Beranda / Romansa / The Hero of My Life / 2. Aku Ga Kuat Lagi, Kak

Share

2. Aku Ga Kuat Lagi, Kak

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-30 22:17:44

Lintang melihat Bimo dari jendela dapur dan bergegas menghampirinya. Bimo adalah satu-satunya teman akrab Lintang di sekolah. Dia baru pindah ke desa ini saat mereka masuk SMA. Bimo pemuda yang ramah dan baik. Dia cukup perhatian pada Lintang dan Wulan. Lintang tidak pernah tahu kalau Bimo sebenarnya menaruh hati padanya.

"Bim, ayo ikut aku. Kita cari tempat untuk bicara," ajak Lintang.

Bimo heran melihat Lintang seperti ketakutan. Bimo mengikuti Lintang yang berjalan cepat menuju pemakaman. Di sana Lintang menangis di atas makam ibunya.

"Lin, ada apa?" tanya Bimo yang bingung dengan sikap Lintang. Dia sedari tadi menunggui gadis itu menangis sampai puas.

"Aku ga tahan, Bim. Semua berubah, sejak anak Pak Lurah datang. Dia benci padaku dan Wulan. Dia berbuat semau sendiri pada kami,” tutur Lintang.

"Mas Mito? Jadi karena Mas Mito?" Bimo terkejut mendengar cerita Lintang.

Lintang tak bisa menutup mulutnya. Akhirnya dia mencurahkan kepedihannya karena perbuatan Mito. Walaupun Lintang tidak bisa mengatakan segala sesuatu, dia hanya ingin melepas rasa sakit dan lelah yang memenuhi hatinya sampai sesak.

Bimo tidak habis pikir, Pak dan Bu Lurah yang dikenal baik itu punya anak jahat begini? Bimo sangat kesal dan geram mendengar cerita Lintang. Ini tidak bisa dibiarkan. Lintang tidak boleh diam saja. Dia harus mengatakan apa yang dia dan Wulan alami gara-gara anak Pak Lurah itu.

"Lin, kamu harus kasih tahu Pak Lurah. Ga bisa dia seenaknya begitu sama kamu dan Wulan. Ini macam KDRT, Lin," ucap Bimo kesal.

"Mana bisa, Bim. Aku takut masalah nanti melebar. Kalau ujung-ujungnya dia makin jahat, aku ga tega Wulan harus menerima akibatnya.” Lintang menggeleng. Tidak mungkin dia mengadu.

Bimo tidak tahu harus bilang apa. Seandainya dia bisa melakukan sesuatu buat Lintang, gadis cantik yang beberapa kali hadir dalam mimpi Bimo. Dia pandangi Lintang yang terlihat gelisah. Gadis itu berusaha tegar dengan hidup makin berat yang dia jalani.

Tidak lama setelah itu Lintang dan Bimo meninggalkan makam, pulang. Sebelum berpisah, Bimo memberikan bungkusan kepada Lintang. Oleh-oleh dari Jogja. Liburan kenaikan kelas ini Bimo dan keluarganya memang pergi ke sana. Lintang mengucapkan terima kasih, lalu mereka mengambil jalan masing-masing.

*****

"Wulan, aku ga lihat kakakmu. Di mana dia!?" tanya Mito pada Wulan. Gadis kecil itu sedang menyapu halaman depan rumah.

"Dia pergi," jawab Wulan takut-takut.

"Dasar anak sialan. Keluyuran saja kerjanya," geram Mito.

Mito beranjak duduk di teras. Sengaja dia duduk di situ menunggu Lintang pulang. Ingin rasanya dia jambak rambut panjangnya, sekalian menampar pipinya, biar tahu rasa. Tidak lama Lintang datang. Dia tidak menuju teras karena melihat Mito ada di sana. Lintang lewat samping rumah, menuju pintu belakang. Tapi ....

"Hei!! Mau ke mana kamu?!" teriak Mito lantang. Lintang menghentikan langkahnya seketika.

"Sini! Cepat!!" bentak Mito kesal.

Lintang segera mendekati Mito. Seperti biasa, tak berani menatap mata pemuda itu. Dia menundukkan kepalanya.

"Dari mana saja kamu?" tanya Mito, ketus.

"Dari makam ibu," jawab Lintang pelan. Dada Lintang bergemuruh karena takut mulai mendera.

"Ibumu sudah mati, gak akan bisa mendengar kamu. Tahu?" Mito menonjok dahi Lintang dengan telunjuknya. Lalu dia duduk lagi.

"Duduk!" ujar Mito.

Lintang mengangkat wajahnya, memberanikan diri memandang Mito.

"Duduk!" Mito menunjuk ke lantai.

Tidak berani menolak, Lintang bersimpuh di lantai.

"Bersihkan sepatuku." Mito mengangkat kakinya ke depan wajah Lintang.

Lintang cepat mengambil lap dan kembali lagi ke tempatnya. Perlahan mulai membersihkan sepatu Mito. Dari dekat tembok di sisi rumah, Wulan melihat kakaknya. Takut mulai membuat dadanya meletup. Gadis kecil itu hampir menangis.

Setelah Lintang rasa selesai, dia menghentikan tangannya dan meletakkan lap yang dia pegang. Merasa pekerjaan Lintang belum betul, Mito mengumpat kesal. Dengan keras kaki Mito menendang Lintang. Tentu saja gadis itu terjungkal.

"Kak!" Wulan berlari ke arah kakaknya. "Jangan tendang kakakku." Dia memeluk Lintang yang baru duduk lagi di lantai, menghalangi Mito agar tidak menyentuh kakaknya.

"Mau apa kamu?! Pergi sana!" Tangan Mito menampar pipi kecil Wulan. Gadis itu menjerit. Dia langsung menangis karena takut dan kesakitan.

"Ulan!!" Lintang berusaha melindungi Wulan. Tapi Mito menarik tangannya kuat sekali, agar menjauh dari Wulan.

"Tugasmu belum selesai. Biarkan saja dia!" sentak Mito kasar.

Lintang tak tahan lagi. Dia pun menangis. Sambil tangannya kembali membersihkan sepatu Mito.

"Anak tolol! Pegang kakiku, capek aku mengangkatnya terus. Cepat!!" tukas Mito pada Wulan.

Wulan mendekat dan memegangi kaki Mito sementara Lintang mengelap sepatu. Tangannya sedikit gemetar. Dari dalam rumah, Mak Imah menatap kedua gadis malang itu. Air matanya menitik tak tertahankan. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mereka?

*****

"Kak, aku ga kuat lagi ... aku takut …." Wulan menangis di dalam kamar setelah keduanya selesai dikerjain Mito. Masih terasa panas di kedua pipinya karena gamparan yang dia terima. Lintang memeluk Wulan erat. Dia ikut menangis.

"Kakak juga ga tahan lagi, Lan. Kakak juga takut," kata Lintang sedih.

Sakit, sedih, marah, semua campur aduk di dalam hatinya. Lalu dia harus bagaimana? Mito bahkan sudah menampar Wulan sekeras itu. Pipinya memar. Lintang tidak sanggup melihat adiknya akan mendapat perlakuan yang lebih kejam lagi. Beberapa kali Wulan sempat mengigau saat tidur, seperti ketakutan. Jika dibiarkan terus begini, Lintang kuatir Wulan makin tertekan dan bisa mengalami trauma berkepanjangan.

"Lan, kita pergi dari sini. Kakak tidak mau kamu dipukul lagi." Lintang memandang Wulan.

"Pergi? Pasti bapak sama ibu ga kasih ijin kita pergi." Wulan balas menatap kakaknya.

"Kita pergi diam-diam. Kita punya tabungan, kan? Kita bisa pakai uang itu," putus Lintang.

Lintang memandang adiknya. Tidak ada pilihan lain, mereka harus pergi, atau akan jadi bulan-bulanan Mito. Lintang harus melindungi Wulan agar tidak semakin menderita karena diperlakukan dengan kejam oleh orang lain. Tekat Lintang sudah bulat, dia akan membawa Wulan pergi dari rumah itu.

“Kita ke mana, Kak?” Wulan bertanya dengan wajah bingung dan tatapan nanar pada kakaknya.

Lintang memandang Wulan, dia juga tidak tahu akan ke mana. Tapi pergi adalah pilihan paling baik tampaknya. Yang penting dia dan Wulan tetap bersama, seperti pesan ibu.

“Ke kota, kita akan ke kota.” Entah bagaimana itu yang keluar dari mulut Lintang.

Wulan diam saja. Perasaannya campur aduk antara takut dan bingung. Dia tidak ingat kota seperti apa. Dulu ibu pernah mengajak pergi waktu dia masih kecil. Kalau Lintang masih bisa ingat, meski itu kira-kira empat tahun lalu.

Kota, sepertinya tempat yang tepat untuk dituju. Di desa ini, semua orang tahu Pak Lurah. Jika dia bersembunyi di sekitar desa, pasti akan ketemu. Pasti akan menimbulkan masalah baru. Jika dia pergi jauh, keluarga Pak Lurah akan baik kembali. Mito akan nyaman di rumahnya sendiri.

Sore itu, Lintang dan Wulan bersikap seperti biasa. Wulan bahkan hampir tidak keluar kamar. Lintang menemani Wulan hanya untuk ke kamar mandi saja. Dia tidak mau ada yang melihat muka Wulan yang memar. Pasti akan ditanya kenapa, ada apa. Sebelum jam delapan malam mereka sudah masuk kamar dan tidak keluar lagi.

Di dalam kamar, Lintang dan Wulan membereskan barang mereka. Tidak banyak yang dibawa. Secukupnya yang bisa masuk dalam tas sekolah mereka. Yang penting Lintang membawa raport dan ijazah, surat penting lainnya, juga dompet. Tidak ketinggalan kaos oleh-oleh dari Bimo. Setelah itu, Lintang menulis dua surat. Satu untuk Pak Lurah dan Bu Lurah. Yang satu untuk Bimo. Setelah itu dia naik di sisi Wulan yang berusaha tidur meskipun sulit karena rasa takut yang terus membayang.

Malam makin larut. Rumah itu sudah gelap sejak tadi. Orang-orang yang tinggal dalam rumah sudah naik ke peraduan. Kecuali di kamar belakang. Ada lampu kecil yang menyala. Lintang masih terjaga. Dia tak mau benar-benar terlelap. Dia takut ketiduran, lalu kesiangan, dan rencananya berantakan.

Lintang merasa lelah. Badannya, juga pikirannya. Apa yang akan dilakukannya di kota? Dia tak kenal siapapun. Apa dia dapat bertahan? Tapi di sini, dia juga tak sanggup lagi menjalani hidupnya. Mito makin jadi menyiksa dia dan Wulan. Mereka seperti budak yang hina dan tak punya harga. Di sini seperti penjara. Dia diperlakukan bagai tahanan. Lintang tak bisa lagi melihat Wulan diperlakukan begitu kejam. Dia masih terlalu kecil untuk menerima itu semua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Little Casper
benar. pergi lebih baik nyesek rasanya jadi lintang dan wulan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • The Hero of My Life   3. Pergi Ke Kota

    Lintang menggeliat. Tangannya menyentuh meja di sebelah tempat tidur dan dia terbangun. Dia melihat jam di meja. Hampir setengah empat pagi. Dia harus cepat bangun, jangan sampai keduluan Mak Imah. Bisa ketahuan nanti. "Lan ... Ulan ... Ayo, bangun." Lintang mengguncang tubuh Wulan. Wulan membuka mata. "Ayo, cepat. Nanti Mak Imah melihat kita," bisik Lintang. Wulan turun dari ranjang memakai sandal dan jaket. Lintang mengangkat ranselnya lalu membuka jendela lebar-lebar. Dia meloncat keluar, kemudian menolong Wulan. Dia mengajak adiknya ke sumur untuk mencuci muka. Selesai itu Lintang mengajak Wulan melangkah meninggalkan rumah. Di depan halaman, masih sempat Lintang memandang rumah itu sebentar, kemudian melangkah lagi. "Ke rumah Bimo dulu. Lalu, kita ikut mobil yang mengantar pedagang ke pasar. Sampai terminal dekat pasar, kita pindah kendaraan lagi," kata Lintang. Mereka cepat-cepat melangkah ke rumah Bimo. Angin dingin terasa menerpa, tapi tak mereka rasakan. Mereka terus saja

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01
  • The Hero of My Life   4. Gadis Kecil yang Baik Hati

    Dengan masih gemetaran Lintang mengatur napas. “Iya, maaf, Pak. Maaf …” Lintang membungkuk, lalu cepat-cepat dia menyeberang, sedikit menyeret Wulan. Wulan pun tampak panik dan sedikit pucat karena terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu. Sampai di pinggir jalan, Lintang masih sempat menoleh pada pemilik mobil itu yang sudah masuk lagi dalam mobilnya. Pria itu, si dokter muda tampan, kembali fokus dengan kemudi. Tapi dia tidak segera pergi. Dia meminggirkan mobil dan memperhatikan dua gadis itu. Seorang kira-kira berusia tujuh belas tahun, satu lagi sepuluh tahun. Masing-masing membawa tas di punggung. Terlihat lusuh. Mereka jelas tergesa-gesa, sampai tidak begitu memperhatikan jalan. "Hm, mau ke mana mereka? Seperti buru-buru," gumam David. Dia terus memperhatikan keduanya. Gadis yang lebih besar menuntun yang kecil. Rasa iba muncul di hatinya. Melihat kedua gadis itu membuat terenyuh saja. "Banyak sekali orang yang hidup sulit, kalau saja aku bisa berbuat sesuatu," bisik hati Davi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-04
  • The Hero of My Life   5. Surat dari Lintang

    Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi. “Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi. Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah. Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi. Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-05
  • The Hero of My Life   6. Apa Ada Tempat Buat Kami?

    Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-08
  • The Hero of My Life   7. Mata yang Melihat, Hati yang Tersentuh

    Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • The Hero of My Life   8. Mencari Kerja

    Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • The Hero of My Life   9. Ada Mas Mito!

    Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-16
  • The Hero of My Life   10. Dua Gadis Kecil Lagi

    Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19

Bab terbaru

  • The Hero of My Life   Home Sweet Home

    'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi

  • The Hero of My Life   137. You Are Really My Hero

    Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab

  • The Hero of My Life   136. Teringat Lagi Dua Gadis Kecil Itu

    Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau

  • The Hero of My Life   135. Buah Jatuh Dekat Pohonnya

    "Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg

  • The Hero of My Life   134. Ternyata Bukan Cuma Lintang

    Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.

  • The Hero of My Life   133. Bawaan Bayi Atau Mama yang Manja?

    Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng

  • The Hero of My Life   132. Strategi yang Tepat

    "Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu

  • The Hero of My Life   131. Senyum Makin Lebar

    "Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.

  • The Hero of My Life   130. Selamat, Sayangku

    David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini

DMCA.com Protection Status