Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu.
Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara."Mito mana?" tanya Pak Lurah."Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini.Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan."Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu.Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang tahu. Mereka terakhir melihat Lintang sebelum libur sekolah.Mito terduduk di kursi. Dia sandarkan punggung dan meluruskan kaki yang terasa sangat pegal."Mungkin Bimo benar," ujar Pak Lurah."Bimo? Bimo siapa?" tanya Mito cepat."Teman Lintang juga. Apa kamu ndak ke rumahnya?" Pak Lurah memandang Mito. "Anaknya hitam manis, rambutnya cepak. Tingginya hampir sama dengan kamu.""Aku ingat. Namanya Wijaya Bimo Prakoso," kata Mito."Bimo sepertinya yang paling dekat dengan Lintang. Lintang menulis surat buatnya. Dia berpikir Lintang pergi ke kota," ujar Pak Lurah.Bu Lurah dan Mito kaget mendengar itu. Rasanya tidak mungkin jika Lintang nekat ke kota. Kota bukan tempat yang aman buat gadis kecil seperti mereka. Kehidupan yang sangat keras dan kejam yang menanti. Jika benar Lintang membawa Wulan ke sana, alamat mereka berdua akan celaka."Aku akan cari mereka ke kota. Aku pasti menemukan mereka," kata Mito serius.Mito langsung mengatur keperluan untuk segera berangkat. Dia tidak akan menunda lagi. Secepatnya dia harus bisa menemukan kakak beradik yang pergi dari rumah gara-gara dia. Dia harus berhasil membawa mereka pulang untuk menebus kesalahannya.*****Hari mulai gelap. Lintang dan Wulan duduk di warung Bu Ali, seperti tadi pagi. Mereka beli makanan lagi. Sambil makan, Lintang mengasah otaknya. Malam ini dia mau tidur di mana? Tidak mungkin dia tidur di emperan toko. Itu menakutkan dan dia tak tega jika Wulan harus tidur seperti itu."Permisi, Bu. Aku mau mengambil pesanan ibu." Seorang anak laki-laki hampir seumuran Lintang masuk warung itu."Oh, Praja! Sebentar, ya? Ibu siapkan dulu. Biar hangat. Pasti ibumu senang," kata Bu Ali."Makasih, Bu Ali," jawab anak itu. Dia duduk di dekat Bu Ali. Lintang memandangnya. Anak itu tersenyum pada Lintang. Lintang menunduk lagi melanjutkan makan.Makanan Lintang dan Wulan sudah habis. Setelah membayar, Lintang menuntun Wulan menuju jalanan. Berjalan perlahan, tanpa bicara. Keduanya sudah lelah. Dan rasanya ingin segera berbaring, tapi di mana?"Tidak adakah tempat buat kami di kota yang begini besar?" batin Lintang. Dia lihat Wulan yang sudah letih."Hei! Kalian mau ke mana?" Tiba-tiba ada yang menyapa Lintang dari belakang.Lintang menoleh. Ternyata anak laki-laki yang di warung Bu Ali tadi. Lintang tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya memandangi anak lelaki itu."Jangan takut sama aku. Aku Praja. Aku tinggal ga jauh dari sini. Di gubuk darurat dekat rel kereta api." Tangan Praja menunjuk arah rumahnya.Lintang menatap Praja. Dia agak kotor. Tapi wajahnya ceria dan ramah.“Kalian mau pulang?” Praja bertanya sambil menatap Lintang. Dia belum pernah melihat Lintang dan Wulan di sekitar sini. Praja hafal anak-anak jalanan yang biasanya ada di daerah itu."Kami baru sampai kota ini, baru datang tadi pagi," lanjut Lintang."Kalian ke kota ini mau apa? Mencari siapa?" Praja penasaran. Waktu di warung Bu Ali dia bisa menduga kedua gadis di depannya ini bukan dari sini.Lintang terdiam. Dia tak tahu, apa tidak apa-apa jika bercerita pada Praja siapa dirinya. Dia belum kenal anak itu."Maaf, kalau kamu ga suka aku bertanya, ga usah dijawab.” Praja mengerti Lintang belum nyaman dia bertanya banyak hal. Tapi Praja tahu kedua gadis itu pasti butuh tempat menginap. Dia menawarkan mereka ikut dengannya.“Aku tinggal dengan ibuku. Gubuk kami kecil. Tapi kalau cuma untuk tidur masih bisa. Daripada kalian tidur di jalan, atau emperan toko. Banyak orang jahat. Gimana?" kata Praja.Lintang menoleh pada Wulan. Wulan mengeratkan genggaman tangannya pada Lintang. Akhirnya Lintang menerima tawaran Praja. Tidak ada pilihan. Setidaknya bersama Praja ada tempat untuk dia dan Wulan berteduh malam ini.Mereka mengikuti Praja ke rumah darurat. Rumah itu terbuat dari papan dan kardus yang ala kadarnya. Praja masuk ke dalam rumah kecilnya."Ibu ...." panggil Praja. Seorang wanita hampir empat puluh tahun, duduk di dalam rumah itu."Sudah pulang, Ja?" Dia tersenyum. Lalu melanjutkan menjahit sepotong baju yang dia pegang."Ayo, masuklah ...." ajak Praja pada Lintang dan Wulan.Kedua kakak beradik itu masuk. Rumah kardus itu hanya satu ruangan. Tapi cukup terang di dalam. Ibu Praja memperhatikan dua gadis yang dibawa pulang putranya. Keduanya manis. Tetapi terlihat lusuh dan lelah. Mereka memandangnya dengan wajah sedikit takut dan malu-malu."Siapa ini, Ja?" Ibu Praja memandang Lintang dan Wulan.Praja mengatakan siapa dua gadis yang dia temui di warung Bu Ali. Ibu Praja merasa iba melihat mereka. Dia tidak keberatan jika Lintang dan Wulan menginap di gubuk mereka."Panggil aku Bu Rasti. Ga usah sungkan, ya?" Bu Rasti tersenyum.Praja membuka makanan yang dia bawa dari warung. Sementara menikmati makan malam sederhana itu, Bu Rasti dan Praja bertanya ini itu pada Lintang dan Wulan. Lintang hanya menjawab seperlunya saja. Dia belum nyaman jika mengatakan semua kisah perih yang dia lalui.Praja ternyata setahun lebih muda dari Lintang. Dia naik kelas 11 tahun ajaran baru nanti. Dia sekolah di sekolah murah untuk anak tidak mampu tidak jauh dari tempat itu. Meskipun dengan keadaan begitu minim, Praja punya semangat mengejar cita-citanya. Sebelum sekolah Praja berjualan, menjadi pedagang asongan. Pulang sekolah kadang dia mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Kisah Praja sedikit membangkitkan semangat Lintang. Dia pasti bisa juga tetap sekolah. Dia akan mencari kerja, sambil sekolah seperti Praja.Bu Rasti menggelar tikar untuk mereka tidur. Lalu dia berikan selembar kain lusuh pada Lintang dan Wulan untuk dipakai sebagai selimut. Wulan yang sudah sangat lelah segera merebahkan badan. Tentu saja tidak nyaman, tapi dia tidak bicara apa-apa. Sekalipun badan terasa pegal, dia pejamkan mata dan berusaha segera tidur, dengan beralaskan tas sekolah sebagai bantal di kepalanya.Lintang masih duduk, di sisi Wulan. Dia elus kepala Wulan, berharap dengan begitu adiknya akan terasa lebih nyaman."Kamu ga tidur?" tanya Praja pada Lintang. Praja duduk di sisi pojok yang lain."Aku ga akan bisa tidur," ucap Lintang.Praja tersenyum. Dia duduk bersandar pada dinding kardus di belakangnya. Lintang memperhatikan Praja. Dia kelihatan baik. Ibunya juga. Mereka mau menampung dia dan Wulan padahal belum kenal dan belum pernah bertemu."Kalian nekat sekali. Di kota, hidup itu susah. Apa kamu ga berpikir mereka akan mencarimu?" sahut Rasti yang sudah mendengarkan kisah Lintang."Saya tidak tahan melihat adik saya dipukul." Lintang kembali ingat kekerasan yang Mito lakukan."Dipukul? Keterlaluan sekali. Aku bisa paham kalau kamu takut tetap di sana," lanjut Rasti. Dia ikut geram jadinya."Misal mereka menemukanmu?" tanya Praja."Aku ga akan mau kembali. Ini keputusanku. Susah atau senang aku tetap ga akan kembali ke sana." Lintang memastikan yang dia putuskan.Dia sadar, yang dia pilih ini berat. Tapi dia harus kuat menjalani pilihannya."Jangan ... jangan pukul ... aku takut ... jangan ... Kak ...." Terdengar Wulan mengigau. Rupanya rasa takut Wulan belum juga hilang.Lintang mendekat ke Wulan, memeluknya. "Tidak apa-apa. Ini sama kakak. Mas Mito ga ada di sini. Tidurlah ...." bisik Lintang. Wulan memeluk Lintang erat, tetap memejamkan mata.Praja dan ibunya melihat kedua gadis itu dengan iba.Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi
Lintang berjalan cepat masuk gang di depannya. Rumah-rumah sudah gelap. Hanya satu atau dua rumah yang lampunya menyala. Itu pun hanya di satu ruangan. Di mana Wulan? Pria itu tinggal di rumah yang mana? Dengan rasa cemas Lintang memperhatikan satu per satu rumah yang masih menyala lampunya. Tapi rumah yang mana? Apa Lintang harus mengetuk setiap pintu rumah? Ini tengah malam!!Rasa cemas dan takut makin mendera Lintang. Tapi dia harus menemukan Wulan. Tak peduli jika itu Mito sekalipun ternyata yang membawa Wulan. Dia harus menemukan adiknya. Dingin terasa menusuk kulit. Jaket tipis Lintang tidak terlalu menolong mengatasi dingin dan angin malam. Dengan kebingungan, Lintang memandang ke sekeliling pada rumah-rumah dengan lampu menyala."Uhuukk ... uuhukk ...." Terdengar suara batuk."Wulan?" bisik Lintang. Itu seperti suara batuk Wulan. Lintang menghentikan langkah, memasang pendengarannya. Lintang berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Lampunya
Wajah gadis ini cantik, tapi lusuh, dan terlihat begitu sedih. Matanya indah meskipun sayu. Itu yang tampak di mata David. Lintang menghiba memohon belas kasihan padanya. Yang ada dalam pikiran Lintang tidak lain adalah kesembuhan Wulan. Hanya itu. Dokter tampan ini harapannya. Dia akan lakukan apa saja agar Wulan bisa sembuh kembali. "Dokter, kekurangan biaya akan saya bayar dengan bekerja. Saya bisa kerjakan apa saja. Menyapu, mengepel, memasak, mencuci. Apa saja. Tolong, Dokter," kata Lintang lagi. Suaranya terdengar pedih dan memilukan. David merasa begitu iba melihat Lintang sangat kacau. Tampak jelas Lintang sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Wulan. "Tentu. Aku akan mengobati Wulan. Tugas dokter menolong orang sakit. Aku yang membawa Wulan ke sini. Jadi aku tidak akan meminta bayaran apa-apa. Simpan saja uang kamu." David mengatakan itu dengan tulus, bukan hanya karena ingin menenangkan Lintang. "Tapi, saya dan Wulan ... kami tidak punya tempat tinggal. Saya mi
Lintang membangunkan adiknya. Saatnya Wulan makan dan minum obat. Wulan mencoba duduk, bisa, tapi masih terasa lemas badannya. Lintang mulai menyuapi Wulan. Sementara mengunyah makanan, Wulan teringat pada majikan mereka Bu Fani. Bu Fani orang yang sangat baik. Mungkinkah David dan Diana sama seperti majikannya itu? "Kak, apa mereka baik seperti Bu Fani?" tanya Wulan. "Iya, Lan. Kak dokter bilang kamu akan dirawat sampai sembuh," jawab Lintang. Dia meniup bubur lalu menyuapi Wulan lagi. Wulan memandang Lintang. Setelah dia sembuh, apa yang mereka akan lakukan? Kembali ke jalanan? Tidur di pinggir jalan? Pekerjaan juga sudah tidak ada. Bagaimana nasib mereka nanti? Ingat hari-hari berat yang telah dia jalani, juga sakit yang mendera hingga seperti mau mati, Wulan merasa pahit di hatinya.
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini