“Katakan, di mana kau merasakan sakitnya?” Rhys mendekat, terlalu dekat menurutku. Perhatian yang cukup berlebihan, karena selama dua puluh tujuh tahun hidupku, dia tidak pernah seperti ini padaku.
Wajahnya sudah berjarak satu hembusan napas di depanku. Aku takut ini akan membuatku gila dengan cepat. Tolong menjauhlah, kumohon!
“Tidak, aku hanya ... sedikit pusing,” kataku. Sekarang aku berusaha menghindari tatapan matanya yang tajam, tapi mulai berpikir. Pikiran yang mengganggu tentang apakah dia tahu aku bukan Adik kandungnya? Atau apa dia sadar bahwa sikapnya sejak beberapa hari lalu mulai terasa aneh bukan hanya bagiku?
“Dokter akan datang dalam beberapa menit lagi.” Dia duduk di tepi ranjang. Tidak lagi memandangiku, tapi melihat ke sekeliling kamarku, seakan menyelidiki sesuatu.
“Aku tidak memiliki ingatan kecilku bersamamu,” gumamku pelan. Aku tahu dia akan sangat bereaksi pada sesuatu yang terkesan ‘mengganggu’ baginya.
Benar, Rhys langsung mena
Rhys menolak membahas itu dan benar-benar meninggalkanku seorang diri di kamar.Yah, tidak buruk juga. Aku senang dia pergi. Memang ini yang kubutuhkan.Tadi, tanpa berkata apapun, dia beranjak dari sampingku. Berlalu begitu saja dan aku juga tidak berniat menahannya. Tidak lama setelah itu, mungkin lebih dari sepuluh menit, saat aku ingin benar-benar memejamkan kedua mataku, dia kembali dengan membawa masuk Poeny yang mendorong troli makanan.Lagi-lagi aku mengeluh walau hanya dalam hati. Rhys benar-benar membuatku merasa terikat. Rasanya, aku sulit bernapas karena semua hal yang berkaitan dengannya.Poeny menatapku sekilas, lalu menunduk karena aku memberi tatapan menusuk padanya. Poeny tahu, bukan hanya dia yang tidak kuijinkan masuk ke kamarku, tapi juga seluruh pelayan yang ada di rumah ini.Tapi karena perintah Rhys, dia harus masuk ke kamar ini. Kutahan amarahku ketika sebelum pergi, Poeny masih sempat melirik ke arahku dan tersenyum. Aih, men
Meski belum tengah malam, tapi keadaan di jam sepuluh malam di dalam rumah ini begitu sepi. Jadi aku sangat leluasa bergerak dan melangkah tanpa harus terus memantau keadaan dengan teliti.Yang membuatku ingin marah, tentu saja tangga menuju ke tempat tinggal atau kamar para pelayan yang masih berupa kayu berderit jika diinjak.Ini ulah Ibu, siapa lagi yang mungkin selain dia. Alasannya tidak sesederhana yang ingin kupikirkan. Ibu merencanakan sesuatu agar semua pelayan memiliki keterikatan sumpah setia sehidup semati mereka pada seluruh keluarga ini. Benar-benar menggelikan!Kedua kakiku baru saja menginjak anak tangga pertama, ketika suara jeritan panjang seorang wanita terdengar dari lantai atas tempat para pelayan tinggal.Menyusul suara gaduh setelahnya. Suara-suara langkah tergesa di lantai atas yang mulai ribut bercampur dengan suara panik beberapa orang.Jantungku mengambil alih semua detakan yang menguasai seluruh tubuh, berdentum hampir memeka
Tubuhku seperti tunduk pada keinginan dan setiap instruksi Rhys. Ini sedikit aneh bagiku. Seperti aku yang memang menginginkannya.Ini berbahaya. Padahal, belum terlalu lama untukku sendiri, sejak terakhir kali memiliki hubungan dengan seorang pria. Apa aku merasa kesepian secepat ini? Oh, rasanya tidak mungkin!“Kau terbiasa berdansa rupanya,” gumam Rhys, sedikit membungkuk berbisik tanpa kusadari.“Ya, begitulah. Aku melakukannya beberapa kali dalam sebuah acara.”“Pasangan dansamu menyenangkan?” Rhys mempererat genggaman tangannya yang sudah melekat kuat padaku.“Begitulah,” jawabku dengan senyum canggung, sedikit mengangkat sebelah bahu. Merasakan hangat genggaman Rhys yang terasa menyatu denganku.“Itu bukan jawaban.”Aku mengamatinya. Benar-benar tidak berpikir bahwa ini Kakakku. Rhys Dimitri Oxley yang selalu menghindariku sejak kecil, setiap kali aku mencoba mendekatinya. Apa hanya aku yang merasakan ada sesuatu di antara kami
Sungguh, aku terkejut dengan kenyataan itu. Kedua mataku mengerjap karena bingung. Kutatap Rhys yang mendatarkan ekspresinya padaku.“Ada apa sebenarnya, Rhys? Ke-kenapa kau—”Kecupan hangat, terasa menarik kulit dan menyedot darah di bagian leherku. Aku membeku ketika dia memberikan. ciuman yang akan berakhir pada bekas merah di sekitar leherku itu nantinya.Aku terdiam, sungguh tidak kusangka dia akan melakukannya. Sesuatu yang berada di luar pemikiranku tentang Rhys.“Kau menikmati, menyukai, dan menginginkannya lagi,” bisik Rhys, mengecup lembut telingaku, bahkan sedikit memberi sensasi mengejutkan karena Rhys menggigit bagian ujungnya, “aku mengujimu. Ternyata bukan hanya penasaran, kau cukup menikmati semuanya, ZeeZee.”Begitu cepat ketika Rhys memutuskan untuk melakukan semua ini padaku. Tubuh sialku bereaksi memalukan atas sensasi menyenangkan dari Rhys. Sebagian dalam diriku yang meronta ingin lebi
Kecupan di kening, membuatku terkejut dan langsung bergerak ke arah asal ciuman itu kudapatkan.Rhys tersenyum sekilas di sana, di sampingku, dengan beberapa kancing kemeja bagian atasnya yang sudah terlepas karena seingatku, tanganku lah penyebabnya. Kemeja Rhys benar-benar kusut, terbuka setengah, memperlihatkan dadanya yang ramping, mulus.“Kau terlihat tidur dengan tidak nyaman, akan kubantu kau memperbaiki gaunmu,” kata Rhys lembut. Aku bahkan malu menatapnya lebih dari sedetik, apa yang baru kami lakukan memang tidak melebihi dari hanya sekedar ciuman dan sentuhan yang terlalu dalam, tapi tetap saja aku merasa cemas jika keagresifanku meninggalkan kesan aneh di benak Rhys.Dan bodohnya, aku memiliki waktu untuk memejamkan kedua mataku dengan tenang di ranjang ini. Aku tidak ingat waktu yang sudah kupakai untuk tidur.Rhys membantuku bangun dari posisiku berbaring. Merapikan rambutku, lalu menaikkan gaun tidurku yang sudah merosot sampai
Sebelum kedua mata Adorjan meneliti lebih jauh, aku memberinya sebuah peringatan. “Tunggu sebentar!” Tanpa pikir panjang, aku berlari ke kamarku yang jaraknya sudah tidak jauh lagi.Aku mendengar Adorjan berteriak memanggil, bahkan dia menyusul ke kamarku, menggedor pintu dengan sedikit keras.Setelah secepat kilat aku meraih jeans hitam di lemari, aku kembali keluar kamar, berdiri di pintu yang tidak akan kubiarkan dimasuki olehnya.“Maaf, ada apa, Ed?”“Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau sepanik itu?” Adorjan bertanya dengan penuh kecurigaan.Heran, aku tidak pernah merasa Adorjan serumit ini sebelumnya. Dia terdengar seperti Orie, cerewet.“Tidak ada apa-apa. Hanya ... aku terbangun terlalu cepat pagi ini, lalu berjalan ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa kucicipi. Tapi ada apa, Ed? Kau mencariku?”“Kau lupa pada janjimu?”“Janji ...” Memiringkan kepal
Ide buruk? Awalnya kupikir begitu. Tapi setelah sebelas menit berlalu dengan posisiku menunggu di kamar Rhys dan dia kembali dengan kening sedikit berkeringat, aku terpesona dalam sekali pandang.Pilihan untuk menuruti keinginan hasratku dan mengabaikan perintah otakku, menghasilkan hal yang menggelikan seperti ini. Aku menjebak diriku sendiri di kandang ular berbisa.“Janji tetap janji, Rhys. Beritahu aku apa yang terjadi.” Sebelum Rhys coba menyentuh wajahku, aku menahan tangannya, menggigit satu jarinya.“Itu tidak sakit sama sekali, ZeeZee. Di mana kau belajar menggigit jari seseorang?” Rhys balas menggigit jariku, bukan satu, tapi kelima jariku, satu persatu.Aku bergidik, hanya gigitan lembut di setiap jemariku, berhasil membuatku merasakan kenikmatan. Rhys berbeda, atau aku yang terlalu awam pada perasaan seperti ini?Dia bukan Kakakku! Benar, tak apa. Aku yakin sekarang bahwa dia bukan Kakak kandungku. Aku haru
“Tidak ada. Seperti janjiku sebelumnya. Aku ingin melindungimu dari kebiasaan aneh keluarga ini, hukuman yang Ayah dan Ibu berikan, juga gangguan dari kelima Adikku,” jelas Rhys. Dan itu berhasil sedikit menurunkan kecurigaanku padanya.Lalu Rhys mendongak untuk menatapku yang kini berada dipangkuannya. Dia tidak tersenyum, tapi menungguku bereaksi atas apa yang baru saja diinginkannya.“Bisakah kau memberiku waktu?”“Apa kau takut Ayah dan Ibu akan mengacaukan niatku?” tanya Rhys, tampak tersinggung.“Oh, bukan, bukan. Aku hanya ingin berpikir dengan jelas apa itu yang kuinginkan selama ini. Dan aku juga tidak ingin terlihat lari dari apa yang selama ini tampak seperti pengujian Ayah dan Ibu terhadapku.”“Jalan pikiranmu terlalu rumit,” keluh Rhys, sudah kembali lembut. Dia menarik tengkuk milikku dengan perlahan, menghentikan wajahku tepat di depan wajahnya yang menolak tua. Meski kebengisan menjadi hal utama yang terlihat di wajahnya, tapi aku m
Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha
“Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak
Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj
Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada
“Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen
“Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem
“Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib
Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka
Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar