Mia memasuki Aurelia dengan wajah merah padam bagai kulit goji berry.
Snow yang melihat kedatangannya menatap Mia keheranan, terutama ketika gadis itu berbicara sendiri seperti menggumamkan hal-hal yang membingungkan.
“Manis katanya? Caranya itu membuatku bisa gila!” sungut Mia saat melintas di sebelah Snow yang berdiri membukakan pintu. “Pria licik itu membuatku ingin mengubur kepala di dalam pasir! Bisa-bisanya dia melakukan itu di tengah-tengah lorong rumah sakit!”
Gadis itu terus berjalan menuju lantai dua, tanpa menoleh ke sekitar. Dia bahkan tidak sadar jika Gia Leonore tengah duduk di ruang tamu, memperhatikan Mia yang melintas sembari berbicara sendiri tanpa konteks yang jelas.
Setelah tubuh Mia menghilang dari pandangan begitu menaiki tangga, Gia pun menoleh ke arah pintu, melihat cucunya yang berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana sedangkan pandangannya ke lantai dua, dimana Mia berada.
Tampak sudu
Jaxon menatap mobil butut Mia yang ditarik menuju gudang rongsokan di halaman belakang gedung Red Cage. Dia menyesap kopi di cangkir sembari menaruh tangan kiri di saku celana, menyaksikan beberapa bawahan yang siap menghancurkan mobil itu jadi beberapa bagian.“Apa kau yakin dia tidak akan marah?” tanya Knight Miller, menatap mobil butut berwarna kuniing pudar itu dengan ragu.“Hmm … hmm …,” jawab Jaxon dengan mengedikan kedua bahu sembari terus menyesap kopi yang tinggal setengah.Melihat bagaimana Jaxon memperlakukan Mia, Rey menggelengkan kepala.Lihat saja nanti, Gadis itu pasti tidak terima mobil butut kesayagannya menjadi puing-puing sampah di antara tumpukan mobil bekas yang tidak terpakai.“Jika diperbaiki sedikit, mobil ini bisa berfungsi dengan baik. Hanya mengganti mesin dan mencat ulang,” ucap Knight memberi penadapat. Pria itu sangat ahli dalam hal mekanik, wajar saja dia merasa sayang
Setelah menyelesaikan fitting baju, Mia dan Jaxon berjalan keluar sembari bergandengan tangan. Keduanya tampak enggan melepaskan diri satu sama lain. Sementara itu, Gia dan Henrieta berjalan di belakang sembari berbisik-bisik membicarakan sesuatu.“Bagaimana menurutmu jika kita pergi ke suatu tempat dan menikmati waktu berdua selama beberapa hari?” tanya Jaxon tiba-tiba yang membuat Mia memikirkan ide tersebut.“Memangnya kau mau mengajakku kemana?”Jaxon tersenyum kecil sembari membawa punggung tangan Mia ke bibir, dan mengecupnya lembut, mengirim getaran menggelenyar hingga ke punggung gadis itu.“Hmm … coba kupikirkan,” kata Jaxon dengan dahi berkerut seolah ada sesuatu yang dia cari di kepala. “Apa kau suka pemandangan perbukitan hijau?”Mia memikirkan sejenak usualan tersebut dan berpikir apa salahnya mencoba.“Menurutmu itu ide yang bagus?”Jaxon mengangguk pelan
Pemandangan di hadapan mereka terlihat indah dengan jajaran pohon pinus yang berbaris di perbukitan. Dari Villa yang mereka tempati, Mia dapat merasakan udara sejuk yang mengalir dari balik jendela terbuka.“Tempat ini benar-benar nyaman,” ucap Mia yang membuat Jaxon tertawa pelan sembari menyeruput kopi panas sedangkan Mia menengguk habis nyaris seluruh teh yang tadi dia seduh.“Kau belum melihat bagian terbaiknya,” ucap Jaxon yang membuat Mia semakin penasaran.“Apa masih ada kejutan untukku?” tanya Mia menggoda.Jaxon tersenyum sembari menarik Mia berdiri. “Kau mau ikut? Aku akan membawamu ke danau sekarang juga.”Keduanya mengganti baju dan berangkat menuju jalan setapak yang membawa mereka hingga ke danau, letaknya tidak jauh dari Villa.Mulut Mia nyaris menganga lebar ketika mendapati danau tersebut memiliki air yang jernih hingga dia dapat melihat ikan-ikan berenang bebas di kaki. Semak-
Setelah insiden ular di dekat danau, Mia menolak untuk keluar lagi atau pun sekedar jalan-jalan di sekitar. Dia tidak mau bertemu makhluk melata tersebut dalam waktu dekat. Kejadian di Compound Red Cage saja sudah cukup membuat Mia trauma, sehingga Jaxon pun memutuskan untuk membawa gadis itu kembali ke Denver.“Kau yakin kita pulang sekarang?” tanya Mia yang sibuk memasukan beberapa baju ke dalam tas, namun Jaxon menahan tangannya dan menyuruh untuk meninggalkan semua karena akan ada orang yang membereskan.“Berlama-lama di sini juga tidak membuatmu senang, lebih baik kita ke kota saja,” jawab Jaxon yang menarik Mia menjauhi lemari.“Bagaimana dengan baju-baju ini? Aku bahkan baru memakainya satu kali,” ucap Mia sembari melirik baju berbahan sutra yang dia pakai sebagai piyama tergantung di lemari.“Salah satu pelayan akan mengumpulkannya dan menyumbangkan ke GodWill,” jelas Jaxon yang tidak sepenuhnya dapa
“Kau sangat percaya diri sekali, Mister Jaxon Brdwood,” ucap Mia dengan nada sedikit menggoda. Beruntung katanya? Beruntung My Ass. Sungut Mia dalam hati, meski dia tidak keberatan dengan sikap dominant pria itu, tetap saja terkadang Jaxon bisa menjadi pria paling menyebalkan sejagat. Sekalipun pria itu memiliki semua kualitas yang diinginkan, tapi tetap saja dia adalah pria berdarah dingin, dan akan berubah menjadi berdarah panas bila berhadapan dengan Mia. Tadi itu hanyalah bukti kecil bahwa Jaxon dapat melakukan apa saja dengan tangan kosong. Jaxon hanya mengedikan bahu dan memangku Mia ketika sampai di dalam mobil. Selama dalam perjalanan, dia memilih untuk bersama gadis itu di bangku belakang dan memeluknya sampai mereka tiba di Denver. Jaxon tidak ingin berpisah dengan Mia walau hanya sebentar, karena kejadian tadi juga membuat dia terkejut. Awalnya Jaxon ingin mengendarai mobil sendiri, namun setelah berpikir panjang, dia pun me
“Kau memiliki rambut yang indah,” puji wanita yang kini merias wajah serta merapikan rambut Mia membentuk sanggul.“Mmm … terima kasih?” Mia tidak tahu apakah harus menerima pujian tersebut atau bertanya, karena tiba-tiba saja dirinya dikelilingi oleh banyak wanita yang mulai merubah penampilan Mia mulai dari kepala hingga kaki.Sementara itu, Nana tampak sibuk memberi instruksi bagaimana penampilan Mia yang seharusnya, mulai dari make up sampai style rambut. Namun anehnya, semua instruksi itu sama seperti dandanan yang Mia inginkan di hari pernikahannya nanti.“Nana?” panggil Mia diliputi kebingungan.“Ada apa Mia?” tanya Nana sembari mendekat dan membantu merapikan sisi rambutnya yang menyulur.“Kenapa aku didandani seperti ini? Bukannya kita hanya akan memotong rambutku saja?”Gia mengibaskan tangan ke udara dan berkata dengan nada teramat lembut; “Oh, kau cantik sek
Melihat Mia yang kesulitan bernapas dan tiba-tiba menggaruk tubuh serta wajah dengan gerakan keras dan menyakitkan, Gia pun menjadi khawatir, terutama ketika gadis itu menangis histeris dan mengeluh panas hingga terduduk di lantai.“Nana!” jerit Mia yang di tubuhnya mulai timbul bentol-bentol berwarna merah.Air mata mulai berjatuhan membasahi pipi dan dia juga terlihat berusaha membuka semua aksesoris yang melekat di tubuh, namun dengan cepat Gia menahan tangannya dan beberapa pengawal yang tadi berjaga di sekitar mulai berdatangan, kemudian membantu mereka.“Apa yang terjadi?” tanya Snow dengan wajah pucat pasih, berpikir Mia terluka parah.Gia mengobservasi sekitar dan tatapannya jatuh pada bunga Snow on Mountain yang berada di dalam vas di sekitar pintu penghubung menuju taman mawar.“Sejak kapan bunga itu ada di sana?” tanya Henrieta yang memiliki pandangan sama.Snow melirik bunga yang menjadi topik
Tatapan Jaxon tampak jauh di depan jendela kamar dimana Mia berbaring saat ini. Sesekali dia melirik ke balik bahu, pada gadis yang tertidur di atas ranjang dengan selang infus di tangan.Bengkak di wajah serta bentol-bentol merah di kulit tampak sudah mulai reda.Jaxon menghela napas dan kembali ke sisi gadis itu. Dia mengelus wajah Mia yang sembab karena terlalu lama menangis. Napasnya yang teratur membuat Jaxon merasa lega, setidaknya Mia tidak lagi tersiksa akan gatal dan panas yang menjalar di tubuh.“Aku tidak tahu dia alergi pada jenis bunga tertentu,” ucap Jaxon saat mendengar suara pintu kamar yang dibuka tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari gadis yang terbaring di hadapan. “Bila aku tahu, tidak akan kubiarkan bunga-bunga itu menghiasi Aurelia.”“Itu bukan salahmu,” jawab Rey sembari mendekat ke kaki ranjang. “Setidaknya, dia tidak alergi mawar.”Jaxon mendengus dan membawa tangan Mia
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena
Kehebohan terjadi di Kastil Aurelia. Kedatangan seorang wanita berparas sama seperti Mia membuat semua pelayan berbondong-bondong hendak ke lantai dua, di mana wanita itu saat ini berada. Bahkan, Snow kesulitan untuk menghalau mereka agar kembali bekerja.“Astaga, aku tidak mengira parasnya serupa,” bisik Allana yang pura-pura membersihkan patung singa di bawah tangga.Piper yang juga tidak diperbolehkan naik ke lantai dua mengangguk membenarkan.“Ya, tidak hanya bentuk wajah, tetapi rambut dan ekspresinya tidak jauh berbeda,” timpal Piper yang juga berpura-pura mengelap keramik di dekat Allana.Sementara itu, Emily memilih untuk diam sembari mencuri-curi lihat ke lantai dua. Dia tampak sibuk membersihkan buffet dan pegangan tangga.Melihat ketiga wanita itu, tentu saja Snow hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sangat yakin bahwa mereka akan langsung terbirit-birit ke dapur saat ditegur, sehingga pria itu pun mengawasi saja
Jaxon yang tidak tahan duduk terlalu lama akhirnya berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di hadapan mereka semua. Dengan napas sedikit memburu dan amarah tertahan, pria itu seakan ingin meledak dan mengatakan sesuatu. Namun, Salvador yang menyadari hal itu pun hanya bisa menatap rekannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.Seketika saja Salvador mengalihkan perhatian terhadap Fabiana yang saat ini mengkerut di kursi dengan pandangan terluka.“Bibi,” panggilnya pelan, yang membuat Fabiana mengangkat kepala. “Aku bisa pastikan untuk membawa Romero, tetapi aku tidak janji bila dia bebas dari luka.”Tatapan yang Fabiana berikan, membuat Salvador sedikit merasa bersalah. Selama menikah dengan Gioluca, wanita itu selalu berusaha terlihat lebih dominan dan sedikit arogan. Namun, Fabiana yang ada di depannya saat ini sangatlah jauh dari dua kata tersebut.Wanita yang dianggap paling kuat dan berkuasa, ternyata hanyalah seorang ibu yang terluk
Jaxon dan Salvador yang menunggu kedatangan Nicko tampak termangu di atas sofa. Keduanya lebih banyak diam sembari menanti kedatangan rombongan Famiglia yang akan membawa Gioluca ke kediaman Vitielo. Sementara itu, Rey serta yang lainnya duduk di seberang dengan posisi serupa. Mereka tampak menanti penuh antisipasi.Tidak ada satu pun suara, kecuali detak jam dinding serta kicauan burung di pepohonan dekat taman. Atmosfer di sekitar benar-benar sangat tegang dan intens.Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja terdengar ketukan pelan dari depan pintu, yang membuat semua kepala menatap ke sumber suara.“Biar aku yang lihat,” ucap Gavin, yang mulai berdiri dari tempat duduk.Dia mengintip dari celah kunci, dan mendapati Fabiana lah yang ada di depan sana. Melihat itu, Gavin menoleh ke balik tubuh, dan menangkap tatapan Rey yang bertanya.“Fabiana yang mengetuk,” ucapnya, menarik perhatian beberapa kepala. “Apa yang ha