"... Bukan putus yang menyebabkan cinta itu hilang tapi kebohongan ..."
~ Aru ~
Aku terhenyak kaget juga merasa takut saat Ara mendorong kursi dan seketika berdiri dengan wajah tak bahagianya. Kurasa dia mulai kesal dan perlahan kehilang kendali dirinya sendiri. Dan semua mata di meja ini jadi mentapnya.
"Ahh, perutku sakit. Sorry, aku tak lagi bisa menahan diri untuk kentut. Aku ke kamar kecil dulu"
Ara pergi setelah berhasil meraih tas kecilnya. Dia berhasil membuatku dan Andre terpingkal-pingkal, namun Quin haya terkikik ringan mendengarnya.
Tapi aku menduga, dia pasti cemburu. Karena itu, kamar kecil adalah tempat sempurna untuk bersembunyi, menjeda dan memperbaiki krisis dalam dirinya.
Aku selesai makan, Andre dan Quin juga menyudahi makan mereka setelahku. Tapi Ara belum juga kembali sejak tadi.
Apa jangan-jangan dia sakit perut sungguhan?
"... Ikatan ini bukan tentang hati ..." ~ Aru ~ Aku kehilangan jejak mobil Ara beberapa menit kemudian setelah keluar dari area parkir. Aku sangat yakin mereka masih mengikuti dibelakang motorku saat keluar dari parkiran tadi. Kurasa, mobil Ara menghilang setelah melalui lampu merah itu. "Kau lihat mobil Ara?" "Huh?" Quin tidak jelas mendengar. "Mobil Ara, kau lihat?" "Ara menyalib mu didepan tadi" "Oh ya? Aku tidak melihat?" "Kau terlalu asyik mengobrol denganku sepertinya, makanya tidak lihat" "Mungkin" aku lantas menepi, "Dia bilang mau kemana tadi?" "Botanic Garden kan? Dia tidak bilang padamukah, mau kemananya?" "Tidak. Tadikan dia masih bingung antara ke Orchard atau− Coba aku hubungi dia, ohh− " Aku cepat meralat karena lupa belum mengganti nama kontak Ara diponselku. "Kau saja yang hubungi dia, sementar
"... Kekompakan mereka, toxic pikiran ... " ~ Ara ~ Aku bolak-balik melihat ponsel, tapi belum ingin membalas pesan-pesan Aru. Biarkan saja dia tahu kalau aku sedang marah padanya. "Kau dimana? Aku kehilangan jejak mu dan tidak bisa mengikuti mu" aku membacanya sekali lagi. "Aku di taman Haw Par Villa jika kau mau menyusul kemari" Aku tidak ingin menyusul jika hanya untuk melihat wajah bahagia itu membakar perasaanku. Maaf, aku tidak bisa dan tidak mau! Aku sangat kesal padanya, hingga membiarkan adik ku berselfie sendiri. Hanya agar dia tidak mengendus rasa patah hati dan kecewa ku akan Aru. "Klo kau mau kesini silahkan, tapi aku tak akan menyusul mu" kirim. Aku lantas beralih melihat foto-foto ku dan memutuskan untuk mengupload beberapa foto ke story ku. Namun sebelum itu, aku lebih dulu membuka kotak DM yang masuk. Itu d
"... Cemburu itu racun pikiran ... " ~ Ara ~ Aku dan Andre pulang lebih awal. Aku kehabisan mood baikku hari ini dan membawa dia pulang dengan alasan tidak enak badan. Beruntung dia tidak banyak bertanya dan menurut saja. "Sya, I'm so down and sad right now" aku mengirimi Tasya pesan. Aku butuh teman curhat, berhap dia bisa menenangkan hati gundahku yang tak menentu karena masih terbayang-bayangi oleh sikap romansa Aru dan Qiun sedari tadi. Seperti halnya saat masih disekitar area masjid Sultan tadi, sehabis mereka selesai ibadah. Mereka keluar dengan wajah senang, berbagi obrolan-obrolan yang tak bisa ku dengar. Saat Quin selesai mengenakan kembali sepatunya dan Aru menyusul duduk disebelahnya hendak meminta minum. Dengan sigap Quin mengeluarkan botol minum dari tasnya. Dan yang semakin membuat sebal, kenapa juga dia harus membukakan tutup botolnya sementara dari p
"... Kaulah penawar hati yang terkena racun-racun cinta ... " ~ Aru ~ Aku tahu dia pasti sedang tersiksa dengan rasa cemburunya itu, tapi dasar Ara keras kepala, dia tetap saja tidak mau mengakuinya. Memang apa susahnya bilang 'ya, aku cemburu' sesimpel itu saja dan aku akan dengan senang hati menyudahinya. Jangan mengira aku tidak tahu dengan setiap perubahan sikapnya itu. Seberapa banyak dia ingin menyangkalnya, jejak sakit itu tetap terlihat disana. Meskipun wujudnya juga samar, tapi tetap saja tertinggal disana. Di wajah itu. Jika memang dia tidak cemburu, tentu saja dia tak akan membunyikan klakson mobilnya dengan keras dan kasar, lalu memilih untuk melarikan diri dariku daripada tetap berada didekatku. Aku tahu betul apa yang membuatnya tidak tahan lagi. Dia melihatku yang tanpa sengaja hampir bersentuhan muka dengan Quin. Dia pasti shock dengan itu, bahkan
"... Kontradiksi memahamkan kita dengan kaidah baru ..."~ Aru ~Aku membantu Quin menaiki bumboat. Bumboat ialah sejenis tongkang kapal kayu. Aku membawanya kesini agar bisa menikmati indahnya kota dari jalur perairan."Kau bahkan sengaja mem-booking tiketnya secara online?""Aku ingin ini sempurna. Aku juga ingin mengisi kebersamaan ini dengan banyak kenangan indah. Jadi kelak kau tak akan kehabisan stok untuk mendongeng pada anakmu tentang aku""PD BANGET ANDA, YA?" ujarnya sambil tersipu senang, "But I like the way you treat me this well, tho""NOPE! You just like me, tho" candaku, menirukannya kemarin saat di bandara."Dan apa misi mu?""Bersantai menikmati kota modern ini dalam sentuhan keklasikan. Serupa halnya persahabatan kita. Seperti halnya juga masa depan kita""Aku boleh salah paham dengan konsep MASA DEPAN KITA it
"... Aku hanya harus percaya, agar hatiku baik-baik saja ... "~ Ara ~"Then, are you jealous now?" tanya Tasya dalam pesannya."Entah. Hanya merasa ini berat diatasi""Tell me more. Call OK?"Aku bergegas keluar dari kamarku dan mendapati Andre sedang menikmati makan malam simpelnya."Aku kebawah sebentar. Kau tak usah ikut""Siapa juga yang mau ikut" gerutunya."Aku tak lama. Hanya perlu mengobrol dengan− ""Mas Arnold? Ya, silahkan!"Aku memilih tempat dan menghubungi Tasya."Sya...,""Yes, I'm here""Entah kenapa saat mereka bersama aku serasa jadi orang asing yang terasingkan pula. Pesonaku serasa pudar darinya. Dan Quinlah orang yang membuatnya begitu. Aku tidak percaya diri, dan jadi pesimis begini. Dia itu punya girlfriend material yang tak hanya dicari para lelaki tapi juga memikat ba
"... Hug is kinda quick healing ... " ~ Aru ~ Aku mengetuk kamar Quin untuk mengajaknya sarapan. Kamar hotel kami bersebelahan, dan tak butuh waktu lama untuknya bersiap. "Tidurmu nyenyak?" "Lumayan" "De− Ah, dia masih mengganggu mu?" "Seperti saranmu, aku mematikan ponselku agar dia tak menggangguku. Kau masih butuh charger?" "NO. Ponselku terlanjur mati dan aku langsung tidur" Quin menyalakan ponselnya. "Quin...?" cegahku, memintanya menimbang sekali lagi. Mengingat mantannya terus saja mengganggunya hingga dia beruai air mata semalam. Lalu memutuskan untuk menginap di hotel karena malu jika mata bengkaknya diketahui Ara. "Tenanglah. Aku hanya takut klo ibu menelfon, terlebih karena ponselmu juga mati. Mama bisa tak lagi percaya padaku ataupun padamu" "Ohh, ya. Kau benar" "Uhh? Lima panggilan tak terjawab. Ara!
"... Cemburu mendorongku tuk menjauh, tapi logika memintaku berdamai ... " ~ Ara ~ Aru dan Quin kompak mengajak keluar malam ini. Katanya karena mereka ingin mencoba hal baru yang belum pernah mereka lakukan dalam perjalanan liburannya di kota ini. Langkah kami berhenti tepat didepan salah satu toko dipinggiran jalan yang tampak dua orang busker sedang sibuk bersiap disana. Lalu Aru dan Quin saling berbisik dengan wajah malu dan senang mereka, entah membicarakan apa. "Ready?" hanya itu yang bisa ku dengar dari tanya Aru pada Quin. "Yah" "Kalian tunggu disini yah" ujar Aru padaku dan Andre, lantas mereka pergi. Mereka berbincang akrab dengan para buskers itu. Saat Quin masih terlibat pembicaraan dengan mereka, Aru justru menghampiri kami. "Kita mampir dulu disini sejam-dua jam tidak apakan? Ada penampilan spesial malam ini" Aku
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda