Lintang duduk kembali di meja belajar, membuka laptop lagi untuk menyelesaikan tugas. Tapi masih terpikir yang ayahnya katakan. Keluarga ibunya tidak mau tahu soal mereka dan mereka tidak dianggap. Kenapa dia harus pusing karenanya? Tanpa mereka, Tuhan sudah membuat hidupnya sangat baik.
Sedang Farid yang sudah ada di dalam kamar, jadi termenung ingat pada peristiwa hari terakhir dia datang ke rumah keluarga Angkasajaya.
*
"Masih berani kamu muncul di hadapanku? Memangnya sudah punya apa kamu berani menunjukkan wajahmu itu?" sambut ayah Tyas. Tatapan tajam dan benci terpancar di sana."Saya ingin menyampaikan permohonan maaf karena menikah dengan Tyas tanpa restu. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Bapak dan ibu." Farid memberanikan diri.
Suasana kelas cukup tenang. Semua mahasiswa fokus menjelaskan dosen tampan itu mengajar. Hingga beberapa menit kemudian selesai sudah apa yang perlu disampaikan. Tanya jawab di kelas juga cukup menarik. Sayang, waktu akhirnya membatasi, kelas harus berakhir."Baiklah, pertemuan kita tinggal satu kali lagi, lalu tinggal ujian akhir semester. Persiapkan diri baik-baik. Kurangi main game dan nonton anime atau drakor. Oke?" David memberi pesan sebelum mengakhiri kelas hari itu."Iya, Pak!" sahut beberapa mahasiswa."Silakan kumpulkan yang kalian buat hari ini, lalu boleh tinggalkan kelas," tutup David.Para mahasiswa segera berebut meletakkan tugas di depan, lalu meninggalkan kelas. David menunggu sampai semua terkumpul baru, dia rapikan dan simpan dalam map, kemudian dia be
Lintang baru selesai mandi saat Wulan memanggilnya. "Kak, ada tamu. Katanya uda janjian." Wulan masuk ke kamar Lintang. Lintang sedang di depan meja rias. "Ohh, sebentar Kakak turun. Kamu temani dulu. Ambilkan minum, Lan," kata Lintang, masih sibuk menyisir rambutnya. "Iya." Wulan balik ke ruang tamu. "Kak Alin sebentar lagi turun. Silakan minumannya, Kak." Wulan tersenyum. Dia menaruh jus jeruk dan dua toples kue di meja. "Kamu adiknya Mbak Lintang?" tanya tamu cantik di depan Wulan. "Iya. Aku Wulan. Kakak teman Kak Alin yang mana, ya? Baru lihat, hee ..." Wulan melebarkan bibirnya. "Aku Dira. Baru kenal juga, kok." Dira memper
Lintang langsung berdiri menghampiri David. Dia cepat-cepat mentralkan hatinya, agar tak terlihat sendu di depan David. "Kak Dave, sudah pulang? Gimana operasinya?" Lintang meraih tas David, sementara David melepas sepatunya. "Terima kasih doanya. Cukup menegangkan, tapi akhirnya terlewati dengan baik. Kondisi pasien memang masih perlu diawasi hingga besok untuk memastikan dia bisa melewati masa kritis." David mengecup puncak kepala David. "Dira, ini Kak Dave. Kak, Dira ..." Lintang mengenalkan. "Dira?" David melihat Dira. Tersenyum, tapi penuh pertanyaan. "Aku antar Kak Dave sebentar ya, Dira. Aku segera kembali," ucap Lintang. "Ya, silakan." Dira mengangguk.
Lintang mengangguk. Dia akui sampai niat mencari tahu Dira di sosmed. Tapi Lintang masih tidak berani melangkah lebih, untuk mencoba menghubungi Dira. Tidak disangka, Dira datang ke toko. "Kamu terus memikirkannya, ya?" David merapikan helaian rambut Lintang yang jatuh ke mukanya karena angin. "Ya, jadi sering kepikiran. Setelah semua yang aku lewati, aku mengerti betapa penting keluarga. Seburuk apapun, dari sana kita berasal. Sesulit apapun pertalian darah tak bisa terputus. Jadi, yang aku pikir, jika ada kesempatan kami bisa kenal dengan keluarga ibu, akan baik, bukan?" Lintang memandang wajah David yang tetap tampan, kapan saja Lintang menatapnya. "Sudah tambah dewasa istriku. Kayaknya uda siap nih, punya baby." David memainkan alisnya. "Sabar dikit lagi, Kak ...
"Kalau Mbak rasa nyaman cerita aku mau dengar. Jika tidak, itu hakmu menyimpan semuanya." Dira bersungguh-sungguh dengan kata-kata itu."Dira, asal kamu menyimpan ini untukmu, aku akan cerita. Kecuali jika satu saat ayah yang mengatakan semuanya, aku tidak akan masalah jika keluarga yang lain tahu," ucap Lintang."Iya, Mbak. Aku janji, aku akan tutup mulutku." Dira mengangguk.Mereka menyelesaikan belanja dengan membayar di kasir. Lalu mencari tempat untuk melanjutkan kisah mereka. Kali ini Lintang yang bercerita panjang lebar. Dira berulang kali terkesima, terperanjat, membelalakkan mata tak percaya. Hingga air mata pun ikut menetes."Kok serasa film yang penuh sengsara gitu kisahmu." Dira menatap Lintang masih tak percaya.
Makan bersama selesai acara pembukaan Alin's Cake & Cookies di ruko makin meriah. Farid terus saja tersenyum. Dia senang bisa melakukan semua ini buat putrinya. Setelah Lintang lulus kuliah, dia harus belajar memimpin usahanya sendiri. Selama ini memang Farid yang mengatur apa-apa. Lintang usul ini dan itu, mereka diskusi, tapi tetap keputusan ada pada Farid."Selamat, Sayangku ... God bless more." David duduk di sisi Lintang."Thank you." Lintang melebarkan senyumnya lagi."Kakak, aku mau jus lagi." Lintang menoleh. Terasa ada yang menarik dress-nya.Bocah imut dan tampan dengan mata bening menatapnya."Tio, jus jeruk? Mau lagi?" Lintang berdiri akan mengambil minuman buat Tio.
Farid tak menjawab. Terus saja menunduk. Kedua tangannya terkepal. Perasaan bersalah kembali menderanya. Jika keluarga Angkasajaya tahu Tyas menderita hidup dengannya, meninggal dalam kekurangan dan jauh darinya, apa kata mereka? Mereka menolak Farid adalah hal yang benar. Mungkin jika dia tidak memilih Farid, Tyas masih ada, bahagia dengan hidupnya. "Farid, apapun itu, katakan. Aku siap. Katakan padaku," minta Surya. "Terlalu berat, Mas. Terlalu berat untuk aku cerita lagi," kata Farid setelah beberapa saat dia hanya diam. Mereka yang duduk di ruang tamu tak ada yang bicara. Mereka juga terdiam dengan rasa pedih. "Boleh aku melihat pusara Tyas?" Surya meminta lagi. Farid menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Semua mat
Lintang dan David berpandangan. Jika Mito akan menikah, apakah dia akan ... "Iya. Apa kamu ga pernah kontak sama masmu, Lin?" sahut Bu Lurah. "Dia akan menikah sama Listy. Dua bulan lagi rencananya." "Wah, senang sekali mendengarnya, Bu. Lama juga kami ga komunikasi. Akhirnya jadi Mas Mito sama Kak Listy." Lintang tersenyum senang mendengar kabar itu. David pun merasa lega mendengar ini. Mito benar-benar berhasil menaklukkan Listy. David yakin mereka akan bahagia bersama. "Ibu ke belakang dulu. Ada tamu harus disambut yang baik." Bu Lurah berdiri, berjalan ke arah dapur. Lintang mengikutinya. "Aku bantu, Bu," kata Lintang. Mereka menyiapkan minuman dan hidangan untuk yang la
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini