Tatapan Jaxon tampak jauh di depan jendela kamar dimana Mia berbaring saat ini. Sesekali dia melirik ke balik bahu, pada gadis yang tertidur di atas ranjang dengan selang infus di tangan.
Bengkak di wajah serta bentol-bentol merah di kulit tampak sudah mulai reda.
Jaxon menghela napas dan kembali ke sisi gadis itu. Dia mengelus wajah Mia yang sembab karena terlalu lama menangis. Napasnya yang teratur membuat Jaxon merasa lega, setidaknya Mia tidak lagi tersiksa akan gatal dan panas yang menjalar di tubuh.
“Aku tidak tahu dia alergi pada jenis bunga tertentu,” ucap Jaxon saat mendengar suara pintu kamar yang dibuka tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari gadis yang terbaring di hadapan. “Bila aku tahu, tidak akan kubiarkan bunga-bunga itu menghiasi Aurelia.”
“Itu bukan salahmu,” jawab Rey sembari mendekat ke kaki ranjang. “Setidaknya, dia tidak alergi mawar.”
Jaxon mendengus dan membawa tangan Mia
Jaxon mengisyaratkan pada Rey untuk keluar dari ruangan agar memberi mereka privasi. Melihat tangan Jaxon yang mengibas di balik punggung, Rey pun memutar bola mata dan mengajak Salvador untuk memberikan ruang sendiri bagi insan di dalam sana.Setelah mendengar suara pintu yang tertutup, Jaxon pun menghembuskan napas pelan sembari membawa Mia dalam pelukan.“Apa kau tidak ingat dengan kejadian barusan?” tanya Jaxon yang seketika menyurutkan tangis Mia saat itu juga. Gadis itu mengangkat kepala dan menatap Jaxon dengan mata basah.“Aku alergi bunga Snow on Mountain,” ucap Mia lirih yang hanya direspon dengan anggukan kepala.“Ya, tampaknya seperti itu, karena kau terbaring di sini dengan bekas luka gores serta beberapa sisa bentol-bentol di kulit,” ucap Jaxon yang langsung mendapat pukulan di perut.Mia menatap baju slayer putih yang dia pakai sudah tidak lagi berbentuk, bahkan dia tidak berani menatap diri di cer
Mia menatap kamar baru yang akan dia tempati sebagai awal bulan madu. Matanya mengerjab tidak percaya karena setengah jam yang lalu dia baru saja mengucap janji suci di depan Tuhan dan namanya berubah seketika menjadi Mia Bradwood.Kepala Mia menoleh ke arah pria yang kini sudah berganti status ‘suami’ dan menjadikannya seorang ‘istri’ saat ini.Dia tidak mengira akan menikahi pria yang dengan mudahnya memanipulasi semua hal hingga rasanya Mia tidak sadar bagaimana statusnya dengan cepat berganti.Dan menyebalkannya, mereka menikah di rumah sakit, membuat Mia ingin menangis keras karena bukan ini mimpi pernikahan yang dia mau.Pertama lamaran tidak romantis di ruang perpustakaan, kedua di hari pernikahan dia harus dilarikan ke rumah sakit karena alergi? Lalu, besok apa lagi? Ketubannya pecah di tengah keramaian seperti orang mengompol di celana?Membayangkan masa depan saja membuat kepala Mia pusing tiba-tiba.“
Mata Mia membulat saat dia menyadari Jaxon menghimpit tubuhnya dan bukti gairah pria itu mendesak di antara paha, sedang kepala Jaxon berada di leher dan mulai mengendus kulitnya yang sensitive hingga membuat Mia mendesah tanpa sadar. Namun, dia pun tersentak ketika tangan hangat Jaxon mulai bermain di atas payudara.Seketika Mia mencoba mendorong tubuh Jaxon agar memberinya ruang. Jantungnya yang hendak meledak juga tidak membantu.“Aku belum mandi!” teriak Mia histeris sembari berusaha menggelepar di bawah tubuh Jaxon yang berat. Tapi, entah mengapa rasa nikmat malah menjalar di sekujur tubuh saat Jaxon menggesekan benda dibalik celananya pada kewanitaan Mia yang berada di antara paha.Untung saja bukti gairah pria itu masih terbungkus di balik celana, sehingga Mia tidak harus cemas keduanya bertemu, dan benda feminim miliknya masih aman di balik celana berenda dengan warna merah darah.“Hmm … kau sangat wangi,” gumam Jaxo
“Ada apa dengan wajahmu yang muram?” tanya Rey sembari menutupi tawa di balik telapak tangan, pura-pura mengusap rahang dan pipi bekas cukuran pagi tadi.Danny yang tidak peka akan basa-basi sahabatnya pun menjawab; “Mia tidak menginzinkan Jaxon tidur di ranjang yang sama tepat setelah malam pertama keduanya.” Yang seketika mendapat delikan tajam si pemilik nama.Dari seberang ruangan terdengar tawa Connor yang tertahan, serta Nicko yang terbatuk kecil.“Dia bukan tidak mengizinkan, hanya mepersiapkan diri untuk malam berikutnya,” ucap Jaxon membuat-buat alasan yang semakin menjadi bahan lelucon.“Begitukah? Lalu bagaimana ceritanya dahimu bisa bengkak begitu?”Seketika Jaxon menyentuh benjolan di kepala dan dia meringis ketika ingatan pagi tadi terulang kembali dalam memori. Tampaknya, Mia memiliki ketepatan yang akurat ketika melempar sebuah benda.“Oh, itu,” mulai Danny yang seke
Setelah kepergian Jaxon, seluruh anggota Red Cage berkumpul kembali. Termasuk Danny dan Gavin yang datang belakangan begitu Rey menyatakan Coumpound telah aman. Pria-pria itu duduk melingkar di meja dan memulai sesi taruhan yang sempat diinterupsi ketika Jaxon tiba secara mendadak, padahal mereka mengira dia akan terus berlama-lama di dalam rumah perlindungan karena ada Mia yang akan melayaninya bermain sampai puas.Apa lagi mengingat Jaxon puasa bersetubuh selama hampir satu setengah tahun lamanya.“Sudah kubilang untuk tidak mengatakan sesuatu yang membangkitkan amarah Jaxon, Danny,” ucap Rey yang melempar tatapan tidak senang.Danny Johanson hanya mengedikan bahu dan kembali melanjutkan untuk menghabiskan pudding di meja yang tidak sempat disentuh.Baru saja mereka hendak menyesap minuman masing-masing, saat tiba-tiba pintu ruangan pertemuan dibuka dengan suara keras, hingga membuat kesemua pria mengeluarkan senjata api dari balik celana da
Suasana pagi itu terasa panas, karena sejak tadi Jaxon melempar pandangan membara ke arah Mia yang sengaja duduk di sisi meja seberang, menjauhi pria yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan hendak memangsa. Bahkan tubuh Mia menggelenyar sampai ke punggung ketika mendapati mata predator Jaxon yang tidak henti-henti mengikuti setiap gerak kecil yang tidak sengaja dia lakukan. Mulai dari ketika mengambil botol garam dan merica di meja, atau ketika menggigit bibir bawah saat kesulitan memilih menu sarapan.Sengaja Mia menghindari tatapan Jaxon yang tampaknya ingin melintasi meja, andai saja mereka hanya berdua di sana. Untunglah dia dikelilingi beberapa penjaga keamanan, dan Emily juga ada di dapur mengurus makanan keduanya.Karena merasa jengah ditatap tanpa henti, Mia pun berdehem dan mencoba mendinginkan suasana yang sengaja Jaxon panaskan.“Apa kau akan keluar lagi?” tanya Mia tanpa sekali pun mengangkat kepala dari hidangan di meja, karena dia
Ruang pertemuan yang disetujui oleh Salvador terletak tidak jauh dari jantung kota Denver, namun keberadaan rumah-rumah di sekitar, sedikit mensiasati rumah rahasia tersebut. Bahkan, Jaxon terpaksa menggunakan mobil yang berbeda agar tidak terdeteksi saat menjumpai pria tersebut.Hal sama juga dilakukan oleh Dune Fontana yang tiba belakangan serta beberapa anggota Red Cage yang ikut serta.Dalam ruangan pertemuan itu hanya terdapat enam orang saja.Jaxon, Dune, Rey, Nicko, Gideon dan si tuan rumah, Salvador.Mereka tampak sedang berdiskusi mengenai rencana untuk masuk ke dalam lingkaran Famiglia tanpa membuat keributan tidak berarti, namun sebelum itu, kesemuanya sepakat untuk meluruskan masalah tentang siapa yang ingin mencelakai Mia.“Kau sudah menemukan siapa pelakunya?” tanya Salvador sembari memainkan dadu yang tidak sempat dia bereskan sebelum tamu-tamu itu datang.Kepala Jaxon mengangguk samar dan dia tampak bosan karena d
Rumah perlindungan terlihat sepi saat Mia turun ke lantai bawah, dan dia menatap sekitar dengan heran karena tidak ada satu pun penjaga atau pelayan di sana, membuat Mia khawatir telah terjadi sesuatu yang mengakibatkan orang-orang menghilang.Dengan langkah gugup, Mia melintasi ruang tengah begitu dia mendengar suara-suara datang dari arah dapur.Hatinya yang tadi berdegup tidak karuan, berubah menjadi lega ketika menemukan ternyata Jaxon yang berada di sana.“Astga, Jaxon! Kau membuatku takut sesaat tadi!” gerutu Mia sembari mendekat dengan wajah kesal.Jaxon yang sejak tadi berada di balik Kitchen Island hanya menatap Mia dengan sebelah alis naik ke dahi sedang tangannya memegang mug berisi kopi. Manik mata hitam pekatnya mengobservasi wanita itu dari ujung kaki hingga kepala. Begitu seterusnya sebanyak tiga kali, membuat Mia gelisah sendiri.“Ada apa dengan tatapanmu?” gumam Mia sembari melangkah mundur.Mendapati
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha