Farid masih mematung. Dia menatap lurus pada pusara di depan Lintang. Itu makam istrinya. Tyas benar-benar telah tiada. "Ayah ...." panggil Lintang pilu. Farid masih tak bergerak. Tapi dia merasa tubuhnya lemas. Hatinya hancur. Sangat sakit dan sedih. Dia tinggalkan istrinya dalam keadaan miskin dan menderita. Tak pernah berkabar, apalagi bertemu. Setelah hampir sembilan tahun, dia hanya mendapati nisan yang menunjukkan wanita yang dicintainya sudah beristirahat untuk selamanya. "Ayah ...." Wulan menarik pelan tangan Farid. Dengan tubuh gemetar, Farid melangkah mendekati nisan Tyas. Begitu dekat, dia terduduk. Dan meledaklah tangisnya. "Hhuuukk ... Uuhhhhuukkk ...." Tak ada yang bisa menahan kepedihannya. Rasa bersalah, merasa bodoh, merasa tak berguna, kembali memenuhi dirinya. Farid menelungkupkan kepala sampai dahinya menyentuh tanah makam itu. Lintang dan Wulan bersimpuh di kiri dan kanannya. Mereka tak bicara apa-apa. Mereka hanya bisa menangis meski tanpa suara. Hati mereka
Setelah saling menyapa dan melepas rindu, mereka duduk di kursi di ruang tamu. "Kamu berjasa banyak padaku saat aku belum ada kerjaan dulu. Kamu juga banyak ngajarin aku, bukan hal yang sangat istimewa kalau aku bisa bantu sedikit Lintang dan Wulan," ujar Pak Lurah. Dia mengenang kisah lama antara dia dan Farid. "Syukurlah, kalian bisa sama-sama lagi," sahut Bu Lurah. "Ya, akhirnya kami dipertemukan lagi. Walau tanpa Tyas." Farid tersenyum, terdengar sedih dari nada suaranya. Pak Lurah sempat melihat Farid yang agak pincang berjalan. Agak canggung bicara, tapi dia menanyakannya juga. Farid bercerita apa adanya pada Pak Lurah. Mereka tampak begitu akrab meskipun sekian lama tidak pernah bertemu. Terasa getir di hati Pak Lurah mendengar kisah Farid yang begitu malang. Bu Lurah masuk ke rumah belakang. Tak lama dia kembali dengan Mak Imah. "Mak!" Wulan langsung memanggil wanita tua itu dan berdiri mendekatinya. Lalu memeluk Mak Imah dengan senyum lebar. "Duh, Gusti, ini Wulan??" Mb
David tersenyum, merasa lucu melihat ekspresi Wulan. "Ga apa-apa. Ayo ..." Lagi David mengajak. "Hmm ... baiklah." Akhirnya Wulan mau juga. "Ajak Kak Alin, pakai jaket, angin lumayan kencang di pantai," kata David. Wulan bergegas masuk dalam cottage. Di sana dia lihat Lintang duduk dengan Farid sedang mengobrol, sambil menikmati kopi panas. "Kak, Kak Dave mau ajak jalan ke pantai. Ayo, temani," Wulan mendekati kakaknya. Lintang melihat Farid. Dia masih belum ingin meninggalkan ayahnya. Lintang mulai suka berlama-lama di dekat Farid. "Pergi sana, temani adikmu. Asal jangan terlalu dekat pantai saja," kata Farid. "Ya, sudah. Ayo." Lintang berdiri. Wulan lari ke dalam kamar, mengambil dua jaket. Dia berikan satu untuk Lintang, satu dia kenakan untuk dirinya. Lalu mereka ke depan menemui David yang sudah turun dari teras cottage dan berjalan pelan ke arah pantai. Wulan terlihat sangat senang. Ternyata tidak seram seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Mereka berdiri cukup dekat p
Tak lama, mereka bergerak, setelah Tio sudah bangun. Hero dan David langsung menenggelamkan diri di air, berenang ke sana sini nampak senang sekali. Diana menggelar tikar di bawah pohon, lalu meninggalkan Tio di sana dengan Lintang. Baru dia berlari dan melompat ke air nyusul suami dan adiknya. Sementara Wulan dan Farid asyik di tepi pantai, membuat istana pasir. Sesekali terdengar tawa Wulan yang lepas karena girangnya. "Tio, mau main air juga?" Lintang memegang badan Tio. Anak kecil itu memaksa ingin turun ke pantai. Lintang menahannya agar dia tidak lepas dari pegangannya. "Maamma ... mammaaa ..." gumam Tio. "Nanti mama ke sini kalau sudah selesai," ucap Lintang. "Tatak ... ttaataakk ..." Bocah lucu itu memanggil Wulan. "Kak Wulan lagi main. Kamu mau ke sana?" Lintang mencoba menahan. Tio malah nangis karena tidak diajak main ke pantai. Akhirnya Lintang menggendong Tio dan membawanya ke dekat Wulan dan Farid. Begitu dekat Wulan, Tio tertawa. "Taattaakk ..." panggilnya. "Hei
David menatap Lintang yang membuat dia terpana. Dengan gaun putih gading, leher V, lengan sesiku, pas di badan dan melebar di pinggang hingga di bawah lutut sedikit. Kaki Lintang dibalut sepatu senada, heels agak tinggi. Sungguh luar biasa. Anggun dan tampak sangat dewasa. Lintang jadi gugup dilihat detil dari atas sampai bawah. Jelas tatapan penuh kagum dan cinta yang besar yang menerpa dari dokter tampan itu. "Kak Dave ..." sahut Wulan yang berdiri tidak jauh dari Lintang. David menoleh pada Wulan. "Hmm?" "Biasa aja lihatnya. Ini masih Kak Lintang yang tadi pagi. Belum berubah, hee ... hee ..." Wulan makin sering usil sama kedua sejoli itu. "Ulan ..." Lintang makin malu digoda adiknya begitu. "Tukang foto, sini cepat abadikan, sebelum kami keringatan," perintah David pada Wulan. Dengan semangat Wulan mulai mengambil ancang-ancang mengabadikan momen manis David dan Lintang. Diana dan Hero tersenyum melihatnya. Wulan kalau sudah pegang kamera, apa aja jadi bagus hasilnya. Gadis
Libur masih tiga minggu lagi berakhir. Daripada tidak ada kegiatan selain beres-beres rumah, Lintang mencoba beberapa resep roti dan cookies. Wulan dengan semangat membantunya. Dia akan foto hasil karya kakaknya itu. Lalu dia posting di sosmed-nya. David yang mengajarinya, agar jepretannya bisa dikenal dan siapa tahu mendatangkan keuntungan untuknya. "Kak, lihat..." Wulan menunjukkan sebuah komen di akun sosmednya, setelah dia posting gambar beberapa menit sebelumnya. "Ih, cantik banget kuenya, ini order bisa ga, ya ..." itu komennya. Lintang membacanya dan tersenyum. "Come on, Chef! Your first chance and challenge!" ujar Wulan. "Kenapa, Lan?" Diana muncul dari kamarnya, baru menidurkan anaknya. Dia menghampiri Lintang dan Wulan. "Ada yang order kue kakak," jawab Wulan. "Sambut sudah, berani, ayo!" bujuk Diana. "Oke. Ini sebagai percobaan, ya?" Lintang tersenyum dan mengangguk. Wulan pun menjawab komen itu, bahkan menawarkan jika yang lain juga mau order. Dan mereka open order
Lintang menjelaskan kaki kanan Listy digips, tidak bisa menapak, dia mengenakan kruk untuk menopang tubuhnya. David terus menatap jalanan, tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi dalam hati muncul juga pertanyaan, apa yang terjadi dengan Listy. "Aku berhenti di depan situ saja, Kak. Kak Dave langsung ke klinik, kan?" Lintang menunjuk waralaba di depan mereka. David meminggirkan mobilnya. Lintang melepas sabuk pengaman. "Alin ..." panggil David. Lintang menoleh. David menggeser badannya ke kiri dan mencium pipi Lintang sekilas. "Kakak ..." Lintang kaget. "Aku cuma sayang sama kamu. Pegang itu baik-baik, tanamkan dalam di hati kamu. Okay?" kata David. "Iya, aku tahu." Lintang tersenyum. "Bilang apa?" David melihat Lintang yang bersiap turun. "Aku sayang Kak Dave juga," kata Lintang dan cepat turun, menutup pintu mobil. David tersenyum lebar. "Kamu menggemaskan sekali," gumam David. Mobilnya kembali melaju, Lintang memesan ojol dari depan waralaba itu dan pulang. Sampai di klin
David terkekeh. "Emang Alin suka ngangenin." Syifa ngakak mendengar itu. Dia senggol lengan Lintang, sedang Lintang pura-pura cuek, padahal mukanya sudah memerah. "Ih, Nona ini serius amat, kayak ga ada orang di sekitarnya." Syifa menyenggol lengan Lintang lagi. “Jangan usil. Kak Dave udah lapar pasti. Biar cepat selesai," ujar Lintang pura-pura ngambek. "Segitunya, demi cinta." Syifa mencibir. "Apaan sih?" Lintang manyun. "Hee... hee... maaf!" ujar Syifa. David ikut ngakak. "Tarraaa ... jadi!" Lintang mengangkat piring di depannya. Dia plating gado-gado dengan manis. Tampilannya beda dengan biasanya. Semua isian ditata rapi, membuat mata melek lebar melihatnya. "Wooww, cantiknya! Bisa saja ya, bikin kekasih senang." David tersenyum lebar menerima piring itu. "Buat aku mana?" Syifa menoleh pada Lintang. "Ini." Lintang mengambil dua potong wortel dan menyuapi Syifa. "Aah, curang ..." gerutu Syifa. "Ha.. haa..." Lintang tertawa. "Kamu plating sendiri." Syifa memajukan bibir,
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini