskan! Sakit!" Melanie meringis. Ia menahan tangan Markus dengan kedua tangannya. "Katakan padaku. Apa permainan mereka lebih baik dariku!" Amarah menguasai diri Markus. "Apa mereka lebih memuaskanmu?""Lepaskan aku!" "Jawab!" Bukannya menjawab, Melanie malah tertawa. "Kenapa kau tanya padaku, aku belum pernah merasakan mereka." "Oh jadi begitu. Kau ingin merasakannya? Hei kalian yang di luar. Cepat kemari!" Markus berteriak dengan satu tangan yang masih mencengkeram pipi Melanie. Dua penjaga yang dipanggil, masuk. "A
Melanie menutup kedua telinga. Ia terduduk di lantai karena kakinya yang lemas. Tubuhnya gemetar dan jantung yang berdegup kencang. Terlebih ketika melihat cairan merah yang mengalir di bawah kakinya. Dua tembakan melesat melewati dirinya. Dua pengawal itu tewas dengan luka tembak masing-masing di jantung. Melanie memandang pria yang menjadi pelaku utama dalam tragedi itu. "Kau membunuhnya." Markus tergelak. "Bukan aku tapi kau," ucap Markus. Pria itu berdiri dari kursinya. Lalu berjalan mendekati Melanie. Ia merunduk, mensejajarkan diri. "Kau yang membuat mereka jadi terbunuh." Kedua tangan di atas paha mengepal. Sayang sekali Melanie tidak bisa berbuat apa-apa. Andai ia punya kemampuan seperti Rosene. Ia tak segan menghajar pria di hadapannya ini. "Dengar." Moncong senjata didekatkan di dagu lalu membuat wanita itu mendongak. "Itu berlaku untukmu. Jika kau berani membantahku. Aku akan membunuhmu. Apa kau mengerti?" Melanie mengangguk. "Bagus. Sekarang layani aku." Waktu untu
Mobil bergerak melewati rute menuju markas. Untuk sementara, perusahaan akan dilimpahkan pada anak buahnya. Aaron akan fokus pada klan mempersiapkan strategi untuk menyerang Rossmoss. "Semuanya sudah berkumpul." Ben memberitahu Aaron mengenai hasil panggilan yang baru saja dilakukan bersama Diego. "Bagus, lebih cepat lebih baik. Hubungi Nick, kita butuh informasi dari dia." "Sudah dalam perjalanan, Tuan." Pembicaraan berakhir dengan dering ponsel yang mengganggu. Kening Ben mengkerut. Ada masalah apa sampai Berta menghubungi dirinya. Tanpa berpikir ulang, Ben langsung menggeser layar ke kanan. "Katakan." Aaron melirik Ben sekilas. Ia melihat raut keterkejutan di wajah Ben sebelum panggilan diakhiri. "Ada apa, Ben?" Ben memandang atasannya. "Nona Rosene tidak sadarkan diri." Raut wajah Aaron berubah dalam sekejap. Ia memandang ke depan tempat sopir yang merangkap sebagai pengawal berada kemudian memberi perintah. "Putar balik arah."Sang sopir mengangguk. Kemudian menjalankan
Diego langsung menegang. Orang yang dibicarakan malah datang tiba-tiba. Aaron muncul dengan piyama dan jubah satin di tubuhnya. Sialnya, dia malah mendengar apa yang tadi dia ucapkan, ini gawat. "Tuan," sapa Ben. Aaron memandang dua orang yang duduk di sofa. "Aku tanya. Siapa yang akan kalian seret?" Aaron mengulang pertanyaannya. "Anu, Tuan ...." Diego langsung menutup mulut Jekco yang hendak berbicara. Akan gawat kalau si mulut besar itu bicara yang tidak-tidak pada Aaron. "Nick, Tuan. Dia akan segera tiba." Akhirnya Diego mengalihkan topik pembicaraan. Ben hanya bisa menahan tawa melihat tingkah kedua rekannya. "Bagus. Waktunya tepat 'kan." Diego terkekeh. "Iya, Tuan." Lalu ia menoleh pada Jekco dan memberikan pelototan tajam. Nick benar-benar datang setelah lima menit berlalu. Kini, anggota inti Dare Devil telah lengkap. Ini kenapa Dare Devil menjadi sekuat sekarang. Siapa lagi kalau bukan karena mereka. "Bagaimana perjalananmu, Nick?" "Aman, Tuan. Semua berjalan lancar."
Yang benar saja. Gaun merah tanpa lengan, berdada rendah yang memiliki tali kecil itu memang sangat indah. Tetapi, bukankah itu terlalu terbuka bila dipakai untuk siang hari. Terlebih di cuaca yang dingin seperti ini. Melanie harus menolak itu. Atau ia akan memilih gaun yang lain sebagai gantinya. Markus tidak akan marah 'kan? "Tuan, sepertinya itu agak ...." "Tidak apa-apa, Sayang. Gaun ini akan membuatmu semakin cantik." Nada bicara Markus memang terdengar lembut, tapi Melanie tahu. Kalau nada bicara itu tidak bisa dibantah. Dipastikan ia akan mendapat masalah kalau tidak patuh. Yang dikatakan Markus ada benarnya. Dirinya memang sangat cantik setelah mengenakan gaun merah itu. Perbedaanya sangat jauh sebelum dan setelah berganti pakaian. Masalahnya adalah, untuk apa Markus meminta dirinya berpakaian seperti ini? Apakah pria itu ingin mengajaknya berkencan? Kalau benar begitu, apa yang harus Melanie lakukan? "Ayo, Sayang." Markus mengulurkan tangan dan disambut oleh Melanie. W
Gadis itu yang dimaksud. Melanie? "Tolong sebutkan posisi Tuan." "Aku akan kirim lokasinya." "Baik." Panggilan ditutup. Jack kembali menemui Markus dan melaporkan apa yang telah terjadi. "Tuan, Melanie melarikan diri." "Apa? Sialan!" Markus mengumpat. Ia sampai meninju bangku kemudi di depannya saking kesalnya. "Segera lacak dia." "Baik, Tuan." Di sisi lain, Mathius merutuki diri. Gadis itu sangat licin bagai belut. Bodyguard yang berhasil menangkapnya sampai kualahan karena gadis itu terus memberontak, hingga akhirnya bisa kabur kembali. Ini salahnya yang menyuruh sopir untuk berhenti tiba-tiba karena ia melihat seorang wanita yang ia kenal, berkeliaran di jalanan. Apa yang akan ia katakan pada Markus nanti? Alasan yang membuat Melanie sampai kabur. Bila ia mengatakan yang sesungguhnya. Entah apa yang akan dilakukan putranya itu. "Apa benar tadi Samantha?" Mathius bergumam. Ia sampai lupa kalau harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan Melanie. Ia malah memikirkan wanita
Melanie langsung menepuk tangan wanita itu sehingga makanan sisa yang hendak dimasukkan ke dalam mulutnya berhasil digagalkan."Nyonya, apa yang kau lakukan?" Wanita itu sedikit linglung. Ia meneliti area sekitar. Nampak asing, kemudian ia mendongak menatap Melanie. "Aku lapar." Suaranya terdengar lemah. "Tapi itu makanan sisa. Mungkin sudah basi. Itu juga kotor karena dari tong sampah." Seperti orang bingung, wanita itu memandang kembali makanan yang memang tadi ia ambil dari dalam tong sampah. "Tapi aku lapar." Mendengar itu, rasa iba datang. Sebenarnya bukan hanya wanita tua itu yang lapar, dirinya juga. Sayangnya, ia malah tidak membawa apa-apa. Terlebih uang sepeser pun. "Tunggu. Sepertinya aku punya sesuatu yang bisa dijual." Melanie meraba daun telinga bagian bawah. Ia teringat anting emas yang diberikan oleh Markus. Ya, itu adalah barang berharga. Ia bisa menukarnya dengan uang. "Nonya, bangunlah." Melanie membantu wanita itu berdiri. "Aku akan membelikanmu makanan na
Yang dikatakan Melanie benar. Namanya saja sebagus itu. Dia mungkin saja orang kaya. Hanya saja tengah tersesat. "Nyonya berasal dari mana? Oh iya, namaku Melanie Marino. kau bisa panggil aku Melanie saja." Wanita setengah baya itu mengangguk. Kemudian kembali fokus pada makanannya. Waktu bergerak cepat, matahari meninggi dan semakin menyengat. Sayang sekali Melanie harus keluar dari gedung. Dan sialnya wanita itu terus mengikutinya. Ingin meninggalkannya, Melanie tidak tega. Sementara Melanie harus bergerak cepat mencari tempat persembunyian yang aman. "Nyonya. Apa kau punya tempat tujuan? Aku akan mengantarmu." Melanie menawarkan. Mana mungkin ia membawanya serta dalam pelariannya. Itu hanya akan menghambat gerakannya saja. Wanita itu mengangguk. Ia ragu-ragu menjawab. "Aku ingin menemui suamiku." Kendaraan roda empat melesat cepat membelah jalanan ibukota Italia yang padat. Sehingga, dalam waktu singkat. Mobil yang dikendarai oleh sopir yang juga seorang anggota Dare Devil it
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman