Lintang menatap mata David. Sudah semakin remang. Tapi masih bisa dia lihat tatapannya yang dalam, penuh kasih buat Lintang.
"Ini tempat aku mengatakan isi hatiku. Aku cinta sama kamu. Aku benar-benar sayang sama kamu. Aku sadar, Tuhan menjawab doaku meminta pasangan yang sepadan untukku, dan Dia kirimkan kamu," kata David lembut dan manis. Tapi tidak bisa membuat jantung Lintang lebih tenang.
"Sekarang, aku mau bilang sama kamu, Alin. Aku makin sayang dan cinta sama kamu. Aku makin yakin, Tuhan tahu wanita terbaik yang aku butuhkan adalah kamu. I love you. Terima kasih kamu juga mau cinta aku seperti ini." David tersenyum.
"Kak Dave, aku yang lebih dulu jatuh cinta sama Kakak. Kukira, aku hanya akan membayangkan saja bagaimana rasanya dicintai pria sebaik dan setampan Kakak. Tuhan ternyata terlalu sayang padaku.
Mito masih memperhatikan Listy. Seolah ingin memastikan wanita itu akan baik-baik saja hadir di pernikahan David dan Lintang. "Kamu tidak apa-apa datang?" Mito bertanya pada Listy. Dia sedikit kuatir. Karena selama ini Listy menghindari keramaian, jika ada yang mengenalnya. Dia tidak mau orang akan bertanya ini dan itu tentang dirinya. "Tidak apa-apa. Temani aku," kata Listy. "Tentu." Mito tersenyum. Mereka berjalan menuju ke panggung pelaminan. Hesty berjalan lebih dulu, Listy dan Mito ada di belakangnya. "Selamat, Kak Dave." Hesty menyalami David. Cipika cipiki. "Bahagia selalu, Kak." "Thank you, Hesty." David tersenyum lebar. Matanya langsung menuju pada Listy yang ada di
Gemuruh di dada Lintang makin jadi. David begitu dekat di depannya. Pria itu terlihat mempesona membuat Lintang bingung harus bersikap seperti apa. "Kak ..." kata Lintang. "Hmm ..." David tak berkedip memandang Lintang. "Aku ..." "Hmmm ..." "Mau pipis ..." Pelan Lintang berkata. "Alin ..." Tidak sabar dikerjain gadis kecilnya, David tergelak. "Maaf ..." ujar Lintang. "Sini, aku bantu buka resleting gaunmu, kamu mandi sekalian sana," kata David. Dia membantu Lintang melepas aksesoris di kepala Lintang, lalu menarik resleting gaun Lintang. Cepat Lintang setelah itu lari masuk ka
David melepas ciumannya. Lintang jadi salah tingkah. Dia membalikkan badan dan mengusap wajahnya. David membuka pintu. Layanan hotel. Pegawai hotel mengantarkan welcome special menu honeymoon package buat David dan Lintang. "Hei, lihat!" David menarik Lintang duduk di dekat meja. "Makan dulu kita." "Iya, Kak." Wajah Lintang bersemu merah. Mereka mulai menikmati hidangan di depan mereka. "Kamu suka?" David bertanya setelah menelan makanan di kerongkongannya. "Hmm, enak juga," jawab Lintang dengan mulut masih penuh. "Alin, kamu sudah belajar tentang hubungan suami istri dari buku yang aku kasih kamu, kan? Apa yang buat kamu takut?
"Sayang, penyatuan fisik kita hal penting menyalurkan cinta kita. Tapi lebih dari itu, kita diingatkan untuk saling terbuka, tanpa takut, tanpa malu, jujur satu sama lain. Tak ada yang perlu kita sembunyikan," ujar David. Tatapan itu, yang membuat Lintang merasa sangat istimewa. Lintang suka. "Jadi, ke depan, apapun yang terjadi ga boleh disimpan sendiri. Kasih tahu aku, biar aku bisa paham kamu sepenuhnya, kenal kamu lebih baik setiap hari. Kamu juga begitu sama aku. Hmm??" ujar David. "Iya, Kak,aku mengerti." Lintang mengangguk. David makin merapat pada Lintang. Jantung makin berdebaran. Lintang bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Kecupan lembut, di dahi, turun ke hidung, turun lagi dan seterusnya. Lintang
"Iya, Kak. Tiap hari aku sama Ayah masak bareng. Ayah pintar juga kok masak." Wulan menata piring dan sendok di meja."Nih, uda selesai. Kamu cobain." Farid meletakkan oseng kangkung di meja, lalu duduk di kursi di belakangnya."Harum, Ayah. Pasti lezat. Kangkung, udang, kerupuk dan sambal. Boleh, nih." Lintang tersenyum.Tapi dia tidak langsung makan, membuat teh lemon madu buat David."Sayang." David masuk ruang makan. Dia mendekati Lintang.Lintang memberikan cangkir pada David. Dia minta David meminumnya, sampai habis."Nak Dave mau pergi?" Farid melihat David yang rapi."Ke rumah sakit, Ayah. Mendadak harus menggantikan tema
"Kamu benar. Mas Mito sangat terluka karena putus sama kamu. Waktu lihat aku di rumahnya, dia menganggap aku ini kamu. Karena kita mirip, kan? Dia berlaku kasar sama aku dan Wulan. Makanya aku bawa Wulan kabur," jujur Lintang. Kali ini dia bercerita dengan leluasa, karena dia tahu akhir kisahnya bagaimana. "Ya Tuhan, sampai begitu ..." Marisa menutup menangkup pipinya dengan kedua tangannya. Rasa bersalah mencuat di hati Marisa. Kelakuannya membuat Mito jahat, Lintang dan Wulan kena getahnya. "Tapi karena itu, aku dan Wulan bisa bertemu Kak Dave." Lintang tersenyum. Senyum manis dan penuh kelegaan. Wajah Marisa berubah. Ketegangannya memudar. "Lalu, kamu muncul lagi di hidupku. Marah-marah sampai bawa Ayah ke rumah," lanjut Lintang.
Wulan muncul sambil menggendong Tio. Dia minta ijin akan menginap di rumah Diana, ingin bermain lebih lama dengan Tio yang makin menggemaskan. Karena keesokan hari libur sekolah, Lintang mengiyakan. Wulan tersenyum senang. Tio yang ada di gendongan Wulan memaksa turun. Dia sepertinya ingin pergi mengambil sesuatu. "Tio, eeh ... melorot ... Mau ke mana?" ujar Wulan, tangannya tetap memegang Tio agar tidak menjauh. Lintang dan Marisa tertawa melihatnya. Wulan mengikuti langkah bocah yang hampir dua tahun itu. “Kurasa kita akan lebih sibuk saat punya bayi nanti," kata Marisa. Matanya masih melihat Tio yang makin jauh. "Kamu langsung mau punya anak?" tanya Lintang.
Lintang selesai menyiapkan semua orderan, dan segera akan mengirim ke beberapa tempat. Ada juga yang keluar kota. Sekarang, dia sudah punya armada untuk pengiriman, sudah bertambah satu karyawan. Jadi Lintang tidak terlalu repot ikut pengantaran pesanan. "Kakak, lihat!!" Wulan menunjukkan selebaran di tangannya. "Apa itu?" Lintang melihat adiknya yang berjalan mendekat. "Lomba foto, di galeri Kak Mito." Wulan memberikan selebaran ke Lintang. Lintang membacanya. Pengumuman event dari studio Mito. Acara yang menarik, buat pelajar sekota. Temanya 'Rise!' "Dapat dari mana?" Lintang masih memperhatikan selebaran itu. "Sekolah. Tadi aku dikasih tahu guru kelasku. Karena hobiku fot
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini