Diana menggeleng sambil tersenyum. "Nggak la ... dari awal waktu kami merencanakan membantu kamu dan Wulan sekolah, kami memang mau sampai kalian selesai kuliah," jelas Diana. Diana mengajak Lintang bicara lebih jauh. Seperti apa dunia yang akan dia hadapi nanti. Dunia orang dewasa, dunia kerja itu sangat rumit dan keras. Pendidikan tinggi sangat penting untuk mencapai impian. Saat Diana bertanya apa yang Lintang cita-citakan, Lintang seketika ingat impian yang dia bangun bersama ibunya. Toko kue. Dia dan ibunya dulu membayangkan jika satu hari nanti bisa membuka sebuah toko kue. Waktu di rumah di desa, ketika ibu masih ada, mereka suka mencoba resep baru, kue sederhana saja. Kadang dengan bahan apa yang ada. Lintang suka membantu ibunya. Kebiasaan itu yang membuat Lintang pun punya keinginan membuka usaha sendiri, berkecimpung di dunia makanan. Dan itu yang dia katakan pada Diana. "Kerja di bidang kuliner?" Diana memandang Lintang. Gadis itu mengangguk. "Itu bagus, masakan kamu me
"Risa ...." Lintang mengulang nama yang David tulis di chat. "Aku ga asing dengan nama itu. Risa ... Risa?" Lintang membelalak. Itu nama yang Mito sebut untuk Lintang kalau dia sedang marah. Ini kebetulan atau apa? Kok David menyebut nama itu. Apa Risa ini teman dekat David? Atau pacarnya? Lintang jadi gelisah. Ya, tentu saja David dengan mudah bisa mendapatkan gadis yang sepadan dengan dia. Dia dokter muda yang hebat dan ganteng abis. Pasti banyak gadis yang suka dengannya, dan berharap meraih cintanya. Lintang hanya pembantu di rumah ini. Dia ditolong olehnya, diperlakukan begitu baik selama ini. Itu sudah terlalu banyak. Kalau kemudian Lintang mengharap David juga mencintainya, bukankan itu keterlaluan namanya? "Lintang, sadar... buka matamu. Sudahlah, jangan berharap apa-apa. Fokus pada cita-citamu, lalu pergilah. Hiduplah dengan baik, tanpa merepotkan orang lain lagi," katanya pada diri sendiri. Lintang menutup buku pelajarannya. Merapikan laptop dan menyimpannya. Lalu dia nai
Lintang merasa bangga juga bisa menunjukkan kalau dia mampu bersaing. Rasanya tidak sia-sia semua pemberian Hero, Diana, dan David untuk dirinya. "Terima kasih, Kak, semua karena Kakak juga, mau beri aku kesempatan ini," ujar Lintang. Senyum masih bertengger di bibirnya yang mungil. Lintang masuk duluan ke dalam rumah. Dia ingin segera menghapus make up dan berganti pakaian. Di ruang tengah ada David. Dia sudah datang ternyata. Melihat Lintang masuk, cepat dia berdiri. "Woow, kamu cantik sekali!" sambut David. Dia terpana melihat Lintang dengan dress merah marun, selutut, yang membentuk tubuhnya begitu bagus. Dengan heels agak tinggi, dia terlihat sangat dewasa. Make up di wajahnya simple, tapi tetap membuat Lintang terlihat beda. Lintang berdiri di depan David, tidak tersenyum, tidak bicara apa-apa. "Congratulations. You did it," ucap David. Sedikit datar. "Makasih, Kak Dave," kata Lintang lirih, cukup bingung mau bersikap bagaimana. Di belakang muncul Hero, Diana, dan Wulan. D
"Terima kasih buat hari ini, Mas David. Aku senang sekali, lama juga ga nonton. Akhirnya bisa refreshing." Senyum cantik mengukir bibir Marisa. "Sama-sama. Aku juga lama ga nonton. Banyak kesibukan, jadi ga mikir. Thanks, uda ngajak jalan hari ini." David juga tersenyum. Berjalan bersama keduanya meninggalkan gedung bioskop. Mereka menuju ke food court, makan malam bersama. Hari memang sudah menunjukkan jam enam lewat, saatnya menikmati makan malam. "Mas, ke resto Jepang aja, ya ... Aku lama juga ga makan menu masakan Jepang," ajak Marisa. David mengiyakan dan mereka pindah ke lantai atas, ke resto Jepang tempat yang Marisa pilih. Ini kali ketiga David dan Marisa keluar bersama. David mulai bisa menilai. Marisa termasuk pemilih dalam hal makanan. Pasti yang cukup berkelas. Walaupun bukan yang paling wah. Sambil menunggu makanan, mereka ngobrol. Sangat mungkin gaya hidupnya dipengaruhi pergaulannya karena dia bekerja di sebuah hotel. Makanan dihidangkan. Sambil mulai menyantap maka
Lintang berjalan menuju ke perpustakaan kampus. Hari ini dia akan mengembalikan buku dan meminjam buku yang lain untuk menyelesaikan tugas. Belum dua minggu kuliah, tapi sudah kelihatan kesibukannya di depan akan seperti apa. Jadi tidak boleh ada waktu yang terbuang. Nanti dia yang keteteran. Memang nanti akan lebih banyak praktek, tetapi sekarang materi lebih pada penguatan pemahaman dan teori yang diperlukan mahasiswa. Makanya selepas kelas, Lintang menyempatkan waktu untuk belajar di perpustakaan. Belum sampai di pintu perpustakaan, seseorang memanggil Lintang. "Lintang!" Lintang menoleh. Wajahnya langsung berbinar, matanya melebar tak percaya menatap sosok di depannya. "Bimo! Ya Tuhan, Bimo!" Lintang tersenyum senang. Tidak pernah dia kira akan bertemu Bimo lagi. Mereka satu kampus? Luar biasa! "Astaga! Kamu di sini? Woww! Lintang ...." Bimo memegang kedua tangan Lintang seperti tidak yakin dia benar-benar bertemu Lintang. "Bimo, apa kabar? Kamu kuliah di sini?" tanya Lintang
"Bimo ... teman yang di desa ...." Hati David bergejolak. Yang dia rasa, Bimo suka pada Lintang. Dan ada sesuatu yang mengganjal di dada David memikirkan itu. "Ah, belum tentu. Mereka teman lama, ga ada apa-apa," gumam David. Dia mencoba menghibur diri. Tapi tetap saja dia sedikit gelisah memikirkan hal ini. Lintang sangat cantik sekarang. Dia mulai tahu berdandan meski simple. Diana yang mengajarinya. Pasti akan ada cowok-cowok suka padanya. Entah kenapa David makin resah saja. Selama praktek dia berusaha keras untuk fokus. Untung tidak terlalu banyak pasien sore itu. Sebelum jam delapan, David sudah balik pulang. Dia ingin melihat Lintang. Apakah pemuda itu masih di sana? Segera David menuju ke rumah. Bimo sudah tidak ada. Motornya tidak tampak lagi di depan rumah. David masuk, ada Lintang dan Diana di ruang tengah. Mereka main dengan Tio yang masih belum tidur. "Boleh ya, Kak? Aku bereskan semua pekerjaan Jumat malam. Jadi ga ada hutang kerja di rumah." Lintang sedang bicara den
Menyadari Lintang yang melihat dia dan Marisa berpelukan, David mendorong Marisa agar menjauh. "Risa, jangan seperti ini. Kita tidak akan bahagia jika memaksakan diri,” kata David dengan suara lebih pelan. "Aku tulus sayang kamu, Mas," Marisa terus mencoba meyakinkan David. Dia menarik lagi tangan David dan memegangnya erat. "Aku akan menyakiti kamu jika memaksa menerima kamu. Karena hatiku untuk orang lain." Akhirnya David mengakui perasaannya. Dia memilih mengatakan ini agar Marisa mundur dan tidak terus mengejarnya. "Jadi, Mas David sudah punya kekasih?" Marisa tak percaya mendengar ini. Matanya melebar memandang David dengan wajah merah. Apa benar yang David katakan? Apa benar David sedang dekat dengan wanita lain? David tidak menjawab. Ya, dia punya hati untuk Lintang, tapi Lintang bukan kekasihnya. Dia juga tidak mau mendustai Marisa. Dia hanya jujur mengatakan perasaannya diisi oleh cinta untuk orang lain. "Siapa dia, Mas? Aku harus tahu." Tatapan Marisa tajam. Rasa marah
David menatap pria tampan di depannya. "Astaga, Diego!" David memeluk temannya itu erat. "Kamu balik ke sini? Udah bosan di Kanada? Sejak kapan?" "Baru seminggu. Besok aku mau bikin syukuran. Datang, Bro," kata Diego. Dia tersenyum lebar, senang sekali tanpa sengaja bisa bertemu kawan lamanya. Kedua pria itu bicara dengan wajah cerah. Jelas sekali mereka terlihat gembira bisa bertemu. Tapi tampak mereka akrab satu sama lain. Diego memastikan kalau David akan datang ke acaranya besok sore. “Don't be late. At 6 pm. Okay?" Diego menepuk bahu David. "Dan, ajak pasangan, hmm ..." Diego mengangkat alis dan melirik ke Lintang. "Oya, kenalkan. Ini Lintang." David menunjuk Lintang. "Hai, aku Diego, teman SMA David,” kata Diego. Lintang mengangguk sambil tersenyum. "Cocok. Cantik sekali. Kapan kirim undangan? Jangan sampai jadi bujang lapuk, hee ... hee ...." gurau Diego. Lintang tersipu mendengar itu. "Tenang saja, nanti dikirim, hee ... hee ...." David merangkul bahu Lintang. Kaget, L
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini